Senin, 24 Desember 2012

Profil Majid ‘Irsan al-Kilani dan Pemikiran Pendidikan

Oleh : Rahendra Abu Aisyah

Beliau bernama Majid ‘Irsan al-Kilani, dilahirkan di Irbid Yordania pada tahun 1356 H/1937. Pada tahun 1383 H/1963 memperoleh gelar Sarjana S-1 (Lc) dalam Sejarah dari Universitas Kairo, juga berhasil menyelesaikan jenjang Diploma di bidang Pendidikan dari Universitas Yordania pada tahun 1389 H/1969. Kemudian pada 1393 H/1986 berhasil merampungkan pendidikannya pada jenjang S-2 bidang Sejarah Islam di Universitas Amerika cabang Beirut. Pada tahun yang sama, ia pun berhasil meraih Magister dalam Filsafat Pendidikan dari Universitas Yordania.
Tidak puas dengan kemampuan intelektual yang telah diperolehnya, ia kemudian melanjutkan jenjang S-3 pada Fakultas Pendidikan di Universitas Pittsburg negara bagian Pensilvania Amerika Serikat pada tahun 1401 H/1981.
Di antara jabatan akademik yang pernah diembannya adalah:
·         Dosen Sejarah Pendidikan di Fakultas Khusus Perempuan, Saudi Arabia.
·         Direktur Pusat Studi Bahasa Arab di Departemen Bahasa Asing, Universitas Pittsburg Amerika Serikat.
·         Direktur Pusat Pengkajian Pendidikan di Kementerian Pendidikan Yordania.
·         Dosen dan Guru Besar Pendidikan Islam dan Filsafat Pendidikan di Fakultas Pendidikan Universitas King ‘Abdul ‘Aziz dan Universitas Ummul Qura, Saudi Arabia.[1]

Kiprah Pendidikan al-Kilani
Untuk mengetahui pemikiran al-Kilani tentang pendidikan Islam, maka unsur terpenting yang dijadikan acuan dan landasan utama untuk dapat mengungkap konsep, kualitas dan bobot pemikirannya adalah melalui karya-karya ilmiah yang telah dihasilkan dan dipublikasikannya.
Berdasarkan persfektif tersebut, maka al-Kilani tergolong tokoh yang concern dalam mengkaji dinamika pendidikan Islam, terbukti dengan cukup banyak “karya khususnya” tentang pendidikan Islam, antara lain:
1.      Ahdāf al-Tarbiyah al-Islāmiyyah fī Tarbiyah al-Fard wa Ikhrāj al-Ummah wa Tan-miyah al-Ukhuwwah al-Insāniyyah (Visi-Misi Pendidikan Islam dalam Mendidik Pribadi, Mengkader Umat dan Menumbuhkembangkan Persaudaraan Insani), (Virginia: The International Institute of Islamic Thought, 1998, cet. ke-2).
Buku ini memaparkan visi-misi pendidikan Islam, yang dianggap al-Kilani sebagai salah satu penyebab kemunduran pendidikan[2], karena lemahnya pendidikan Islam dalam pencapaian empat visi-misi utamanya, yaitu “melahirkan”: (1) individu yang baik (al-fard al-shālih); (2) keluarga Islami (al-usrah al-muslimah); (3) umat pengemban risalah kenabian (ummah al-risālah); dan (4) “menciptakan” persaudaraan insani (al-ukhuwwah al-insāniyyah).[3]
2.      Falsafah al-Tarbiyah al-Islāmiyyah: Dirāsah Muqāranah baina Falsafah al-Tarbiyah al-Islāmiyyah wa al-Falsafāt al-Tarbawiyyah al-Mu’āshirah (Filsafat Pendidikan Islam: Studi Komparatif Filsafat Pendidikan Islam dan Filsafat Pendidikan Kontemporer), (Mekkah: Maktabah al-Manārah, 1987, cet. ke-1).
