Sabtu, 12 Oktober 2013

Kampung Naga yang saya tahu....

Oleh: Muhammad Alifuddin

Tidak banyak yang saya ketahui tentang Kampung Naga, kecuali bahwa masyarakat kampung  tersebut adalah komunitas muslim yang dalam banyak hal masih mempertahankan cara dan pola hidup di atas landasan kearifan lokal. Hidup dan tinggal di antara tebing dengan pola tradisi masa lalu memang merupakan satu tantangan tersendiri bagi masyarakat Naga. Dan karena cara serta pola hidup yang demikian, kemudian membuat banyak orang penasaran dan berupaya untuk tahu tentang kehidupan orang Kampung Naga, dari yang hanya sekedar untuk tahu, hingga mereka yang ingin tahu secara mendalam sekaligus masuk ke dalam relung-relung kehidupan orang Kampung   Naga. Saya termasuk dari kelompok yang kedua,  rasa penasaran,  kemudian merangsan adrenalin saya untuk mencoba tahu “sedikit” tetapi mendalam tentang cara berpikir dan bagaimana orang Kampung Naga memaknai disain arsitektur, khususnya dalam hal yang terkait dengan rancang bangun atau disain  arsitektur rumah yang ada wilayah ini.  Beranjak dari latar pemikiran tersebut, maka melalui studi ini akan dibuktikan bahwa disain arsitektur orang Kampung Naga merupakan refleksi dari pandangan hidup mereka yang memiliki kaitan dengan konsep kepercayaan dan kosmologi masyarakat setempat. 
Ketertarikan saya terhadap tema di atas selain didorong oleh keunikan disain rumah di Kampung Naga yang berbeda dengan rumah pada umumnya, juga dilatari oleh asumsi, bahwa telaah antropologis terhadap arsitektur akan membawa kita kepada sebuah dunia yang baru dan memiliki perbedaan jika masalah tersebut dikaji dari sudut pandang arsitektur berbasis ilmu keteknikan.Dalam hal ini, Rahadea Bhaswara menyebutkan bahwa; membicarakan arsitektur dari jendela antropologi adalah salah satu cara untuk melihat arsitektur dari orbit luarnya. Dengan meminjam jendela antropologi kita akan melihat arsitektur sebagai sebuah proses kebudayaan yang utuh. Lebih lanjut Bhaswara menyebutkan bahwa; gejala dan wujud kebudayaan dalam arsitektur merupakan indikasi yang semakin mendekatkan arsitektur dengan proses terciptanya kebudayaan. (Bhaswara: 2008)
Tesis Bhaswara bukan tanpa alasan, karena sebagaimana yang disebutkan oleh J.J. Honingmann; terdapat tiga gejala kebudayaan, yaitu ideas, activities dan artefacts (Honingmann dalam Koentjaraningrat: 2005, h.74). Koentjaraningrat sendiri menawarkan empat wujud kebudayaan, yaitu: kebudayaan sebagai nilai ideologis; kebudayaan sebagai sistem gagasan; kebudayaan sebagai sistem tingkah laku dan tindakan yang berpola; dan kebudayaan sebagai benda fisik (artefak) (Koentjaraningrat,2005). Lebih lanjut Koentjaraningrat menyebutkan; “karya arsitektur” sebagai sebuah produk,  merupakan wujud fisik yang secara nyata dapat dilihat, disentuh dan dirasakan kehadirannya dalam masyarakat. Wujud fisik ini, baik dalam skala bangunan tunggal maupun sebuah lingkungan buatan, dapat dipahami sebagai sebuah artefak.Sebuah “karya arsitektur” mengkomunikasikan kondisi masyarakat di mana artefak tersebut berada.Artefak merupakan wujud akhir yang timbul akibat adanya gagasan dan tindakan dalam suatu kebudayaan, wujud fisik.Kebudayaan dalam wujud fisik merupakan bagian terluar dari lingkaran konsentris kerangka kebudayaan (Koentjaraningrat, 2005).
Oleh karena itu, banyak telaah dan penelitian menunjukkan bahwa pembentukan arsitektur  sebuah bangunan dideterminasi oleh faktor-faktor, geografis, iklim, dan budaya lokal,  demikian pula dengan keyakinan yang dianut oleh suatu masyarakat. Hal ini bisa dipahami, karena memang faktor-faktor tersebut  tampak lebih langsung dan kasat mata serta bersifat umum dan berlaku pula bagi pembentukan fungsi-fungsi arsitektur yang lain (Barliana: 2008).  Oleh karena itu,  perkembangan arsitektur tidak  dapat dilepaskan  dari pengaruh bentuk dan konsep yang tumbuh lebih dahulu. Dengan demikian pengembangan dan percampuran bentuk dari tempat dan  zaman berbeda adalah hal yang lazim. Arsitektur Islam khususnya masjid,  juga mengalami perkembangan yang cukup kompleks, karena kecenderungan masuknya budaya daerah (vernacularisme) sangat sulit untuk dihindari. Hal ini disebabkan oleh kenyataan menunjukkan, bahwa sebelum Islam menapaki Nusantara, negeri ini (Indonesia) sudah memiliki corak kebudayaan lokal yang antara lain dipengaruhi oleh Hindu dan Budha. bercampurnya dua (lebih) kebudayaan karena percampuran bangsa-bangsa dan saling mempengaruhi), yang melahirkan kebudayaan baru yaitu Islam dalam bingkai budaya lokal.Masuknya Islam tersebut tidak berarti kebudayaan Hindu dan Budha hilang. Bentuk budaya sebagai hasil dari proses akulturasi tersebut, tidak hanya dalam wilayah keyakinan/keimanan dan sistem ritual, tetapi juga dalam hal yang terkait dengan produk kebendaan/material, seperti corak bagunan  atau arsitektur tempat tinggal.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Please Uktub Your Ro'yi Here...