Saat belajar sejarah,
termasuk sejarah ekonomi, saya selalu teringat slogan ”Jasmerah” yang
dilontarkan Ir. Soekarno puluhan tahun lalu. “Jasmerah” merupakan kependekan
dari “jangan sekali-kali melupakan sejarah”. Slogan tersebut menegaskan bahwa
belajar sejarah adalah hal yang penting. Belajar sejarah, apalagi sejarah
ekonomi sangat dibutuhkan berkaitan dengan perencanaan strategi pembangunan
atau perumusan kebijakan ekonomi. Dari sejarah ekonomi, dapat diambil banyak
pelajaran, untuk menentukan arah dan strategi pembangunan ekonomi, maupun untuk
menghindarkan diri dari mengulangi kesalahan masa lalu,.
Pengertian sejarah
ekonomi memiliki dua makna; pertama adalah sejarah pemikiran ekonomi
yang merefleksikan evolusi pemikiran tentang ekonomi, kedua adalah
sejarah perekonomian yang menggambarkan bagaimana perekonomian suatu bangsa itu
berkembang, misalnya China atau India, bisa pula suatu kawasan misalnya Eropa,
Asia, dan bahkan perekonomian dunia. (Dawam Rahardjo, 2002).
Sementara itu, untuk memudahkan dalam memahami perkembangan dan
perubahan-perubahan mendasar yang terjadi di dalam pemikiran-pemikiran ekonomi
bisa menggunakan dua landasan teoritis (theoritical base). Pertama,
teori yang dikembangkan oleh filosof jerman abad 19, Hegel, yaitu tentang
proses dialektika yang meliputi ”these-antithese-sinthese”. These
merupakan sebuah gagasan yang mendominasi suatu periode mendapat tantangan (antithese),
dan kemudian menciptakan sebuah gagasan baru (sinthese), yang
selanjutnya menjelma sebagai “these” baru yang mendominasi periode
berikutnya, dan demikian seterusnya. Kedua, teori yang dibangun oleh
Thomas Kuhn (tahun 1960-an), yaitu tentang paradigma yang merupakan himpunan
dari segala yang hadir di dalam kehidupan masyarakat di suatu waktu tertentu,
dan yang turut menentukan wajah ilmu pengetahuan (science) dan
pengetahuan (knowledge) yang ada pada periode tersebut. Ia menjelaskan
bagaimana “revolusi” di dalam ilmu dan pengetahuan sebenarnya terjadi sebagai
akibat dari “pergeseran paradigma” yang berlangsung secara mendadak.
(Dorodjatun, 2008).
Menarik sekali membaca sejarah pemikiran ekonomi Islam dalam buku Jejak
Rekam Ekonomi Islam: Refleksi Peristiwa Ekonomi dan Pemikiran Para Ahli
Sepanjang Sejarah Kekhalifahan ini. Melalui buku ini kita melihat, sejarah
pemikiran ekonomi Islam sangat berbeda dengan sejarah pemikiran ekonomi
kapitalisme maupun sosialisme. Sejarah ekonomi Islam mempunyai alur sendiri
yang berkaitan erat dengan perkembangan dan pertumbuhan agama Islam. Dalam sejarah pemikiran ekonomi Islam, tidak ada
pertentangan pemikiran antar generasi. Dari generasi satu ke generasi
penerusnya terjadi saling mendukung dan melengkapi pemikiran. Misalnya, semua
ekonom muslim dari zaman Nabi Muhammad sampai sekarang telah mengakui bahwa
riba itu haram, sementara jual beli itu halal.
Hal
ini dikarenakan, dasar-dasar ekonomi Islam dibangun langsung oleh Rasulullah
sendiri dengan berpedoman pada al-Qur’an. Buktinya dapat kita lihat
dengan banyaknya ayat al Qur’an dan hadits yang berbicara masalah ekonomi. Orientalis C.C. Torrey dalam bukunya The Commercial
Theological Term in the Koran menyebutkan bahwa al-Qur’an memakai 20
terminologi ekonomi-bisnis. Bahkan diulang sebanyak 370 kali di berbagai surat.
