Kamis, 31 Oktober 2013

Sumber Hukum Islam II

Oleh: Abdurrahman Misno Bambang Prawiro

Al-Qur'an.
Manna' Al-Qathan mengatakan dalam Mabahits Fi Ulum Al-Qur'an bahwa asal kata Al-Qur'an adalah kata  قرأ – قرائة – قرئان  (qara-a – qira-atun – qur'anan) yang bisa berarti berkumpul dan menghimpun , seperti dalam QS Al-Qiyamah ayat 17-18 :
إِنَّ عَلَيْنَا جَمْعَهُ وَقُرْءَانَهُ , فَإِذَا قَرَأْنَاهُ فَاتَّبِعْ قُرْءَانَهُ
“Sesungguhnya atas tanggungan Kamilah mengumpulkannya (di dadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya, Apabila Kami telah selesai membacakannya maka ikutilah bacaannya itu.”
Abdul Wahab Khalaf menyebutkan bahwa lafadz "al-qur'an" adalah bentuk masdar dari kata قرأ  qara-a,  seperti kata غفر ghafara bentuk mashdarnya adalah غفران   ghufraan.  Al-Qur'an adalah firman Allah ta'ala yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Shalallahu Alaihi Wassalam melalui malaikat Jibril dan membacanya termasuk ibadah.
Sementara ada yang mendefinisikannya dengan "Kalam (ucapan) Allah yang diturunkan melalui malaikat Jibril kepada qalbu (hati) Muhammad Shalallahu Alahi wa salam dengan lafadz bahasa Arab dan maknanya adalah benar, sebagai hujjah (bukti) baginya bahwa beliau adalah utusan Allah sebagai dustur bagi manusia untuk mencapai petunjuk membacanya adalah ibadah yang telah terkumpul dalam satu mushaf diawali dengan surat Al-Fatihah dan diakhiri dengan surat An-Nas telah sampai kepada kita secara mutawatir dari generasi demi generasi dan terjaga dari perubahan". Sebagaimana firmanNya : 
 إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ
“Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Quran, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya” QS Al-Hijr ayat 9.
Demikianlah, Al-Qur'an adalah sumber utama dalam setiap menetapkan suatu hukum dalam Islam, kepadanyalah semua masalah dikembalikan. 
As-Sunnah / Al-Hadits
Al-Sunnah secara bahasa  berasal dari bahasa Arab yaitu  سن – يسن – ويسن – سنا فهو مسنون و جمعه سنن و سن الأمر أى بينه    yang berarti  menerangkan.  والسنة : السيرة والطبيعة والطريقة  sunnah adalah sirah (sejarah), tabiat dan jalan. Kata ini muradif dengan kata "al-hadits" yang berasal dari kata  hadatsa  حدث yang berarti percakapan atau sesuatu yang baru. Sedangkan menurut istilah adalah :
ما صدر عن رسول الله صلى الله عليه والسلم من قول أو فعل أو تقرير
“Setiap yang datang dari Nabi Shalallahu alaihi wasalam baik berupa perkataan, perbuatan atau taqrir (sesuatu yang didiamkannya)”.  Sunnah sendiri terbagi menjadi dua yaitu sunnah qauliyah dan sunnah fi'liyah. Sunah qauliyah adalah hadits-hadits (ucapan) yang telah disampaikan oleh Nabi  dengan berbagai tujuan dan keperluan yang sesuai. Sedangkan sunnah fi'liyah yaitu amalan-amalan Nabi seperti cara-cara shalat, cara melakukan manasik haji dan yang lainnya. 
Yazid Abdul Qadir Jawwas mendefinisikan Al-Sunnah dengan “Segala sesuatu yang bersumber dari Nabi Shalallahu 'Alaihi Wassalam  dalam bentuk ucapan, amalan, taqrir dan sifat tubuh serta akhlak yang dimaksudkan dengannya sebagai tasyri' bagi umat Islam.  
Dari semua pengertian tersebut menunjukan bahwa Al-Sunnah atau al-hadits adalah setiap ucapan dan amalan Nabi Muhammad Shalallahu Alaihi Wassalam, serta suatu perkara yang didiamkankannya sebagai bentuk persetujuannya. Al-Sunnah adalah sumber hukum utama dalam Islam selain Al-Qur'an, kedudukan keduanya sama, dan tidak boleh memisahkan di antara keduanya, karena keduanya sama-sama datang dari Allah ta'ala.
