Senin, 26 Agustus 2013

Tersesat di Rimba Baduy 2

Oleh: Abdurrahman


Ciboleger adalah awal perjalanan nekat saya ke rimba Baduy, dengan menggunakan kaos dan celana selutut ditemani tas punggung yang berisi pakaian untuk ganti akhirnya saya melangkah seorang diri ke dalam rimba Baduy. Jangankan makanan air minumpun saya tidak bawa hanya modal nekat dan yakin pasti akan sampai ke pedalaman Baduy. Akhirnya sekita pukul 07.30 saya berjalan menyusuri jalan setapak yang kiri-kananya ditumbuhi pohon-pohon besar. Di kejauhan tampak pegunungan Kendeng yang seolah-olah menyeringai siap menyambut para petualang nekat seperti saya. Suara-suara burung di kejauhan memberikan suasana hening, sesekali terdengar suara burung gagak di pucuk-pucuk pohon di ketinggian. Memasuki rimba Baduy sesekali saya berpapasan dengan suku Baduy yang membawa hasil kebunnya, seperti durian, pisang, gula aren dan lain-lain. Pada tebing-tebing tinggi tampak beberapa anggota suku Baduy sedang memanen padi.
Saya melirik ke Hp saya, jam menunjukan pukul 10.30 ketika jalan yang saya tempuh menanjak dengan kemiringan hingga 750 benar-benar tanjakan yang sangat melelahkan. Ini tanjakan maut yang pernah diceritakan oleh seorang teman ketika saya akan pergi ke sini. Tanjakan Pagelaran adalah sebuah tanjakan dengan panjang mencapai 2 KM berupa tanah liat dan sedikit bebatuan yang terbawa air ketika turun hujan. Pada tanjakan inilah biasanya para pendaki akan menyerah nan kalaupun bisa naik ke atas harus mengeluarkan energy lebih. Itulah kenapa rute ini jarang digunakan oleh masyarakat. Dengan keringat bercucuran saya mencoba untuk terus kuat sedikit-demi sedikit, tenggorokan sudah terasa kering dari tadi namun tidak ada stok air minum. Terpaksa saya harus menelan ludah banyak-banyak agar rasa haus ini tidak menghabiskan energy untuk menaklukan Baduy. Saya sempat mengambil photo di bawah pohon besar di tengah-tengah tanjakan tersebut. pemandangannya cuku eksotik dengan jurang dengan sebelah kiri yang seolah-olah siap menelan siapa saja yang terperosok ke dalamnya. Tidak ada manusia satupun yang lewat, bahkan suara dari kejauhanpun tidak terdengar sama sekali. Sepi… hanya suara angin yang berhembus di antara sela-sela pepohonan yang berdaun lebat.
Perjalanan dilanjutkan dengan menuruni sebuah bukit kecil, permukaan tanah berupa tanah merah yang terkena air hujan menjadikannya licin sehingga memaksa saya untuk membuka alas kaki. Dari kejauhan mulai terdengar suara gemericik air mengalir, tidak salah dugaan saya sebuah sungai kecil dengan air beningnya mengalir di antara pohon-pohon besar di tepi-tepinya. Tanpa berfikir mengandung kuman atau tidak saya segera menceburkan diri ke sungai kecil itu, dengan kedua tangan yang ditangkupkan saya mengambil air tersebut untuk mengobati keringnya tenggorokan yang sedari tadi sudah melolong minta diairi. Setelah merasa kenyang saya mengelonjorkan kaki saya pada sebuah batu yang dialiri oleh air, kesegaran yang luar biasa… namun perjalanan masih jauh. Saya sempat melihat Hp ternyata waktu menunjukan pukul 12.30, ini berarti saya sudah memasuki hutan Baduy lebih dari 5 jam perjalanan. Sinyal Hp hanya sisa 1 bar dan sesekali menjadi 2 bar, kondisi kritis untuk melakukan panggilan. Setelah puas menikmati sungai kecil itu saya segera melangkah lagi menyusuri jalan setapak dengan semak belukar di sisi kiri dan kanannya.
Setelah melewati daerah lembah, saya berjalan di pinggiran huma (ladang) masyarakat Baduy yang berada di tengah hutan. Sempat beberapa kali insting saya diuji ketika melewati sebuah pertigaan dan perempatan, belok kiri, kanan atau lurus. Insting saya menunjukan bahwa untuk menuju pedalaman saya harus menuju arah timur dan selatan. Maka keputusan saya adalah mencari jalan yang mengarah ke timur atau ke selatan. Kini sinyal Hp sudah tidak tampak sama sekali, ketika mencoba untuk melakukan panggilan jawaban “no service” berulang-ulang terdengar. Ini berarti saya sudah semakin jauh masuk ke pedalaman rimba Baduy.
Kali ini insting saya diuji lagi, setelah melewati sebuah bukit kecil saya dihadapkan pada pertigaan, satu ke arah kanan yang berarti ke selatan dan yang satunya ke arah kiri yaitu ke utara. Sebenarnya insting saya mengatakan harus kea rah kanan, namun karena belum begitu yakin akhirnya saya belok ke kiri. Kurang lebih 500 meter saya mendapai sebuah tanjakan dan di ujung sana sebuah lading milik Baduy Dalam, demikian pula tampak sebuah saung (rumah jaga di huma). Tenaga saya yang sudah hampir habis memaksa saya untuk berhenti sejenak dan mencari apakah ada orang di saung tersebut. ternyata di dalam saung tersebut terdapat sebuah keluarga yang terdiri dari ayah, ibu dan dua anak laki-lakinya. Seorang anak tampak duduk pada sebuah dipan bamboo dengan tanpa mengenakan pakaian, sementara anak yang satu lagi memakai pakaian berwarna putih yang sudah berubah warna menjadi abu-abu dan tanpa celana. Sementara sang ibu memakai satu helai pakaian berwarna hitam yang digunakan untuk menutupi tubuhnya.
