Senin, 18 Juni 2012

MENATAP WAJAH ISLAM DARI JENDELA SUNDA


Agus Ahmad Safei *


Kearifan Sunda Kearifan Semesta
Ketika memberikan pengantar untuk buku tulisan Jusuf Sutanto, Kearifan Kuno di Zaman Modern, Haidar Bagir sampai pada sebuah kesimpulan yang agak mengejutkan. Menurutnya, seluruh kearifan kuno (ancient wisdom) dan kearifan lokal (local wisdom, al-bi’at al-mahalliyat) yang dimiliki masyarakat di se­luruh dunia, sesungguhnya, bersumber dan berpusat pada satu poros belaka, yakni kearifan Ilahi (perennial wisdom). Haidar Bagir (Sutanto, 2001: 9) mendasarkan kesimpulannya itu pada riset historis yang menyebut­kan bahwa seluruh ajaran kearifan yang dimiliki oleh kebudayaan di seluruh dunia (Maya, Aztec, Zoroaster, dan India Kuno) merujuk pada satu sumber yang sama, yakni "Corpus Hermeticum", yang merupakan buah pemikiran Sang Guru Ilmu Pengetahuan, Hermes.
Dalam telusur yang dilakukan oleh Al-Biruni, masa hidup Hermes dalam kurun waktu 300-100 SM (dibenarkan juga oleh hasil penelusuran Arnold J Toynbee dalam nama Hermaeus, 2006: 352) sama dengan masa hidup Nabi Idris (dalam bahasa Indonesia berarti "Sang Guru", dalam bahasa Yunani "Hermes"). Berdasarkan penelusuran ini, Al-Biruni berkeyakinan bahwa Hermes adalah Nabi Idris. Kenyataan ini diperkuat pula oleh penelusuran dan riset panjang yang dilakukan oleh Karen Armstrong. Hanya saja, menurut Armstrong (2007: 132), Hermes adalah "penyampai pesan dewa (Tuhan)" yang diabadikan dalam mitologi Yunani.
Bila Al-Biruni benar, maka tak ragu lagi untuk dikatakan bahwa seluruh kearifan lokal maupun kearifan kuno me­mang merupakan kearifan Ilahi (perennial wisdom). Sebab, kesemuanya berawal dari Hermes, Sang Guru, Si Penyampai Pesan Tuhan, Nabi Allah. Kalaupun Al-Biruni meleset, kemungkinan seluruh kearifan lokal dan kearifan kuno berasal dari kearifan Ilahi masih sangat re­levan. Hal ini berdasarkan pada kemungkinan "adanya" seorang Nabi Allah di setiap kaum yang memproduksi kearifan lokal sebagai "teks-budaya". Sebab, bukankah, "Sesungguhnya pada setiap kaum Dia menurunkan seorang Nabi" (QS. 35:24, 10:47, 21:7)? Juga bukankah menurut sebuah riwayat, jumlah Nabi ada lebih dari 124.000 Nabi, yang mengajarkan risalah dari sumber yang sama, dari kebenaran yang sama? Setidaknya demikianlah keyakinan para penganut kearifan perennial.
Jika demikian adanya, mengikuti penjelasan Fahd Pahdepie (dalam Asep Saeful Muhtadi, ed., 2008: 14), kearifan Sunda juga sejatinya berasal dari kearifan Ilahi. Thus, demikian Pahdepie, kearifan Sunda adalah juga berarti kearifan Ilahi. Sebab, seperti yang sudah dipaparkan tadi, kebudayaan India (tempat lahirnya Hindu dan Budha yang menjadi war­na awal tradisi Sunda) pun berasal dari Hermes, dari Idris.
Berbicara soal kearifan Sunda, memang tak pernah bisa di­lepaskan dari ajaran Hindu dan Budha (terutama aliran Tantra), sebab kedua agama kepercayaan ini menjadi warna tersendiri bagi kebudayaan, kearifan, dan masyarakat Sunda (Lihat Rosidi dkk., 2006).Yang menarik dari ajaran Hindu dan Budha ini adalah bahwa agama (kepercayaan) ini memiliki ajaran-ajaran dan nilai-nilai yang dekat dan identik dengan ajaran Islam. Bahkan Abdul Kalam Azad, Muhammad Abduh, dan Al-Biruni pun meyakini bahwa Hindu dan Budha dapat dikategorikan sebagai agama semit sebab memiliki Nabi dan kitab suci. Dalam kesempatan lain, Nurcholish Madjid pernah mengatakan bahwa, Hindu dan Budha (juga Taoisme) merupakan ahl kitab (Sutanto, 2001: 13).
Sekaitan dengan itu, sejumlah fakta menarik pun ditemukan: Budha Kavilawastu (yang berasal dari Kavilavastu) diyakini sebagai Nabi Zulkifli. Sebab Zulkifli (bahasa Arab) dalam bahasa Indonesia berarti seseorang dari Kifl, atau Kivl yang merupakan kependekan dari Kafilavastu. Fakta lain menyebutkan bahwa yang disebut sebagai Budha Mateyria (yang diramalkan sebagai sosok yang agung, lemah lembut dan akan datang "belakangan") adalan sosok Nabi Muhammad Saw., sebab para agamawan-ilmuwan Hindu di India saat ini berkeyakinan, keduanya memiliki ciri-ciri yang sama. Lalu mungkinkah Sidharta Gautama Budha adalah salah satu dari 124.000 Nabi?
