Menurunnya peran politik Bani Abbasiyah yang disebabkann oleh adanya
perebutan kekuasaan di pusat pemerintahan Bani Abbasiyah menstimulasi munculnya
dinasti-dinasti kecil yang bersifat otonom yang biasa disebut mulukutthowaif, dimana kekhalifahan Bani
Abbasiyah hanya berfungsi sebagai jabatan keagamaan yang sakral dan tidak bisa
diganggu gugat.
Tentara Turki berhasil
merebut kekuasaan tersebut. Di tangan mereka khalifah bagaikan boneka yang tak
bisa berbuat apa-apa. Bahkan merekalah yang memilih dan menjatuhkan khalifah
sesuai dengan keinginan politik mereka. Setelah kekuasaan berada di tangan orang-orang
Turki pada periode kedua, pada periode ketiga (334-447 H/l055 M), Daulah Abbasiyah berada di bawah pengaruh kekuasaan
Bani Buwaih.
Dinasti Buwaih
didirikan oleh tiga bersaudara dari putra-putra Abu Syuja' Buwaih(Buya), pencari ikan yang tinggal di daerah Dailam yaitu; Ali, Hasan dan Ahmad. Melalui ketiga bersaudara inilah Daulah
Buwaih berhasil berdiri, peradaban Islam kembali dibangun, sehingga Islam
kembali berjaya. Kesejahteraan sosialpun dapat dicapai. Pada periode ini pula
pergolakan keagamaan terjadi dengan kebangkitan kembali kelompok-kelompok
keagamaan.
Dalam makalah ini akan dibahas secara
merinci sejarah mengenai gerak kekuasaan Bani Buwaih.
Urgensi
mengenal sejarah Islam bagi ummat Islam khususnya pelajar Islam mendorong
munculnya kajian-kajian sejarah. Sejarah yang penuh dengan pelajaran juga
menjadi salah satu pendorong kajian sejarah. Adanya durasi yang sangat panjang
antara masa terdahulu dengan saat ini menimbulkan adanya banyak perbedaan dalam
persepsi sejarah. Berdasarkan landasan-landasan tersebut penulis memandang
perlu adanya referensi yang otentik yang dapat digunakan sebagai literatur
dalam disiplin ilmu Sejarah Peradaban Islam.
Semoga
makalah ini dapat memberikan kontribusi dalam perkembangan ilmu sejarah
peardaban Islam.
Makalah ini membahas tentang
- Sejarah Bani
Buwaih
- Masa kekuasaan
Daulah Bani Buwaih
- Peradaban di Masa
Bani Buwaih
·
Aspek Ekonomi
·
Aspek Politik
·
Aspek Keagamaan
·
Aspek Ilmu
Pengetahuan dan Budaya
- Masa Keruntuhan Bani
Buwaih
Tujuan
penyusunan makalah ini adalah sebagai salah satu tugas pada mata kuliah Sejarah
Peradaban Islam.
Makalah ini disusun
dengan studi literatur dan penelusuran internet.
Salah
satu faktor yang menyebabkan peran politik Bani Abbas menurun adalah perebutan
kekuasaan di pusat pemerintahan, dengan membiarkan jabatan tetap dipegang Bani
Abbas, karena khalifah sudah dianggap sebagai jabatan keagamaan yang sakral dan
tidak bisa diganggu gugat lagi, sedangkan kekusaan dapat didirikan di pusat
maupun daerah yang jauh dari pusat pemerintahan dalam bentuk dinasti-dinasti
kecil yang merdeka. Di antara faktor lain yang menyebabkan peran politik Bani
Abbas menurun adalah perebutan kekuasaan di pusat pemerintahan. Hal ini sebenarnya
juga terjadi pada pemerintahan-pemerintahan Islam sebelumnya. Tetapi apa yang
terjadi pada pemerintahan Abbasiyah berbeda dengan yang terjadi sebelumnya.
