الْعَادَةُ مُحْكَمَةٌ
"Adat
kebiasaan dapat ditetapkan sebagai hukum" Dasar kaidah adalah Hadits
Mauqup:
ماَرَآهُ الْمُسْلِمُِوْنَ حَسَنًا فَهُوَعِنْدَاللّهِ حَسَنٌ. (اخرجه أحمد عن إبن مسعود)
"Apa
yang dipandang baik oleh orang Islam, maka baik pula di sisi Allah".
Sebagian
ulama' berpendapat bahwa dasar kaidah di atas adalah Firman Allah:
وامر بالعرف وأعرض عن الجاهلين ( الأعراف 199 )
وعاشروهن بالمعروف ( النساء 19 )
Jadilah
Engkau Pema'af dan suruhlah orang mengerjakan yang ma'ruf, serta berpalinglah
dari pada orang-orang yang bodoh". (QS. Al-A'raaf:199).
وَعَاشِرُوْهُنَّ بِالْمَعْرُفِ.
"Dan
bergaulah dengan mereka secara patut".
Setelah
memperhatikan kaidah serta ayat-ayat dan hadits yang menjadi dasar kaidah,
perlu kiranya dijelaskan lebih dahulu tentang ta'rif dari Al-'Aadah dan Al-'Urf
serta hubungannya dengan hadits.
Menurut
Al-Jurjany:
الْعَادةُ مَا اسْتَمَرَّ النَّاسُ عَلَيْهِ عَلىَ حُكْمِ الْمَعْقثوءلِ وَعَادُوْا إلَيْهِ مَرَّةً اُخْرَى.
"Al-'Aadah
ialah sesuatu (perbuatan/perkataan) yang terus menerus dilakukan oleh manusia,
kareana dapat diterima oleh akal, dan manusia mengulang-ulanginya terus
menerus".
الْعُرْفُ مَا اسْتَقَرَّتِ النُّفُوْسُ عَلَيْهِ بِشَهَادَةِالْعُقُوْلِ وَتَلَقَّتْهُ الطَّبَا ئِعُ بِالْعُقُوْلِ. وَهُوَحُجَّةٌ أيْضًا لكِنَّهُ أسْرَعُ إلىَ الْفَهْمِ بَعْدَ اُخْرَى.
'Al-'Urf
ialah sesuatu (perbuatan/perkataan) yang jiwa merasa tenang dalam
mengerjakannya , karena sejalan dengan akal (sehat) dan diterima oleh tabiat
(yang sejahtera)".
Al-'Urf
juga merupakan hujjah, bahkan lebih cepat untuk difahami.
Menurut
Abdul Wahab Kholaf:
الْعُرْفُ هُوَ مَا تَعَارَفَه ُالنَّاسُ وَسَارُوْا عَلَيْهِ مِنْ قَوْلٍ أوْفِعْلٍ أوْتَرْكٍ وَيُسَمَّى الْعَادَةَ. وَفِى لِسَانِ الشَّرْعِيَّيْنَ لاَفَرْقَ بَيْنَ الْعُرْفِ وَالْعَادَةِ.
"Al-'Urf
ialah sesuatu yang telah diketahui oleh orang banyak dan dikerjakan oleh
mereka, dari: perkataan, perbuatan atau (sesuatu) yang ditinggalkan. Hal ini
dinamakan pula dengan Al-'Aadah". Dan dalam bahasa ahli syara' tidak ad
perbedan antara Al-'Urf dengan Al-'Aadah.
Dari
memperhatikan ta'rif-ta'rif di atas, dan juga ta'rif yang diberikan oleh
ulama'-ulama' yang lain, dapat difahami bahwa Al-'urf dan Al-'Aadah adalah
searti, yang mungkin merupakan perbuatan atau perkataan. Keduanya harus
betul-betul telah berulang-ulang dikerjakan oleh manusia, sehingga melekat pada
jiwa, diterima dan dibenarkan oleh akal dan pertimbangan yang sehat tabiat yang
sejahtera. Hal yang demikian itu tentu merupakan hal yang bermanfaat dan tidak
bertentangan dengan syara, sehingga merupakan apa yang dimaksud oleh hadits di
atas, yaitu apa yang dipandang baik oleh kaum muslimin.