Ijma'
Ijma menurut bahasa adalah العزم والإتفاق  yang berarti niat, maksud dan keinginan yang kuat serta bersepakat, sedangkan menurut istilah :
اتفاق علماء العصر على حكم الحادثة
"Kesepakatan para ulama pada suatu masa atas permasalahan-permasalahan yang baru".  Sementara menurut Salam Madkur ijma' adalah “Kesepakatan para mujtahid dari umat Islam atas hukum syara' (mengenai suatu masalah) pada suatu masa sesudah Nabi wafat. 
Abdul Wahab Khalaf mengatakan bahwa Ijma' adalah bersepakatnya seluruh ulama mujtahid dari kaum muslimin pada suatu masa setelah wafatnya Nabi pada hukum syar'i yang mereka hadapi. .
Ada ikhtilaf di kalangan para ulama berkenaan dengan ijma' ini seperti disebutkan Muhammad Salam Madkur, menurut Imam Malik bahwa ijma' yang dapat diakui adalah ijma fuqaha ulama Madinah, sedangkan menurut kalangan syiah, ijma' yang diakuinya adalah hanya ijma' dari kalahan mujtahidin Syi'ah dan menurut Imam Ahmad dan Madzhab Dzahiry yang diakui terjadi hanyalah ijma' shahabat. 
Terlepas dari perbedaan tersebut dapat disimpulkan bahwa ijma' adalah kesepakatan para ulama mujtahidin setelah wafatnya Nabi sampai akhir zaman atas suatu masalah-masalah baru yang tidak ditemukan dalilnya secara sharih.
Qiyas
Qiyas secara bahasa berarti mengukur dan menyamakan antara dua hal, baik yang konkret, seperti benda-benda yang dapat dipegang, diukur dan sebagainya, maupun benda yang abstrak seperti kebahagiaan, kepribadian dan sebagainya.  Dalam Syarh Al-Waraqat disebutkan bahwa qiyas adalah “Mengembalikan hukum furu' (cabang) kepada hukum Ushul (pokok) dengan sebab adanya ilat yang sama”.
Qiyas sendiri terbagi tiga yaitu : Qiyas 'ilat, Qiyas Dalalah dan Qiyas Syibh.  Abdul Wahab Khalaf menyebutkan “Definisi qiyas menurut pendapat ulama ushul  adalah Memutuskan sesuatu yang terjadi yang tidak ada nash hukum tentang hal tersebut dengan sesuatu yang terjadi dan telah ada nash hukumnya dan pada hukum yang sudah jelas nashnya, menyamakan dua  kejadian tersebut dengan ilat hukum yang sama. 
Abdullah bin Shalih Al-Fauzan mengatakan bahwa qiyas adalah ushul keempat dari pokok-pokok sumber hukum Islam. Kalangan Dzahiriyah menyelisihi hal ini, namun pendapat yang paling benar adalah pendapat Jumhur, yaitu dipakainya qiyas sebagai dalil hukum syar'i, jika dikatakan bahwa qiyas sebagai dalil yang bersifat dzanny, maka hal ini tidaklah tepat karena khabar ahad juga merupakan dalil yang bersifat dzani namun tetap dapat digunakan sebagai sumber hukum. 
Sementara Ahmad Hanafi  mendefinisikan qiyas dengan “Mempersamakan hukum sesuatu perkara yang belum ada kedudukan hukumnya dengan sesuatu perkara yang sudah ada ketentuan hukumnya karena adanya segi-segi persamaan alam antara keduanya yang disebut illat”. 
Pada zaman sekarang ini urgensi dari qiyas begitu banyak, mengingat semakin berkembangnya hal-hal baru yang tidak ada nash dalilnya baik dari Al-Qur'an maupun Al-Sunnah, sehingga diperlukan adanya qiyas yang dapat mengatasi semua masalah tersebut. 
Istihsan
Wahbah Al-Zuhaily berpendapat bahwa kata istihsan menurut bahasa عد الشء واعتقاده حسنا artinya adalah memilih suatu masalah yang dianggap lebih baik dari yang lainnya.  Sedangkan Abdul Wahab Khalaf mengatakan bahwa istihsan secara bahasa adalah “Memperkirakan sesuatu hukum yang dianggap terbaik”.