Setelah sedikit berbasa-basi akhirnya saya diberikan buah dukuh oleh kedua anak tersebut dengan perintah ayahnya. Walaupun watu makan siang sudah lewat namun buah dukuh yang ada saya jadikan menu makan siang saya, ditambah pula dengan pisang rebus yang disediakan oleh keluarga Baduy tersebut. sebuah menu makan siang yang tidak pernah ada tandingannya. Untuk membalas kebaikan mereka saya memberikan uang Rp 3500 untuk mereka. Jumlah yang sangat kecil namun karena persediaan keungan saya juga sangat tipis maka manurut saya jumlah tersebut cukup besar. Akhirnya perjalanan saya lanjutkan dengan kembali menyusuri jalan balik tadi.
Kini perjalanan saya benar-benar tepat berada di tengah hutan belantara, tidak tampak sama sekali perkampungan, yang ada adalah hutan hijau dan pohon-pohon yang sepertinya belum pernah di sentuh oleh manusia. Semak belukar yang berada di sisi kiri dan kanan jalan setapak menjadikan saya khawatir kalau-kalau ada binatang buas yang siap menerkam. Keadaan waktu itu benar-benar sangat memungkinkan seandainya ada binatang buas seperti harimau atau Panther menerkam orang yang sendirian lewat di jalan tersebut. saya hanya bisa berjalan dan berdoa semoga tidak terjadi sesuatu yang tidak diinginkan. Tenaga saya yang tadi pulih dengan buah dukuh dan pisang rebus kini sudah habis lagi. Seluruh tubuh terasa pegal-pegal dan telapak kaki ini juga sepertinya melepuh. Beberapa duri kecil sempat menusuk telapak kaki saya yang tanpa alas kaki sementara daun-daun dan ranting-ranting yang menimbulkan gatal di kaki dan tangan dengan seenaknya menyapa kulit saya.
Jam di Hp saya sudah menunjukan pukul 14.30 ketika saya berada di puncak sebuah bukit, pandangan saya hadapkan ke arah timur, tampak jalan setapak yang berada di tengah semak-semak berkelok-kelok di punggung bukit yang memanjang. Ini adalah akhir dari perjalanan saya. Namun ternyata kelokan itu begitu panjang sehingga tampak seperti seseorang yang menyusuri tembok China yang baru berjalan 20 KM. saya juga sudah berjalan lebih dari 6 jam sehingga ketika melihat jalan itu sepertinya sangat jauh sekali.
Dengan sisa-sisa tenaga yang saya miliki, perlahan kaki saya menyusuri jalan setapak tersebut.  Membutuhkan waktu kurang lebih 1,5 jam untuk mencapi akhir dari jalan tersebut. Perjalanan belum berakhir, di akhir jalan setapak tersebut kini terbentang hutan lebat yang ditumbuhi pohon-pohon besar dan pohon enau. Jalan setapak yang tadi kering kini terasa becek dengan air di sana-sini. Perjalanan menembus rimba lebat unruk menuju perkampungan Baduy dalam kurang lebih 1 jam lagi. Kini sinyal Hp benar-benar sudah tidak ada, suasana-pun tampak semakin gelap dengan sinar matahari yang tidak sampai menembus kelebatan hutan tersebut. pada jalan setapak itu tampak beberapa bekas kaki suku Baduy yang keluar kampung untuk keperluan sesuatu.
Akhirnya setelah menmpuh jarak kurang lebih 9 jam saya sampai ke perkampungan terdalam suku Baduy. Sebuah jembatan terbuat dari bamboo diikat dengan tali injuk warna hitam menjadi pintu gerbang untuk memasuki kampung Cikeusik Baduy Dalam. Kini di depan mata berjajar rapi rumah-rumah dengan panggung tinggi. Beberapa wanita tampak asyik mandi di sebelah timur jembatan sementara anak-anak kecil berlarian di sekitar kampung. Semua dari mereka menggunakan pakaian warna hitam dan putih, tidak ada warna pada pakaian mereka sebagaimana tidak ada cat pada rumah mereka. bahkan sebatang paku-pun tidak digunakan dalam pembangunan rumah tersebut. 
Perlahan saya memasuki kampung dan duduk di sekitar para lelaki yang sedang menunggu kampung. Mereka semua berpakaian warna putih dan ikat kepaa putih. Seperti saya telah kembali ke zaman Pajajaran di mana masyarakat menggunakan pakaian blacu dan tidak ada tekhnologi di sini. Jangankan ember, sebatang korek api-pun tidak ada sebagaimana tidak ada jam di kampung ini. Semuanya kembali ke masa lalu dan say asedang berada di antara mereka. sekelompok masyarakat yang mengubur diri secara bersama-sama dan tidak mau dipengaruhi dan dimasuki tekhnologi. Sampai kapankah mereka akan bertahan dengan keadaan ini? Yang pasti perjalanan saya kali ini benar-benar memberikan sebuah pengalaman hidup luar biasa, menembus rimba baduy, tersesat di dalamnya dan akhirnya menemukan suku terasing yang menolak secara tegas segala bentuk modernisasi. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Please Uktub Your Ro'yi Here...