Senin, 19 Agustus 2013

Kaidah Fiqhiyyah : Kesulitan VS Kemudahan

Oleh: Abdurrahman MBP

اَلْمَشَقَّةُ تَجْلِيبُ التَّيسِيْر
Adanya kesulitan menyebabkan munculnya kemudahan

Definisi:
Kaidah ini terdiri dari tiga kata yaitu المشقة (al-Masyaqqah),  تجلب(tajlibu) dan التيسير (at-Taysir). Kata al-Masyaqqah adalah bentuk masdar dari شقَ yang bermakna ash-sha’ubah, al-‘ana’ dan al-ta’ab artinya adalah kesulitan, kesukaran, kepayahan dan kelelahan. Bentuk jama’-nya adalah al-masyaq dan al-masyaqqat.[1] Hal ini sebagaimana firman Allah ta’ala:
وَتَحْمِلُ أَثْقَالَكُمْ إِلَىٰ بَلَدٍۢ لَّمْ تَكُونُوا۟ بَٰلِغِيهِ إِلَّا بِشِقِّ ٱلْأَنفُسِ ۚ إِنَّ رَبَّكُمْ لَرَءُوفٌۭ رَّحِيمٌۭ
Dan ia memikul beban-bebanmu ke suatu negeri yang kamu tidak sanggup sampai kepadanya, melainkan dengan kesukaran-kesukaran (yang memayahkan) diri. Sesungguhnya Tuhanmu benar-benar Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. QS. An-Nahl: 7.
Kata تجلب tajlib adalah kata kerja bentuk mudhari’ (sedang dan akan terjadi) dari fiil madhi جلب yang bermakna جاء به و أحضره yaitu mendatangkan, dan menghadirkan.
Sedangkan kata التيسير  at-taysir yaitu as-shuhulah wa al-layyunah[2] yang berarti mudah dan lunak. Sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadits Rasulullah bersabda:
ﺍﻟﺪﻴﻦ ﻴﺴﺮ ﺍﺤﺐ ﺍﻟﺪﻴﻦ ﺍﻠﻰ ﺍﷲ ﺍﻟﺤﻧﻔﻴﺔ ﺍﻠﺴﻤﺤﺔ
Agama itu memudahkan, agama yang disenangi Allah adalah agama yang benar dan mudah. HR. Bukhari.
Secara umum kaidah ini dapat diartikan dengan kesukaran dan kepayahan menjadi sebab bagi adanya kemudahan. Maksudnya adalah bahwa hukum-hukum yang dalam penerapannya menimbulkan kesulitan dan kesukaran bagi mukkallaf (subjek hukum), sehingga syariah meringankannya sehingga mukkallaf mampu melaksanakannya tanpa kesulitan dan kesukaran.
Sumber Hukum:
1.    Al-Qur’an
Ayat-ayat al-Qur’an yang menjadi dasar bagi kaidah ini adalah firman Allah ta’ala:
يُرِيدُ ٱللَّهُ بِكُمُ ٱلْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ ٱلْعُسْرَ
Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu Q.S. al-Baqarah: 185.
Menurut Jalal ad-Din as-Suyuti, ayat ini merupakan dalil utama bagi kaidah al-masyaqqah tajlib at-Taysir.[3]
وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِى ٱلدِّينِ مِنْ حَرَجٍۢ
…dan Dia sekali-kali tidak menjadikan agama itu untuk kamu suatu kesempitan. QS. al-Hajj: 78.
لَا يُكَلِّفُ ٱللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا
Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. QS. al-Baqarah: 286.
يُرِيدُ ٱللَّهُ أَن يُخَفِّفَ عَنكُمْ ۚ وَخُلِقَ ٱلْإِنسَٰنُ ضَعِيفًۭا
Allah hendak memberi keringanan kepadamu karena manusia diciptakan bersifat lemah. QS. An-Nisaa: 28.
Berdasarkan ayat-ayat dalam Al-Qur’an tersebut maka Allah ta’ala tidak menginginkan kesukaran kepada umat ini, sebaliknya mereka diperintahkan untuk melakukan sesuatu sesuai dengan kemampuan mereka masing-masing. Syariat Islam diturunkan bukan untuk menyulitkan hamba-hambaNya. Kewajiban syariat bukanlah suatu kewajiban yang kaku, tidak memiliki toleransi. Namun kewajiban yang disesuaikan dengan keadaan dan kondisi seorang mukallaf. Banyak sekali rukshah (keringanan) dalam agama Islam. Kewajiban zakat, haji, puasa dll, hanya diperuntukkah bagi orang yang mampu dan memenuhi syarat. Orang sakit diberi keringanan untuk sholat duduk, dan masih banyak keringanan-keringanan lainnya.
2.    As-Sunnah
Hadits Nabi Muhammad Shalallahu Alaihi Wasalam yang menunjukan dasar bagi kaidah ini sangat banyak, diantaranya adalah Rasulullah Shalallahu Alaihi Wasalam bersabda:
إِنَّ الدِّينَ يُسْرٌ
Sesungguhnya agama Islam itu mudah. HR. Bukhari.[4]
يَسِّرُوا وَلَا تُعَسِّرُوا وَبَشِّرُوا وَلَا تُنَفِّرُوا
Mudahkan dan jangan mempersulit, berikan kabar gembira dan jangan membuat manusia lari. HR. Bukhari.
لَيْسَ مِنْ الْبِرِّ الصَّوْمُ فِي السَّفَرِ
Bukanlah suatu kebaikan berpuasa dalam perjalanan. HR. Ad-Darimi.
لَوْلاَ أَنْ أَشُقَّ عَلىَ أُمَّتِي َلأَمَرْتُهُمْ باِلسِّوَاكِ عِنْدَ كُلِّ وُضُوْءٍ
Kalau bukan karena akan memberatkan umatku maka akan kuperintahkan mereka untuk bersiwak setiap akan wudlu. HR. Bukhori dan Muslim
Nash-nash sunnah di atas merupakan petunjuk bahwa Islam menginginkan kemudahan dan mengangkat kesulitan dari umatnya. Ada tiga hal yang yang dapat dipetik dari hadits-hadits di atas.[5]
a.       Bahwa Islam memberi kemudahan dan mengangkat kesulitan bagi umatnya
b.      Adanya perintah Rasulullah untuk memberi keringanan dan melarang orang untuk berlebih-lebihan dalam ibadah.
c.       Rasulullah meninggalkan sesuatu bentuk ketaqarruban karena khawatir akan menjadi kewajiban yang menyusahkan umatnya.
3.    Ijma’.
Imam Syatibi mencatat dalam Kitab Muwafaqat bahwa sudah menjadi ijma’ (kesepakatan) tidak adanya bentuk syaq (kesusahan) dalam taklif syariat.


[1] Ahmad Warson Munawwir, al-Munawwir Kamus Indonesia, cet. 14 (Surabaya:Penerbit Pustaka Progressif, 1997) hal. 733
[2] Dr. Shalih Ibn Ghanim as-Sadlan, Al-Qawaid Al-Fiqhiyyah al-Kubra, (Riyadh: Dar al-Balansiyyah, 1417 H) hal. 219
[3] Dr. Shalih Ibn Ghanim as-Sadlan, al-Qawaid al-Fiqhiyyah al-Kubra, (Riyadh: Dar al-Balansiyyah, 1417 H) hal. 221.
[4] Ibid. hal. 224
[5] Shalih Ibn Ghanim as-Sadlan, al-Qawaid al-Fiqhiyyah al-Kubra, (Riyadh: Dar al-Balansiyyah, 1417 H) hal. 227-228

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Please Uktub Your Ro'yi Here...