Sedangkan menurut istilah adalah “Tindakan mujtahid dalam menghadapi suatu masalah yang lebih mengutamakan dalil qiyas yang jaly daripada qiyas khafy, atau dari hukum yang bersifat kully (menyeluruh) kepada hukum yang bersifat pengecualian pada dalil yang diambil dalam pemikirannya yang lebih rajih dalam hal keadilan”. 
Dalam kesempatan yang lain Abdul Wahab Khalaf menyatakan bahwa makna yang lebih komprehensif tentang ihtihsan yaitu “Pindah dari suatu hukum mengenai suatu masalah kepada hukum lain (dalam memutuskan persoalan tersebut) karena ada dalil syar'i yang mengharuskan demikian. 
Ahmad Hanafi mendefinisikan istihsan dengan mengecualikan (memindahkan) hukum sesuatu peristiwa dari hukum-hukum peristiwa lain yang sejenisnya dan memberikan kepadanya hukum yang lain karena ada alasan kuat bagi pengecualian tersebut.  Dari semua definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa istihsan adalah memilih hukum yang lebih baik dengan ukuran dari sumber-sumber hukum Islam.
Maslahah Mursalah/Istishlah
Secara etimologi مصلحة maslahah sama dengan manfaat, baik dari segi lafal maupun makna. Maslahah juga berarti manfaat atau suatu pekerjaan yang mengandung manfaat.
Apabila dikatakan bahwa perdagangan itu suatu kemaslahatan dan menuntut ilmu itu suatu kemaslahatan, maka hal tersebut berarti bahwa perdagangan dan menuntut ilmu itu penyebab diperolehnya manfaat lahir dan batin. 
Menurut ulama ushul, maslahah mursalah adalah kemaslahatan (kebaikan) yang disyariatkan Allah akan tetapi tidak ditetapkan hukumnya, dan tidak ada dalil syar'i yang menetapkannya atau membatalkannya. 
Imam Al-Ghazaly mengatakan “Maslahat menurut makna asalnya berarti menarik manfaat atau menolak mudzarat (hal-hal yang merugikan). Akan tetapi bukan itu yang kami maksud sebab meraih manfaat dan menghindarkan mudzarat adalah tujuan makhluk (manusia). Kemaslahatan makhluk terletak pada tercapainya tujuan mereka. Yang kami maksud dengan kemaslahatan adalah memelihara tujuan syara' (hukum Islam). Tujuan hukum Islam yang ingin dicapai dari makhluk ada lima : yaitu memelihara agama, jiwa, akal, keturunan dan harta mereka. Setiap hukum yang mengandung tujuan memelihara kelima hal ini disebut maslahat dan setiap hal yang meniadakannya disebut mafsadat dan menolaknya disebut maslahat.” 
Hal ini senada dengan yang disampaikan oleh Imam Al-Syatibi  yang mengatakan “Setiap dasar agama (kemaslahatan) yang tidak ditunjuk oleh nash tertentu dan ia sejalan dengan tindakan syara' serta maknanya diambil dari dalil-dalil syara', maka hal itu benar, dapat dijadikan landasan hukum dan dijadikan rujukan.
Demikian itu apabila kemaslahatan tersebut (berdasarkan kumpulan beberapa dalil) dapat dipastikan kebenarannya, sebab dalil-dalil itu tidak mesti menunjukan kepastian hukum secara berdiri sendiri tanpa digabungkan dengan dalil yang lain, sebagaimana penjelasan terdahulu. Hal tersebut karena yang demikian itu nampaknya sulit terjadi.”  
Masjfuk Zuhdi mendefinisikan maslahah  dengan “Kebaikan yang tidak terikat pada dalil/ nash Al-Qur'an dan Sunnah. Para ulama membagi istislah  menjadi dua yaitu : Maslahah Mu'tabarah dan Maslahah Mursalah. Maslahah Mu'tabarah adalah kemaslahatan atau kebaikan yang memang diakui oleh Islam. Sedangkan  Maslahah Mursalah. adalah kemaslahatan yang diakui adanya karena timbul peristiwa-peristiwa baru setelah Nabi wafat. 
Nasrun Haroen menyatakan bahwa maslahah mursalah adalah “Suatu kemaslahatan yang tidak ada nash juz'i (rinci) yang mendukungnya, dan tidak ada pula yang menolaknya dan tidak ada pula ijma' yang mendukungnya, tetapi kemaslahatn ini didukung oleh sejumlah nash melalui cara Istiqra' (induksi dari sejumlah nash). 