Buku ini dapat dikategorikan sebagai bukti otentik yang mengurai “ide asli” (genuine) tentang pemikiran pendidikan Majid ‘Irsan al-Kilani. Menurutnya, diskur-sus Filsafat Pendidikan (Islam) merupakan kajian yang sangat urgen (hāmmun) dan sangat mendesak (dharūrī) untuk dikaji karena empat faktor, yaitu:
a.       Kedudukan filsafat pendidikan yang urgen dalam semua proses pendidikan (‘amaliyyāt tarbawiyyah);
b.      Rancunya terminologi (mafhūm) filsafat pendidikan dalam studi pemikiran Barat dan diskursus kontemporer saat ini;
c.       Menemukan filsafat pendidikan “baru” yang dapat menyelesaikan krisis kema-nusiaan yang akut; dan
d.      Hajat kebutuhan terhadap aturan manajemen dan studi kependidikan di dunia Arab dan Islam terhadap model Filsafat Pendidikan Islam.[4]
3.      al-Fikr al-Tarbawī ‘inda Ibn Taimiyyah (Pemikiran Pendidikan Islam Persfektif Ibnu Taimiyyah v), (Madinah: Maktabah Dār al-Turāts, 1986, cet. ke-2).
Buku ini merupakan kajian kritis analitik terhadap pemikiran pendidikan Islam Syekh al-Islam Ibnu Taimiyyah v tentang pendidikan aqidah dan sosial kemasyara-katan (mabhats fī ushūl al-tarbiyah al-‘aqadiyyah wa al-ijtimā’iyyah al-Islāmiyyah kamā fassarahā Syaikh al-Islām Ibn Taimiyyah: dirāsah tahlīliyyah nāqidah)[5].
Salah satu kajian menarik tentang pendidikan yang dikaji dalam buku ini –selain pemikiran pendidikan Ibnu Taimiyyah vadalah kritik (intiqād) Ibnu Taimiyyah v terhadap lima model pendidikan yang ada, yaitu madrasah ahli fikih (fuqahā’), ma-drasah kalangan Sufi, madrasah para filosof, madrasah ahli kalam atau teolog, dan madrasah sekte Syi’ah, yang banyak mempengaruhi model pemikiran pendidikan Islam dan bahkan masih banyak dianut oleh tokoh pendidikan kontemporer.[6]
4.      Hakadzā Zhahara Jīl Shalāh al-Dīn wa Hakadzā ‘Ādat al-Quds (Kemunculan Generasi Shalahudin dan Kembalinya al-Aqsa Palestina), (Uni Emirat Arab: Dār al-Qalam, 2002, cet. ke-3)[7].
Buku ini berisi kajian sejarah analitik (dirāsah tahlīliyyah li al-tārīkh) tentang masa Shalahudin al-Ayyubi v dengan meruntut berbagai peristiwa sejarah yang melatarbelakangi proses pembaharuannya (ishlāh), termasuk dalam bidang pendidikan (tarbiyah) dan kependidikan (madrasah), serta kontribusi positif yang dapat diambil sebagai “pencerahan”, baik dalam ranah pemikiran, politik, sosial maupun pendidikan.[8]
Walaupun buku ini tidak secara khusus mengkaji tentang pendidikan Islam, namun ada satu pasal yang sangat penting untuk dicermati –termasuk dalam bidang pendidikan–, tepatnya bab kelima dan terakhir, yaitu tentang rambu-rambu sejarah dan implementasi kontemporernya (qawānīn tārīkhiyyah wa tathbīqāt mu’āshirah).[9]
5.      Tathawwur Mafhūm al-Nazhariyyāt al-Tarbawiyyah al-Islāmiyyah (Sejarah Konsepsi Epistemologi Pendidikan Islam), (Madinah: Dār al-Turāts, 1985, cet. ke-3).