Dengan
sendirinya tidaklah termasuk dalam pengertian 'Aadah dan 'Urf di sini, hal-hal
yang membawa kerusakan, kedurhakaan, tidak ada faedahnya sama sekali. Misalnya:
Muamalah dengan riba. Judi, saling perdaya memperdayakan, menyabung ayam dan
sebagainya. Meskipung perbuatan-perbuatan itu telah menjadi kebiasaan dan
bahkan mungkin sudah tidak dirasa lagi keburukannya.
Juga
bukanlah termasuk dalam pengertian 'Urf di sini, berulang-ulangnya keadaan tau
perbuatan yang bertentangandengan nash-nashj syara', ruknya dan
hikmah-hikmahnya. Suatu perbuatan dalam masyarakat, apabila sudah dapat
dikategorikan dalam definisi di atas, dapat ditetapkan sebagai hokum atau dapat
dijadikan sebagai sumber hokum. Dan itulah maksud dari kaidah. Di antara
perbuatan yang hukumnya oleh Rasulullah saw diterangkan hadits:
قَدِمَ النَّيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمَدِيْنَةَ وَهُمْ يُسْلِفُوْنَ فِى الثِّمَارِ السَّنَةَ وَالسَّنَتَيْنِ فَقَا لَ: مَنْ سَلَفَ فِى ثَمَرٍ فَلْيُسْلِفْ فِى كَيْلٍ مَعْلُوْمٍ وَوَزْنٍ مَعْلُوْمٍ (أخْرجه البخاري عن إبن عباس).
"Ketika
Nabi saw dating di madinah, mereka (penduduk madinah) telah (biasa) memberi
uang panjar (uang muka) pada buah-buahan untuk waktu satu tahun atau dua bulan.
Maka Nabi saw bersabda: Barangsiapa memberi uang panjar pada buah-buahan, maka
berikanlah uang panjar itu pada takaran yang tertentu, timbangan yang tertentu
dan waktu yang tertentu".
Demikanlah
maka semua kebiasaan yang bermanfaat dan tidak bertentangan dengan syara' dalam
mu'amalat eperti dalam jual beli, sewa menyewa, kerjasamanya pemilik sawah
dengan penggarap dan sebagainya, adalah merupakan dasar hokum, sehingga
seandainya terjadi perselisihan pendapat di antara mereka, maka penyelesaiannya
harus dikembalikan pad adat kebiasaan atau 'urf yang berlaku. Demikian pula
dalam munakahah seperti tentang banyaknya mahar, atau nafakah, juga harus
dikembalikan kepada adat kebiasaan yang berlawanan dengan nash-nash menyuap,
disajikannya minuman keras dan sarana perjudian dalam pesta-pesta atau dalam
respsi, tentu tidak boleh dianggap/dijadikan dasar hukum.
Dalam
hubungannya dengan kaidah ini para fuqoha mengatakan:
كُلُّ مَا وَرَدَ بِهِ الشَّرْعُ مُطْلَقًا وَلاَضَابِطَ لَهُ فِيْهِ وَ لاَفِى اللُّغَةِ يُرْجَعُ فِيْهِ إلىَ الْعُرْفِ.
"Semua
yang datang dari syara', secara mutlak, tidak ada ketentuannya dalam agama dan
tidak ada dalam bahasa, maka dikembalikan kepada 'urf.
Seperti
Al-hirzu, penyimpanan barang hail curian, dalam jinayah, Al-tafarruqu,
perpisahan dan Al-qobdlu, penerima, yangberlaku Ta'rif pengumuman tentang
barang yang ditemukan dan lain-lainnya. Semuanya ini pemahaman dan
pelaksanaannya dikembalikan pada kebiasaan yang berlaku di mana kesemuanya itu
terjadi.
B.
Anak Kaidah Kelima ( 6 sampai 11 )
Dari
kaidah kelima ini dapat dikemukakan beberapa anak kaidahnya, penulis hanya
membahas mulai dari anak kaidah 6 (enam) sampai anak kaidah 11 (sebelas).
Anak Kaidah 6 (enam)
التَّعْْيِيْنُ بِالْعُرْفِ كَالتَّعْيِيْنِ بِالنَّاصِ
"Menentukan
dengan dasar 'urf, seperti menentukan dengan berdasarkan nash".