Adapun maslahah jika dilihat dari jenisnya ada tiga macam :
Pertama Maslahah Adz-Dzaruriyat, yaitu kemaslahatan bagi manusia baik di dunia maupun di akhirat, seperti pemeliharaan dan perlindungan terhadap, agama, jiwa, akal, nasab, keturunan dan harta.
Kedua Maslahah Al-Hajiyah, yaitu kemaslahatan yang diperlukan oleh manusia untuk menghilangkan kesempitan dan kesukaran, maka apabila tidak ada kemaslahatan ini maka manusia akan merasa sempat dan susah, contohnya Allah mensyariatkan beberapa jenis muamalat semisal jual beli, sewa menyewa, serta berbagai keringanan bagi orang-orang tertentu dalam keadaan tertentu.
Ketiga Maslahah Al-Tahsiniyah, yaitu kemaslahatan yang bertujuan untuk menyempurnakan budaya dan keluhuran akhlak, seperti bersuci sebagai pra syarat sholat, Berpakaian yang bagus dan makanan yang baik, mengharamkan segala sesuatu yang khabaits dan sebagainya. 
Sebagai pedoman agar maslahat ini tidak disalahartikan, maka para ulama banyak memberikan berbagai persyaratan terkait dengan hal ini, seperti Abdul Wahab Khalaf dalam Mashadiru Al-Tasyri' Fima la Nasha fihi yang membahas secara panjang lebar tentang maslahat mursalah (istislah) ini. Beliau memberikan beberapa syarat ketika seorang mujtahid ingin menggunakan maslahah mursalah ini, di antara syarat tersebut adalah :
Pertama, penetapan maslahah harus dilakukan setelah diadakannya penyelidikan, analisa dan penelitian sehingga maslahat yang dimaksud benar-benar hakiki, bukan bayang-bayang.
Kedua : Maslahat yang dimaksud adalah maslahat hakiki, bersifat umum dan bukan maslahat yang bersifat individu.
Ketiga : Hendaknya maslahat umum itu tidak bertentangan dengan syariat yang ada nash dan ijma' ulama. 
Majelis Ulama Indonesia dalam salah satu fatwanya memberikan batasan maslahat dengan “Maslahat yang dibenarkan oleh syariat adalah maslahat yang tidak bertentangan dengan nash. Oleh karena itu, maslahat tidak boleh bertentangan dengan nash”. 
Dari semua pembahasan sebelumnya dapat disimpulkan bahwa metode maslahah mursalah atau istislah adalah sebuah metode untuk menetapkan sebuah hukum dengan berdasarkan kepada kemaslahatan yang dapat dirasakan oleh seluruh manusia, dan sebagai sarana untuk menolak kemudharatan yang ditimbulkan ketika maslahat ini tidak ditegakkan, selain itu ruang lingkup maslahat adalah ketika tidak ada dalil yang sharih yang menjadi sumber hukum atas suatu masalah yang sedang dihadapi.
Maslahat ini bukanlah hanya untuk kepentingan individu atau hanya segelintir orang saja, akan tetapi manfaatnya benar-benar diperlukan oleh umat manusia.       
'Urf
Istilah urfالعرف   (Al-'Urf ) secara bahasa adalah mengetahui, kemudian dipakai dalam arti sesuatu yang diketahui, dikenal, dianggap baik dan diterima oleh pikiran sehat, sebagaimana firmanNya :
خُذِ الْعَفْوَ وَأْمُرْ بِالْعُرْفِ وَأَعْرِضْ عَنِ الْجَاهِلِينَ
“Jadilah engkau pema'af dan suruhlah orang mengerjakan yang ma'ruf, serta berpalinglah dari pada orang-orang yang bodoh” QS Al-A'raf ayat 199.
'Urf biasa diterjemahkan dengan adat atau kebiasaan sebuah masyarakat, Ahmad Fahmi Abu Sunnah mengatakan dalam Al-'Urf wa Al-'Adah fi Ra'yi Al-Fuqaha bahwa adat adalah “Sesuatu yang dikerjakan secara berulang-ulang tanpa adanya hubungan rasional”. 