Menurut Dr. Mahmud Arif, Dosen UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, buku ini banyak memberi informasi tentang dinamika konsepsi pendidikan Islam hingga kurun modern. Buku ini mengungkap pula polarisasi pemikiran pendidikan Islam yang ter-jadi, beberapa faktor penyebabnya, dan pemikiran para tokohnya. Namun buku ini tidak secara spesifik memaparkan konstruksi epistemologis dan implikasi kependi-dikannya.[10]
Sedangkan menurut pendapat Dr. H. Maksum, Dosen STAIN Cirebon, salah satu paparan menarik yang disajikan al-Kilani dalam buku ini adalah pandangannya tentang sasaran pendidikan Islam (mayādīn al-tarbiyah al-Islāmiyyah) berdasarkan sebuah ayat yang ternyata diulang secara hampir serupa sebanyak empat kali.[11] Yaitu mencakup aspek akidah, pembersihan atau pelurusan tingkah laku, penyiapan tata pikir dan pemberian pengetahuan yang Islami, serta aspek penyiapan keterampilan kerja.[12]
Dalam buku ini juga, al-Kilani membagi pola-pola pendidikan Islam menjadi empat, dengan berdasar pada aliran pemikiran yang timbul dalam Islam. Pola-pola itu adalah madrasah al-fuqahā’ wa al-muhadditsīn, madrasah Shūfiyyah, madrasah al-Falāsifah wa al-‘Ulūm al-Thabī’iyyah, dan madrasah al-Ushūliyyūn wa ‘Ilm al-Kalām.[13] [14]
Pemikiran al-Kilani tentang Pendidikan
Dalam pendidikan –termasuk pendidikan Islam–, gagasan dan pemikiran pendidikan seorang tokoh, bisa dikaji dalam “Filsafat Pendidikan” yang digagas dan dipraktekkannya, yang biasanya meliputi; (1) visi, misi dan sifat; (2) dasar dan asas; (3) tujuan; (4) pendidik; (5) anak didik; (6) metode; (7) lingkungan; (8) kurikulum; dan (9) evaluasi pendidikan.[15] Dalam pernyataan yang hampir serupa, ada pula yang mengungkapkan bahwa ruang lingkup Filsafat Pendidikan Islam secara garis besar mencakup kajian dan pembahasan mengenai: (1) dasar dan tujuan pendidikan; (2) pendidik; (3) peserta pendidikan; (4) pro-ses; (5) strategi; (6) pendekatan dan metode; (7) kurikulum; (8) lingkungan; (9) sumber dan media; (10) sistem evaluasi; dan (11) sarana dan prasarana pendidikan Islam.[16]
Yang lain menyatakan bahwa ruang lingkup Filsafat Pendidikan Islam yang dapat dipergunakan untuk “membedah” pemikiran dan gagasan seorang tokoh, juga termasuk dalam salah satu ruang lingkup “Ilmu Pendidikan Islam” yang meliputi; pembahasan teoritis, akademis, dan prinsip tentang konsep pendidikan Islam dengan berbagai aspek-nya, yaitu visi, misi, tujuan, kurikulum, proses belajar mengajar, dan sebagainya.[17]
Aspek filosofis (Filsafat Pendidikan Islam) tersebut kemudian dikembangkan pula dalam diskursus “Pemikiran Pendidikan Islam” yang biasanya meliputi tiga prinsip, yaitu: (1) prinsip ontologis, bahwa pendidikan yang menjadi objek kajian pemikiran tidak se-lamanya bersifat realistis, akan tetapi ada kalanya yang bersifat fenomena dan abstrak; (2) prinsip epistemologis, tentang bagaimana proses internalisasi yang efektif dalam mencapai tujuan pendidikan yang diinginkan sebagai sebuah kebenaran yang hakiki; dan (3) prinsip aksiologis, bahwa objek kajian dan rangkaian proses yang dilakukan harus memiliki nilai dan tidak merusak nilai-nilai yang ada, baik nilai kemanusiaan (moral), maupun nilai ketuhanan (agama).[18]
Atau secara praktis sesuai dengan “paradigma pendidikan bermutu”, yaitu memiliki kejelasan visi, misi, orientasi, tujuan dan strategi mencapai cita-cita pendidikan yang diselenggarakan.[19]
Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, maka pemikiran pendidikan Islam Majid ‘Irsan al-Kilani dapat ditelusuri dari karya-karya tulis genuinenya, khususnya magnum opus-nya yang berjudul Falsafah al-Tarbiyah al-Islāmiyyah: Dirāsah Muqāranah baina Falsafah al-Tarbiyah al-Islāmiyyah wa al-Falsafāt al-Tarbawiyyah al-Mu’āshirah (Filsafat Pendi-dikan Islam: Studi Komparatif Filsafat Pendidikan Islam dan Filsafat Pendidikan Kon-temporer), dan juga dari berbagai aktivitas akademik dan kiprah kependidikannya seba-gaimana tersebut di atas.