Penetapan
suatu hukum tertentu yang didasarkan pada 'urf (adat), dan telah memenuhi
syarat-syarat sebagai dasar hukum, maka kedudukannya sama dengan penetapan
suatu hukum yang didarakan pada nash. Tetapi perlu diketahui bahwa kaidah ini
banyak dipakai pada 'urf-'urf khusus, misalnya 'urf yang berlaku di antara para
pedagang, 'urf yang berlaku di daerah tertentu dan lain-lain. Sebagai contoh di
kota Madiun upah seseorang menanam pdi adalah seperenam dari hasil tanman itu
jika telah pann (dipetik). Seperti penetapan hukum di atas maka kekuatan
hukumnya juga seperti kekuatan hukum yang ditetapkan oleh nash. Atau dengan
kata lain bahwa suatu ketetpan hokum yang berdasarkan 'urf tersebut harus
dikerjakan serbagaimana ketetapan yang didasarkan pada nash.
Anak Kaidah 7 (tujuh)
صْلُ إعْتِباَرُ الْغَيْبِ وَتَقْدِمُهُ عَلىَ النَّادِرِ اَلأ
"Hukum
yang kuat adalah menghargai yang biasa dan mendahulukan atas yang sedikit
sekali terjadi".
صْلُ إعْتِباَرُ الْغَيْبِ لا لِلنَّادِرِ اَلأ
"Jadi
perhatikan, ialah yang biasa terjadi".
Kaidah
ini merupakan kaidah yang berupa syarat bagi berlakunya suatu 'urf (adat) yang
dijadikan sebagai dasar hokum. Maksudnya bila suatu perbuatan atau perkataan
itu dapat dijadikan suatu dasar hokum, manakala perbuatan atau perkataan itu
sering dilakukannya daripada tidaknya.
Misalnya
orang yang mempunyai rasa permusuhan, tidak dapat diambil saksi dalam lapangan
kesaksian dengan orang yang berperkara, sebab kebanyakan saksi yang mempunyai
rasa permusuhan dengan orang yang berperkara, tidak akn mungkin memberi
kesaksian dengan sejujur-jujurnya.
Anak Kaidah 8 (delapan)
لاَيُنْكَرُ تَغَيُّرُ الأحْكاَمِ بِتَغَيُّرِ الأزْماَن
"Tidak
dapat diingkari adanya perubahan hukum lantaran berubahnya masa".
Dalam
perubahan dan perkembangan zaman, menghendaki kemaslahatan yang sesuai dengan
perkembangan tersebut. Hal itu disebabkan karena mempunyai pengauh yang besar
terhadap pertumbuhan dan perkembangan suatu hokum yang didasarkan pada
kemaslahatan itu. Tetapi perlu juga diperhatikan bahwa kaidah ini tidak berlaku
dalam lapangan ibadah. Dan di antara furu' (cabang) yang termasuk dalam lingkup
kaidah ini ialah sebagaimana yang telah dilakukan oleh sahabat Umar bin
al-Khattab ra. dengan tidak memberi bagian harta zakat kepada para muallaf,
serta tidak menjatuhkan hukum potong tangan kepada pencuri di musim paceklik
dan sebagainya.
Hukum
yang telah ditetapkan pada masa lampau, didasarkan kepada kemaslahatan pada
masa itu, sedangkan masa sekarang penetapan hokum tersebut harus ditetapkan
pada kemaslahatan sekarang. Sebab kemaslahatan telah berubah. Demikian pula
untuk masa-masa mendatang bila kemaslahatannya telah berubah, maka berubah pula
hukum yang didasarkan padanya. Memang ada ulama yang menganggap hukuman rajam
bagi pezina berarti menerima nash secara ta'abbudi dan menekankan aspek
jawabir. Tentunya harus kita lihat hikmahnya hukuman itu, yakni membuat kapok
mereka yang bersalah tidak mengulangi pidana lagi. Sehingga dengan mengetahui
illat hukumnya juga, di zaman modern, hokum rajam tentunya dengan dasar kaidah
ini bias diganti hukuman lain, asalkan juga membuat kapok.
Anak Kaidah 9 (sembilan)
إسْتِعْمَالُ النَّاسِ حُجَّةٌ يَجِبُ العَمَلُ بِهَا
"Apa
yang biasa diperbuat orang banyak, merupkan hujjah yang wajib diamalkan".