Abdul Wahab Khalaf mengatakan bahwa 'urf adalah setiap sesuatu yang menjadi adat kebiasaan manusia dalam bertindak sesuai dengannya seperti segi perkataan, perbuatan dan cara-cara lainnya yang disebut juga adat. Pada dasarnya tidak ada perbedaan antara 'urf dan al-'adah. 'Urf atau adat terbagi menjadi dua yaitu : 'urf 'amaly misalnya jual belinya manusia tanpa menggunakan lafadz yang jelas, dan 'urf qauly misalnya memutlakkan kata walad dengan anak laki-laki. 
Jika dilihat dari segi keabsahannya maka 'urf ini terbagi menjadi dua, yaitu Al-'Urf Al-Shahih dan  Al-'Urf Al-Fasid. Al-'Urf Al-Shahih adalah kebiasaan yang berlaku di tengah-tengah masyarakat yang tidak bertentangan dengan nash (ayat atau hadits), tidak menghilangkan kemaslahatan mereka dan tidak pula membawa mudharat kepada mereka. Adapun Al-'Urf Al-Fasid adalah kebiasaan yang bertentangan dengan dalil-dalil syara' dan kaidah-kaidah dasar yang ada dalam syara'. 
Dari pemaparan tersebut dapat dipastikan bahwa 'urf yang dapat dijadikan dalil/sumber hukum adalah 'urf yang shahih, yaitu kebiasaan yang hidup di tengah masyarakat yang tidak ada nashnya secara sharih dan tidak bertentangan dengan syara'. Mengenai landasan hukum berupa 'urf (adat) para ulama sejak dulu sudah menggunakannya.  
Istishab
Secara etimologi إصتصحاب  (Istishab) berarti “Minta bersahabat” atau “Membandingkan sesuatu dan mendekatkannya”, sedangkan secara terminologi yaitu hukum pada sesuatu dengan keadaan yang telah terjadi sebelumnya, sampai adanya dalil pada perubahan keadaan tersebut, atau menjadikan sebuah hukum yang tetap pada waktu yang lampau pada sebuah keadaan hingga adanya dalil yang merubahnya. 
Imam Al-Ghazali mendefinisikannya dengan “Berpegang pada dalil akal atau syara', bukan didasarkan karena tidak mengetahui adanya dalil, tetapi setelah dilakukan pembahasan dan penelitian cermat, diketahui tidak ada dalil yang mengubah hukum yang telah ada”. 
Maksud dari istishab adalah bahwa hukum-hukum yang sudah ada pada masa lalu tetap berlaku sekarang dan yang akan datang, selama tidak ada dalil lain yang mengubah hukum itu. 
Syar'u man Qablana
Syariat sebelum kita yaitu syariat umat-umat terdahulu yang dibenarkan oleh Islam dengan ditetapkannya dalil-dalil baik dalam Al-Qur'an maupun Al-Sunnah sebagai sebuah amalan.   Misalnya syariat puasa, sebagaimana disebutkan dalam firmanNya :
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِن قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
"Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa". QS Al-Baqarah ayat 183.
Para ahli tafsir menyatakan bahwa shaum atau puasa adalah sebuah ibadah yang telah diwajibkan sebelum Islam datang, hanya saja tata caranya yang sedikit berbeda.
Dari sini dapat disimpulkan bahwa Syar'u man Qablana itu diakui ketika ada nash yang menguatkannya dan tidak ada ayat yang menghapuskannya. 
Manhaj Shahabat Nabi
Setelah wafatnya Rasulullah, sangat diperlukan fatwa bagi kaum muslimin dan penetapan hukum bagi mereka dari kalangan shahabat Nabi yang telah diketahui dengan pemahaman mereka tentang fiqh, ilmu dan lamanya mereka bersama Nabi serta pemahaman mereka terhadap Al-Qur'an serta hukum-hukumnya, maka banyak muncul fatwa-fatwa yang bermacam-macam pada berbagai permasalahan. 
Hal inilah yang mendasari pendapat bahwa manhaj shahabat dapat dijadikan dalil hukum, karena ketika seorang shahabat Nabi berkata atau beramal, tentu ia mendengarnya langsung dari Nabi.  
Demikianlah sumber dan dalil hukum dalam Islam. Secara hirarki setiap permasalahan haruslah dicarikan hukumnya dari Al-Qur'an dan Al-Sunnah. Jika tidak ada maka beralih ke dalil-dalil hukum Islam seperti Ijma, Qiyas, istihsan, maslahat mursalah, 'urf, pendapat shahabat, istishab, sad al-dzara'i dan syar'u man qablana. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Please Uktub Your Ro'yi Here...