Oleh karena itu, aspek-aspek pendidikan yang menjadi gagasan pemikiran dan filsafat pendidikan Islam Majid ‘Irsan al-Kilani dapat diidentifikasi sebagai berikut:
Pertama, tentang terma atau istilah pendidikan.
Dari tujuh karya kependidikannya, yaitu: (1) Ahdāf al-Tarbiyah al-Islāmiyyah; (2) Falsafah al-Tarbiyah al-Islāmiyyah; (3) al-Fikr al-Tarbawī ‘inda Ibn Taimiyyah; (4) Ta-thawwur Mafhūm al-Nazhariyyāt; (5) al-Tarbiyah wa al-Wa’y wa al-Tajdīd; (6) Ittijāhāt Mu’āshirah fī al-Tarbiyah al-Akhlāqiyyah; dan (7) al-Tarbiyah al-Islāmiyyah baina al-Fiqh wa al-‘Urfī wa al-Sunanī, serta terma-terma yang digunakannya, al-Kilani termasuk intelektual Muslim dan pakar pendidikan yang memilih tarbiyah sebagai terma bagi pendidikan Islam.
Kedua, tentang filsafat pendidikan.
al-Kilani termasuk tokoh pendidikan yang sangat memperhatikan “eksistensi” dan kedudukan filsafat pendidikan dalam proses pendidikan atau kegiatan belajar-mengajar (‘amaliyyah tarbawiyyah), bukan hanya bagi pendidikan Islam, tetapi bagi model dan bentuk pendidikan lainnya yang berlangsung.
Selain karena filsafat pendidikan merupakan kajian yang sangat urgen (hāmmun) dan sangat mendesak (dharūrī) untuk dikaji karena empat faktor utama yang melatar-belakanginya sebagaimana yang telah dipaparkan, juga karena filsafat pendidikan tersebut dikategorikan sebagai starting point atau titik tolak (al-murakkaz al-awwal) bagi seluruh proses pendidikan yang akan berlangsung, yaitu mencakup dan menyentuh semua aspek pendidikan yang menyertainya.[20]
Ketiga, visi-misi pendidikan.
Visi-misi pendidikan Islam dalam persfektif al-Kilani adalah mengantarkan peserta didik mencapai kemajuan insaninya, yaitu sampai ke derajat “bentuk yang sebaik-baiknya” seperti yang diistilahkan al-Qur’an (bulūgh al-muta’allim darajah al-raqī al-insānī au darajah ahsan taqwīm hasba al-ta’bīr al-Qur’ānī).