Terlepas dari setuju atau tidak, rasanya "kemiripan" atau "keidentikkan" nilai-nilai kebenaran dalam sejumlah kearifan kuno dan kearifan lokal akan sulit terbantahkan jika disimak hadits Nabi Muhammad Saw. berikut ini, "Andaikan Plato (Aflathun) hidup di zamanku, niscaya ia akan menjadi pengikutku.” Hal ini tentu saja mengindi­kasikan bahwa kemungkinan seluruh kearifan yang mengajarkan kebenaran memiliki "kemiripan" karena bersumber dari "satu" yang sama akan sulit terbantahkan. Dari uraian di atas, rasanya sulit dielakkan pula atas kemungkinan kearifan Sunda yang berasal dari kearifan Ilahi.
Secara demikian, kebudayaan Sunda (dan semesta kebudayaan lainnya di berbagai belahan dunia), sesungguhnya dapat berfungsi sebagai semacam jendela, tempat menyaksikan keindahan mozaik dan warna-warni kearifan Ilahi [baca: Islam] mengekspresikan dirinya dalam wajahnya yang paling jenial dan lokal.

Membuka Tirai Jendela Sunda
Menurut Ganjar Kurnia (2004), bisa diterimanya Islam dengan baik di tatar Sunda karena di antara keduanya, yakni Islam dan Sunda, mempunyai persamaan paradigmatik yang bercirikan Platonik. Islam memandang dan memahami dunia sebagai ungkapan azas-azas mutlak dan terekam dalam wahyu Allah. Sedangkan kebudayaan Sunda lama meletakkan nilai-nilai mutlak yang kemudian diwujudkan dalam adat beserta berbagai upacaranya.
Melihat rentang waktu yang lama, dan di antara keduanya banyak persamaan, wajar apabila Islam sudah berurat-berakar di dalam masyarakat Sunda, termasuk memengaruhi kegiatan berkeseniannya. Kesadaran “manunggalnya” Islam dengan Sunda pernah mencuat pada Musyawarah Masyarakat II di Bandung pada tahun 1967. Endang Saefudin Anshari, yang bukan orang Sunda pituin, menyatakan tesisnya tentang Sunda-Islam dan Islam-Sunda. Terlepas dari perdebatan yang terjadi (bahkan sampai sekarang), kenyataan menunjukkan bahwa sampai saat ini, sebagian besar orang Sunda memeluk agama Islam. Sehingga, sedikit banyak Islam telah menjadi salah satu ciri jati dirinya. Dalam hampir keseluruhan maknanya, ekspresi budaya Sunda banyak mengandung nilai-nilai Islam yang dalam.
Haji Hasan Mustapa, yang dikenal sebagai penghulu Bandung dan juga sastrawan Sunda, manakala menafsirkan Al-Quran pada ayat-ayat awal surat Al-Baqarah menegaskan bahwa urang Sunda mah geus Islam samemeh Islam (orang Sunda sudah Islam sebelum datangnya Islam). Hal ini dapat dibuktikan dengan kenyataan bahwa hampir seluruh ranah kehidupan orang Sunda mengandung nilai-nilai ajaran Islam. Ajaran dan hukum dalam masyarakat Sunda pun disosialisasikan melalui beragam matra kehidupan, seperti seni dan budaya, sebagaimana dapat dilihat pada lelakon pewayangan (wayang golek), lagu-lagu, pantun dan banyolan-banyolan.
Dalam melaksanakan tugas-tugasnya, baik sebagai individu dan keluarga, maupun sebagai anggota masyarakat, manusia Sunda harus melaksanakan apa yang wajib dan yang sunah secara berkesinambungan dan simultan sebagaimana terungkap dalam peribahasa fardu kalaku sunat kalampah (yang fardu terlaksana, yang sunah demikian pula). Pengaruh Arab Islam pun nampak sekali dalam bahasa Sunda, seperti jisim abdi (saya) untuk menyebut diri sendiri yang sepenuhnya diambil dari bahasa Arab. Jism yang berati badan, dan 'abd yang berarti hamba.
Akulturasi dan asimilasi antara budaya lokal (Sunda) dengan ajaran Islam telah membentuk warna dan ciri khas pada keberagamaan masyarakat Sunda. Betapa Islam sangat berpengaruh pada tradisi dan budaya Sunda. Karena, sejak pengalaman sejarahnya yang paling awal, masyarakat Sunda senantiasa menempatkan nilai-nilai agama (Islam) pada posisi yang sangat sentral dalam hampir seluruh aspek kehidupannya.
Oleh karena itu, ungkapan "kacida anehna lamun urang Sunda henteu ngagem agama Islam" (alangkah anehnya kalau ada orang Sunda tidak memeluk Islam), dapat dipahami. Meskipun orang Sunda bisa bertoleransi terhadap pluralitas, tetapi dalam keluarga harus tetap berada dalam satu keimanan, yakni iman Islam.
Keberadaan Islam di Tatar Sunda kerap diibaratkan seperti gula jeung peueutna [gula dengan manisnya –sesuatu yang tak dapat dipisahkan]. Karena, dalam kenyataannya Islam di Tatar Sunda seiring sejalan dengan local genius  masyarakat Sunda itu sendiri. Islam lebih mudah berinteraksi dengan sistem dan nilai yang berlaku pada saat itu. Di sinilah titik pertemuan antara Islam dengan kebudayaan Sunda dapat lebih dimaknai.