Diawali
dengan kekuasaan Tentara Turki. Di tangan mereka khalifah bagaikan boneka yang
tak bisa berbuat apa-apa. Bahkan merekalah yang memilih dan menjatuhkan
khalifah sesuai dengan keinginan politik mereka. Setelah kekuasaan berada di
tangan orang-orang Turki pada periode kedua, pada periode ketiga (334-447
H/l055 M), Daulah Abbasiyah berada di
bawah pengaruh kekuasaan Bani Buwaih.
Dinasti ini muncul di Irak dan Iran Barat yang
diawali dengan peristiwa perpecahan di tubuh Dinasti Abbasiyah. Pengikut Bawaihiyyah adalah orang-orang Suku Dailami yang berasal dari
kabilah Syirdil Awandan, dari dataran tinggi Jilan sebelah selatan Laut
Kaspian. Suku ini terdiri dari orang-orang kuat yang terkenal dengan
kekerasannya karena pengaruh dari kebebasan yang tinggi. Mereka mampu
mempertahankan diri dengan baik di benteng pertahanan yang sekaligus digunakan
sebagai sarana latihan. Benteng itu terletak di lereng gunung dengan nama
Elburz yang secara efektif membentengi mereka dari arah selatan.
Dinasti Buwaihiyyah didirikan oleh tiga bersaudara dari putra-putra Abu Syuja' Buwaih(Buya), pencari ikan yang tinggal di daerah Dailam yaitu;
Ali, Hasan dan Ahmad. Untuk keluar dari tekanan kemiskinan, tiga bersaudara ini
(Ali, Hasan dan Ahmad) memasuki dinas militer yang ketika itu dipandang banyak
mendatangkan rezeki. Pada mulanya mereka bergabung
dengan pasukan Makan Ibn Kali, salah seorang panglima perang daerah Dailam dari Dinasti
Saman. Di profesinya yang baru itu, Ali dan Ahmad berkedudukan sebagai panglima
perang bersama pasukannya Makan Ibnu Kali. Setelah pamor Makan Ibn Kali
memudar, mereka kemudian berpindah ke kubu panglima Mardawij Ibn Zayyar Ad-Dailamy . Karena prestasi mereka, Mardawij
mengangkat Ali menjadi gubernur Al-Karaj, dan dua saudaranya diberi kedudukan penting lainnya.
Dari Al-Karaj itulah
ekspansi kekuasaan Bani Buwaih
bermula. Pertama-tama Ali berhasil menaklukkan daerah-daerah di Persia dan menjadikan Syiraz
sebagai pusat pemerintahan. Ketika Mardawij meninggal (terbunuh pada tahun 943
M), Bani Buwaih yang
bermarkas di Syiraz itu
berhasil menaklukkan beberapa daerah di Persia seperti Rayy, Isfahan, dan daerah-daerah Jabal. Ali
berusaha mendapat legalisasi dari khalifah Abbasiyah, Ar-Radhi Billah
dan mengirimkan sejumlah uang untuk perbendaharaan negara. Ia berhasil
mendapatkan legalitas itu. Kemudian ia melakukan ekspansi ke Irak, Ahwaz, dan Wasith.
Dari
sini tentara Buwaih menuju Baghdad untuk merebut kekuasaan di pusat
pemerintahan. Ketika itu, Baghdad sedang dilanda kekisruhan politik, akibat
perebutan jabatan Amir Al-Umara antara wazir dan pemimpin militer. Para
pemimpin militer meminta bantuan kepada Ahmad Ibn Buwaih yang berkedudukan di
Ahwaz. Permintaan itu dikabulkan. Ahmad dan pasukannya tiba di Baghdad pada
Jumadil Ula 334 H/945 M. Ia disambut baik oleh khalifah dan langsung diangkat
menjadi Amirul-Umara, penguasa politik negara, dengan gelar Mu'izz Ad-Daulah.
Saudaranya, Ali Ibn Buwaih, yang memerintah di bagian selatan Persia dengan
pusatnya di Syiraz diberikan gelar Imad Ad-Daulah, dan Hasan Ibn Buwaih yang
memerintah di bagian utara, Isfahan dan Rayy, diberi gelar Rukn Ad-Daulah.