Yaitu terciptanya relasi harmonis (‘alāqah) antara peserta didik dan Allah l (al-Khāliq), antara peserta didik dan alam semesta (kaun), antara peserta didik dan orang lain (insān), antara peserta didik dan kehidupan dunia (hayāh) dan antara peserta didik dengan kehidupan akhirat (ākhirah). Sedangkan secara agak mendetail, visi-misi tersebut dapat dijabarkan sebagai berikut:
·         Relasi antara Sang Khaliq dan peserta didik, yaitu terciptanya relasi ibadah atau relasi penghambaan (‘alāqah ‘ubūdiyyah);
·         Relasi antara peserta didik dan alam semesta, yaitu terciptanya relasi eksplorasi (‘alāqah taskhīr);
·         Relasi antara peserta didik dan orang lain, yaitu terciptanya relasi keadilan dan kebaikan (‘alāqah ‘adl wa ihsān);
·         Relasi antara peserta didik dan kehidupan duniawi, yaitu terjalinnya relasi ujian (‘alāqah ibtilā’); dan
·         Relasi antara peserta didik dengan kehidupan akhirat, yaitu terjalinnya relasi tanggung jawab dan pemberian balasan (‘alāqah mas’ūliyyah wa jazā’).[21]
Relasi ibadah atau relasi penghambaan (‘alāqah ‘ubūdiyyah); antara Sang Khaliq dan peserta didik merupakan relasi yang paling utama dan fundamen, bahkan menjadi lan-dasan bagi relasi yang lainnya. Dalam pengertian generiknya, yaitu dalam cakupan Fil-safat Pendidikan Islam, konsep ibadah mencakup tri-tunggal dimensi: (1) dimensi “aga-mawi” (al-mazhhar al-dīnī), yaitu terjalinnya relasi antara seorang Muslim dengan Pen-ciptanya, Allah l; (2) dimensi “sosial-kemasyarakatan” (al-mazhhar al-ijtimā’ī), yaitu terjalinnya relasi antara seorang Muslim dengan individu lain atau dengan berbagai ko-munal masyarakat; dan (3) dimensi “kealaman” (al-mazhhar al-kaunī), yaitu terjalinnya relasi antara seorang Muslim dengan alam sekitarnya.[22]
Oval: Allah   al-KhaliqBila kelima relasi yang menjadi visi-misi pendidikan Islam tersebut di atas diilus-trasikan, maka terlihat sebagai berikut[23]:

 












Dan kelima relasi tersebut di atas dapat terjalin harmonis bila keempat unsur atau komponen penunjangnya dapat terealisasi yaitu:
1.      Komponen akidah (‘āmil ‘aqādī), yaitu dengan menentukan relasi antara Allah l sebagai Dzat Yang Maha mendidik (al-Murabbī) dan objek pendidikan, yaitu manusia sebagai makhluk ciptaan-Nya;
2.      Komponen sosial (‘āmil ijtimā’ī), yaitu teraktualisasinya relasi antar manusia, bahkan di antara seluruh individu yang menjadi peserta didik (muta’allim);
3.      Komponen setting tempat (‘āmil makānī), yaitu metode yang digunakan peserta didik untuk mengelola sarana kehidupan demi mencapai kemajuan umat ma-nusia di dunia; dan
4.      Komponen latar waktu (‘āmil zamānī), yaitu memperhatikan aspek waktu yang sedang dialami, semenjak peserta didik lahir di dunia hingga kelak memasuki kehidupan akhirat.[24]
Keempat, dasar dan asas pendidikan.
Dalam pandangan dan persfektif al-Kilani, dasar pendidikan adalah al-Qur’an dan as-Sunnah, sehingga yang menjadi objek pendidikan Islam adalah manusia yang telah tergambar dan terangkum dalam al-Qur’an dan as-Sunnah. Berbeda dengan manusia dalam pendidikan sekuler yang penggambarannya diserahkan pada mayoritas pendapat, atau pada orang-orang tertentu dalam masyarakat, atau pada seorang individu karena kekuasaannya, yang berarti diserahkan kepada angan-angan seseorang atau sekelompok orang semata.[25]
Sedangkan asas pendidikan yang menjadi titik tolak (starting point) dari gagasan dan langkah al-Kilani adalah pengamatannya terhadap penyebab utama kemunduran umat Islam, yaitu karena krisis pendidikan. Dalam hal ini berawal dari kemunduran psi-kologis (nafsiyyah) dan intelektual (fikriyyah) umat[26], yang bermuara dari kelemahan filsafat pendidikan Islam[27], khususnya karena kebimbangan (confuse) dari visi-misi pen-didikannya (al-ahdāf al-tarbawiyyah) yang meliputi: (1) ketidakjelasan batasan visi-misi umum pendidikan; (2)  ketidakjelasan visi-misi pendidikan bagi pribadi atau individual; (3) adanya kontradiktif antara visi-misi pendidikan bagi pribadi dengan visi misi sosial masyarakat dan ekonomis; dan (4) terjadinya kontradiksi antara visi-misi pendidikan bagi pribadi dengan visi-misi yang berkaitan dengan keluhuran akhlak (al-fadhā’il al-akhlāqiyyah).[28]
Kelima, tujuan pendidikan.
