Selasa, 26 Juni 2012

Kepala Negara dan Mashlahat


Kepala negara adalah sosok pemimpin tertinggi dalam sebuah negara yang berdaulat, ia menjadi tempat bagi rakyat untuk mengadukan semua permasalahan yang mereka hadapi. Dengan adanya kepala Negara diharapkan hak-hak warga Negara dapat terpenuhi sehingga mereka akan merasakan kehidupan yang aman dan sejahtera. Inilah salah satu dari fungsi pemimpin yaitu memberikan pelayanan dan perlindungan kepada rakyatnya. Jika demikian maka kehadiran seorang pemimpin apakah itu presiden, perdana menteri, khalifah, amirul mukminin ataupun raja adalah sangat penting dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Hal ini berlaku pula dalam Islam, di mana Islam memandang bahwa keberadaan seorang kepala negara menjadi sebuah kewajiban untuk ditegakkan. Ia berfungsi sebagai pelaksana hukum-hukum Allah sekaligus mengayomi seluruh kepentingan masyarakat.
Islam sebagai agama yang komprehensif telah mengatur seluruh sendi kehidupan manusia, tidak hanya dalam masalah individual namun juga masalah kenegaraan telah diatur oleh Islam. Dalam masalah pemilihan kepala Negara Islam mengaturnya, walaupun Al-Qur’an dan Al-Hadits tidak memberikan secara tekstual mekanisme pemilihan tersebut, namun secara implisit ia telah diatur dalam fiqh Islam. Konsep pemilihan kepala negara dalam Islam tidak spesifik disebutkan mekanismenya yang baku, namun dari praktek yang telah disepakati oleh umat Islam maka bisa ditarik satu kesimpulan bahwa mekanisme pemilihan kepala negara didasarkan kepada bimbingan wahyu dan kesepakatan ijma’ para shahabat Nabi. Hal ini tampak dari proses pemilihan Abu Bakar sebagai Khalifah pertama hingga masa Khalifah Ali bin Abi Thalib. Seluruh mekanisme yang terjadi tersebut telah memberikan gambaran kepada kita bagaimana mekanisme pemilihan seorang kepala negara dalam Islam.
Berkenaan dengan urgensi pemimpin dalam Islam telah disebutkan dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Daud dari Abu Hurairah Rasulullah bersabda:
إِذَا خَرَجَ ثَلاَثَةٌ فِي سَفَرٍ فَلْيُؤَمِّرُوا أَحَدَهُمْ
Jika ada tiga orang yang mengadakan perjalanan maka hendaknya mereka menjadikan salah seorang dari mereka sebagai pemimpin.” HR. Abu Daud.
Dari hadits tersebut dapat disimpulkan bahwa jika dalam perkara bepergian (safar) saja telah diwajibkan memilih pemimpin, apalagi dalam perkara memilih pemimpin dalam tatanan kenegaraan, tentu hal ini menjadi lebih wajib lagi. Begitulah mafhum muwafaqah yang bisa ditarik dari hadits tersebut.
Ibnu Taimiyah menyatakan bahwa wilayat al-amr sebagai suatu kewajiban dan merupakan bagian terpenting dari ajaran agama bahkan agama tidak akan berdiri tanpa adanya wilayat al-amr tersebut. Atas dasar pertimbangan inilah ia menyatakan bahwa penguasa adalah bayang-bayang Allah di muka bumi. Ibnu Taimiyah menambahkan “Bahwa selama enam puluh tahun berada di bawah pemimpin yang dzalim lebih baik dari pada satu malam tanpa pemimpin”.[1]
Dalam aplikasinya umat Islam juga telah memilih Abu Bakar sebagi pengganti kepemimpinan Rasulullah tidak lama setelah beliau wafat. Demikian pula Abu Bakar telah menunjuk Umar bin Khattab untuk menggantikan kedudukannya ketika ia dalam keadaan sakit. Pemilihan dan penetapan Abu Bakar as-Siddiq sebagai khalifah dilakukan secara demokratis. Pencalonannya, dilaksanakan oleh perseorangan, yaitu Umar bin Khattab, yang ternyata disetujui oleh semua yang hadir pada saat itu. Karena Rasulullah Shalallahu Alaihi Wassalam memang tidak meninggalkan wasiat tentang siapa yang akan menggantikan beliau sebagai pemimpin setelah beliau wafat. Beliau nampaknya menyerahkan persoalan tersebut kepada kaum muslimin sendiri untuk menentukannya.
Ketika Abu Bakar sakit dan merasa kematiannya sudah dekat, ia bermusyawarah dengan para pemuka sahabat, kemudian mengangkat Umar bin Khattab sebagai penggantinya dengan maksud untuk mencegah kemungkinan terjadinya perselisihan dan perpecahan di kalangan umat Islam. Para pemuka tersebut ternyata tidak keberatan dengan pilihan khalifah Abu Bakar tersebut.