Sejak itu, sebagaimana terhadap para pemimpin militer Turki sebelumnya, para
khalifah tunduk kepada Bani Buwaih. Pada masa pemerintahan Bani Buwaih ini,
para khalifah Abbasiyah benar-benar hanya tinggal nama saja. Pelaksanaan
pemerintahan sepenuhnya berada di tangan amir-amir Bani Buwaih. Keadaan
khalifah lebih buruk daripada masa sebelumnya, terutama karena Bani Buwaih
adalah penganut aliran Syi'ah, sementara Bani Abbas adalah Sunni. Selama masa
kekuasaan Bani Buwaih sering terjadi kerusuhan antara kelompok Ahlussunnah dan
Syi'ah, pemberontakan tentara, dan sebagainya.
Setelah
Baghdad dikuasai, Bani Buwaih memindahkan markas kekuasaan dari Syiraz ke
Baghdad. Mereka membangun gedung tersendiri di tengah kota dengan nama Dar Al-Mamlakah.
Meskipun demikian, kendali politik yang sebenarnya masih berada di Syiraz,
tempat Ali Ibn Buwaih (saudara tertua) bertahta. Dengan kekuatan militer Bani
Buwaih, beberapa dinasti kecil yang sebelumnya memerdekakan diri dari Baghdad,
seperti Bani Hamdan di wilayah Syria dan Irak, Dinasti Samaniyah, dan
Ikhsyidiyah, dapat dikendalikan kembali dari Baghdad.
Kekuasaan Bani
Buwaih muncul pertama kali pada saat kepemimpinan khalifah Abbasiyah yang ke-20
yaitu Al Mastakfi. Sebagaimana disebutkan di atas dinasti ini muncul Irak dan Iran Barat karena
adanya kemandulan politik Bani Abbasiyah. Bani Buwaih memerintah sejak tahun 334 H/945 M sampai 447 H/1055 M.
Selama masa pemerintahannya Bani Buwaih banyak memberikan pengaruh terhadap
peradaban Islam terutama dalam bidang ilmu pengetahuan.
2.1 Wilayah-wilayah Kekuasaan Bani Buwaih antara lain:
1.
Irak (antara tahun 945-1055 M)
2.
Iran Barat (antara tahun 934-1040 M)
1. Muizz Daulah Ahmad (945)
2. Izzal-Daulah Bakhtiyar (967)
3. Adlud Al-Daulah (978)
4. Sham Sham Al-Daulah (983)
5. Baha Al-Daulah (987)
6. Sultan Al-Daulah (1012)
7. Musyarif Al-Daulah (1021)
8. Jalal Al-Daulah (1025)
9. Imam Al-Din Abu Kalijar (1044)
10. Al-Malik Al-Rahim (1048-1055)
3.1
Aspek Ekonomi
Perkembangan ekonomi di Masa Bani Buawaihi
dibangun dari berbagai bidang, seperti bidang pertanian, perdagangan, dan
industri, terutama permadani. Jadi pada masa Daulah ini yang terkenal dalam
bidang perekonomiannya adalah dalam industry permadaninya.
3.2 Aspek Politik
Keadaan
politik pada masa Bani Abbassiyah periode ketiga ini adalah Khalifah hanya
dijadikan lambang saja sedangkan yang memegang tanduk kekuasaan adalah para
amir yang berasal dari suku Dailam.
Pada masa ini banyak terjadi pertikaian antara suku Dailam dengan
keturunan Turki yang terlebih dahulu telah menguasai tanduk kepemimpinan Bani
Abbasiyah. Selain pertikaian tersebut keadaan politik pada masa ini banyak terjadi penyerangan seperti seragan
dari Bazantium dan banyak Dinasti yang memisahkan diri.
Sebagaimana yang kita saksikan, abad keempat memang murni
abad syi’ah. Kaum Syi’ah Buwaihiyun berhasil menguasai sejumlah wilayah Iran
dan seluruh wilayah Irak.
kaum
syi’ah menampakkan betapa besar dendam mereka terhadap ulama-ulama Ahlussunnah
dan khalifah mereka. Mereka bahkan menulis caci-makian terhadap sahabat di
gerbang-gerbang mesjid. Mereka bahkan mencaci Abu Bakar dan Umar secara nyata
dalam khutbah-khutbah mereka, dan ini merupakan periode yang sangat menyedihkan
dalam sejarah umat Islam.
