Oleh : Abu Aisyah
Hukum Islam adalah “Syariat
Allah ta’ala yang bersifat menyeluruh berupa hukum-hukum yang terdapat di dalam
Al-Qur’an dan As-Sunnah (Syari’ah) serta hukum-hukum yang dihasilkan
oleh para ahli hukum Islam dengan menggunakan metode ijtihad (fiqh)”.
Kajian mengenai Hukum Islam seringkali memahami hukum Islam sebagai syariah
Islam atau fiqh Islam, padahal keduanya memiliki perbedaan mendasar.
Syariah[1]
menurut bahasa bermakna الوارد (al-warid) yang berarti jalan danنحو
الماء yaitu tempat keluarnya (mata) air.[2]
Manna' Khalil Al-Qathan berkata “Syariat pada asalnya menurut bahasa adalah
sumber air yang digunakan untuk minum, kemudian digunakan oleh orang-orang Arab
dengan arti jalan yang lurus (al-syirath al-mustaqim) yang demikian itu
karena tempat keluarnya air adalah sumber kehidupan dan
keselamatan/kesehatan badan, demikian
juga arah dari jalan yang lurus yang mengarahkan manusia kepada kebaikan,
padanya ada kehidupan jiwa dan pengoptimalan akal mereka[3]
Secara istilah “syariat” adalah “Seperangkat norma
yang mengatur masalah-masalah bagaimana tata cara beribadah kepada Allah ta'ala,
serta bermuamalah dengan sesama manusia”. Al-Fairuz Abady menyebutkan bahwa
syariat adalah apa-apa yang disyariatkan Allah kepada para hambaNya.[4]
Ibnu Mandzur menyatakan bahwa syariah
adalah :
والشريعةُ
والشِّرْعةُ ما سنَّ الله من الدِّين وأَمَر به كالصوم والصلاة والحج والزكاة
وسائر أَعمال البرِّ
Segala
sesuatu yang ditetapkan Allah dari dien
(agama) dan diperintahkanya seperti puasa, shalat, haji, zakat dan amal
kebaikan lainnya.[5]
Senada dengan pengertian ini Mahmud Syalthut
mendefinisikan syariah dengan
"Sebuah nama untuk tata peraturan dan hukum yang diturunkan oleh Allah ta'ala
dalam bentuk ushulnya dan menjadi kewajiban setiap muslim sebagai pedoman
dalam berhubungan dengan Allah dan antar sesama manusia."[6]
Sementara Hasbi Ash-Shidieqy mendefinisikan syariah dengan “Segala yang
disyariatkan Allah untuk kaum muslimin, baik ditetapkan oleh Al-Qur'an ataupun
sunnah Rasul yang berupa sabda, perbuatan, ataupun taqrirnya”.[7] Sedangkan Mohammad Daud Ali menyatakan
bahwa syariah adalah Norma hukum dasar yang ditetapkan Allah yang wajib diikuti
oleh orang Islam berdasarkan iman yang berkaitan dengan akhlak baik dalam
hubungannya dengan Allah maupun sesama manusia dan benda dalam masayarakat.[8]
Fathurrahman Djamil yang menyimpulkan bahwa istilah hukum
Islam tidak ditemukan sama sekali di dalam Al-Qur'an dan literatur hukum dalam
Islam, yang ada dalam Al-Qur'an adalah kata syari'ah, fiqh, hukum Allah
dan yang seakar dengannya, kata hukum Islam merupakan terjemahan dari term
“Islamic Law” dari literatur barat.[9]
Berbeda dengan istilah Syariah yang mewakili
hukum Islam yang qath’i, maka fiqh Islam adalah Serangkaian hukum Islam yang
bersifat furu’ (cabang) yang berkaitan dengan perbuatan hamba yang
digali dari dalil-dalil yang terperinci. Fiqh atau al-fiqhu الفقه secara bahasa adalah الفهم (al-fahmu)
yang berarti “memahami”.[10]
Dalam Lisaan Al-Arab disebutkan :
العلم
بالشّيء والفهم له
Al-Fiqh
adalah ilmu tentang sesuatu dan pemahaman tentangnya.[11]
Sedangkan secara
istilah fiqh adalah :
معرفة
الأحكام الشرعية العملية بأدلتها التفصيلية
Pengetahuan tentang-tentang hukum
syariat yang bersifat praktis yang diambil dari dalil-dalil yang terperinci.[12] Pengertian
yang lebih komprehensif mengenai fiqh adalah :
العلم
بالأحكام الشّرعيّة العمليّة المكتسب من أدلّتها التّفصيليّة
Ilmu tentang hukum-hukum syari’at yang
berkaitan dengan perbuatan dan perkataan mukallaf (mereka yang sudah terbebani
menjalankan syari’at agama), yang diambil dari dalil-dalilnya yang bersifat
terperinci.
Dalil-dalil yang tafsili
yang dimaksud berupa nash-nash al Qur’an dan As sunnah serta yang bercabang
darinya yang berupa ijma’ dan ijtihad. Maka dari sini dapat disimpulkan bahwa Hukum
Islam adalah Hukum Allah ta’ala bersumber dari Al-Qur’an dan Al-Hadits
dalam bentuk syariah Islam dan hukum-hukum yang digali oleh para ulama
mujtahidin dari kedua sumber hukum Islam tersebut dalam bentuk Fiqh Islam.
