Rabu, 17 April 2013

Sejarah Kampung Naga: Versi Galunggung


Judul amanat dari Galunggung itu menurut Saleh Danasatmita (Dasim Budimansyah ; 1994:1991), digunakan dalam terbitan museum negeri Jawa Barat pada tahun 1981 karena naskah aslinya tidak bernama. Keropak tersebut hanya diberi kode MSA (Manuscript Soenda A) dengan nomor 632. Ada juga yang menyebutnya naskah Brandes karena cendekiawan itulah yang berhasil mengumpulkannya untuk koleksi museum pusat. Naskah tersebut tebalnya hanya tujuh lembar temasuk jilid sehingga pleyte dan poerbadjaraka merasa perlu mencantumkan kata “Catera Desunt” (tidak ada) lagi pada akhir transkripsi yang dikerjakannya. Tersirat dugaan dari kedua ahli itu: “Mungkin masih ada lanjutannya”. Mereka itu pula yang memberikan : “Een Peudo Padjadjaransche Kroniek” (Tombo Padjadjaran yang Palsu) kepada naskah tersebut. Karena mendapat cap “Palsu”, maka orang pun merasa tidak perlu memperhatikannya lagi. Terbukti, isi naskah tersebut bukanlah tombo, melainkan ajaran mengenai pegangan hidup yang menurut penulis naskahnya dituturkan oleh Rakean Darmasiksa kepada putranya Sang Lumahing Taman (Yang dipusarakan di taman). Halaman pertama yang berisi silsilah raja-raja hanya bertujuan memperkenalkan asal usul tokoh Darmasiksa tersebut.
Bukti sejarah tentang adanya tokoh nu nyusuk na Galunggung, tersimpan di museum pusat berupa prasasti batu yang diberi nomor D26. Prasasti ini ditemukan disebuah kabuyutan pada kompleks Bukit Geger Hanjuang, desa Linggawangi, kecamatan Leuwisari, Tasikmalaya, pada lereng selatan gunung Galunggung.
Holle pernah mentranskripsikannya tahun 1877, tetapi ia tidak berhasil memecahkan isi baris kedua. Kemudian Pleyte (1911) atas bantuan Prof. Kern, mengumumknan hasil bacaannya. Ternyata, ia “kehilangan” satu huruf dan salah baca lima huruf. Tetapi kedua cendekiawan itu sepakat bahwa prasasti tersebut dibuat dalam tahun 1033 Saka (111M). isi prasasti hanya tiga baris; ditulis dalam huruf dan bahasa sunda kuno.
Rumatak oleh penduduk setempat disebut Rumantak. Daerah tersebut, sebelum gunung Galunggung meletus, merupakan persawahan pada lereng Galunggung. Menurut hasil penelitian panitia “Hari Jadi Kabupaten Tasikmalaya” yang dipimpin oleh R. U. Sunardjo, SH., Rumantak adalah bekas ibukota kerajaan Galunggung. Dengan demikian isi prasasti dapat diterjemahkan sebagai berikut: Pada tanggal 13 bulan Badra tahun 1033 saka, Ruma(n)tak disusuk oleh Batari Hyang. Kata disusuk dalam hal ini berarti dikelilingi dengan parit pertahanan, sama halnya dengan berita prasasti Batutulis tentang Sri Baduga Nyusuk na pakwan.
Jika dihitung dengan penanggalan masehi, prasasti itu dibuat kira-kira pada tanggal 21 Agustus 2111 masehi.  Mungkin sebagai tanda peringatan selesainya karya Penyusukan tersebut oleh Batari Hyang yang sebagai penguasa Galunggung saat itu. Hingga kini tanggal 21 Agustus dianggap sebagai hari jadi Kabupaten Tasikmalaya.
Kisah awal kerajaan Galunggung dimulai oleh Sempakwaja, (Kisah Kerajaan Galuh; Depdikbud Ciamis; 1997: 5): “Sempakwaja putera selung Wretikandayun raja Galuh yang pertama (612 masehi). Walaupun ia sebagai anak sulung, tetapi tidak dapat menggantikan kedudukan ayahnya sebagai Raja Kerajaan Galuh, karena cacat badan, yaitu “ompong” (giginya tanggal, tidak utuh lagi). Karena itu pula ia dinamakan Sempakwaja (Sempak = tanggal; Waja = gigi). Yang naik tahta menggantikan ayahnya adalah mandiminyak., adik bungsu Sempakwaja mendalami agama, dan oleh ayahnya dijadikan “Batara Dangiang Guru” di Galunggung dengan 13 kerajaan kecil sebagai bawahannya, yaitu: Karajon, Balamoha, Pagerwesi, Puntang, Kahuripan, Muntur, Pangajahan, Lembuhuyu, Batur, Balaraja, Parahiyangan, Layuwatang, dan Kuningan”.
Sempakwaja, dalam kapasitasnya selku Batara Dangiang Guru, mempunyai hak memberkati penobatan raja-raja di Kerajaan Galuh tidak akan naik tahta tanpa pemberkatan Sempakwaja. Masa “kebarataan” di Galunggung tidak bertahan lama, karena beralih ke masa kerajaan. Setelah Sempakwaja hanya berlangsung empat kali pergantian, yaitu Batara Kamengputih, Batara Kawindu, Batara Wastahayu, dan Batar Hyang, yang merupakan Batara yang terakhir dan raja Kerajaan Galunggung yang pertama.