Berkaca pada kearifan masa lampau (ancient wisdom), juga pada kearifan lokal (local wisdom), tentu akan menjadi modal yang berharga pada masa kini. Perintah untuk membaca kisah (mitos) dalan masa lalu, sedari jauh hari sudah dipesankan oleh Al-Quran [QS. Yusuf: 111]:
"Sungguh, pada kisah-kisah mereka itu terdapat pengajaran bagi orang yang mempunyai akal. (Al-Quran) itu bukanlah kitab cerita yang dibuat-buat, tetapi memberiarkan kitab-kitab sebelumnya, menjelaskan segala sesuatu, dan sebagai petunjuk dan rahmat bagi orang yang beriman.” (QS. 12:111)

Demikian pula pada teks budaya (mitos) Sunda, hendaknya tidak bertindak abai dan melemparnya jauh-jauh dari ruang pembaca­an. Sebab, di balik teks budaya tersebut terdapat lautan ke­arifan yang ternyata akan sangat berguna sebagai modal hidup hari ini, tentunya jika mau membuka dan membacanya. Dan, semiotika bisa menjadi salah satu jalannya. Melalui pembacaan semiotika dapat dikatakan bahwa teks-budaya adalah "serangkaian proses sosial di mana makna diproduksi, diartikulasi, dan dipertukarkan" (Thwaites et.al., 1994: 1). Karenanya, mitos bukan sesuatu yang "tanpa makna" melainkan sesuatu yang "sarat makna".
Pandangan umum selama ini terhadap mitos yang dianggap hanya sekedar 'impian' kolektif, basis ritual, atau semacam 'permainan' estetika semata dan figur-figur mitologisnya sendiri hanya dipikirkan sebagai wujud abstraksi, atau (sekedar) para pahlawan yang disakralkan, atau sebagai dewa yang turun ke bumi sehingga mereduksi mitologi sampai pada taraf semata sebagai 'mainan anak-anak', sebaiknya dihentikan. Ada baiknya mulai memandang mitos lebih besar dari itu, sebagai "pesan" sosial-filosofis dari para leluhur sebagai bekal menjalani hidup dengan kearifan Sunda sekaligus kearifan Tuhan.
Dengan demikian, silang sengkarut terhadap pencarian Ki Sunda sudah tidak akan lagi menjadi persoalan yang merisaukan. Syarat untuk memahami dan menggali kearifan Sunda sesungguhnya tidak banyak. Hanya diperlukan kesabaran (darana) dan kebeningan hati (wening hate) untuk membacanya. Sebab, jika tidak demikian, proses pencarian hanya akan tersesat di lingkaran "manggih lain, manggih lain" (menemukan yang lain).
Sebagai misal, Jakob Sumardjo pernah melakukan penafsiran ter­hadap dua mitos besar yang disajikan dalam pantun Mundinglaya Dikusumah dan Lutung Kasarung (200:189-198). Pada mulanya, Jakob mendapati problem hermeneutis yang sama, yakni kesenjangan. Tetapi, setelah dilakukan beberapa kemungkinan hermeneutis, akhirnya Munding­laya Dikusumah dan Lutung Kasarung (Guruminda) dapat ditafsir dan dipahami juga artinya.
Menarik sekali “membaca" tafsiran Jakob Sumardjo atas dua pantun Mundinglaya Dikusumah dan Lutung Kasarung (Guruminda) ini. Ternyata, keduanya menunjukkan simbolisme yang juga bersifat spiritual transendental. Jika dibaca dari sudut pandang tasawuf, keduanya merupakan dua pola perjalanan spiritual untuk meraih kesempurnaan.
Pola yang dilakukan Mundinglaya adalah pola vertikal dari bawah ke atas (bottom up). Mundinglaya yang seorang manusia biasa (meskipun anak Raja) harus melakukan sejumlah "perjalanan" spiritual agar bisa mencapai kesempurnaan, menyatu bersama Tuhan (tawhid), agar memperoleh sejumlah mandala (karamah).
Pola perjalanan spiritual untuk mencapai kesempurnaan yang dilakukan Lutung Kasarung (Guruminda, dalam teks Jakob Sumardjo ditulis Guru Minda, hal. 199) justru kebalikan dari apa yang di­lakukan Mundinglaya. Bagi Guruminda, mencapai kesempurnaan adalah menjadi hina, mirip para sufi. Guruminda yang merupakan anak dewa harus mengalani sejumlah penderitaan dan kutukan menjadi seekor lutung demi mendapat kesempurnaan. Dalam kebudayaan Islam, para sufi melakukan ini demi memperoleh kesempurnaan. Misalnya, dalam tasawuf konsep “malamatiyah" dipergunakan untuk meraih kesempurnaan – sebab dalam tasawuf kesempurnaan sejati mengandung ketidaksempur­naan itu sendiri.
Ditemukan sejumlah teks-budaya Sunda yang memiliki nilai spiritualitas-transendental dalam jumlah yang tidak sedikit. Sampai di sini, berdasarkan tesis bahwa teks-budaya dapat dikatakan sebagai cerminan zaman yang di dalam­nya berisi pikiran dan perasaan yang tertuang dalam bentuk simbol (kata, idiom, bunyi huruf) dan bahkan mengandung unsur politik identitas (Lihat Rosidi dkk., 2006: 396), bisa ditarik sebuah indikasi awal bahwa kearifan lokal (local wisdom) Sunda memang "sangat dekat" dengan kearifan Ilahi (perennial wisdom).

Ekspresi Islam dalam Budaya Sunda
Akulturasi Islam dengan Sunda dapat terlihat dari beberapa jenis ekspresi kesenian yang ada di tatar Sunda. Selain sebagai hasil dari interaksi, akulturasi ini terjadi karena pada awalnya dan bahkan hingga saat ini, kesenian seringkali digunakan sebagai sarana penyebaran syiar Islam. Strategi seperti ini terutama dilakukan oleh para wali pada awal-awal penyebaran Islam di Pulau Jawa. Pengaruh Islam terhadap kesenian Sunda ini di antaranya dapat dilihat dari aspek tulis-menulis, cerita, seni arsitektur, seni musik, seni pertunjukan, sastra, seni suara, dan sebagainya.
