Senin, 11 Juni 2012

Tarekat Syattariyah Islam Aboge di Cilacap


Oleh : Abdurrahman Misno Bambang Prawiro

A.      Latar Belakang Penelitian
Teori masuknya Islam ke Indonesia terbagi menjadi tiga pendapat, pendapat pertama menyebutkan bahwa Islam masuk ke Indonesia pada tahun 675 M, pendapat ini disebutkan oleh T.W. Arnold dalam buku The Preching of Islam a History of The Propagation of The Moslem Faith, ia menjelaskan bahwa Islam datang dari Arab ke Indonesia pada tahun 1 Hijriyah atau pada Abad Ke-VII M[1]. Pendapat kedua menyebutkan bahwa Islam masuk ke Indonesia pada abad  Ke- XI M. Hal ini didasarkan pada penemuan makam panjang di daerah Leran Manyar, Gresik, yaitu makam Fatimah Binti Maimoon dan rombongannya. Pada makam itu terdapat prasasti huruf Arab Riq’ah yang berangka tahun 475 H (1082 M)[2]. Sementara pendapat ketiga menyebutkan bahwa Islam masuk ke Indonesia  pada abad  Ke- XIII M. Pendapat  ini disebutkan oleh R.A Kern, C. Snouck Hurgronje dan Schrieke.[3]
Dari tiga teori ini ada satu titik kesamaan yaitu bahwa semuanya berpendapat bahwa para penyebar Islam ke Indonesia adalah para pedagang dan tokoh-tokoh sufi. Hal ini berarti bahwa Islam yang dibawa oleh para pedagang dan tokoh-tokoh sufi memiliki corak tasawwuf yang telah berkembang di wilayah timur tengah dan India. Corak Islam seperti inilah yang kemudian mudah diterima oleh masyarakat Indonesia, di mana pada waktu itu masyarakat Indonesia telah memiliki budaya dan adat-istiadat sendiri yang dekat dengan apa yang dibawa oleh Islam berupa nilai-nilai ketasawuffan. Maka manakala Islam masuk ke Indonesia keyakinan-keyakinan dan budaya-budaya lokal tersebut merasup ke dalam tradisi Islam, sehingga terjadilah sinkretisme Islam.  
Proses pembauran (sinkretisme) antara Islam dengan budaya lokal menciptakan satu metode tersendiri dalam mencari suatu kebenaran. Sehingga pra guru sufi yang datang dari India dan orang-orang Indonesia yang menuntut ilmu di Saudi Arabia pulang dan menyebarkan tarekat ini. Metode tarekat pada komunitas sufi diterima secara terbuka oleh masyarakat yang masih memiliki pengetahuan sangat rendah tentang Islam. Dialog antara tarekat dari timur tengah dan India dengan budaya lokal melahirkan satu metode baru di bidang tasawuf yang kemudian berkembang dan diadopsi oleh beberapa komunitas Islam yang baru tumbuh di Indonesia waktu itu.
Sejak saat itu munculah berbagai aliran dan tarekat sufi di Indonesia, misalnya tarekat Naqshabandiyah, Tarekat Qadariyah, tarekat Syadziliyyah, tarekat Ismailiyyah dan Tarekat Syattariyyah. Tarekat Syattariyah adalah salah satu dari tarekat yang berkembang di Indonesia, walaupun pengikutnya tidak lebih banyak dari Tarekat Qadariyah Naqshabandiyyah namun para pengikutnya memiliki komitmen yang kuat terhadap tarekat yang mereka pegang.
Di antara komunitas Islam yang hingga saat ini masih melaksanakan tarekat ini adalah komunitas Islam Aboge di Desa Ujungmanik Kecamatan Kawunganten Kabupaten Cilacap Jawa Tengah. Di beberapa wilayah di Jawa bagian selatan Jawa komunitas ini disebut dengan Islam Pasir, komunitas ini menyebar dari mulai Kabupaten Wonosobo, Purbalingga, Purwokerto, Banyumas dan Cilacap[4]. Di antara karakteristik dari komunitas ini adalah sifatnya yang tertutup dengan anggota masyarakat lainnya. Setiap yang akan menjadi anggota harus melalui ritual khusus (Baingat).  Komunitas ini adalah salah satu dari bagian Islam Kejawen yang dalam istilah Clifford Geertz disebut Islam Abangan.[5] 
Jama’ah Islam Aboge menjalani tarekat Syattiriyyah sementara penduduk desa Ujungmanik pada umumnya adalah pengikut tarekat Qadariyyah Naqsabandiyah. Bila kita runut lebih jauh  maka dua tarekat ini memiliki suluk tersendiri yang saling berbeda antara yang satu dengan yang lainnya. Di masyarakat Ujungmanik antara santri-santri Mbah Kyai Nurkasim dan Mbah Haji Husain adalah dua kubu yang berbeda, komunitas pengikut Mbah Kyai Nurkasim yang kini dikenal dengan Islam Aboge biasa disebut Islam aliran merah, sedangkan Mbah Haji Husain para pengikut Mbah Haji Husain dikenal dengan Islam aliran putih.[6]   
Sebagaimana disebutkan di awal bahwa Komunitas Islam Aboge melaksanakan tarekat Syattariyah, tarekat ini berkembang pesat di ”wilayah-wilayah merah” yaitu wilayah di Jawa, khususnya Jawa Tengah bagian selatan dengan mayoritas Islam Abangan. Tarekat ini menjadi salah satu karakter khusus yang ada pada mereka. Secara umum tarekat yang berkembang di desa Ujungmanik adalah Tarekat Naqsabandiyyah Qadiriyyah. Maka bisa dipahami jika komunitas Islam Aboge dianggap berbeda dengan sebagian besar tokoh agama di Ujungmanik.  Tarekat Syatariyyah yang dianut oleh Komunitas Islam Aboge adalah sebuah tarekat yang muncul pertama kali di India pada abad ke-15 M. Tarekat ini dinisbahkan kepada Abdullah as -Syattar. Tarekat ini awalnya dikenal di Iran dan Transoksania dengan nama Isyqiyah. Sedangkan di wilayah Turki Usmani, tarekat ini disebut Bistamiyah. Dari penelitian yang dilakukan oleh Martin Van Bruinessen salah seorang ahli antropologi, menyebutkan bahwa tarekat ini banyak ditemukan di Jawa dan Sumatra. Ini berarti tarekat ini disebarkan oleh para Sufi yang menyebarkan pahamnya ke Indonesia. Hubungan antara satu komunitas dengan yang lainya dalam tarekat ini tidak saling berhubungan. Tarekat ini relatif gampang berpadu dengan berbagai tradisi setempat sehingga menjadi tarekat paling “mempribumi “di antara tarekat yang ada.[7]
Dari penelusuran yang peneliti lakukan, model tarekat Syatariyyah yang dilaksanakan oleh Komunitas Islam Aboge memiliki lelaku yang bersifat personal dan tertutup. Sebenarnya secara umum model-model tarekat yang ada di Indonesia juga tidak akan menceritakan bagaimana pengalaman Kasyaf yang mereka alami. Demikian juga pada tarekat Syatiriyah[8], mereka akan merahasiakan setiap pengalaman spiritual mereka.
Dari wawancara mendalam dengan salah satu anggota jama’ah Tarekat Syatariyyah, disebutkan bahwa mereka memiliki model suluk dengan cara berdzikir dengan mengucapkan dengan La ilaha illa Allah  sebanyak 99 kali, selanjutnya menekan bola mata dengan kedua ibu jari. Dengan ini diharapkan mata dzahir kita tertutup dan mata hati kita terbuka, sehingga akan mampu melihat hal-hal yang tidak terlihat, semisal melihat nabi dan bahkan melihat Allah ta’ala. Secara implisit anggota lainnya mengiyakan metode ini hanya tidak seperti yang dibayangkan oleh masyarakat, ”Ya..... ora kaya kue carane” ”Ya... tidak sampai begitu caranya” kata Pak Abu Kasan. Maka komunitas Islam Abogemeyakini bahwa Allah ta’ala dapat ”dihadirkan” dalam saat-saat tertentu, yaitu ketika dzikir-dzikir tertentu dilafadzkan. Tidak hanya itu, dengan melakukan ritual tertentu seorang manusia dapat menyatu dengan Tuhan sebagai bentuk dari puncak spiritual tarekat mereka.
Secara sosial kemasyarakatan komunitas Islam Aboge bergaul dengan anggota masyarakat lainnya, hanya pada hal-hal yang berkaitan dengan keyakinannya mereka akan ”mantheng” dan tidak ada dialog padanya. Hal ini terbukti dengan terjadinya beberapa konflik antara komunitas Islam Aboge dengan masyarakat di luar mereka. Walaupun konflik hanya terjadi dalam skala kecil namun bisa jadi akan menjadi api dalam sekam. Beberapa konflik internal pernah terjadi terutama konflik antara suami dan istri, kaitannya jika seorang laki-laki menikah dengan perempuan dari luar komunitasnya maka sang istri wajib untuk mengikuti komunitas ini sebagai mana suaminya.[9] Sebaliknya jika seorang perempuan anggota komunitas Islam  Aboge menikah dengan laki-laki di luar komunitas maka sang istri secara otomatis keluar dari komunitas ini dengan mengikuti sang suami. Dalam hal ini sang istri akan mengikuti keislaman sebagaimana sang suami demikian pula dalam puasa ramadhan dan berhari raya.  