Kekerasan
antara kaum Sunni dan Syi'ah sering terjadi. Hal tersebut dipicu oleh adanya
keinginan dalam memperebutkan kekuasaan dan perbedaan ideologi yang mendasar.
Al-Hallaj, seorang sufi terkemuka yang mengajarkan doktrin peleburan Tuhan dan
penafsiran spiritual terhadap kewajiban-kewajiaban keagamaan, termasuk
pelaksanaan ibadah haji dihukum gantung di Bab Al-Thaq pada tahun 922 M.
Yang
menarik pada masa dinasti ini, aliran Mu’tazillah bangkit lagi, terutama di walayah
Persia, bergandengan tangan dengan Syi’ah. Pada masa ini muncul banyak pemikir
Mu’tazilah dari aliran Basrah walaupun nama mereka tidak sebesar para pendahulu
mereka dimasa kejayaannya yang pertama, meninggalkan banyak karya yang dibaca
sampai sekarang. Selama ini orang mengenal Mu’tazilah dari karya-karya lawan
mereka, terutama kaum Asy’ariyah. Sedikit sekali orang membaca karya pemikir
Mu’tazilah sendiri, karena kebanyakan karya mereka hilang dilenyapkan oleh
lawan. Tetapi pada akhirnya akibat persahabatan kaum Mu’tazilah dengan kaum
Syi’ah Zaidiah, karya-karya kaum Mu’tazilah pada periode kebangkitan kedua ini
banyak yang diamankan dan mulai pertengahan kedua abad ini banyak diterbitkan.
Yang
terbesar di antara tokoh Mu’tazilah periode kebangkitan kedua ini adalah
Al-Qodi ‘Abd Al-Jabbar, penerus aliran Basra setelah Abu ‘Ali dan Abu Hasyim.
Namanya tidak sebesar nama-nama tokoh seperti Abu Al-Hudzail bin Al-Allaf, Al-Jahidh,
Al-Nadhdham, dan Bisyr bin Al-Mu’tamir, tetapi ia merupakan tokoh yang sangat
penting dalam sejarah aliran Mu’tazilah berkat karya-karyanya yang sampai
kepada kita. Sampai saat ini ia merupakan tokoh Mu’tazilah yang karyanya paling
banyak sampai ke zaman ini, sehingga tanpanya pengetahuan tentang Mu’tazilah
tidak dapat diperoleh dengan lengkap.
Sisi
menarik lainnya yang bisa kita banggakan dalam pola dan tatanan kehidupan
masyrakat pada masa Dinasti ini. Sebagaimana para khalifah Abbasiyah periode
pertama, para penguasa Bani Buwaih mencurahkan perhatian
secara langsung dan sungguh-sungguh terhadap pengembangan ilmu pengetahuan dan
kesusasteraan. Para pangeran dan wazir dinasti ini menjadi contoh dalam
memberikan dukungan terhadap berbagai disiplin ilmu pengetahuan. Pada masa
tersebut, Baghdad sebagai tempat berkembangnya dinasti tersebut mengalami
kemajuan yang sangat pesat. Baghdad menjadi pusat ilmu pengetahuan. Para
penguasa saling berlomba-lomba dalam mengumpulkan para sastrawan untuk
menyampaikan syair-syair indahnya di istana. Sehingga bukan sebuah keanehan
jika sarjana dan penyair sering kali melakukan pengembaraan dari satu istana
menuju istana yang lain.