Dari aspek tulis-menulis, di tatar Sunda ditemukan tulisan beraksara pegon (huruf Arab gundul). Tulisan-tulisan yang beraksara pegon ini di antaranya dapat terlihat pada wawacan, surat-menyurat, tafsir, silsilah, dan sebagainya. Berkaitan dengan kegiatan tulis-menulis ini (termasuk gambar), ditemukan pula beberapa mushaf Al-Quran yang mempunyai corak khas Sunda, bahkan sekarang ini lebih dikembangkan lagi menjadi Al-Quran Mushaf Sundawi (lihat Agus Ahmad Safei, “Fenomena Kultural Islam Sunda”, dalam Cik Hasan Bisri, ed., Pergumulan Islam dengan Kebudayaan Lokal di Tatar Sunda, Bandung: Kaki Langit, 2005).
Untuk bidang sastra, beberapa wawacan di antaranya bercerita tentang hal-hal yang berkaitan dengan Islam. Sebagai contoh, Wawacan Carios Para Nabi, Wawacan Sajarah Ambiya, Wawacan Kian Santang, Wawacan Syech Abdul Kodir Jaelani, dan seterusnya. Bentuk-bentuk karya sastra lain yang terkait dengan “Islam” dapat dilihat pula pada hasil karya Haji Hasan Mustapa. Untuk yang lebih mutakhir di antaranya, “Pahlawan ti Pasantren” (Ki Umbara dan SA Hikmat), “Jiad Ajengan” (Usep Romli HM), “Dongeng Enteng ti Pasantren” (RAF), dan sebagainya.
Selain itu, sudah sejak awal ada upaya-upaya untuk membuat tafsir atau terjemahan Al-Quran ke dalam bahasa Sunda. Upaya yang paling mutakhir adalah apa yang dilakukan oleh budayawan Hidayat Suryalaga dengan membuat terjemahan Al-Quran dalam bentuk dangding yang disebut Nur Hidayahan. Sekarang ini, terjemahan Nur Hidayahan sudah biasa dihaleuangkeun (dinyanyikan) di dalam tembang Cianjuran.
Apabila di dalam Islam dikenal seni membaca Al-Quran (qiro’ah), di tatar Sunda ada beberapa lagu Islami yang dikumandangkan dengan mengandalkan keindahan suara pula. Contohnya dapat terlihat pada Cigawiran/Pagerageungan.
Seni lain yang mengaitkan sastra dan lagu di antaranya adalah lagu-lagu “pupujian” atau biasa juga disebut “nadhom”. Salah satu “nadhom” yang cukup terkenal adalah “Anak Adam”. Berikut adalah cuplikannya:
“Anak Adam urang di dunya ngumbara
Umur urang di dunya teh moal lila
Anak Adam umur urang teh ngurangan
Saban poe saban peuting dikurangan.”

Untuk seni musik, selama ini ada kesan bahwa musik yang “Islami” itu hanyalah yang menggunakan genjring (rebana) dengan menyanyikan lagu-lagu berbahasa Arab (tagonian) atau lagu-lagu bernafaskan Islam. Di luar itu, sebenarnya banyak seni musik lain yang juga bernuansa Islam, dengan salah satu cirinya adalah mengiringi lagu-lagu yang menggunakan bahasa Arab sebagai pujian (salawat) kepada Nabi Muhammad Saw. Beberapa jenis kesenian yang menggunakan lagu-lagu salawat Nabi adalah badeng di Ciamis, benjang yang menggunakan lagu-lagu dari rudat, seperti asrokol, serta rudat sendiri (seni bela diri di mana setiap gerakannya diiringi dengan lagu-lagu salawat).
Untuk seni pertunjukan yang berbentuk helaran, di antaranya adalah seni burokan di Cirebon. Kabarnya, kesenian ini diilhami oleh burok yang digunakan Nabi Muhammad ketika Mi’raj ke Sidratul Muntaha. Beberapa pertunjukan kesenian yang bernuansa Islami tersebut di antaranya dipergelarkan pada saat kejadian vital, terutama pada saat kelahiran. Empat puluh hari setelah seorang anak lahir, dilakukan debaan dengan membaca (baca: melagukan) barzanzi.
Adaptasi orang Sunda terhadap Islam di dalam kesenian ini, terlihat pula dari adanya upaya-upaya untuk memberikan nuansa Sunda kepada Islam itu sendiri. Untuk bangunan mesjid misalnya, di tatar Sunda pada awalnya banyak yang tidak mengikuti gaya arsitektur mesjid yang umum (gaya Timur Tengah) seperti dalam bentuk kubah (momolo), pintu masuk, mihrab, dan sebagainya. Di tatar Sunda sendiri banyak bentuk masjid yang khas sesuai dengan gaya arsitektur setempat. Di antaranya bentuk bangunan Masjid Agung Bandung zaman dulu -yang terkenal dengan “bale nyungcung”-nya.
Untuk bidang tarik suara, upaya untuk membumikan Islam di tatar Sunda dapat terdengar dari irama lagu surat Al-Ikhlas pada acara tahlilan atau ketika melafazkan wa’fu anna waghfirlana warhamna -juga pada tahlilan. Kedua irama lagu tersebut, jelas-jelas tidak termasuk ke dalam qiroah sab’ah dan tidak ditemukan di daerah-daerah lain. Hal yang sama dapat terdengar pula pada irama lagu takbiran (walilat) atau irama azan yang bernuansa beluk.
