Kamis, 04 April 2013

Latar Belakang Masalah

Oleh: Abdurrahman MBP

Manusia adalah makhluk sosial (zoon politicon), ia tidak bisa hidup sendiri tanpa  kehadiran orang lain. Maka, setiap manusia akan melakukan interaksi dengan manusia lainnya. Proses interaksi ini berlangsung secara terus-menerus, sejak ia dilahirkan hingga meninggal dunia. Ruang lingkupnya yang tidak terbatas, dari interaksi dalam keluarga hingga interaksi dengan masyarakat seluruh dunia. Proses interaksi ini menimbulkan dampak hubungan timbal balik yang bersifat positif dan negatif. Dampak positif dalam interaksi ini berupa terciptanya kerja sama, saling membantu, dan saling memenuhi kebutuhan masing-masing. Sementara dampak negatifnya adalah terjadinya konflik sosial karena setiap manusia akan berusaha mendahulukan kepentingan individunya masing-masing. Selain itu adanya kepentingan yang berbeda-beda di antara manusia juga merupakan dampak negatif dari interaksi yang terjadi di antara mereka sehingga terjadi berbagai kesalahpahaman, percekcokan, persengketaan hingga terjadi perselisihan yang berujung pada bentrok fisik dan peperangan.
Banyaknya terjadi konflik sosial di tengah masyarakat menciptakan gagasan untuk membuat kesepakatan-kesepakatan yang berkenaan dengan aturan dalam interaksi tersebut. Kesepakatan-kesepakatan yang diberlakukan dalam suatu kelompok masyarakat inilah yang kemudian menjadi aturan-aturan baku yang menjadi sebuah kesepakatan bersama dan menjadi hukum yang ditetapkan sesuai dengan kondisi dan keadaan masyarakat tersebut. Agar aturan ini dapat dilaksanakan dan ditaati maka dibuat pula kesepakatan adanya sanksi hukuman bagi siapa saja yang melanggarnya. Adanya sanksi bagi para pelanggar aturan tersebut memunculkan istilah hukum yang dipahami sebagai seperangkat aturan yang menjadi kesepakatan bersama dan bagi yang melanggarnya akan mendapatkan sanksi.  
Hukum sebagai aturan yang telah disepakati bersama ada pada setiap masyarakat, baik itu masyarakat tradisional maupun masyarakat modern. Kenyataan inilah yang telah direkam oleh ahli filsafat Yunani Cicero dengan istilah Ubi Societas Ibi Ius yaitu bahwa di mana ada masyarakat di situ ada hukum yang berlaku. Maksudnya adalah bahwa bagaimanapun keadaan suatu masyarakat, mereka memiliki aturan-aturan (hukum) yang disepakati bersama untuk mengatur interaksi di antara mereka, walaupun mereka adalah masyarakat yang tinggal di tengah padang pasir atau di tengah hutan belantara.
Masyarakat Arab adalah salah satu dari masyarakat yang memiliki adat istiadat sebagai sebuah hukum yang berlaku di antara mereka. Walaupun mereka tinggal di tengah padang pasir, namun mereka memiliki aturan-aturan tertentu yang disepakati oleh seluruh anggota sukunya, dalam ruang lingkup lebih luas mereka juga mempunyai kesepakatan (hukum) yang berlaku di antara suku (kabilah) yang bermukim di wilayah Semenanjung Arab. Sejarah masyarakat Arab membuktikan bahwa hukum yang telah mereka sepakati sering sekali dilanggar sehingga menimbulkan konflik antar suku yang berlangsung lama. Hal ini disebabkan kepribadian mereka yang sangat loyal dengan sukunya, sehingga mereka berani berkorban nyawa untuk membela kepentingan sukunya. Bagi mereka suku adalah kehormatan diri, jika anggota sukunya terbunuh oleh suku lain maka mereka akan melakukan tindakan menuntut balas (qishas).[1] Fakta ini dijadikan argumentasi oleh beberapa ahli bahwa hukum yang berlaku pada masyarakat Arab adalah hukum rimba (yang kuat menindas yang lemah).  
