Senin, 17 Desember 2012

Suara dari Kampung Adat

Oleh : Abdurrahman MBP*


Gonjang-ganjing pemilihan gubernur Jawa Barat semakin terasa di berbagai tempat di penjuru Jawa Barat, dari mulai wilayah Banjar di timur hingga wilayah Sukabumi di barat, dari mulai wilayah perkotaan hingga pedesaan, bahkan telah juga sampai ke kawasan-kawasan perkampungan adat dan budaya. Berbagai poster bakal calon gubernur menyebar bak cendawan di musim hujan, tidak hanya di tiang-tiang listrik kota-kota besar namun juga di pohon-pohon pinggir jalan di seluruh pelosok Jawa Barat. Demikian juga ia ada di wilayah-wilayah yang menjadi tempat tinggal komunitas adat. Jika poster tersebut tidak boleh masuk ke kampung adat, maka tim sukses dari berbagai calon pasangan akan melobi setiap kepala adat (kuncen) agar sang bakal calon gubernur bisa masuk dan sowan ke kampung adat.
Tradisi mendatangi kampung adat menjadi ritual baru bagi para calon pasangan gubernur, tentu saja kita harus ber-husnudzan bahwa kehadiran mereka adalah untuk mengenalkan diri dan menyerap aspirasi masyarakat adat. Namun apa jadinya jika ternyata kehadiran mereka hanya sebatas kampanye dan mendekat untuk dikenal? Masyarakat adat saat ini bukanlah masyarakat yang dengan mudah bisa dibohongi dengan janji-janji politik, apalagi mudah didekati dengan hanya memakai iket atau baju kampret. Seharusnya memang setiap bakal calon gubernur yang mendatangi kampung adat benar-benar berusaha untuk menyerap aspirasi dari masyarakat adat, namun kenyataannya adalah justru hingga saat ini kampung adat hanya menjadi “barang dagangan” yang dijual tanpa memperhatikan apa sebenarnya yang mereka inginkan.
Masyarakat adat adalah masyarakat sederhana yang tidak ambil pusing dengan hiruk-pikuk-nya pemilihan gubernur. Mereka hanya mengharapkan agar para pemimpin tersebut bisa memperhatikan keadaan mereka. Tentu saja bukan hanya ketika menjelang masa pemilihan tiba, namun juga setelah mereka menjabat menjadi seorang gubernur. Realitas yang ada adalah bahwa saat ini kampung adat di Jawa Barat, hanya menjadi obyek yang menjadi sumber penghasilan pemerintah daerah. Sementara kesejahteraan dan keberlangsungan kehidupan mereka seringkali tidak diperhatikan.
Sebagai contoh, masyarakat Kampung Naga di Tasikmalaya, betapa kesejahteraan yang mereka dambakan tidak pernah menjadi kenyataan. Padahal sudah berapa banyak para bakal calon yang sebelum menjabat mendatangi mereka dan memberikan janji-janji namun ternyata hingga saat ini tidak pernah terealisasi. Tetap saja kehidupan ekonomi mereka tidak berubah, yang lebih menyakitkan lagi adalah mereka menjadi sapi perah bagi pemerintah daerah dalam hal ini mereka menjadi tontonan bagi para pengunjung. Satu hal yang sangat menyakitkan, tidak jauh berbeda dengan program-program TV yang menjual sebuah “kemiskinan”. Hal ini juga terjadi di Kampung Pulo, Leles, Garut, bagaimana ternyata warga Kampung Pulo sangat sedikit sekali memperoleh manfaat dari kampung mereka sendiri yang menjadi “tontonan” para pengunjung. Di Kampung urug Bogor-pun setali tiga uang, kampung mereka yang dijadikan sebagai obyek wisata ternyata tidak memberikan peningkatan ekonomi dan kesejahteraan mereka, yang terjadi adalah keuntungan yang hanya diperoleh pemerintah setempat. Bagaimana dengan kampung adat lainnya di Jawa Barat? Lihatlah bagaimana masyarakat Kampung Dukuh, masyarakat Kampung Kuta, masyarakat Kampung Mahmud, masyarakat Kasepuhan Cipta Gelar dan masyarakat adat lainnya juga menginginkan satu hal yang sama. Mereka menginginkan agar calon-calon gubernur itu mengujungi mereka dan menyerap aspirasi dari mereka bukan hanya ketika mereka mencalonkan diri, namun akan sangat elegan ketika kehadiran mereka adalah sebagai bentuk perhatian dan pemenuhan terhadap masyarakat adat. 
Jika memang bakal calon gubernur Jawa Barat mau berkunjung ke kampung adat, maka sudah selayaknya kehadiran mereka bukan sekadar “mencari restu” dari para sesepuh kampung adat tersebut, melainkan lebih mulia dari semua itu yaitu benar-benar menyerap aspirasi dari masyarakat adat. Sehingga kehadiran mereka bukan hanya ketika mereka akan menjadi gubernur, melainkan menjadi satu kesadaran bahwa kampung adat adalah bagian dari anak bangsa yang juga memiliki hak untuk mendapatkan kehidupan yang layak, baik dari segi ekonomi ataupun dari segi perlindungan terhadap kebudayaan mereka. Semoga gubernur Jawa barat ke depan bisa memperhatikan dan memenuhi aspirasi masyarakat kampung adat ini...


* Mahasiswa S3 Hukum Islam Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati Bandung dan Peminat Kebudayaan Sunda dan Kampung Adat Jawa barat. 
Makalah ini dimuat di koran Pikiran Rakyat Kamis (manis) 13 Desember 2012 kolom Opini 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Please Uktub Your Ro'yi Here...