Lagu-lagu Sunda pun sarat dengan ajaran dan hukum Islam baik yang melembaga seperti lagu-lagu Cigawiran, Ciawian, dan Cianjuran, maupun lagu-lagu yang biasa didendangkan oleh para santri kalong di mesjid, tajug atau madrasah yang meliputi ajaran tauhid, hukum hingga ajaran tentang hidup berkeluarga seperti pada lagu-lagu sawer panganten. Ajaran tauhid seringkali didendangkan melalui sifat dua puluh yang terumuskan dalam Tijan dan Qathr al-Ghayts. Sedangkan Haji Hasan Mustapa secara khusus menyusun dangding yang berkenaan dengan ajaran tauhid dan tasawuf yang biasanya didendangkan oleh inohong Sunda dalam upacara memperingati tahun baru Hijriyah.
Ajaran Islam sebagai agama pun telah melembaga dalam upacara adat, khususnya perkawinan. Pesta perkawinan pun mengadopsi istilah walimah dalam teks hadis yang menyerukan upacara atau pesta perkawinan, awlim walau bisyatin. Sedangkan ajaran hukum kewarisan Islam disosialisasikan dalam ungkapan sageugeus saeundan, yang artinya bagian lelaki adalah dua ikatan padi, sementara bagi wanita adalah satu ikatan saja yang berarti dua berbanding satu. Atau sakelek satanggungan, yang artinya bagian wanita sesuai kapasitas dan adikodratinya yang setengah kemampuan memikul barang yang dapat dilakukan seorang lelaki.
Pada ngarajah atau sawer, nuansa Islam terdengar di antaranya dengan diucapkannya “Astaghfirullohal ‘adzim” pada bubuka sawer dan “Amin Ya Robbal Alamin mugi Gusti nangtayungan” pada akhir lagu (rajah dan sawer). Ngadulag juga bisa disebut sebagai proses pembumian Islam di tatar Sunda dan di Indonesia pada umumnya, karena di daerah asalnya Islam, tidak ditemukan ditemukan bedug dan kohkol.
Tentu saja, pertemuan antara Islam dengan budaya lokal akan mengalami akulturasi timbal balik. Akulturasi yang terjadi antara Islam dan budaya lokal disertai dengan seperangkat catatan-catatan. Keleluasaan yang di­berikan dalam menggunakan budaya lokal seperti ditegaskan dalam QS. Al-Baqarah ayat 256, terhadap bentuk budaya lokal yang dii­syaratkan Q.S. Ibrahim ayat 4, dipagari dengan syarat tidak berseberangan dengan prinsip Islam mendasar. (QS. Az-Zukhruf: 23-24).

Resistensi Kultural-Spiritualitas Sunda
Pada akhir tahun 1800-an, dan awal 1900-an, pernah hidup manusia fenomenal Sunda bernama Haji Hasan Mustapa. Ajip Rosidi (1983: 73), menyebutnya sebagai "mistikus-filosof Islam ngan bisa lahir tur hurip-hirup dina lingkungan jiwa katut kabudayaan Sunda". Yakni, mistikus-filosof Islam, yang lahir dan hidup tumbuh dalam lingkungan jiwa dan kebudayaan Sunda.
Menurut Haji Hasan Mustapa, segala yang datang dari luar, sebagai tamu harus dibanding-banding (ditimbang-timbang), kemudian diterjemahkan ke dalam alam kesundaan, dipahami, diartikan, dan dimaknai dengan konteks lokal kesundaan yang dimiliki. Tanpa terkecuali sikap orang Sunda terhadap Al-Quran, misalnya, Menurutnya, harus ditimbang dengan "Quran" tuturunan titinggal karuhun Sunda.
Selanjutnya, dalam upaya menghadapi budaya "luar" ini, Haji Hasan Mustapa menggubah nasihatnya, dalam bentuk kakawihan, sebagai berikut;
Kembang kacang barudak geura beungkeutan;
Semah datang barudak geura deukeutan.
Kembang kacang barudak geura pipitan;
Semah nganjang barudak geura ciwitan.                                                                                
Kembang asak barudak geura asakan;
Semah nganjang barudak geura asaan.

Bagi budaya Sunda, bersentuhan dengan budaya asing bukanlah hal yang baru. Jika dilihat jauh ke belakang, karuhun (nenek moyang) Sunda telah membuktikan kreativitasnya dalam menghadapi berbagai macam pengaruh dan "tamu" yang datang dari luar, baik itu dari India (Hindu, Budha), Jawa (Mataram), dan Arab (Islam). Dan hasilnya menunjukkan, bahwa jiwa Sunda memiliki kemampuan untuk membuat sintetis yang harmonis. Sunda, bahkan selalu berani berhadap-hadapan dengan jiwa, agama, kepercayaan, dan alam pikiran yang bagaimanapun adanya.
Dalam proses ‘perjumpaan’ tersebut, Sunda tidak pernah (sepenuhnya) hanyut oleh "suara" tamu. Sebaliknya, ia dapat dengan dinamis dan harmonis membuat apa yang mempengaruhinya itu menjadi khazanah kekayaan budayanya sendiri. Contoh, dalam kosa kata yang awalnya berasal dari "luar'', kini sudah sedemikian "merenah" bagai bagian integral Sunda. Nama Maman yang khas Sunda itu pun kabarnya berasal dari bahasa Arab, Iman. Minah dari kata mu’minah.
Tetapi, tentu saja, resistensi Sunda terhadap budaya, nilai, dan keyakinan yang datang dari luar bukannya tak ada. Dalam konteks ini, resistensi, pertama-tama, harus dipahami sebagai sebuah daya tahan sekaligus daya tawar (lihat Donny Gahral Adian, "Gaya Hidup, Resistensi, dan Hasrat Menjadi", dalam Adlin, 2005: 23). Maka, ketika hendak menimbang resistensi spiritualitas Sunda, tak ayal lagi harus membincangkan daya tahan dan daya tawar tradisi Sunda terhadap kebudayaan dari luar Sunda.