Penelitian lebih lanjut menunjukan bahwa hukum yang berlaku pada masyarakat Arab telah memiliki diferensiasi yang jelas, ia mengatur sendi-sendi kehidupan seluruh anggota masyarakat. Maka aturan-aturan yang ada pada suku-suku masyarakat Arab adalah sebuah system hukum, yaitu satu kesatuan hukum yang tersusun dari tiga unsur: struktur hukum, substansi hukum dan budaya hukum.[2]
Struktur hukum pada masyarakat Arab didasarkan pada suprastruktur dalam setiap suku, dalam hal ini lembaga-lembaga penegak hukum adalah orang-orang yang berada di dekat pusat kekuasaan yaitu kepala suku (kabilah) dan orang-orang yang ditunjuk olehnya. Proses penegakan hukum dilakukan secara langsung oleh kepala suku dan perwakilannya. Pada masyarakat Arab yang memiliki peradaban lebih maju struktur hukumnya dalam bentuk penunjukan lembaga yang disebut diyat yaitu lembaga yang memiliki kewenangan di bidang kehakiman dan tindakan kriminal.[3] Lembaga ini khusus menangani setiap tindakan pelanggaran hukum yang terjadi di wilayah Mekkah yang didiami oleh masyarakat Arab dari suku Quraisy.
Substansi hukum masyarakat Arab berupa kaidah-kadaih hukum dan norma-norma yang menjadi adat istiadat mereka sehari-hari. Kaidah-kaidah tersebut meliputi norma hukum yang diperlukan pada waktu itu, pada ranah hukum modern ruang lingkup kaidah tersebut terdiri dari kaidah hukum perdata dan hukum pidana. Hukum perdata yang mereka laksanakan meliputi hukum keluarga misalnya perkawinan dan kewarisan. Praktek hukum perkawinan yang dilakukan masyarakat Arab terdiri dari beberapa jenis, yaitu istibdha, Poliandri, Maqthu’, Badal, dan sighar.[4] Selain jenis pernikahan tersebut bangsa Arab juga mengenal pernikahan mut’ah, pelacuran dan meminta seseorang menikah dengan saudara perempuannya dengan bayaran tertentu. Proses pernikahan dilakukan dengan terlebih dahulu meminang wanita kepada walinya, kemudian sang pelamar memberikan mas kawin sebagai tanda sahnya pernikahan. Adapun hukum perceraian yang berlaku pada masyarakat Arab adalah berupa talak dan dzihar yang dilakukan oleh seorang suami.
Hukum kewarisan yang berlaku di masyarakat Arab menempatkan wanita bukan sebagai ahli waris, wanita tidak mempunyai hak menerima bagian warisan harta orang tua atau keluarganya yang meninggal. Beberapa pembagian waris yang terjadi pada saat itu justru menjadikan seorang wanita sebagai harta yang boleh diwariskan. Pembagian waris menurut masyarakat Arab didasarkan pada kontribusi masing-masing anggota keluarga, seorang anak laki-laki akan mendapatkan harta warisan karena ia berkontribusi dalam mencari harta, berperang, dan membela kepentingan suku. Sementara seorang wanita tidak diberikan harta warisan karena tidak adanya kontribusi bagi sukunya.
Hukum masyarakat Arab dalam bidang Pidana, diantaranya adalah qishas yaitu balasan kepada seseorang sesuai dengan kejahatan yang dilakukan kepada orang lain. Selain itu dikenal pula istilah diyat[5] yaitu pembayaran denda oleh seseorang yang melakukan kejahatan berupa uang atau benda berharga lainnya yang diserahkan kepada ahli waris korban kejahatannya. 
