Oleh: Misno Mohamad Djahri
Hari ini Sabtu, 31 Desember 2022
adalah hari terakhir dari tahun 2022 masehi, maknanya esok adalah tanggal 01
Januari 2023. Sebagaimana masyarakat di berbagai penjuru dunia yang menggunakan
penanggalan Gregorian maka sebagian masyarakat di Indonesia juga ikut merayakan
malam tahun baru ini. Tentu saja perayaan tahun baru masehi ini sudah sejak
lama dilakukan oleh masyarakat yang memiliki budaya ini dan yang mengikutinya. Tahukah
anda bagaimana sebenarnya sejarah dari perayaan tahun baru ini? Apakah ia
berkaitan dengan akidah? Atau hegemoni budaya “barat” ada di setiap penjuru
dunia? Atau sekadar budaya populer yang berkembang di masyarakat moder?
Faktanya bahwa perayaan tahun baru
tidak hanya dalam pergantian tahun masehi, pergantian tahun baru China
dirayakan di berbagai wilayah Asia lainnya. Demikian pula tahun baru di India,
Mesir, Persia, Arab, dan wilayah-wilayah lainnya. Pada tingkat yang lebih
sempit di Jawa dan Sunda memiliki tahun baru sendiri yang pada masa lalu juga diperingati.
Penganut agama Islam juga “ikut-ikutan” merayakan tahun baru hijriah setiap 01
Muharam setiap tahunnya. Maka, perayaan tahun baru tidak hanya miliki masehi
tetapi juga berbagai peradaban yang ada di dunia, sebab kenapa perayaan tahun
baru masehi begitu meriah adalah karena hegemoni dari berbagai bangsa di dunia
yang mengikuti kalender Gregorian sehingga kemudian lebih banyak yang
merayakannya dan menjadi budaya populer di tengah masyarakat dunia.
Perayaan tahun baru masehi tidak
lepas dari keyakinan dan kepercayaan dari bangsa Yunani di masa lalu, di mana setelah
Julius Caesar dinobatkan sebagai kaisar Roma, ia memutuskan untuk mengganti
penanggalan tradisional Romawi yang telah diciptakan sejak abad ketujuh SM.
Dalam mendesain kalender baru ini, Julius Caesar dibantu oleh Sosigenes,
seorang ahli astronomi dari Iskandariyah Mesir, yang menyarankan agar
penanggalan baru itu dibuat dengan mengikuti revolusi matahari, sebagaimana
yang dilakukan orang-orang Mesir kuno. Satu tahun dalam penanggalan baru itu
dihitung sebanyak 365 seperempat hari dan Caesar menambahkan 67 hari pada tahun
45 SM sehingga tahun 46 SM dimulai pada 1 Januari. Nama Januari diambil dari
nama dewa dalam mitologi Romawi, yaitu Dewa Janus yang memiliki dua wajah yang
menghadap ke depan dan belakang. Penduduk Romawi meyakini bahwa Dewa Janus
adalah dewa permulaan sekaligus dewa penjaga pintu masuk.
Maka perayaan tanggal 01 Januari
adalah berkaitan dengan keyakinan dan kepercayaan akan adanya Dewa Janus dalam
mitologi Yunani yang dipercaya sebagai dewa penjaga pintu masuk. Merujuk pada
fakta ini maka perayaan tahun baru masehi adalah bagian dari keyakinan dan
kepercayaan di luar Islam sehingga kita sebagai umat Islam tidak boleh untuk ikut
merayakannya. Termasuk bentuk perayaan adalah membuat kegiatan yang dikaitkan
dengan pergantian tahun ini, karena merupakan bentuk dukungan dari pengkultusan
terhadap Dewa Janus.
Selanjutnya perayaan tahun baru
juga merupakan bentuk hegemoni budaya barat yang menyebar ke seluruh penjuru
dunia. Hal ini diawali dengan penggunaan istilah Tahun Masehi yang baru
dihitung dan ditetapkan sejak kelahiran Isa Al-Masih dari Nazaret, yang mulai
diadopsi di Eropa Barat pada sekitar abad ke-8. Sejak itu lah setiap tanggal 31
Desember malam akan dilakukan malam pergantian tahun baru dengan segala
perayaan yang dilakukan negara-negara di seluruh belahan dunia. Penjajahan fisik
dan budaya Eropa dan sekutunya Amerika telah membawa budaya perayaan tahun baru
ini ke sleuruh wilayah jajahannya dan kemudian diadopsi menjadi budaya populer
di hampir seluruh penjuru dunia.
Perayaan tahun baru masehi saat ini
telah menjadi budaya populer yang ada di berbagai negara di seluruh penjuru
dunia. Berdasarkan keyakinan maka merupakan perayaan terhadap Dewa Janus, berdasarkan
hegemoni budaya ini merupakan bentuk “penjajahan” budaya terhadap budaya yang
merasa di bawah dan menganggap budaya Eropa lebih tinggi dan layak untuk
diikuti. Biasanya ini terkait dengan mental bangsa terjajah yang tidak percaya
diri dengan kepercayaan dan budayanya bangsa sendiri.
Selanjutnya perayaan ini juga telah
menjadi budaya populer, di tengah masyarakat yang semakin terbuka dan menerima
berbagai budaya peradaban lainnya. Pada masyarakat perkotaan maka momen akhir
tahun ada libur akhir dan awal tahun dan jika bertepatan dengan akhir pekan
maka ada libur pekanan, inilah yang kemudian banyak digunakan oleh masyarakat
perkotaan untuk liburan atau melakukan berbagai kegiatan yang kebetulan
bersamaan dengan tahun baru. Maka dalam hal ini tidak menjadi masalah karena
memang tidak ada niat untuk merayakannya tetapi karena memang adanya libur
tahunan atau pekanan bagi karyawan yang bekerja.
Merujuk pada pembahasan sebelumnya
maka perayaan ini jelas terkait dengan pemujaan terhadap dewa Janus, hegemoni
budaya serta budaya populer yang tidak sesuai dengan syariah Islam. Maka hendaknya
umat Islam tidak ikut merayakannya, kalaupun ada kegiatan di akhir tahun maka
jangan dikaitkan dengan tahun baru tapi lebih kepada hari libur yang memang terjadi
setiap pekan atau ada libur di awal dan akhir tahun. Wallahua’alam, 31122022.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Please Uktub Your Ro'yi Here...