Oleh : Abu Aisyah
Hukum Islam adalah hukum universal, ia
datang dari Tuhan untuk dijadikan pedoman bagi seluruh umat manusia.
Keuniversalan hukum Islam tercermin dari sifatnya yang menyamakan kedudukan seluruh
manusia di depan sistem hukumnya. Tidak ada keistimewaan bagi orang-orang arab atas
orang-orang non arab, demikian juga tidak ada kelebihan dari orang yang
berkulit putih dibanding orang yang berkulit hitam. Konsep musawah (persamaan)
inilah yang menjadikan Hukum Islam sesuai untuk dilaksanakan kapan saja, di
mana saja dan oleh siapa saja.
Di antara karakteristik mendasar hukum
Islam adalah konsep kekuasaan yang hanya menjadi hak “mutlak” Allah ta’ala.
Maksudnya adalah kekuasaan membuat dan menciptakan suatu hukum itu hanya pada
Allah saja, tidak pada perorangan, golongan, partai maupun pada kesepakatan bersama,
Allah ta’ala berfirman :
أَلَا
لَهُ ٱلْخَلْقُ وَٱلْأَمْرُ
Ingatlah, menciptakan dan memerintah
hanyalah hak Allah. QS. Al A’raaf : 54.
Dalam ayat yang lainnya disebutkan :
إِنِ
ٱلْحُكْمُ إِلَّا لِلَّهِ
Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah.
QS. Al-An’am : 57
Kedua ayat ini menjadi dalil bahwa hak
untuk membuat hukum adalah hanya bagi Allah ta’ala saja. Adapun para hakim maka
mereka hanyalah memutuskan hukum Allah tersebut. Konsep ini membawa konsekuensi
bahwa hukum Islam selalu didasarkan kepada firman-firman Tuhan. Manusia sebagai
pelaku dan obyek hukum dalam hukum Islam adalah pelaksana dari hukum-hukum
tersebut, mereka mengokohkan setiap hukum yang ada di dalam sumber hukum Islam
yaitu Al-Qur’an dan Al-Hadits. Jika demikian bagaimana posisi manusia dalam
system hukum ini? Apakah manusia mendapatkan posisi yang mulia dalam system
hukumnya? Apakah manusia diberikan kebebasan untuk mengembangkan sifat
kemanusiannya? Makalah ini akan mengkaji mengenai hukum Islam dilihat dari
sudut pandang Anthropologi Budaya. Ini berarti hukum Islam yang ada di
masyarakat ditinjau dengan ilmu Anthropologi khususnya Anthropologi budaya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Please Uktub Your Ro'yi Here...