Diawali
dengan penerjemahan terhadap ratusan karya-ilmiah Yunani-Romawi ke bahasa Arab
oleh Hunain Ibn Ishaq, penerjemah Kristen Nestorian, Yuhanna ibn Hailan dan
sebagainya. Yang bertempat di Baghdad dan Iran sebagai pusat peradaban Islam
dengan beragam istana, pejabat dan penguasa yang sangat peduli terhadap
khasanah keilmuan. Pada masa Bani Buwaih
ini banyak bermunculan ilmuwan besar, di antaranya Al-Farabi (w. 950 M),
Ibn Sina (980-1037 M), Abdurrahman As-Shufi (w. 986 M),
Ibn Maskawaih (w. 1030 M), Abu Al-'Ala Al-Ma'arri (973-1057 M),
Al-Kindi, Sijistani, Nadhim, Al-Amiri, Ibn Rusyd dan kelompok Ikhwan As-Shafa.
Yang sebagian besar para ilmuwan tersebut muncul pada paruh terakhir Abad ke-4
H/ke-10 M, dibawah kontrol dinasti Buwaihiyyah yang dipimpinan oleh 'Adhud
Al-Daulah.
Para penguasapun sering mengumpulkan para
kerabatnya dalam sebuah majlis atau pertemuan untuk mempelajari disiplin
ilmu pengetahuan, seperti ilmu kalam, hadits, fiqih, kesusastraan dan lain sebagainya dengan dipandu
oleh para guru yang diundang secara khusus ke dalam istana. Selain di istana,
pertemuan dalam membahas ilmu pengetahuan juga diselenggarakan di
masjid-masjid, rumah-rumah pribadi, kedai-kedai, alun-alun bahkan di
taman-taman kota.
Pada
masa Dinasti Buwaihiyyah merupakan titik puncak dari apa yang disebut
"humanisme", karena betapa
kosmopolitannya atmosfer
budaya pada saat itu. Percampuran
pemikiran di antara orang-orang Islam, Kristen, Yahudi, Kaum Pagan,
kelompok-kelompok aliran teologi dan
kelompok religius sangat
menghargai pluralitas. Titik
tolak kesepakatan mereka adalah bahwa "ilmu-ilmu kuno" adalah milik
seluruh umat manusia dan tidak ada satu
kelompok religius atau kultural
satupun dapat mengklaim kepemilikan eksklusif ilmu-ilmu tersebut. Dimana
semangat pluralitas itu mereka kembangkan atas prinsip "shadaqah"
yang diartikan "persahabatan" yaitu
sebuah prinsip hubungan lintas
budaya dan religius yang mendasarkan
hubungannya pada kemanusiaan. Ini berarti hubungan mereka tidak didasarkan pada ras, suku atau agama, tetapi pada kenyataan bahwa mereka adalah manusia.
Jasa
Bani Buwaih juga terlihat dalam
pembangunan kanal-kanal, masjid-masjid, beberapa rumah sakit, dan sejumlah
bangunan umum lainnya. Kemajuan tersebut diimbangi dengan laju perkembangan
ekonomi, pertanian, perdagangan, dan industri, terutama permadani.
3.4.1 Para Ilmuwan pada masa Bani
Buwaih Sejarawan:
1.
Al-Mas’udi (956)
Ia
dikenal sebagai seorang sejarawan pengembara dan ahli geografi Arab. Ia
dilahirkan di Baghdad, Irak, pada akhir abad XIX. Nama lengkapnya adalah Abu Al-Hasan
Ali bin Husein Ibnu Ali Al-Mas’udi. Ia telah mengembara dari satu negeri ke
negeri lain, mulai dari Persia, Istakhr, Multan, Manura, Ceylon, Madgaskar,
Oman, Caspia, Teberias, Damaskus, Mesir, dan berakhir di Suriah. Dalam
pengembaraannya ia mempelajari ajaran Kristen dan Yahudi, serta sejarah
negara-negara barat dan timur.
Kitab-kitab
karangannya yaitu: kitab Akhbar Az-Zaman
(sejarah dunia), kitab Al-Ausat (tentangn
sejarah umum) kemudian kedua kitab tersebut digabung menjadi kitab Muruj Adz-Dzahab wa Ma’adin (Meadows of Gold and Mines of Precious Stones),
Kitab At-Tanbih wa Al-Isyraf (tentang
filsafat alam dan teori evolusi). Akhirnya beliau meninggal pada tahun 956 M.