Hukum ekonomi yang berlaku dalam masyarakat Arab memiliki karakter tersendiri, hal ini karena sebagian mereka berprofesi sebagai pedagang. Perdagangan menjadi urat nadi perekonomian terutama pada masyarakat Arab yang tinggal di sekitar Mekkah. Bukti yang menunjukkan bahwa bangsa Arab khususnya suku Quraisy telah lama melakukan perdagangan adalah sebagaimana digambarkan al-Qur’an:
لإِيلاَفِ قُرَيْشٍ {1} إِيلاَفِهِمْ رِحْلَةَ الشِّتَآءِ وَالصَّيْفِ {2} فَلْيَعْبُدُوا رَبَّ هَذَا الْبَيْتِ {3} الَّذِي أَطْعَمَهُم مِّن جُوعٍ وَءَامَنَهُم مِّنْ خَوْفٍ {4}
Karena kebiasaan orang-orang Quraisy, (yaitu) kebiasaan mereka bepergian pada musim dingin dan musim panas. Maka hendaklah mereka menyembah Tuhan Pemilik rumah ini (Kakbah). Yang telah memberi makanan kepada mereka untuk menghilangkan lapar dan mengamankan mereka dari ketakutan. QS. Al-Quraisy: 1-4.

Ibnu Abbas mencatat bahwa kalimat “(yaitu) kebiasaan mereka berpergian di musim dingin dan musim panas” adalah orang-orang Quraisy yang biasa mengadakan perjalanan terutama untuk berdagang ke negeri Syam pada musim panas dan ke negeri Yaman pada musim dingin. Dalam perjalanan itu mereka mendapat jaminan keamanan dari penguasa negeri-negeri yang dilaluinya. Ini adalah nikmat yang besar dari Allah ta’ala kepada mereka. Oleh karena itu sewajarnyalah mereka menyembah Allah yang telah memberikan nikmat itu kepada mereka.[6]
Pola-pola perdagangan yang dilakukan oleh masyarakat Arab khususnya Quraisy sebagai pedagang melahirkan berbagai bentuk transaksi perdagangan yang dijadikan pedoman dalam perdagangan mereka, ada akad mudharabah, murabahah, ijarah dan lain sebagainya. Hukum ekonomi lainnya yang berlaku pada masyarakat Arab yaitu transaksi hutang-piutang dan jual beli dengan riba, system jual beli gharar (ketidakjelasan), dan perjudian (maysir).
Fakta-fakta tersebut membuktikan bahwa masyarakat Arab memiliki system hukum yang didasarkan pada adat-istiadat dan kebiasaan yang telah mereka laksanakan dalam kehidupan sehari-hari. System hukum adat ini berasal dari kesepakatan bersama seluruh  anggota suku, selain itu terdapat pula beberapa bidang hukum yang merupakan keputusan kepala suku. Selanjutnya adat-istiadat tersebut menjadi sebuah tradisi yang baku pada setiap suku, mereka mentaatinya dan menjadikannya pedoman dan kehidupan bermasyarakat. Hal ini sebagaimana analisis Asaf A.A. Fyzee yang mencatat bahwa berbagai pola atau system hukum keluarga seperti perkawinan, ekonomi, sosial dan yang lainnya digunakan dalam menjalankan system kesukuan tersebut.[7]
Budaya hukum masyarakat Arab mengalami kemerosotan drastis, hukum yang seharusnya ditegakan secara adil hanya berlaku pada kalangan bawah saja, sementara para kepala suku dan orang-orang terhormat di antara mereka tidak bisa tersentuh oleh hukum. Banyaknya terjadi peperangan di antara suku Arab juga menjadikan mereka sangat memerlukan orang-orang yang bisa membantu dan membela suku mereka sehingga kebutuhan akan seorang laki-laki yang akan membela sukunya menjadi sangat mendasar. Sebaliknya perempuan hanya menjadi beban bagi keluarga dan sukunya sehingga kehadiran mereka sangat tidak diharapkan. Maka kelahiran seorang anak perempuan adalah sebuah aib bagi keluarga, oleh karena itu mereka akan sangat murka ketika istri-istri mereka melahirkan anak perempuan,[8] mereka akan tega membunuh anak perempuannya tersebut. Perilaku hukum lainnya yang menyebar pada masyarakat Arab di bidang ekonomi adalah praktek riba yang menjadikan orang-orang kaya semakin kaya sementara yang miskin akan semakin terlilit oleh hutang sehingga terjadilah praktek perbudakan terhadap manusia. Hukum yang seharusnya ditegakkan oleh masyarakatnya dilanggar dan menjadi suatu budaya baru yang tidak lagi sejalan dengan nilai-nilai kemanusiaan. Inilah masa yang disebut dalam Al-Qur’an sebagai masa Jahiliyah di mana manusia telah menyimpang jauh dari nilai-nilai kemanusiaannya.