[1] Kata syariah
terdapat di dalam Al-Qur'an yaitu QS Al-Jatsiyah : 18 :
ثُمَّ جَعَلْنَاكَ
عَلَى شَرِيعَةٍ مِّنَ اْلأَمْرِ فَاتَّبِعْهَا وَلاَتَتَّبِعْ أَهْوَآءَ
الَّذِينَ لاَيَعْلَمُونَ
Kemudian Kami jadikan kamu berada di atas suatu syariat (peraturan)
dari urusan (agama itu), maka ikutilah syariat itu dan janganlah kamu ikuti
hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui.
شَرَعَ لَكُم مِّنَ الدِّينِ
مَاوَصَّى بِهِ نُوحًا وَالَّذِي أَوْحَيْنَآ إِلَيْكَ وَمَاوَصَّيْنَا بِهِ
إِبْرَاهِيمَ وَمُوسَى وَعِيسَى أَنْ أَقِيمُوا الدِّينَ وَلاَتَتَفَرَّقُوا فِيهِ
كَبُرَ عَلَى الْمُشْرِكِينَ مَاتَدْعُوهُمْ إِلَيْهِ اللهُ يَجْتَبِي إِلَيْهِ
مَن يَشَآءُ وَيَهْدِي إِلَيْهِ مَن يُنِيبُ
Dia telah mensyari'atkan bagi kamu tentang agama apa yang telah
diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu dan apa
yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa yaitu: Tegakkanlah agama
dan janganlah kamu berpecah belah tentangnya. Amat berat bagi orang-orang
musyrik agama yang kamu seru mereka kepadanya. Allah menarik kepada agama itu
orang yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada (agama)-Nya orang yang
kembali (kepada-Nya).
أَمْ لَهُمْ شُرَكَآؤُاْ
شَرَعُوا لَهُم مِّنَ الدِّينِ مَالَمْ يَأْذَن بِهِ اللهُ وَلَوْلاَ كَلِمَةُ
الْفَصْلِ لَقُضِىَ بَيْنَهُمْ وَإِنَّ الظَّالِمِينَ لَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمُُ
Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang mensyariatkan
untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah? Sekiranya tak ada ketetapan yang
menentukan (dari Allah) tentulah mereka telah dibinasakan. Dan sesungguhnya
orang-orang yang zalim itu akan memperoleh azab yang amat pedih.
[2] Ibnu Mandzur, Lisan Al-‘Arab
Juz VII, Beirut : Darul Fikr, Tahun 1992, hal. 86
[3] Manna' Khalil Al-Qatan, At-Tasyri' Wa
Al-Fiqhi fi Al-Islam Tarikhan wa Manhajan, Mesir : Maktabah Wahbah, 2001,
hlm. 13.
[4] Al-Fairuz Abady, Al-Qamus
Al-Muhith, hlm. 732.
[5] Ibnu Mandzur, Lisan Al-‘Arab
Juz V, hlm. 86.
[6]
Mahmud Syalthut, Al-Islam Aqidah Wa-Syari'ah, hlm. 73.
[7] Hasbi Ash-Shidieqy, Pengantar
hukum Islam, Semarang : PT. Pustaka Rizki Putra , 2001. hlm. 18.
[8] Mohammad Daud Ali, Hukum Islam : Pengantar
Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia, Jakarta : Raja Grafindo
Persada, Tahun 2006, hal. 47.
[9] Fathurrahman Jamil, Filsafat
Hukum Islam, Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 1999. hlm. 11.
[10] Di dalam
Al-Qur’an terdapat beberapa ayat yang menggunakan istilah fiqh yang
bermakna pemahaman, diantaranya dalah firmanNya :
فَمَالِ
هَٰٓؤُلَآءِ ٱلْقَوْمِ لَا يَكَادُونَ يَفْقَهُونَ حَدِيثًۭا
Maka
mengapa orang-orang itu (orang munafik) hampir-hampir tidak memahami
pembicaraan sedikit pun?
Dalam ayat yang lainnya disebutkan :
وَمَا
كَانَ ٱلْمُؤْمِنُونَ لِيَنفِرُوا۟ كَآفَّةًۭ ۚ فَلَوْلَا نَفَرَ مِن كُلِّ
فِرْقَةٍۢ مِّنْهُمْ طَآئِفَةٌۭ لِّيَتَفَقَّهُوا۟ فِى ٱلدِّينِ وَلِيُنذِرُوا۟
قَوْمَهُمْ إِذَا رَجَعُوٓا۟ إِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُونَ
Tidak
sepatutnya bagi orang-orang yang mukmin itu pergi semuanya (ke medan perang).
Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk
memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan
kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat
menjaga dirinya.
Sementara di dalam hadits, Rasulullah
bersabda :
مَنْ
يُرِدِ اللّٰهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقّهْهُ فِى الدّيْنِ
Barangsiapa
dikehendaki Allah sebagai orang baik, pasti Allah akan memahamkannya dalam
persoalan agama.
[11] Ibnu Mandzur, Lisaan Al-Arab,
Juz XIII, hal. 522
[12] Abdul Wahab Khalaf, Ilmu
Ushul Fiqh, Kairo : Dar Al-hadits, tahun 2003, hal. 11.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Please Uktub Your Ro'yi Here...