Tujuan pendidikan Islam secara umum menurut al-Kilani adalah: (1) “melahirkan” individu yang baik (al-fard al-shālih); (2) “mencetak” keluarga Islami (al-usrah al-mus-limah); (3) “mengeluarkan” umat pengemban risalah kenabian (ummah al-risālah); dan (4) “menciptakan” persaudaraan insani (al-ukhuwwah al-insāniyyah).[29]
Sedangkan tujuan khususnya adalah melahirkan insan paripurna dan berdedikasi (al-insān al-kāmil al-rāqī), yang mampu merealisasikan visi-misi pendidikan Islam, yaitu terjalinnya relasi (‘alāqah) antara peserta didik dan Allah l (al-Khāliq), antara peserta didik dan alam semesta (kaun), antara peserta didik dan orang lain (insān), dan relasi antara peserta didik dan kehidupan dunia (hayāh) dengan akhirat (ākhirah).[30]
Keenam, strategi pendidikan.
Dalam penilaian al-Kilani, hal pertama yang harus ada dan telah dipikirkan terlebih dahulu dalam proses pendidikan (‘amaliyyah tarbawiyyah) adalah tentang filsafat pen-didikan, yang akan memikul visi-misi pendidikan, untuk kemudian merealisasikannya dengan optimal, yaitu menggapai kebaikan dan kebahagiaan bagi umat manusia (tahqīq al-khair wa al-sa’ādah li al-insān). Filsafat pendidikan tersebut kemudian melahirkan tujuan umum (ahdāf ‘āmmah) berupa perincian upaya untuk mengaktualisasikan filsafat pendidikan dalam seluruh aspek kehidupan melalui andil dunia pendidikan.
Tujuan umum pendidikan tersebut harus senantiasa dievaluasi sesuai yang dica-nangkan umumnya (mu’ādalah ‘amaliyyah mathlūbah) berkaitan dengan cara pandang yang muncul dalam upaya merealisasikan tujuan umum tersebut, baik berdasarkan feno-mena yang muncul maupun disesuaikan dengan realisasinya dalam menumbuhkembangkan kepribadian (syakshiyyah) para peserta didik.
Proses dan hal-hal tersebut di atas kemudian digulirkan dalam kegiatan belajar me-ngajar (‘amal madrasī) yang dituangkan dalam metode (asālīb), kurikulum (manhaj) dan sarana (wasā’il), yang akan menghasilkan berbagai ilmu dan pengalaman (‘ulūm wa khibrāt), dan dari waktu ke waktu harus senantiasa dievaluasi dan diarahkan (qiyās wa taqwīm), hingga tergapainya kebaikan dan kebahagiaan umat manusia.[31]
Bila strategi tersebut diilustrasikan dalam bagan, maka terlihat sebagai berikut[32]:
 























Ketujuh, kurikulum pendidikan.