Hukum pada masyarakat Arab terus dilaksanakan oleh para penduduknya hingga Islam diturunkan kepada Nabi Muhammad Shalallahu Alaihi wasalam di Mekkah, salah satu dari pusat peradaban di Jazirah Arab. Islam membawa satu system hukum yang membawa kepada kemashlahatan bagi seluruh umat manusia, mengembalikan nilai-nilai kemanusiaan yang selama ini dilanggar dan menjadi rahmat bagi seluruh alam. Kehadiran Islam disambut oleh manusia yang menginginkan adanya perbaikan hukum dan masyarakat menuju masyarakat yang memiliki system hukum yang memberikan hak kepada para pemiliknya dan menegakan keadilan di alam semesta.  
Kehadiran hukum Islam di tengah masyarakat Arab tidak serta-merta menghapuskan hukum-hukum yang telah ada sebelumnya. Pola-pola pengadopsian dengan memberikan ruang kepada system hukum yang telah ada menjadikan hukum Islam mudah diterima oleh masyarakat Arab. Hal ini terlihat dari proses infiltrasi hukum Islam ke dalam hukum masyarakat Arab waktu itu. Ada dua fase pola infiltrasi hukum Islam ke dalam masyarakat Arab:
1.   Fase Mekkah, pada fase ini hukum Islam masih dalam taraf penyesuaian dengan hukum Arab. Dakwah Islam sendiri masih difokuskan kepada perbaikan nilai-nilai ketauhidan dan akhlak. Sehingga hukum Islam masih membangun pondasi bagi bangunan system hukumnya.  
2.   Fase Madinah, pada fase ini hukum Islam mengalami perkembangan dan penyempurnaan. Seluruh sendi hukum Islam berperan aktif, hukum-hukum masyarakat arab yang tidak sesuai dengan Islam dihapuskan, sebagian dimodifikasi dan sebagiannya diadopsi oleh hukum Islam.  
Berdasarkan dua fase perkembangan hukum Islam tersebut terdapat beberapa kaidah yang menjadi kunci sukses diterimanya hukum Islam oleh masyarakat Arab. Beberapa kaidah tersebut adalah:
1.   ‘Adam Al-Kharaj yaitu menghilangkan kesusahan. Hukum Islam meniadakan segala bentuk pembebanan yang akan menyebabkan kesusahan bagi umat manusia. Ia memberikan keluasan untuk melakukan berbagai hal, misalnya dalam masalah ibadah dibolehkan berbuka puasa ketika dalam perjalanan, boleh bertayamum karena tidak mendapatkan air untuk bersuci, dan kebolehan mengonsumsi sesuatu yang haram dalam keadaan darurat.  
2.   Taqlil At-Taklif, yaitu menyedikitkan beban. Sifat dari hukum Islam yaitu memberikan keringanan dan mengurangi beban sedikit mungkin. Maksudnya adalah bahwa dalam hukum Islam sangat ditekankan agar manusia itu tidak dibebani oleh sesuatu yang memberatkan, hukum Islam menginginkan agar seluruh umat manusia merasa ringan dengan menjalankan hukum Islam.
3.   Tadrij fi Tasyri’ (gradual), yaitu hukum Islam diturunkan secara bertahap. Maksudnya adalah bahwa setiap hukum yang diturunkan pada awal Islam dilakukan secara bertahap agar jiwa manusia siap dengan pembebanan hukum akhirnya. Sebagai contoh dalam masalah keharaman khamr (minuman keras), demikian juga mengenai keharaman riba.[9] Pengharaman keduanya dilakukan secara bertahap dan berangsur-angsur, dari mulai mencela perbuatan tersebut, larangan mendekatinya dan terakhir pengharaman atas keduanya.    