Terminologi tersebut antara lain al-tijarah, al-bai’/jual beli
(diulang 4 kali), isytara (diulang 25 kali), rizq, fadhillah,
riba, dinar, dirham, dain, dharb/mudharabah,
syirkah (perkongsian), rahn (gadai), ijarah (leasing/sewa
menyewa), amwal, nafaqah, akad/’ukud (transaksi), kail/mizan
(timbangan), al-qashid (sederhana) dan al-idarah (manajemen
bisnis).
Konsep
ekonomi Islam banyak mengambil contoh dari perilaku Rasulullah semasa hidup. Rasulullah bukan hanya sebagai nabi dan pemimpin umat
islam tetapi juga penentu kebijakan dalam bidang ekonomi. Sehingga sumber
pemikiran para cendikiawan muslim tentu tak terlepas dari kebijakan-kebijakan
Rasulullah dan Khulafaur Rasyidin.
Wajar
jika Rasulullah piawai dalam perilaku ekonomi karena beliau sebelum diangkat
menjadi Rasul adalah pebisnis handal yang bekerja sama dengan Siti
Khadijah membentuk kongsi dagang. Kemahiran Rasulullah di bidang ekonomi
semakin menonjol ketika memimpin umat Islam pasca hijrah dari Makkah ke
Madinah. Dari sinilah Rasulullah membangun peradaban Islam yang kuat di
setiap lini kehidupan.
Periode
Madinah diawali Rasulullah dengan menata relasi antara kaum Anshar dan
Muhajirin. Tugas berat bagi Rasulullah adalah menjaga hubungan baik antara
pendatang dan kaum pribumi Madinah agar tidak terjadi konflik. Sudah jamak
terjadi konflik antara pendatang dan pribumi karena alasan terebutnya hak kaum
pribumi yang selama ini dimiliki. Disinilah kepandaian Rasulullah menjalin
kerja sama antar keduannya dalam bentuk bagi hasil pengelolaan tanah. Kaum
pribumi menyediakan lahannya untuk diolah oleh kaum pendatang dan hasilnya di
bagi sesuai dengan kesepakatan.
Untuk
lebih memudahkan menyatukan pandangan, Rasulullah membangun masjid yang
berperan sebagai instrumen sumber peradaban Islam. Di tempat ini kaum muslimin
sering bertemu dan berdiskusi, sehingga ide-ide baru bisa lahir demi kemajuan
perjuangan Islam. Tidak cukup itu saja, masjid pertama yang dibangun Rasulullah
(sekarang terkenal dengan sebutan masjid Nabawi) mampu melahirkan kantor Baitul
Maal yang bertugas mengatur keuangan umat Islam, markas besar tentara, pusat
pendidikan dan pelatihan juru dakwah sampai kantor pengadilan. Singkatnya kita
dapat mengatakan bahwa berawal dari masjidlah peradaban Islam berkembang.
Adanya
Baitul Maal dapat membantu Rasulullah dalam mengelola keuangan yang berasal
dari zakat dan pajak, dan akan dikeluarkan untuk membiayai berbagai kegiatan
seperti pendidikan, kesejahteraan umat dan pembangunan armada perang. Sedangkan
untuk menjaga keseimbangan perekonomian, Rasulullah secara langsung mengatur
instrumen kebijakan fiskal dan moneter. Diantaranya, menetapkan kewajiban pajak
dan mengatur peredaran uang dinar dan dirham di pasaran. Berkat kepiawaian
Rasulullah ini, negara Madinah mencapai kejayaan dengan wilayah yang luas dan
masyarakat yang adil makmur sentosa hanya dalam waktu 10 tahun dari sejak
hijrah dari Mekkah tahun 622 hingga wafatnya tahun 632.
Sepeninggal
Rasulullah, tradisi dan praktek ekonomi diteruskan oleh kekhalifahan khulafaur
rasyidin, meliputi Abu Bakar yang menekankan pada kebijakan zakat, Umar bin
Khattab yang merintis didirikannya departemen-departemen untuk membantu kerja
khalifah, masa Ustman bin Affan tidak ada perkembangan yang signifikan karena
dilanda korupsi, demikian juga masa Ali yang penuh konflik politik. Setelah
masa Khulafaur Rasyidin habis, dilanjutkan daulah Umaiyah, kemudian daulah
Abbasiyah, dan sampai pada daulah Turki usmani.