[1] Lihat Prof. DR. Hamka, Dari Perbendaharaan Lama, Pustaka Panjimas, Jakarta : 1996. Lihat pula Mansur Suryanegara dalam Api Sejarah.  Salamadani, Bandung : 2009.  
[2] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, PT Raja Grafindo : Jakarta, 2001, hal. 193.
[3] Sanusi Pane, Sejarah Indonesia, Perpustakaan Perguruan Kementerian P.P. dan K. : Djakarta, 1955. Jilid I hal. 155.  
[4] Joko Sulistyo, Analisis Hukum Islam Tentang Prinsip Penanggalan Aboge Di Kelurahan Mudal Kecamatan Mojotengah Kabupaten Wonosobo, Tesis Fakultas Syariah IAIN Walisongo, 2008.
[5] Geertz, Clifford, Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa, terj. Aswab Mahasin, Jakarta: PT. Dunia Pustaka Jaya, 1981.
[6] Wawancara dengan Ust. Amirudin Kadar pada Desember 2010
[7] Martin van Bruinessen, Tarekat Naqsyabandiyah di Indonesia, Mizan : Bandung, hal. 16
[8] Sebagaimana disebutkan oleh bapak Warsidi mengenai model tarekat Syatiriyyah.
[9] Dituturkan oleh Ibu Tuniyah yang menikah dengan Bapak Kasan. 

1 komentar:

Please Uktub Your Ro'yi Here...