Indikator yang digunakan untuk mengukur daya tahan dan daya tawar ini sesungguhnnya sederhana. Pramoedya Ananta Toer (2001) dalam Bumi Manusia, menyebutkan bahwa daya tawar sebuah tradisi dapat diukur dan diketahui dari sejumlah hal: bahasa, seni, politik. Indonesia, menurut Pram, tergolong memiliki daya tahan dan daya tawar tradisi yang relatif lemah. Hal ini dapat dilihat dari bahasa Indonesia yang banyak sekali mengandung serapan "Arab", berhubungan dengan upaya ekspansi dakwah Islam yang menggunakan bahasa Arab. Kesenian yang ngarab, dan sistem politik yang – tidak bisa tidak – sangat terpengaruh oleh Arab dan Belanda.
Masih menurut Pram, hal serupa juga terjadi pada sejumlah kebudayaan lokal di Indonesia. Pram menyebutkan di antaranya Sunda merupakan kebudayaan lokal (Indonesia) yang memiliki daya tawar tradisi yang relatif rendah. Babad Padjajaran, yang sedikit banyak mengumumkan bahwa kebudayaan Arab (Islam) telah merasuki kebudayaan asli Sunda, merupakan bukti bahwa daya tawar tradisi Sunda terhadap kebudayaan luar Sunda tidaklah kuat.
Bukti lain yang menunjukkan tidak kuatnya resistensi Sunda terhadap kebudayaan luar (Sunda) ditunjukkan oleh begitu berjaraknya bahasa Sunda asli (bahkan Sunda kuna) dengan bahasa Sunda yang biasa dipakai dan dipraktikkan sehari-hari. Bahasa Sunda banyak sekali yang dimasuki oleh unsur bahasa asing terutama bahasa Arab (yang menjadi representasi Islam).
Hal ini tentu saja berkelindan erat dengan resistensi spiritualitas yang menjadi bagian "kebudayaan" Sunda tadi. Spiritualitas Sunda yang pada mulanya merupakan agama Sunda Wiwitan yang cende­rung pagan, tidak bisa bertahan ketika harus menghadapi hegemoni dan kooptasi spiritualitas Hindu-Budha.
Sebagai contoh, agama Sunda Wiwitan yang kini masih dipegang teguh oleh masyarakat Baduy (Kanekes), masih memercayai bahwa Tuhan atau Hyang Tunggal atau Hyang Widi masih merupakan kesatuan yang tak terpisahkan dengan alam (hutan, laut, langit, tanah), yang sangat identik dengan pola kepercayaan pagan, kemudian harus tereduksi dan terkooptasi oleh spiritualitas Hindu-Budha yang kemudian mengubah cara pandang urang Sunda terhadap Tuhan: bidadari, apsara, dewa, mahadewa, Hyang Widi.
Tidak sampai di situ saja, datangnya Islam ke tatar Sunda kembali mengubah spiritualitas dan ritus urang Sunda tadi, sehingga kini Hyang Tunggal tadi bernama Allah, mahapandita yang tadinya para bikhu dan pandita menjadi para ulama. Hingga akhirnya, muncullah term Islam-Sunda tadi. Yakni sebuah spiritualitas eskatologis antara spiritualitas Sunda dan spiritualitas Islam.
Sejumlah tulisan dalam buku Pergumulan Islam dengan Kebudayaan Lokal di Tatar Sunda, yang disunting oleh Cik Hasan Bisri dkk. (2005), memuat ketidaktepatan dalam memahami terminologi “Islam teh Sunda, Sunda teh Islam” (Islam itu Sunda, Sunda itu Islam) ini. Kekeliruan tersebut, agaknya, berasal dari sebagian penulis yang melakukan fallacy of composition terhadap dua konsep yang tidak sama besar: Islam dan Sunda. Beberapa penulis menganggap Islam sama besar dan sebangun dengan Sunda. Sehingga ke­tika menerjemahkan slogan. "Islam teh Sunda, Sunda teh Islam" beberapa penulis menafsirkan slogan itu sebagai "Islam itu Sunda atau Sunda itu Islam.
Tentu saja, kita tidak bisa bersifat afirmatif terhadap bentuk spiritualitas eskatologis macam apa pun jika terminologi "Islam-Sunda” dipahami semacam itu. Sebab, jelas-jelas Al-Quran menyebutkan bahwa: (1) agama yang paling benar di sisi Allah hanyalah Islam, (2) bagimu agamamu dan bagiku agamaku (QS. 109: 6), dan (3) tiada paksaan untuk menganut agama Islam (QS. 2: 250).
Hal ini menunjukkan bahwa Islam tidak pernah menerima segala bentuk eskatologi spiritualitas (termasuk Islam-Sunda). Terkecuali, jika Islam-Sunda tidak dipahami sebagai sesuatu yang duduk sama rendah dan berdiri sama tinggi, tentu menjadi soal lain. Misalnya, Jakob Sumardjo (2003) yang menerjemahkan Islam-Sunda dalam terminologi "Islam teh Sunda, Sunda teh Islam" sebagai hanya dua hal yang saling berkelindan secara kebudayaan dan bersifat identik dalam beberapa hal saja (Sumardjo, 2003: 56).
Tentu saja, "Islam teh Sunda, Sunda teh Islam" harus dipahami tidak sama dan sebangun meskipun pola kalimatnya menunjukkan informasi semacam itu. Keduanya harus diruntut secara historis-antropologis sebagai dua hal yang pernah saling berhubungan; satu mempengaruhi yang lain, satu dipengaruhi yang lain. Seperti ketika kita memahami ung­kapan “Indonesia itu Jawa, Jawa itu Indonesia”.
