Oleh : AM Bambang Prawiro
‘Urf bila dilihat dari segi ruang lingkup
penggunaannya terbagi menjadi dua : Pertama, Al-‘Urf al-‘am (adat
kebiasaan umum) adalah adat kebiasaan mayoritas dari berbagai negeri pada satu
masa. Contoh kebiasaan menyewa kamar mandi umum dengan jumlah sewa tertentu
tanpa menentukan secara pasti berapa lamanya mandi dan banyaknya air yang
digunakan, ketika memasuki kolam renang/pemandian umum terkadang tak bisa
dihindari terlihatnya aurat sebagian pengunjung oleh yang lain, dan memakan buah-buahan
yang jatuh dari pohon yang terdapat di jalan umum.
Kedua, Al-‘Urf
al-khash (adat kebiasaan khusus), yaitu adat istiadat yang berlaku
pada masyarakat atau negeri, iklim, dan kelompok tertentu. Contoh catatan jual
beli yang dipegang oleh penjual sebagai alat bukti ketika terjadi permasalah
hutang piutang, kebiasaan tertentu dalam berjual beli, garapan lahan pertanian[1].Al-‘Urf
al-khash ini juga mencakup pengertian-pengertian tentang suatu hal
atau masalah tertentu menurut terminologi ilmu tertentu pula[2].
Misalnya kita mengetahui pengertian sunnah menurut fuqaha, ushuliyun dan
muhadditsun. Masing-masing mereka memberikan definisi yang berbeda untuk
pengertian sunnah.
Dalam ilmu
Falak kita juga mengenal metode hisab ‘urfi sebagai salah satu
metode perhitungan awal bulan Qamariyah. Hisab ‘Urfi adalah suatu
sistem perhitungan awal bulan yang didasarkan pada peredaran rata-rata bulan
mengelilingi Bumi dan ditetapkan secara konvensional. Perhitungannya bersifat
tetap seperti dalam penanggalan masehi. Dalam artian bahwa bilangan hari pada
tiap-tiap bulan dalam setiap bulannya bersifat tetap. kecuali ada penambahan
hari pada tahun kabisat. Model perhitungan ini tidak sesuai dengan perhitungan
sebenarnya peredaran bulan. Karena perhitungan bulan dalam perhitungan tahun
Qamariyah tidak selamanya tetap tapi dapat berubah-ubah sesuai dengan kondisi
riilnya.
Berdasarkan
jenis perbuatannya maka ‘urf terbagi menjadi dua macam, yaitu ‘Urf
qawli/ lughawi dan ‘Urf ‘amali/ fi’li. ‘Urf qawli/ lughawi adalah
kebiasaan yang berlaku dalam penggunaan kata-kata atau ucapan bukan
pengertiannya secara kebahasaan. Seperti penggunaan kata aulad dalam
Al-Qur’an :
يُوصِيكُمُ ٱللَّهُ فِىٓ أَوْلَٰدِكُمْ
Allah
mensyariatkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. QS An-Nisaa
: 11.
Pengertian kata
aulad dalam ayat ini mengacu pada anak laki-laki dan perempuan. Sedangkan
dalam kebiasaan bangsa Arab menggunakannya khusus untuk anak laki-laki
saja. Contoh lainnya adalah penggunaan kata lahm yang
berarti daging hanya untuk daging sapi dan kambing. Jika seseorang itu
bersumpah atas nama Allah tidak akan makan lahm lalu ternyata
ia makan ikan, tidaklah ia dianggap malanggar sumpahnya. Karena menurut ‘urf dalam
masyarakat pengertian lahm itu hanya untuk daging sapi dan
kambing, tidak termasuk ikan. Pada hal secara bahasa pengertian lahm mencakup
berbagai macam daging termasuk di dalamnya ikan sebagaimana Firman Allah QS
an-Nahl/16: 14 berikut:
وَهُوَ
ٱلَّذِى سَخَّرَ ٱلْبَحْرَ لِتَأْكُلُوا۟ مِنْهُ لَحْمًۭا طَرِيًّۭا وَتَسْتَخْرِجُوا۟
مِنْهُ حِلْيَةًۭ تَلْبَسُونَهَا وَتَرَى ٱلْفُلْكَ مَوَاخِرَ فِيهِ وَلِتَبْتَغُوا۟
مِن فَضْلِهِۦ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ
Dan Dia-lah,
Allah yang menundukkan lautan (untukmu), agar kamu dapat memakan daripadanya
daging yang segar (ikan), dan kamu mengeluarkan dari lautan itu perhiasan yang
kamu pakai; dan kamu melihat bahtera berlayar padanya, dan supaya kamu mencari
(keuntungan) dari karunia-Nya, dan supaya kamu bersyukur.