Ekonomi
islam pada masa Rasulullah sampai masa kekhalifahan Umaiyah hanya menjadi
tradisi dan praktek, belum menjadi disiplin ilmu. Ekonomi Islam baru menjadi
sebuah disiplin ilmu setelah Abu Yusuf menulis buku Al-Kharaj (pajak)
pada masa Dinasti Abbasiyah di bawah Khalifah Harun Al-Rasyid. Ekonom kelahiran
Kufah tahun 371 M ini memperkenalkan teori keuangan negara, administrasi pajak,
kepemilikan negara, dan mekanisme pasar.
Kontribusi
umat Islam terhadap pemikiran ekonomi ternyata sangat besar. Banyak sekali
pemikiran ekonomi Islam yang mendasari lahirnya teori ekonomi konvensional.
Karena jauh sebelum lahir sistem perekonomian mazhab liberal-kapitalis yang
diawali oleh pemikiran Adam Smith (1776) dan lahirnya sistem perekonomian
mazhab sosialisme komunis yang diawali oleh pemikiran Karl Marx (1867), telah
ada suatu sistem perekonomian yang mengakar kuat pada ajaran Islam, yakni
ekonomi Islam. Pada titik inilah, Joseph A. Schumpeter, penulis buku The
History of Economic Analysis, mengabaikan kontribusi cendekiawan muslim
dalam pemikiran ekonomi. Schumpeter memulai penulisan sejarah ekonominya
dari para filosof Yunani dan langsung melakukan loncatan jauh selama 500 tahun,
dikenal sebagai The Great Gap, ke zaman St. Thomas Aquinas (1225-1274
M). Pada saat The Great gap itulah dunia islam mengalami kejayaan pemikiran di
berbagai bidang, termasuk ekonomi.
Buku yang kita timbang ini hadir melengkapi perbendaharaan pemikiran sejarah
ekonomi yang sudah ada. Dari buku-buku yang telah diterbitkan, banyak jenis
sejarah ekonomi yang telah disusun. Siddiqi (2001) telah membagi sejarah
pemikiran ekonomi Islam menjadi tiga periode, yaitu periode pertama/fondasi
(masa awal Islam – 450 H/1058), periode kedua (1048-1446 M), dan periode ketiga
(1446-1932 M). Buku ini sendiri membagi periode sejarah ekonomi Islam menjadi
(1) periode pemerintahan Nabi Muhammad SAW, (2) masa Khulafaur Rasyidin 632-661
M, (3) masa Daulah Bani Abbasiyah I 750-1258 M, (4) masa Daulah Bani Abbasiyah
II 1261-1505 M, (5) masa Daulah Utsmaniyah 1517-1923 M, (6) masa pasca
runtuhnya Daulah Utsmaniyah (1942) hingga sekarang.
Kekurangan dari buku ini adalah tidak adanya pembahasan mengenai perkembangan
pemikiran ekonomi Islam kontemporer. Padahal di masa modern-lah ekonomi Islam
berkembang dengan pesatnya, ditandai dengan lahirnya ekonom-ekonom muslim
seperti Muhammad A. Mannan, Khursid Ahmad, Muhammad N. Siddiqi, Munawar Iqbal,
Umer Chapra, Zubair Hasan, Monzer Kafh, Metwally, Masudul Alam Choudhury, dan
sebagainya.
Tetapi bagaimanapun juga, membaca buku sejarah ekonomi Islam ini penting untuk
melihat latar belakang ajaran-ajaran Islam yang berlaku di bidang ekonomi. Dari
buku ini kita tahu bahwa sejarah Islam tidak hanya berkutat dalam masalah
dakwah penyebaran agama islam dan pergulatan fiqh, ternyata sejarah Islam juga
mempunyai cerita sendiri dalam bidang ekonomi.
zen zen uhibbuk
BalasHapusSyukron Akhi Al-Karim... May Alloh ta'ala bless you and us forever... Keep istiqamah on Sunnah way...
BalasHapusawal adanya ekonomi Islam tentunya bermula dari zaman Rasulullah Saw yang berlanjut hingga sekarang ini.
BalasHapus