Jika dipahami sebagai dua hal yang saling berhubungan "mempe­ngaruhi dan dipengaruhi", konteks Islam dan Sunda dalam "Islam-Sunda" atau "Sunda teh Islam, Islam teh Sunda" sangat erat kaitannya dengan konteks resistensi. Dari sana bisa ditemukan bahwa Sunda tidak memiliki resistensi yang cukup kuat, sehingga Islam yang relatif baru karena secara sejarah datang belakangan, bisa mencecerkan daya tawar dan daya tahan Sunda sebagai tradisi (kebudayaan) juga sebagai ritus (spiritualitas).
Jadi, jika ditarik sebuah kesimulan awal: resistensi spiritualitas Sunda ternyata terhitung lemah. Meskipun mampu menyesuai­kan diri secara kreatif, bentuk resistensi yang lemah tetap saja lemah dan mudah melisut di balik hegemoni kebudayaan yang kian hari kian besar, kian massif, kian sporadik, kian gigantis.
Berpijak dari paparan di atas, Sunda –sebagai sebuah entitas kebudayaan– sudah memulai babak spiritualitasnya jauh se­belum Is1am. Spiritualitas Sunda, sebelum Islam, mungkin masih ber­sifat paganistis atau mungkin totemistis --layaknya spiritualitas yang dianut masyarakat dunia pada era Aksial. Lalu Budha Tantrayana mulai memasukinya, Hindu menyusul, dan kemudian Islam belakangan mensubstitusi spiritualitas Sunda –meskipun dalam bentuk substitusi yang kurang sempurna. Setidaknya, begitulah, menurut pandangan antropolog Kusnaka Adimihardja.
Artinya, habitus spiritualitas Sunda sebagai sebuah konstruksi kebudayaan, telah mengalami dekonstruksi, substitusi, hibridasi, dan belakangan (melalui sejumlah upaya re-Sunda-isasi) telah mengalami rekonstruksi bahkan redekonstruksi. Habitus Sunda (terutama dalam soal spiritualitas) telah berkali-kali mengalami "jungkir-balik", "pasang-surut", "bongkar-pasang", Maka jadilah habitus spiritualitas Sunda menjadi habitus yang kaya dan unik.

Penutup
Dengan demikian, persoalan masih layak dan relevankah spiritualitas dan kearifan Sunda dalam konteks sekarang tentu perlu dipilah dan dipilih penyikapannya. Kita tidak bisa mengafirmasi seluruhnya, bahwa kearifan dan spiritualitas dan kearifan Sunda masih layak dan relevan untuk dipakai dalam pergulatan hidup sekarang. Juga tidak bisa ditegaskan seluruhnya bahwa kebudayaan, kearifan, dan spiritualitas Sunda sudah tidak relevan dan tidak layak untuk dipertahankan.
Sikap yang paling tepat dalam menimbang spiritualitas dan kearifan Sunda dalam era posmodernisme adalah memandangnya secara objektif, kritis, dan cerdas. Kita harus menjadi siger tengah, ummatan wasatha yang memandang segalanya secara arif, objektif, bijak, dan kritis.
Sebab, itulah yang disarankan al-Quran. Hendaknya, dalam me­mandang masalah ini kita tidak menjadi ashâb al-maimanah yang mengafirmasi segalanya. Juga tidak menjadi ashâb al-masyamah yang menegasikan segalanya. Sebaiknya memang berada di tengah-tengah menjadi ummatan wasatha, menjadi siger tengah (moderat).
Bagaimanapun, sebuah kebudayaan yang berhadapan secara vis a vis dengan kebudayaan lain yang bersifat lebih besar selalu menghadirkan dua kemungkinan. Dalam abad pospositivistis ini, kebudayaan Sunda tengah dijerang posmodernisme, dan karenanya menghadirkan dua kemungkinan. Kemungkinan pertama, upaya menutup diri dari kebudayaan yang lebih besar itu, sebab merasa tidak memiliki resistensi yang cukup kuat dalam melawannya. Hingga akhirnya melahirkan fundamental­isme.
Kemungkinan kedua, yakni upaya penyesuaian diri secara kreatif terhadap kebudayaan itu, mengelola perubahan, dan melakukan harmoni­sasi. Budaya Sunda, agaknya, telah memilih konsekuensi kedua. Sebab pilihan pertama akan membawa Sunda terlempar menuju keranjang sampah sejarah peradaban manusia, mengingat daya tahan dan daya tawar (resistensi)-nya yang ternyata tidak terlampau kuat.
Agaknya, yang terpenting saat ini adalah mengambil sikap. Berusaha mem­pertahankan kebudayaan dan kearifan Sunda secara objektif. Yang baik jagalah, yang sudah tidak relevan lemparkanlah. Tentu saja agar kebudayaan, kearifan, dan spiritualitas Sunda tak hanya terus menerus bersemayam dalam pikiran, tulisan, atau ruang-ruang seminar. Tetapi benar-benar membumi di tatar Sunda, di jagad buana.
‘Ala kulli hal,  apa pun adanya, sebagaimana dikatakan di awal tulisan ini, kebudayaan, kearifan dan spiritualitas Sunda, sesungguhnya dapat berfungsi sebagai semacam jendela, tempat menyaksikan warna-warni kearifan Ilahi [baca: Islam] mengekspresikan dirinya dalam wajahnya yang paling jenial dan lokal. Karena, seperti yang dikatakan para peneliti cultural studies, kini, sudah tiba saatnya untuk melihat Islam dari jendela Bandung, Cirebon, Garut, atau bahkan Cikeas sekalipun.