Contoh lainnya
adalah kata daabbah digunakan untuk keledai saja pada
sebagian daerah di Mesir atau pengertiannya adalah kuda pada sebagian daerah di
Irak dan Sudan[3] pada
hal pengartiannya dalam bahasa Arab mencakup semua yang hewan berkaki empat.
Urf ‘amali/
fi’li, yaitu kebiasaan yang berlaku dalam perbuatan.
Misalnya kebiasaan jual beli barang-barang yang murah atau kurang berharga
biasanya transaksi antara penjual dan pembeli cukup hanya dengan menunjukkan
barang serta serah terima barang dan uang tanpa terjadi akad apa-apa. Kebiasaan
ini tidak menyalahi aturan akad dalam jual beli karena telah menjadi kebiasaan
dalam masyarakat.[4]
Conoth berikutnya adalah ukuran atau kriteria ‘adalah (keadilan) untuk
diterimanya kesaksian seseorang. ‘Adalah diartikan sifat yang
melekat pada diri seseorang sehingga ia senantiasa bertaqwa pada Allah dan
menjaga muru’ahnya. Tentang menjaga muru’ah ini,
di daerah Timur orang yang tidak menutup kepalanya dianggap tidak menjaga muru’ah.
Namun persepsinya berbeda dengan orang di Barat. ‘Urf mempengaruhi
pertimbangan dalam penetapan hukum. Pengaruh itu terutama berkenaan dengan
makna yang harus diberikan pada ungkapan yang digunakan dalam hukum. Banyak
ungkapan dalam bidang perikatan, muamalat, munakahat, sumpah, nazar
dan lainnya yang harus diartikan menurut ‘urf si
pembicaranya. Suatu ungkapan yang pada tempat dan waktu tertentu
dipandang jelas (sharih) mungkin saja mengalami perubahan makna pada
waktu atau tempat yang lain.
Selanjutnya
‘urf dilihat dari segi ukuran Islam, ia terbagi menjadi dua yaitu ‘urf
shahih dan ‘urf fasid, pembagian ini sebenarnya merujuk kepada
pengertian bahwa urf dan adat adalah sinonim. Dari segi ini ‘urf terbagi
menjadi dua, Pertama ‘Urf shahih (adat kebiasaan yang benar) adalah
suatu hal yang baik yang menjadi kebiasaan suatu masyarakat, tidak bertentangan
dengan ajaran agama, sopan santun, dan budaya yang luhur. Misalnya pemberian
pihak laki-laki kepada calon istrinya dalam pelaksanaan pinangan dianggap
hadiah bukanlah mahar. Kebiasaan penduduk Baghdad dulunya untuk menyiapkan
makan siang bagi tukang yang bekerja dalam pembangunan rumah. Kedua, ‘Urf
fasid (adat kebiasaan yang tidak benar), yaitu suatu yang menjadi
kebiasaan yang sampai pada penghalalan sesuatu yang diharamkan Allah
(bertentangan dengan ajaran agama), undang-undang negara, dan sopan santun.
Seperti menyediakan hiburan perempuan yang tidak memelihara aurat dan
kehormatannya dalam perayaan suatu perhelatan, dan akad perniagaan yang
mengandung riba.[5]
[1] Zein, Satria Effendi
M, 2005, Ushul Fiqh, Jakarta: Prenada Media, Cet.ke-1, h. 154
[2] Zuhaili, Wahbah,
Ushul al-Fiqh al-Islami Juz II, Beirut: Dar al-Fikr, 2001, hal. 834
[3] Barriy, al, Zakariya,
Mashadir al-Ahkam al-Islamiyah, Kairo:Dar al-Ittihad al-Arabiy: 1975, h. 148
[4] Syarifuddin, Amir,
2001, Ushul Fiqh Jilid 2, Jakarta: Logos, cet.ke-2, h. 363
[5] Zein, op.cit, h.
154-155 dan Syarifudin, op.cit, h. 368
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Please Uktub Your Ro'yi Here...