Tiga kaidah hukum Islam tersebut telah menjadikan masyarakat Arab menerima hukum Islam secara kaffah, walaupun pada awalnya dilakukan secara bertahap dan perlahan-lahan. Selain itu, penerimaan masyarakat Arab atas hukum Islam juga didasari pada sikap Islam terhadap system hukum mereka. Hukum Islam menempatkan hukum dan adat-istiadat Arab sebagai sesuatu yang apabila selaras dengan nilai-nilai kemanusiaan maka akan diterima oleh Islam, adapun yang menyimpang maka dilakukan koreksi agar tidak melanggar nilai-nilai kemanusiaan. Inilah karakter dari hukum Islam yang memberikan ruang bagi adat dan kebiasaan suatu masyarakat selama tidak bertentangan nilai-nilai Islam dan kemanusiaan.  
Karakter hukum ini terus dibawa hingga menyeberangi lautan, memasuki sebagian besar benua Asia, Afrika, dan Eropa. Hukum Islam juga telah sampai ke pusat-pusat kekuasaan di Romawi, Persia, India, China dan juga Nusantara. Ia telah mendarat di kepulauan Asia jauh hingga ke Jazirah Al-Muluk wilayah yang merupakan bagian dari Negara Republik Indonesia saat ini.
Sebagaimana hukum Islam yang hadir di Jazirah Arab, maka ketika hukum Islam masuk ke Indonesia ia dihadapkan pada masyarakat yang memiliki adat istiadat dan budaya yang beraneka ragam. Adat istiadat tersebut telah menjadi aturan yang ditaati oleh setiap masyarakatnya, diwariskan secara turun temurun dan menjadi sebuah hukum yang tidak boleh dilanggar. Pelanggaran atas adat tersebut akan mendapatkan sanksi dalam berbagai bentuk yang juga telah disepakati bersama. Aturan dan norma ini kemudian dikenal dengan istilah adat istiadat atau dalam pandangan ahli hukum Belanda disebut Hukum Adat (adatrecht).[10]
Interaksi antara hukum Islam dengan hukum Adat di Indonesia tidak terelakan hingga memunculkan pola interaksi dalam bentuk saling mengisi dan mewarnai khazanah system hukum di Indonesia. Pada beberapa wilayah seperti Sumatera Barat dan Aceh, pengaruh hukum Islam sangat kuat sehingga hukum Islam menggantikan posisi dari hukum adat yang berlaku sebelumnya. Sementara di wilayah lainnya terjadi relasi dalam bentuk akulturasi, dialog, dan harmoni antara hukum Islam dan Hukum Adat. Harmoni antara kedua system hukum ini memunculkan Theori Receptio In Complexu yang menyatakan bahwa hukum yang berlaku di Indonesia adalah hukum Islam untuk orang-orang Islam.[11]
Masyarakat Indonesia yang menerima hukum Islam sebagai bagian dari system hukum adat diantaranya adalah masyarakat Sunda yang mendiami wilayah Pulau Jawa bagian barat. Suku Sunda adalah salah satu suku besar di Indonesia memiliki system hukum tersendiri yang bersumber dari adat-istiadat yang telah diwariskan secara turun-temurun dari nenek moyangnya. Adat-istiadat tersebut dipegang teguh sebagai pedoman hidup dan mengatur interaksi antara mereka, pelanggaran yang terjadi akan mendapatkan sanksi berupa hukuman fisik dan hukuman sosial.

Maka ketika hukum Islam bertemu dengan hukum Adat Sunda terjadilah interaksi antara keduanya. Interaksi ini memunculkan pola-pola hukum Islam dengan balutan hukum adat Sunda. Realitas umum yang terjadi pada masyarakat Sunda adalah penerimaan mereka terhadap hukum Islam, sehingga muncul istilah Sunda Islam dan Islam Sunda.[12] Namun suku Sunda sendiri pada beberapa wilayah berbeda-beda dalam menerima hukum Islam. Wilayah yang berada di pesisir pantai utara lebih menerima hukum Islam secara kaffah, sementara wilayah yang berada di bagian pedalaman dan selatan cenderung lebih selektif dalam menerima hukum Islam. Sebagian dari mereka masih memegang teguh hukum adatnya masing-masing walaupun sudah menerima Islam sebagai agamanya, sementara sebagian yang lain belum menerima Islam sebagai agama resminya.  