Tentang kurikulum pendidikan, al-Kilani menekankan keharusan terjalinnya inte-grasi (takāmul) antara “ilmu keagamaan” (‘ulūm dīniyyah) dan “ilmu kealaman” (‘ulūm kauniyyah), dimana keduanya sama-sama berfungsi sebagai komponen pembangun pilar-pilar keimanan (ghars ushūl al-īmān) dan pembentuk peradaban (qiyām al-hadhārāt).[33]
Ketujuh, institusi pendidikan.
al-Kilani menyatakan, bahwa institusi yang mengelola dunia pendidikan semestinya tidak hanya terwakili oleh satu macam institusi pendidikan (misal yayasan) yang bersifat homogen, bahkan harus bersifat heterogen, dalam arti terdiri dari banyak institusi yang memiliki bidang spesialisasi yang berbeda, agar pendidikan yang diselenggarakan “bermutu”. Dalam proses pendidikan, institusi tersebut terdiri dari empat institusi khusus, yaitu:
·         Yayasan Pengembang Model Pendidikan Ideal bagi Umat Islam (mu’assasah tathwīr al-matsal al-a’lā li al-ummah al-Islāmiyyah);
·         Yayasan Pengarah Kebijakan dan Strategi (mu’assasah rasm al-khuthath wa al-istirātījiyyāt);
·         Yayasan Pelaksana Akademik dan Manajerial (mu’assasah al-tanfīzh al-tarbawī wa al-tanzhīmī); dan
·         Yayasan Penyelaras dan Pengevaluasi (mu’assasah al-taqwīm wa al-murāja’ah).[34]
Bila keempat institusi tersebut dan relasi prosesnya diilustrasikan dalam bagan, maka terlihat sebagai berikut[35]:
 









Dan keempat institusi tersebut harus bekerja sama dalam mainstream usaha kolektif (‘amal jamā’ī) dan dalam rangka merealisasikan sabda Rasulullah n, “Tangan Allah ber-sama jama’ah (yang berjuang secara kolektifitas)”.[36]
Kedelapan, evaluasi pendidikan.
Dalam persfektif al-Kilani, evaluasi pendidikan merupakan sebuah keniscayaan, dimana ia menyatakan, bahwa manakala eksperimen ishlāh untuk mengentaskan kemun-duran umat mengalami kegagalan, maka yang semestinya dilakukan adalah melakukan evaluasi (murāja’ah) terhadap aspek pendidikan secara integral (syāmilah), parsialistik atau spesialisasi (juz’iyyah), transparan (sharīhah) dan efektif (fā’ilah), sehingga diharap-kan akan membuahkan adanya sebuah evaluasi ulang (i’ādah al-nazhar) untuk mengkri-tisi seluruh warisan pemikiran dan budaya, selain teks-teks al-Qur’an dan hadits yang shahih. Juga dengan mengevaluasi ulang seluruh proses pendidikan, dimulai dari falsafah pendidikan, kemudian dengan mencermati sasaran (ahdāf), kurikulum (manhaj), metode (tharīqah), institusi (mu’assasah), manajemen (idārah) dan guru (murabbī) yang berperan aktif di dalamnya, hingga realisasi dan aktualisasinya nyatanya dalam ranah politik, sosial dan pemerintahan.[37]



[1] Termaktub di cover judul bagian dalam dari kitab Ahdāf al-Tarbiyah al-Islāmiyyah, data hingga tahun 1997.
[2] al-Kīlānī, Ahdāf al-Tarbiyah al-Islāmiyyah fī Tarbiyah al-Fard wa Ikhrāj al-Ummah wa Tanmiyah al-Ukhuwwah al-Insāniyyah, Virginia: The International Institute of Islamic Thought, 1998, hlm. 25.
[3] Lihat: Ibid., hlm. 53.
[4] Lihat: al-Kīlānī, Falsafah al-Tarbiyah al-Islāmiyyah: Dirāsah Muqāranah baina Falsafah al-Tarbiyah al-Islāmiyyah wa al-Falsafāt al-Tarbawiyyah al-Mu’āshirah, Mekkah: Maktabah al-Manārah, 1987, hlm. 13.
[5] Termaktub dalam cover judulnya.
[6] Lihat: al-Kīlānī, al-Fikr al-Tarbawī ‘inda Ibn Taimiyyah, Madinah: Maktabah Dār al-Turāts, 1986, hlm. 229-245.
