Minggu, 21 April 2013

Kesempatan Mencontek itu Bernama Listening

Oleh AM Bambang Prawiro[1]



Memasuki hari kedua pelaksanaan UN tahun 2013 sepertinya panitia dan siswa sudah mulai merasa lega karena sudah melalui “kekisruhan” sebelumnya. Jika pada hari pertama kehadiran peserta UN banyak yang terlambat karena sosialisasi jadwal tidak jelas, demikian juga para pengawas ruang dan panitia yang datang terlambat karena sosialisasi yang dilakukan pada pembekalan bagi panitia dan pengawas ruang tidak efektif. Kesalahan dalam lembar soal yang berbeda antara jurusan juga sudah tidak terjadi lagi, demikian juga pengisian LJK yang sudah sesuai dengan lembar soal. Maka, pada hari kedua ini pelaksanaan UN relatif berjalan lancar, walaupun tidak menjadikan pelaksanaan UN tahun ini bisa dikatakan berhasil, bahkan sebaliknya dianggap pelaksanaan UN terburuk sepanjang sejarah di negeri ini.
Pengawasan yang saya lakukan di salah satu SMK di Bogor, didapati bahwa pelaksanaan UN tahun ini yang diawali dengan hari pertama yang kisruh ternyata berlanjut juga pada hari ke dua, tentu saja dengan permasalahan yang berbeda. Permasalahan tidak hanya terjadi di tempat saya mengawas namun juga di beberapa tempat pada tingkat SMU dan MA. Permasalahan yang sudah klasik dan menjadi rahasia umum, namun menurut saya bukan sesuatu yang umum dan harus selalu kita perbaiki. Mencontek, memberi contekan atau mengirimkan jawaban ke peserta UN adalah bentuk pelanggaran yang sangat mencemarkan dunia pendidikan. Sekitar dua tahun lalu saya pernah menulis mengenai praktek mencontek yang dilakukan oleh panitia intern dan siswa, kita juga masih ingat dengan kejadian mencontek massal yang santer terdengar tahun lalu, apakah hal ini tidak terjadi pada UN tahun ini?
Jika panitia pembuatan soal UN sudah membuat paket soal hingga 20-30 jenis, maka seharusnya itu menjadi strategi jitu untuk mengurangi kasus contek-menyontek. Permasalahannya adalah bagaimana dengan soal yang sama pada sebuah mata pelajaran yang menggunakan media audio seperti bahasa Inggris? Hasil pemantauan saya di salah satu SMK di Bogor menunjukan bahwa pada saat ujian materi Bahasa Inggris pada hari ke dua ini menjadi kesempatan bagi siswa untuk mencontek. Penggunaan tape recorder yang sudah dianggap jadul justru menjadi kesempatan bagi panitia dan peserta untuk saling bertanya tentang materi yang didengarnya. Keterbatasan media audio juga menjadikan pelaksanaannya terpaksa dilakukan penggabungan beberapa ruang ujian yang berdekatan atau yang hanya disekat dengan triplek. Kehadiran guru bahasa Inggris yang memandu dan “memberikan isyarat” seolah-olah sesuatu yang wajar dan tidak begitu dihiraukan oleh pengawas ruang. Pengawas ruang sebagai pihak yang diberikan tanggungjawab untuk mengawasi peserta juga terkesan sudah “bekerja sama” dengan pihak panitia intern sekolah karena merupakan kawan se-profesi dalam satu kecamatan /rayon. Pihak panitia yang menggunakan alat komunikasi dan bolak-balik masuk ruangan juga semakin menambah suasana mencontek semakin terbuka. Walaupun ada larangan untuk membawa alat komunikasi namun dari beberapa interogasi yang saya lakukan ternyata sebagian siswa membawa alat komunikasi seperti HP ke dalam ruangan.
Seabrek persoalan tersebut sudah dicarikan solusi oleh saya sebagai tim Pengawas Satuan, diantaranya dengan memberikan peringatan dan argument mengenai aturan bagi pengawas ruang, panitia dan peserta UN. Namun keterbatasan saya menjadikan kesempatan untuk mencontek itu sangat terbuka lebar. Tentu saja masalah utama terletak pada mental peserta UN dan Pengawas Ruang. Mungkin ketika mereka disalahkan akan beralasan kenapa harus diadakan UN? Atau kenapa memaksakan siswa untuk mencapai target UN? dan alasan-alasan lainnya yang saya temukan ketika berbincang dengan Pengawas Ruang.
Solusi yang saya tawarkan adalah, Pertama: jika pelaksanaan UN dianggap memberatkan siswa dan guru maka sudah selayaknya pelaksanaannya ditinjau ulang. Sebagian pendidik menginginkan pelaksanaan ujian akhir seperti pada zaman dahulu yaitu dengan system EBTANAS, dimana nilai berapapun bisa lulus. Hal ini mungkin banyak ditentang karena bicara tentang bukan hanya ujian dan kelulusan tapi juga bicara “Proyek milyaran rupiah” solusi kedua adalah tetap dilaksanakan UN namun standard kelulusan tidak ditetapkan dalam arti sesuai dengan kemampuan siswa masing-masing sehingga berapapun nilai siswa dia tetap lulus. Solusi ini mungkin seolah-olah memberikan harapan yang terlalu banyak bagi siswa sehingga mereka akan bersantai-santai dan tidak termotivasi untuk belajar toh nanti juga akan lulus. alasan ini bisa dijawab dengan standard nilai yang didapatkan oleh siswa akan menentukan kelanjutan dari studi-nya atau karier-nya sehingga siswa tetap termotivasi untuk meningkatkan nilainya. Mudah-mudahan pelaksanaan UN pada hari berikutnya akan menjadi lebih baik dan tidak ada lagi praktek mencontek, memberikan contekan apalagi contek masal.


[1]  Penulis adalah Pengawas Satuan (PS) UN 2013 dari Universitas Djuanda Bogor dan STAI Al-Hidayah Bogor 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Please Uktub Your Ro'yi Here...