2.
Al-Biruni, Abu Al-Raihan
(973-1048)
Nama
lengkapnya adalah Abu Ar-Rayhan Muhammad bin Ahmad Al-Biruni. Ia dilahirkan di
kota Bairun, Khwarizmi, Persia tahun 973 M. Ia tekun mempelajari pelajaran ilmu
astronomi, sastra, dan filsafat. Pengembaraannya saat itu menuju sejumlah negara
seperti Persia, Afghanistan, Irak, dan Syam. Ia mahir matematika, astronomi,
fisika, sejarah, geografi, bahasa, dan budaya. Buku-buku karyanya tentang
sejarah peradaban India yaitu: Tahqiq ma li Al-Hind min Maqulah Maqbulah fi Al-Aql
Au Mardzulah, Tarikh Al-Umam Asy-Syaqiyah, dan Tarikh Al-Hind (sejarah Hindia).
Karyanya dalam bidang matematika, Kitabal-Qanun
Al-Mas’udi fi Al-Haya wa An-Nujum (astronomi geografi dan matematika).
Dalam bidang filsafat, Al-Irsyad, Tahdid Nihayat Al-Amakin Litashih Masafat
Al-Masakin, dan lain-lain. Beliau telah menulis karyanya sampai 138 karya.
Sampai meninggalnya tahun 1050 di Afghanistan.
3.
At-Tanukh
3.4.2. Tokoh
Kesusastraan Bahasa Arab dan Persia:
1.
Al-Ashfani, Abu Al-Faraj (897-966)
2.
Badi Al-Zaman Al Hamadzani (933-1007)
3.
Abu Hayyan At-Tauhidi (1018)
4.
Abu ‘Ala Al-Ma’arri (9731057)
5.
Daqiqi (1020)
6.
Rudaqi (930-An)
7.
Al-Firdausi, Abu Al-Qosim (920-1020)
8.
Abu Sa’id Ibn Abi Al-Khair (1049)
1.
Al-Baqillani (1013)
2.
Al-Juwaini W. (1085)
1.
Al-Farabi, Abu Nashr
Muhammad (870-950)
Nama
lengkapnya adalah Abu Nashr Muhammad ibn Al-Farkh Al-Farabi, lebih dikenal
dengan sebutan Alfarabius atau Avennasar. Beliau lahir pada 870 M di Farab
Turki Tengah. Beliau terkenal sebagai ahli filsafat Arab. Masa kanak-kanaknya
ia habiskan dikota kelahirannya, kemudian melanjutkan studinya di Bukhoro, dan
pendidikan tingginya di Baghdad. Beliau juga telah berhasil menggabungkan ilmu
filsafat Yunani dan syariat Islam. Beliau meninggal tahun 970 di Damaskus.
2.
Ibnu Sina, Abu ‘Ali Husain Bin
Abdillah (980-1037)
Ia
lebih dikenal dengan nama Avicenna di dunia barat, beliau lahir pada tahun 980
di Afghanistan. Pada umur 10 tahun dia telah menguasai ilmu-ilmu agama seperti
fikih, tafsir, tasawwuf, beserta hafal Al-Qur’an dan paham sastra Arab. Setelah
itu ia melanjutkan belajarnya dengan belajar ilmu hokum, logika filsafat,
matematika, politik, fisika, kedokteran. Pada usia 18 tahun ia telah menguasai
seluruh cabang ilmu pada masanya. Pengembaraannya dimulai dari Bukhoro, Jurjan,
Khwarazm, sampai ke Mamadzan. Karya beliau yang terkenal dibidang kedokteran
yaitu kitab Qanun fi At-Thibb, dan
buku tentang penyakit saraf. Karya lainnya dibidang filsafat yaitu Asy-Syifa
(logika, fisika, matematika, dll), Al-Isyarat wa Tanbihat. Oleh dunia ia
dijuluki Father of Doctors, beliau
meninggal pada tahun 1037 (428 H)di Hamadzan.
3.