Kaidah
ini maksudnya bahwa segala sesuatu yang telah biasa dilaksanakan oleh
masyarakat, itu bisa menjadi dasar ) patokan). Untuk itulah bagi setiap anggota
masyarakat dalam melaksanakan sesuatu yang telah dibiasakan itu selalu akan
menyesuaikan diri dengan patokan terebut atau tidak menyalahinya. Contoh, di
dalam jual beli benda-benda yang berat menurut kebiasaan yang telah berlaku
dalam masyarakat yaitu bahwa transport benda-benda tersebut sampai ke rumah
pembeli adalah ditanggung oleh penjual. Oleh sebab itu setiap orang yang akan
mengadakan aqad jual beli terhadap benda-benda berat harus diatur sebagaimana
kebiasaan tersebut.
Anak Kaidah 10 (sepuluh)
اضْطَرَدَتْ أوْغَلَبَتْ إذَا إنَّمَا تُعْتَبَرُ الْعَادَةُ
"Sesungguhnya
adat yang dianggap (sebagai dasar penetpan hukum) adalah apabila telah menjadi
adat yang terus-menerus atau lebih banyak berlaku".
Dalam
masyarakat suatu perbuatan atau perkataan yang dapat diterima sebagai adat
kebiasaan, apabila perbuatan atau perkataan tersebut sering berlakunya, atau
dengan kata lain, sering berlakunya itu sebagai suatu syarat (salah satu
syarat) bagi suatu adapt untuk dapat dijadikan dasar hokum. Oleh sebab itu
apabila perbuatan atau perkataan itu hanya kadang-kadang ) jarang) saja
berlakunya, maka hal itu tidak dapat dijadikan sebagai dasar hukum. Selain itu
juga dalam suatu perkara seimbang, antara berlaku atau tidaknya, yang demikian
inipun tidak dapat dijadikan sebagai dasar hukum, sebab apabila dalam satu saat
dapat dijadikan dasar hukum; maka tidak melakukan pada saat yang lain dapat
dianggap sebagai perbuatan melawan dasar hukum tersebut.
Contoh
furu'iyah yang bernaung di bawah kaidah ini di antaranya, ialah: Bagi para
langganan surat kabar, pada umumnya surat kabar diantar ke tempatnya. Oleh
karena itu, apabila terjadi sesuatu aqad antara seorang langganan dengan
pngusaha suatu surat kabar, meskipun dalam aqad itu tidak disebutkan, bahwa
surat kabar akan diantar ke tempat langganannya, maka apabila setelah aqad itu
terjadi, surat kabar tidak diantar, si langganan dapat menuntut kepada pihak
pengusha surat kabar tersebut.
Anak Kaidah 11(sebelas)
اَلْمَعْرُوْفُ بَيْنَ التُّجَّارِ كَالْمشْرُوْطِ
"Sesuatu
yang telah terkenal di kalangan para pedagang seperti syarat yang berlaku bagi
mereka".
Di
kalangan para pedagang ataupun yang lain yang bergerak dalam lapangan yang
sejenisnya, suatu perkara yang telah terkenal dan berlaku (disitu), meskipun
hal tersebut tidak dapat dibuat dan dinyatakan sebagai suatu syarat ataupun
undang-undang, maka kedudukan (kekuatan) hukumnya sama dengan suatu syarat yang
memang sengaja diadakan oleh mereka. Contoh apabila seorang wakil yang disuruh
untuk menjual barang orang yang mewakilkan, baik dengan secara kontan atupun
ditunda pembayarnnya dalam batas waktu yang telah dikenal (terkenal) di
kalangan para pedagang mengenai barang itu, maka bagi si wakil tidak boleh
menjualnya dengan ditunda pembayarannya melebihi daripada waktu yang telah
terkenal di antara mereka atau dengan kata lain si wakil tidak boleh menjual
barang menyimpang dari adat kebiasaan yang telah berlaku.
DAFTAR
PUSTAKA
Departemen
Agama. 1989. Al-Qur'an dan Terjemahannya. Semarang: Toha Putera.
Djazuli,
HA. 2006. Kaidah-kaidah fiqh. Jakarta: Kencana
Mujib,
Abdul. 1978. Al-Qawaidul Fiqhiyah. Malang: Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Ampel
Rasjid,
Sulaiman. 2003. Fiqih Islam. Bandung: Sinar Baru Algensindo.
Usman,
Muslih. 1999. Kaidah-kaidah Ushuliyah dan Fiqhiyah. Jakarta: Rajawali Pers.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Please Uktub Your Ro'yi Here...