Selanjutnya setelah Khalifah Umar wafat, posisi beliau digantikan Usman bin Affan. Untuk menentukan penggantinya, Umar tidak menempuh jalan yang dilakukan Abu Bakar. Dia menunjuk enam orang sahabat dan meminta kepada mereka untuk memilih salah seorang diantaranya menjadi khalifah. Enam orang tersebut adalah Usman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Thalhah bin Ubaidillah, Zubair bin Awwam, Saad bin Abi Waqqas, dan Abdurrahman bin Auf. Keenam sahabat ini mempunyai hak memilih dan dipilih. Setelah Umar wafat, tim ini bermusyawarah dan berhasil menyepakati Usman sebagai khalifah.
Masa pemerintahan Khalifah Utsman bin Affan cukup lama sehingga menghabiskan energy khalifah. Maka muncullah gerakan oposisi yang menyebarkan fitnah mengenai khalifah dan berujung dengan pembunuhan Utsman bin Affan di rumahnya. Sementara khalifah terbunuh dan penggantinya belum ada.
Berkaitan dengan kekhalifahan Ali, pembaitan terhadapnya berlangsung dalam situasi yang penuh gonjang-ganjing. Walaupun harus digaris bawahi bahwa beliau adalah sahabat terbaik yang masih hidup pada saat itu dan paling berhak memegang kekhalifahan, sayangnya kondisinya tidak mendukung. Sayyidina Ali telah dibaiat oleh penduduk Madina, kecuali sekelompok kalangan sahabat yang menolak. Di antara yang ikut membaiat adalah kelompok pemberontak yang menentang Ustman, dan sebagian di antara mereka ikut bertanggung jawab atas darah kematian Ustman.
Periode selanjutnya model pemilihan kepala negara adalah didasarkan kepada system monarki yaitu diambil dari keturunan atau keluarga terdekatnya. System kerajaan dengan pemilihan kepala negara dari keluarga dekat terus berlanjut hingga masa-masa berikutnya bahkan pada beberapa wilayah Islam saat ini juga masih berlaku system keturunan tersebut.
Menurut Mehdi Muzaffari ia mengatakan “Agama Islam dalam bentuk asalnya, tidak menetapkan cara atau prosedur tertentu dalam memilih seorang khalifah, pengganti Rasulullah Shalallahu Alaihi Wassalam. Kenyataan ini adalah suatu opini yang dipegang oleh sejumlah (jumhur) umat Islam, dalam madzhab sunni, tak adanya sebuah nash yang memberikan intruksi tentang cara-cara pemilihan seorang pemimpin ini, menimbulkan berbagai cara dan prosedur empat khalifah Rasyidun yang secara silih berganti memimpin masyarakat Islam selama 29 tahun  (632-661 M), jelas  nampak, bahwa setiap khalifah terpilih dengan cara-cara yang berbeda ( empat cara) :
1.      Pada pemilihan khalifah pertama (Abu Bakar Sidik) yaitu dengan cara pembaiatan dari para sahabat, lalu diikuti oleh para kaum muslimin secara langsung.
2.      Dengan cara menyampaikan amanat oleh khalifah Abu Bakar kepada Umar bin khatab ra sebagai pelanjutnya sebagai khalifah yang kedua. Tetapi setelah Abu bakar wafat, Umar menyerahkan kembali kekuasaannya kepada umat Islam lalu beliau terpilih kembali melalui syura.
3.      Membentuk suatu majelis terbatas yang terdiri dari orang-orang pilihan, lalu setelah memperhatikan aspirasi umat majelis tersebut memilih satu diantara mereka Utsman bin Affan ra sebagai khalifah ketiga.
4.      Pada pemilihan yang ke empat hampir sama dengan yang ketiga yaitu pemilihan dengan cara melalui perwakilan umat dan hasil dari penjaringan opini umum yang ada memilih Ali bin Abi Thalib ra. Sebagai Khalifah ke empat dalam pemerintahan Islam.
Itulah cara pemilihan kepala negara  yang dilakukan pada masa khulafau Rasyidun, dan untuk selanjutnya dalam sejarah Islam  kita lihat untuk menentukan para pemimpin masa selanjutnya seperti pada masa Bani Umayyah, Abasiyah dan seterusnya yang paling dominan seperti sistem kerajan.
Haykal menyatakan dalam Islam tidak ada sistem baku yang harus dipegangi dalam pemilihan kepala negara. Sistem yang diterapkan Abubakar, berbeda dengan masa Khalifah Umar dan seterusnya. Apalagi sistem pemilihan masa Bani Umayah dan Bani Abbasiyah. Dengan kata lain, sistim pemilihan kepala negara dalam Islam mengalami perubahan mengikuti perkembangan situasi sosiohistoris yang mengitarinya. Al-Qur’an dan Sunnah menurut Haykal tidak merinci bagaimana seharusnya sistem pemerintahan berlaku. Oleh karenanya dalam memilih kepala negara, dengan menggunakan ijtihad yang tentu tetap berpegang teguh pada prinsip-prinsip dasar negara Islam. Kebebasan memilih kepala negara menurut Haykal mengarah pada pemilihan dengan pemilihan yang bebas dan Musyawarah. Haykal merujuk pada mekanisme pemilihan Khalifah masa Abubakar.