Wallahu’alam bi al-shawwab.

Daftar Pustaka
Al-Quran Al-Karim
Alfathri Adlin, dkk., 2002, Resistensi Gaya Hidup: Teori dan Realitas, Jalasutra, Yogyakarta.
Ahmad Mansyur Suryanegara, 1996, “Islam dan Tradisi Budaya Sunda” dalam Ruh Islam dalam Budaya.  Jakarta: Yayasan Festival Istiqlal
Asep Saeful Muhtadi dan Agus Ahmad Safei (ed.), 2008, Kesalehan Multikultural. Bandung: Pemerintah Provinsi Jawa Barat.
Ayat Rohaedi, 1996, “Sunda Islam-Islam Sunda” dalam Ruh Islam dalam Budaya. Jakarta: Yayasan Festival Istiqlal.
Arnold J Toynbee, 2006, Sejarah Umat Manusia: Uraian Analitis Kronologis, Naratif, Komparatif, Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
Abdul Hadi WM, 2002, Hermeneutika Al-Quran, Yogyakarta: Matahari.
A. Chaedar Alwasilah, 2006, Pokoknya Sunda Interpretasi Untuk Aksi, Bandung: PT. Kiblat Buku Utama.
Ajip Rosidi dkk., 2006, Konferensi Internasional Budaya Sunda, Bandung: Yayasan Kebudayaan Rancage.
Ajip Rosidi, 1983, Ngalanglang Kasusastraan Sunda, Jakarta: Pustaka Jaya,.
Azra, Azyumardi, 1999, Konteks Berteologi di Indonesia: Pengalaman Islam, Jakarta: Paramadina.
Cik Hasan Bisri, dkk., 2005, Pergumulan Islam dengan Kebudayaan Lokal di Tatar Sunda, Bandung: Kaki Langit,.
Edi S. Ekadjati, 2005, Kebudayaan Sunda Zaman Pajaiaran, Jakarta: Pustaka Jaya.
Ganjar Kurnia, 2004, “Nuansa Islam dalam Kesenian Sunda”, dalam Pikiran Rakyat, 23 Oktober.
Hooker MB, Islam Mazhab Indonesia: Fatwa-Fatwa dan Perubahan Sosial, Jakarta: Teraju, 2002.
Jakob Sumardjo, 2002, Arkeologi Budaya Indonesia: Pelacakan Hermaneutis-Historis terhadap Artefak-artefak Kebudayaan Indonesia, Yogyakarta: Qalam.
------------, 2003, Simbol-simbol Artefak Budaya Sunda, Bandung: Kelir.
Jean Claude Levi-Strauss, 1972, Structural Antropology, London: Penguin Book.
Jusuf Sutanto, 2001, Kearifan Kuno di Zaman Modern, Jakarta: Hikmah.
Karen Armstrong, 2007, The Great Transformation: Awal Sejarah Tuhan, Bandung: Mizan.
Patricia Aburden dan John Naisbitt, 2006, Megatrends 2000, Jakarta: Transmedia.
Pusat Studi Sunda, 2005, Islam Dalam Kesenian Sunda, Pusat Studi Sunda, Bandung.
Pramoedya Ananta Toer, 2001, Bumi Manusia, Jakarta: Lentera Dipantara.
Quraish Shihab, 2004, Membumikan Al-Quran. Bandung: Mizan.
Radhar Panca Dahana, 2004, Jejak Posmodernisme di Indonesia, Yogyakata: Bentang.
Roland Barthes, 2006, Membedah Mitos-mitos Budaya Massa: Semiotika atau Sosiologi Tanda, Simbol, dan Representasi, Yogyakarta: Jalasutra.
Saini K. M., 2004, Krisis Kebudayaan, Kelir, Bandung.
Stephen Palmquist, 2002, Pohon Filsafat, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Undang A. Darsa dan Edi S. Ekadjati, 2006, Gambaran Kosmologi Sunda, Bandung: Kiblat.
Yasraf Amir Piliang, 2004, Dunia yang Dilipat: Tamasya Melam­paui Batas-batas Kebudayaan, Yogyakarta: Jalasutra.
Zainal Abidin, dkk, 2006, Ngaji dan Ngejo: Ikhtiar Membangun Watak Empatik Masyarakat Jawa Barat, Bandung, Setda Jawa Barat.

 

Endnotes :

*lahir di Majalengka pada 15 Oktober 1972. Sehari-hari bekerja sebagai staf pengajar pada Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Sunan Gunung Djati Bandung. Hingga kini,  sudah puluhan judul buku yang telah ditulisnya. Sejak mahasiswa, ia juga menulis banyak artikel yang tersebar di berbagai koran, tabloid, majalah, maupun jurnal, baik yang terbit di dalam maupun luar negeri. Salah satu artikel terbarunya yang ditulis bersama Dr. Julian Millie, ”Religious Bandung”, dimuat di Inside Indonesia: a Quarterly Magazine on Indonesia (edisi April-Juni 2010, terbit di Australia). Tahun 2007, ia mengambil Program Doktor bidang Sosiologi di Universitas Padjadjaran Bandung. Tahun 2009, ia memperoleh beasiswa dari Kementerian Pendidikan Nasional RI untuk menjadi Visiting Ph.D Student di School of Political and Social Inquiry, Faculty of Arts, Monash University, Melbourne, Victoria, Australia. Selain itu, ia juga aktif menjadi juri MTQ, baik di tingkat Provinsi Jawa Barat maupun Nasional, pada cabang Musabaqah Menulis Kandungan Al-Quran [M2KQ]. Kini, ia beralamat di: agusafe@yahoo.com.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Please Uktub Your Ro'yi Here...