Ibnu Miskawih (W. 1030)
Nama
lengkapnya adalah Abu Ali Ahmad bin Muhammad bin Yaqub Miskawayh. Ia lahir pada
tahun 940 di Rayy, Iran. Ia serius mempelajari sejarah dan Filsafat Yunani.
Karya beliau diantaranya adalah Tahdib Al-Akhlaq
(Pembinaan Akhlaq), Jawidan Khirad
(Hikmah Yang Tak Lekang Waktu), Tartib As-Sadah
(Kaidah Kebahagiaan). Di bidang etika antara lain Al-Fauz Al-Asghar (kemenangan kecil), Arau Ahl Al-Madinah (Pemikiran Penduduk Kota), Ajwibah wa Al-Asilah fi An-Nafs wa Al-Aql As-Siyar (Tentang Aturan
Hidup), dan Taharat An-Nafs (Suci
dari Nafsu). Beliau wafat tahun 1030 M.
4.
Ibnu Al-Haistam, Abu ‘Ala Al-Hasan
(965-1039)
Nama
lengkapnya adalah Abu Ali Al-Hasan bin Al-Haytsam Al-Basri Al-Misri. Masyarkat
Barat lebih mengenalnya dengan sebutan AL Hazen, Avenalan, Avenetan. Lahir
tahun 1038 di Basrah, Irak. Ia adalah ahli fisika dan matematika terbaik.
Selain itu ia menguasai beragam ilmu, seperti fisika, astronomi, matematika,
pengobatan, dan filsafat. Pendidikan tingginya ia tempuh di Universitas
Al-Azhar. Karya beliau dibidang Optik yaitu Kitab
fi Al-Manasit (Kamus Optika), buku-buku tentang lingkaran cahaya dan
gerhana, tentang astronomi dan lain-lain. Beliau wafat tahun 1039 M.
5.
Abdurrhman As-Shufi (W.
986)
Nama
lengkapnya adalah Abdurrahman bin Umar As-Sufi Abul Husayn. Ia lahir tahun 903
M (291 H) di Rayy, Persia. Ia seorang astronom terkenal yang bekerja di istana
bersama Amir Adud Al-Dawla. Karyanya yang terkenal adalah kitab Al-Kawakib Ats-Tsabit Al-Musawwar (tentang
catalog bintang). Karya lainnya yang telah diilustrasi kembali seperti Notices at Extraits (oleh Causin de
Parceval), Description Des Etoiles Fixes
Par Abd Arl-Rahman As-Sufi (oleh H.C.F.C Schjellerup di St. Petersburg,
1874). Beliau meninggal pada tahun 986 M/376 H.
4.1
Faktor Internal Keruntuhan Bani Buwaih
Kekuatan
politik Bani Buwaih tidak lama bertahan.
Setelah generasi pertama, tiga bersaudara tersebut, kekuasaan menjadi ajang
pertikaian di antara anak-anak mereka. Masing-masing merasa paling berhak atas
kekuasaan pusat. Misalnya, pertikaian antara 'Izz al-Daulah Bakhtiar, putera Mu'izz al-Daulah
dan 'Adhad al-Daulah, putera
Imad al-Daulah, dalam perebutan jabatan Amir Al-Umara. Perebutan
kekuasaan di kalangan keturunan Bani Buwaih
ini merupakan salah satu faktor internal yang membawa kemunduran dan
kehancuran pemerintahan mereka. Faktor internal lainnya adalah pertentangan
dalam tubuh militer, antara golongan yang berasal dari Dailam dengan
keturunan Turki. Ketika Amir al-Umara dijabat oleh
Mu'izz al-Daulah
persoalan itu dapat diatasi, tetapi manakala jabatan itu diduduki oleh
orang-orang yang lemah, masalah tersebut muncul ke permukaan, mengganggu
stabilitas dan menjatuhkan wibawa pemerintah.