[7] Buku tersebut telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul “Misteri Masa Kelam Islam dan Kemenangan Perang Salib: Refleksi 50 Tahun Gerakan Dakwah Para Ulama untuk Membang-kitkan Umat dan Merebut Palestina”, diterjemahkan oleh Asep Sobari, Lc. dan Amaluddin, Lc., M.A., Bekasi: Kalam Aulia Mediatama, 2007.
[8] al-Kīlānī, Hakadzā Zhahara Jīl Shalāh al-Dīn, hlm. 27.
[9] Lihat: Ibid., hlm. 335-412.
[10] Mahmud Arif, Pendidikan Islam Transformatif, Yogyakarta: PT. LKiS Pelangi Aksara, 2008, hlm. 13.
[11] Yaitu QS. al-Baqarah (2) ayat 129 dan 151, Ali ‘Imran (3) ayat 164 dan al-Jumu’ah (62) ayat 2.
[12] Lihat: Maksum, Madrasah Sejarah dan Perkembangannya, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999, hlm. 46-48.
[13] Ibid., hlm. 64-65.
[14] Karya lain al-Kilani tentang pendidikan yang sebenarnya “cukup penting”, namun belum sempat penulis telusuri keberadaannya dan elaborasi isi kajiannya adalah:
·   al-Tarbiyah wa al-Wa’y wa al-Tajdīd (Pendidikan, Kesadaran dan Pembaruan).
·   Ittijāhāt Mu’āshirah fī al-Tarbiyah al-Akhlāqiyyah (Aliran Pendidikan Moral Kontemporer).
·   al-Tarbiyah al-Islāmiyyah baina al-Fiqh wa al-‘Urfī wa al-Sunanī (Pendidikan Islam dalam Konsep Fikih, Tradisionalis dan Fenomenologis).
[15] Abuddin Nata, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Gaya Media Pratama, 2005, hlm. 29-207.
[16] Ahmad Syar’i, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2005, hlm. 9.
[17] Lihat: Nata, Ilmu Pendidikan Islam Dengan Pendekatan Multidisipliner, Jakarta: Rajawali Press, 2009, hlm. 24.
[18] Lihat: Samsul Nizar, Dasar-Dasar Pemikiran Pendidikan Islam, Jakarta: Gaya Media Pratama, 2001, hlm. 32-34; dan A. Susanto, Pemikiran Pendidikan Islam, Jakarta: Penerbit Amzah, 2009, hlm. 7-9.
[19] Lihat: Mastuhu, Menata Ulang Sistem Pendidikan Nasional dalam Abad 21, Jakarta: Safiria Insania Press, 2003, hlm. 66.
[20] Lihat: al-Kīlānī, Falsafah al-Tarbiyah al-Islāmiyyah, hlm. 14-21.
[21] Ibid., hlm. 75. Adapun rincian detailnya, lihat hlm. 77-229.
[22] Ibid., hlm. 84.
[23] Ibid., hlm. 76.
[24] al-Kīlānī, Falsafah al-Tarbiyah al-Islāmiyyah, hlm. 291.                                 
[25] Lihat: Maksum, Madrasah Sejarah dan Perkembangannya, hlm. 29.
[26] al-Kīlānī, Falsafah al-Tarbiyah al-Islāmiyyah, hlm. 64.                                   
[27] Ibid.
[28] al-Kīlānī, Ahdāf al-Tarbiyah al-Islāmiyyah, hlm. 33.
[29] Lihat: Ahdāf al-Tarbiyah al-Islāmiyyah, hlm. 53.
[30] al-Kīlānī, Falsafah al-Tarbiyah al-Islāmiyyah, hlm. 291.                                 
[31] Lihat: Ibid., hlm. 17-21.
[32] Ibid., hlm. 16.
[33] Ibid., hlm. 284.
[34] Ahdāf al-Tarbiyah al-Islāmiyyah, hlm. 561.
[35] Ibid.
[36] Ibid., hlm. 562.
[37] al-Kīlānī, Hakadzā Zhahara Jīl Shalāh al-Dīn, hlm. 340.

1 komentar:

Please Uktub Your Ro'yi Here...