Raja yang memerintah Kerajaan Galunggung setelah Batari Hyang adalah Rakean Darmasiksa, yang disebutkan sebagai penutur agama nu nyusuk na Galunggung. Ia naik tahta pada tahun 1175 Masehi. Raja-raja selanjutnya yang memerintah setelah Rakean Darmasiksa adalah Ratu Ragasuci, Ratu Gulang Sakti, Ratu Sembah Gelek, Ratu Panyosongan dan yang terakhir adalah Prabu Rajadipintang yang berasal dari daerah Puntang.
 Setelah lolos dari kerajaan para pemberontak, raja dan pengikutnya yang setia sampai ke suatu tempat dekat muara sungai kecil yaitu sungai Cikole ke sungai Cihanjatan (sekarang berada di wilayah Desa Pusparaja, kecamatan Cigalontang Kabupaten Tasikmalaya). Di tempat itu semua anak dan semua pengikutnya yang setia dikumpulkan. Raja mengungkapkan isi hatinya dan menyatakan sudah tidak sanggup lagi untuk melanjutkan perjalanan, lalu menugaskan kepada anak-anaknya untuk melanjutkan perjalanan. Kepada anaknya yang sulung, yang kemudian hari dikenal dengan sebutan Raden Kagok Katalayah Nu Lecing Sang Seda Sakti, baginda raja membekali “kawedukan” (kekebalan tubuh dari senjata tajam). Beliau di makamkan di daerah Taraju, Tasikmalaya. Kepada anaknya yang kedua, yang kemudian dikenal dengan sebutan Ratu Kuncung Kudratullah dikenal pula dengan sebutan Eyang Mudik Batara Karang, baginda raja membekali “kebedasan” (kekuatan fisik). Beliau dimakamkan di daerah Karangnunggul, Tasikmalaya. Kepada anaknya yang ketiga, yang kemudian hari dikenal dengan sebutan Pangeran Mangkubawang, baginda raja membekali kepercayaan keduniawian (kekayaan harta benda). Beliau dimakamkan di Mataram, Yogyakarta. Kepada anaknya yang keempat, yang kemudian hari dikenal dengan sebutan Sunan Gunung Jati Kalijaga, baginda raja membekali pengetahuan pertanian. Beliau dimakamkan di daerah Cirebon. Kepada anaknya yang kelima, yang kemudian hari dikenal dengan sebutan Sunan Gunung Komara, baginda membekali kepintaran (ilmu). Beliau dimakamkan di daerah Banten. Kepada anaknya yang keenam, yang kemudian hari dikenal dengan sebutan Pangeran Kudratullah, baginda raja membekali pengetahuan agama. Beliau dimakamkan di daerah Godog, Garut. Sedangkan kepada anaknya yang bungsu, yang bernama Singaparana, baginda raja memberi tugas untuk menjaga pusaka kerajaan agar tidak jatuh ke tangan musuh.
Setelah selesai menyampaikan amanat baginda raja pamitan, lalu pergi ke sebuah bukit kecil dan “tilem” di sana. Bukit kecil itu sekarang dikenal dengan nama Gunung Raja, yang berada di wilayah Desa Pusparaja sekarang. Anak-anak beserta pengikutnya melanjutkan perjalanan untuk melaksanakan tugasnya masing-masing.
Singaparana yang mengemban tugas untuk menjaga dan mengamankan pusaka kerajaan setelah menempuh perjalanan jauh akhirnya sampai ke suatu tempat yang dianggap aman, yaitu suatu tempat di sebuah lembah di pinggir sungai Ciwulan, dikelilingi perbukitan yang sunyi senyap. Di tempat itulah, lokasi Kampung Naga sekarang, ia bersama pengikutnya bermukim. Lokasi pertama yang dijadikan tempat bermukim itu sekarang dikenal oleh masyarakat setempat dengan sebutan “tanah depok” (terletak di pinggir sebelah timur kampung. Nama “Depok” diduga diambil dari nama “padepokan” yaitu bangunan tempat berguru, yakni bangunan pertama yang dibangun Singaparana beserta pengikutnya).
Pemilihan lokasi yang tersembunyi itu, bisa dipastikan dengan maksud agar terhindar dari kontak dengan orang lain yang dikhawatirkan dapat membahayakan keamanan pusaka kerajaan yang harus dijaga jangan sampai jatuh ke tangan musuh. Lokasi tersebut pada saat ini saja boleh dikatakan “nyingkur” (tersembunyi), apalagi pada saat Singaparana bersama para pengikutnya pertama kali bermukim. Nama “naga” sendiri, yang dipergunakan bagi nama diri mereka diduga merupakan personifikasi sebagai seekor naga yang sedang “ngumpi” (bersembunyi) menghindari kontak dengan dunia luar. Perwujudan konsep tersebut dalam perilaku sehari-hari nyata benar mana kala kita menyelami pola kehidupan mereka yang amat sangat sederhana (bersahaja, lugu), bahkan menjurus ke sifat yang fatalistik. Memang ibarat seekor “Naga” yang sedang bertapa di lembah yang sunyi sepi
Akan tetapi tentunya hal ini, menurut kuncen Kampung Naga tidak memiliki arti yang demikian, dikarenakan bukti sejarah tentang Kampung Naga banyak yang hilang dan diantaranya diambil oleh pemerintah Belanda pada tahun 1927 ke Batavia, yang sampai sekarang tidak ada beritanya. Dan pada tahun 1956 Kampung Naga dibakar oleh gerombolan DI/TII. Dengan demikian masyarakat Kampung Naga sendiri “pareumeun obor”, dan yang terselamatkan oleh sesepuh Kampung Naga pada waktu itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Please Uktub Your Ro'yi Here...