Selain itu kepala negara seharusnya dipilih karena posisi dan prestasi dalam Islam, bukan karena faktor keluarga, atau kekayaan. Bahkan Haykal menyebutkan, hendaknya calon kepala negara tidak mencalonkan untuk dipilih, apalagi melakukan kampanye. Seluruh umat Islam menurutnya berhak untuk dipilih karena masing-masing mempunyai kedudukan yang sama. Selanjutnya kepala negara bertanggung jawab kepada Allah, kepada dirinya, dan kepada rakyat yang membaiatnya.
Konsep pemilihan kepala negara ketika masa Khulafaurrasyidin, menurut Haykal berbeda dengan masa Bani Abbasiyah. Pertama, konsep pemikiran Arab bahwa keberadaan Abubakar dan Umar adalah manusia biasa, yang kemudian memperoleh kekuasaan dari rakyat untuk dipilih sebagai khalifah. Ketika keduanya dilantik, pidato pelantikannnya mencerminkan jabatannya sebagai kepercayaan umat. Kedua, konsep pemikiran Persia bahwa khalifah mendapatkan hak memerintah dari Allah, bukan dari manusia, maka tanggung jawab kepemimpinannya hanya kepada Allah. Pada pidato pelantikannya mereka mencerminkan klaim bahwa posisinya adalah wakil atau bayangan Tuhan dibumi. Terlihat jelas dalam pemikiran mengenai sistim pemilihan kepala negara ini, Haykal menyatakan keberpihakannya pada golongan Sunni, bahwa kepala negara hendaknya dipilih bukan karena faktor keturunan.
Pada masa-masa berikutnya para pemimpin Islam (Khalifah) sesudahnya juga meneruskan tradisi ini, yaitu memilih seorang pemimpin yang berfungsi sebagai pengayom masyarakat. Adapun jika ada penyimpangan-penyimpangan yang terjadi maka itu adalah murni kesalahan dari pemimpin tersebut. Pada dasarnya dalam konsep pemerintahan Islam, semua anggota masyarakat  harus ikut berperan serta dalam memilih khalifah. Tetapi dalam perkembangan sejarah, seiring dengan meluasnya wilayah Islam, mengumpulkan semua orang dalam satu waktu dan dalam satu tempat untuk bermusyawarah menjadi hal yang tidak mungkin. Oleh karena itu, seluruh anggota masyarakat diwajibkan untuk memilih wakil mereka dalam memilih khalifah sebagai pemimpin, wakil dari umat ini dinamakan dengan Ahlul Hal wal Aqd. Wakil-wakil rakyat ini terdiri dari utusan dari berbagai golongan masyarakat dan harus memiliki syarat-syarat yang harus dipenuhi. Syarat-syarat tersebut antara lain adil, mengenal dengan baik para calon khalifah yang akan dipilih, dan kemampuan serta kebijaksanaan mereka dalam mengambil keputusan dan menentukan siapa yang pantas untuk menjadi pemimpin umat.
Dalam musyawarah pemilihan khalifah, para anggota Ahlul Hal wal Aqd memilih khalifah dengan dengan proses yang panjang. Para wakil rakyat ini harus mencari tahu dan mengenal betul setiap calon khalifah, kemudian memilah dan memilih mana yang tepat untuk memimpin dan sesuai dengan kebutuhan negara pada waktu itu. Misalnya ketika negara mengalami masa peperangan, maka yang lebih diutamakan adalah pemimpin yang kuat dan berani, walaupun memiliki kekurangan di bidang lain. Begitu pula dalam memilih wakil, para anggota Ahlul Hal wal Aqd harus memilih wakil yang dapat mendukung dan menutupi kekurangan khalifah yang dipilih, sehingga terciptalah pemerintahan yang seimbang. Apabila terdapat beberapa calon yang mempunyai kemampuan yang sama dan dianggap pantas, barulah dilakukan pemilihan dengan jalan voting atau pengambilan keputusan dengan suara terbanyak.
Dari penjelasan di atas dapat kita lihat dalam konsep pemerintahan Islam seorang khalifah benar-benar diseleksi dan dipilih oleh orang-orang yang telah diseleksi dan dipilih oleh seluruh anggota masyarakat. Seorang khalifah dipilih oleh orang-orang yang mengenal dia, baik itu kelebihan maupun kekurangannya. Ia pun dipilih berdasarkan musyawarah dan berdasarkan kebutuhan negara pada masa Ia menjabat. Di samping itu pula seorang khalifah mempunyai seorang wakil yang dapat saling melengkapi antara satu sama lain.


[1] Juhaya S. Praja, Filsafat Hukum Islam,  Tasikmalaya : PT Lathifah Press: 2009, hlm. 92-93 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Please Uktub Your Ro'yi Here...