4.2
Faktor Eksternal Keruntuhan Bani Buwaih
Sejalan
dengan makin melemahnya kekuatan politik Bani Buwaih , makin banyak pula
gangguan dari luar yang membawa kepada
kemunduran dan kehancuran dinasti ini. Faktor-faktor eksternal tersebut di antaranya adalah semakin gencarnya
serangan-serangan Bizantium ke dunia Islam , dan semakin banyaknya
dinasti-dinasti kecil yang membebaskan diri dari kekuasaan pusat di Baghdad. Dinasti-dinasti
itu antara lain Dinasti Fathimiyah yang
memproklamasikan dirinya sebagai pemegang jabatan khalifah di Mesir, Ikhsyidiyah di
Mesir dan Syria, Hamdan di Aleppo dan Lembah Furat, Ghaznawi di Ghazna dekat Kabul,
dan Dinasti
Seljuk yang berhasil
merebut kekuasaan dari tangan Bani Buwaih .
Jatuhnya
kekuasaan bani buwaih ketangan Seljuk bermula dari perebutan kekuasaan di dalam
negeri. Ketika al-malik al-rahim memegang jabatan Amir Al-Umara, kekuasaan itu
dirampas oleh panglimanya sendiri, Arselan Al-Basasiri. Dengan kekuasaan yang
ada ditangannya, Al-Basasiri berbuat sewenang-wenang terhadap Al-Malik Al-Rahim
dan khalifah Al-Qaim dari Bani Abbas, bahkan dia mengundang Khalifah Fathimiyah
(Al-Mustanshir, untuk menguasai baghdad). Hal ini mendorong khalifah untuk
meminta bantuan kepada Tughril Bek dari Dinasti Seljuk yang berpangkalan di
negeri Jabal. Pada tanggal 18 Desember 1055m/447h pimpinan Seljuk itu memasuki
Baghdad. Al-Malik Al-Rahim, Amir Al-Umara Bani Buwaih yang terakhir, dipenjarakan.
Dengan demikian berakhirlah kekuasaan Bani Buwaih dan bermulalah kekuasaan Dinasti
Seljuk. Pergantian kekuasaan ini juga menandakan awal periode keempat Khilafah
Abbasyiah.
Setelah mempelajari tentang Daulah Bani
Buwaih di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa Bani Buwaih adalah salah satu bentuk kejayaan pada masa Bani
Abbasiyah pada periode ketiga walaupun khalifah Bani Abbas hanya sebagai symbol
saja tapi rakyat pada masa itu sejahtera seperti pada masa periode pertama. Ini
adalah salah satu bentuk dari keberhasilan dari 3 bersaudara yang mendirikan
daulah ini yaitu Ahmad, Ali dan Hasan.
Selain berhasil dalam menciptakan
kesejahteraan rakyatnya, Bani Buwaih juga berhasil mengembangkan ilmu
pengetahuan dalam berbagai ilmu seperti astronomi, kedokteran, teologi dan
sebagainya.
Namun seperti apapun betu keberhasilan yang
Bani Buwaih raih tak lepas dari usaha dan kerja keras dari ketiga bersaudara
tersebut. Tidak hanya itu suatu Daulah akan berjaya jika hubungan antara para
khalifah atau para amirnya selalu terjalin baik. Hal ini terbukti pada Daulah ini. Setelah
ketiga bersaudara tersebut wafat dan tanduk kekuasaan dalam keadaan kosong
terjadilah perebutan kekuasaan antara anak-anak mereka. Hal ini yag menyebabkan
runtuhnya Daulah ini.
Al-‘Usairy, Ahmad.
2003. Sejarah Islam. Penerjemah
Samson Rahman. Jakarta: Akar Media.
Musfir al-Zahrani, Muhammad. 1980. Nizham
al-Wizarah fi al-Daulah al-Abbasiyah, Beirut: Mu’assasah al-Risalah.
Yatim,
Badri. 2008. Sejarah Peradaban Islam.
Jakarta: Rajagrafindo Persada.
Yatim, Badri. 2008. Sejarah Peradaban Islam
Dirasah Islamiyah II, Jakarta: Rajagrafindo Persada.
19Januari 2010, Aida Nur Fadilla
15 Juni 2010 11:37:14
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Please Uktub Your Ro'yi Here...