Sub kultur Sunda yang mendiami wilayah bagian selatan diantaranya adalah masyarakat Adat Kampung Naga dan Baduy, keduanya merupakan bagian dari suku Sunda yang memiliki karakter sendiri dalam menerima hukum Islam. Jika masyarakat Kampung Naga telah menerima Islam sebagai agama mereka, maka masyarakat Baduy belum menerima Islam sebagai agamanya. Namun keduanya memiliki persamaan yaitu mereka masih secara ketat menggunakan hukum adat sebagai pedoman dalam kehidupan sehari-hari.  
Walaupun demikian, interaksi mereka dengan hukum Islam secara langsung ataupun tidak langsung telah mempengaruhi system hukum adat mereka. Pengaruh ini tidak hanya terjadi pada penggunaan kata-kata yang merupakan istilah khusus Islam seperti mahar (mas kawin), syahadat, Thalaq, waris, dan lain-lain. Namun pengaruhnya juga telah masuk ke dalam pelaksanaan beberapa bidang hukum adat yang mereka laksanakan sehari-hari. Bidang-bidang hukum Islam apa saja yang mempengaruhi hukum Adat kedua masyarakat tersebut? Penelitian mengenai bentuk-bentuk hukum Islam yang diserap oleh masyarakat Adat terutama di Kampung Naga dan Baduy adalah tema yang menarik untuk dijadikan bahan penelitian dan pembahasan.
  


[1]  Muhammad Husain Haekal,  Sejarah Hidup Muhammad, (Jakarta: PT. Pustaka Litera Antar Nusa. 2007), hlm. 15.
[2] Lawrence M. Friedmean, The Legal Sistem: a Social Science Perspective, Russel: Sage Foundation, New York, hlm. 197. Lihat Juhaya S. Praja, Teori Hukum dan Aplikasinya, Bandung: Pustaka Setia 2011, hlm. 54.  
[3] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: Rajagrafindo Persada. 2001)  hlm. 14.
[4] Mushthafa Said Al-Khinn,  984, hal. 8-19.
[5] Ali Sodiqin, Anthropologi Al-Qur’an: Model Dialektika Wahyu dan Budaya, (Jogjakarta: Ar-Ruz Media. 2008), hlm. 108.
[6] Abdullah bin Abbas, Tanwirul Miqbas ‘an tafsir Ibnu Abbas. (Beirut : Darul Fikr. tt), hlm.  
[7] Asaf A.A. Fyzee, Outlines of Muhammadan Law, (Bombay, India: Oxford University Press. 1948), hlm. 6-10.
[8] Lihat QS. An-Nahl: 58:
وَإِذَا بُشِّرَ أَحَدُهُم بِٱلْأُنثَىٰ ظَلَّ وَجْهُهُۥ مُسْوَدًّۭا وَهُوَ كَظِيمٌۭ
Dan apabila seseorang dari mereka diberi kabar dengan (kelahiran) anak perempuan, hitamlah (merah padamlah) mukanya, dan dia sangat marah.
[9] Muhammad Al-Khudari Beik. Tarikh at-Tasyri‘ al-Islami. (Jakarta: Daarul Kutub Al-Islamiyah. 2007), hlm. 17.
[10] Soerojo Wignyodipoero, Pengantar dan Asas-asas Hukum Adat. (Jakarta : Haji Masagunng. 1990),  hlm. 19.
[11] Sajuti Thalib, Receptio a Contrario. (Jakarta : Bina Aksara. 1985), hlm. 4.
[12] Ajip Rosjidi, Mencari Sosok Manusia Sunda, (Jakarta: Pustaka Jaya.  2010),  hlm. 50. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Please Uktub Your Ro'yi Here...