Islamic Law as a State Law in Indonesia
Author: Prof. Dr. Rifyal Ka’bah
Abstract
Speaking
about Islamic Law in Indonesia means speaking about four items which are
regarded as constituting Islamic Law. First
is fiqh. Second is
national law which regulates several aspects of Islamic law. Third is the decisions of
religious courts. Fourth is fatwa
(legal opinion) by individual mufti or fatwa institutions.
The
second and the third items are parts of the state law of Indonesia administered
by the Religious Courts under the Supreme Court of Indonesia. The Religious
Court is another name for the Islamic Court in Indonesia and it is one of the
four courts within the legal system of the country which has seven jurisdictions
of its own. Any Muslim citizen who was not well-satisfied by the decision of
any Religious Court in the country can appeal for more justice to the High
Religious Court and then to the Supreme Court for another appeal and legal
review.
This
article tries to sum up the term of Islamic law, the theories about the
legality or legitimacy of Islamic law in Indonesia, Indonesian laws and
regulations inspired by the Islamic Law, Indonesia’s Islamic legal education,
the Religious Court as an Islamic Court in the country and related issues.
Pendahuluan
Hukum Islam adalah bahagian dari
hukum nasional Indonesia, dan sebagai hukum negara diterapkan melalui Peradilan
Agama dan Mahkamah Syariyah Aceh yang merupakan salah satu peradilan negara di
bawah Mahkamah Agung.
Hukum Islam berakar dari kenyataan bahwa ummat Islam
merupakan mayoritas di negeri ini. Walaupun telah terjadi turun-naik prosentasi
jumlah penduduk dari sensus ke sensus, fakta masih menunjukkan ummat Islam
sebagai mayoritas. Hukum Islam didukung oleh berbagai pendidikan hukum Islam,
baik swasta maupun negeri, dari tingkat dasar sampai ke perguruan tinggi, yang
tersebar di seluruh perdada Indonesia dari dahulu sampai sekarang. Sebagian
hukum Islam telah dijabarkan dalam berbagai kompilasi, perundang-undangan,
peraturan daerah, qanun dan fatwa ulama.
Makalah ini membicarakan secara tingkas tenang pengertian
hukum Islam, teori keberlakuan hukum Islam, peraturan perundang-undangan
bernuansa Islam, basis pendidikan hukum Islam dan peradilan Islam sebagai
bagian dari sistem peradilan nasional Indonesia.
Pengertian Hukum Islam
Hukum Islam adalah terjemahan
dari Islamic Law. Dalam Islam sebenarnya tidak dikenal istilah “hukum
Islam”, tetapi syariat Islam (asy-Syariah al-Islâmiyyah) atau
fiqh Islam (al-Fiqh al-Islâmî). Syariat Islam secara umum berarti agama
Islam itu sendiri,[1][1] tetapi kemudian dalam perkembangannya, berarti pemahaman
para fuqahâ’
berdasarkan Qur’an dan Sunnah serta ijtihâd mereka sendiri terhadap af‘âl
al-mukallafîn (perbuatan orang dewasa), menyangkut salah satu dari lima
“kaedah hukum” (al-ahkâm al-khamsah), yaitu wâjib, sunnat, harâm,
makrûh dan mubâh. Dengan demikian, syariat atau fiqh Islam
menyangkut semua perbuatan orang dewasa, baik kehidupan yang sangat pribadi
seperti kebersihan fisik dan alat vital, atau kehidupan keluarga dan rumah
tangga, maupun kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Inilah yang diterjemahkan
ke dalam bahasa Inggeris sebagai Islamic Law (Hukum Islam) atau Islamic
Jurisprudence (Ilmu Hukum Islam).
Sementara itu, hukum (law,
recht, droît) dalam pengertian modern adalah rule and regulation
(aturan dan regulasi) sebagai governmental social control (kendali
masyarakat di tangan pemerintah).[2][2]
Dengan demikian, apa yang dimaksud hukum dalam pengertian modern merupakan
bagian dari apa yang disebut syariat atau fiqh Islam secara khusus. Dalam hal
ini hukum Islam seluruhnya bersifat diyânî (keagamaan), tetapi dalam
praktek kenegaraan ada hukum Islam yang bersifat (1) diyânî murni (yang
tergantung kepada ketaatan individual seorang muslim terhadap hukum agamanya)
dan (2) yang bersifat qadhâ’î (yuridis) yang memerlukan peradilan
negara untuk penegakannya.[3][3]
Disebut qadha’i, yudisial, karena ia bersifat
duniawi, bagaimana tampaknya di dunia (di depan pengadilan) berdasarkan
perbuatan atau tindakan lahir, yang tidak ada hubungannya dengan hal-hal tidak
tampak yang bersifat batin. Seorang hakim memutus berdasarkan fakta yang ia
lihat, dan ia tidak tahu secara batin apakah peristiwa itu sebenarnya seperti
yang ia lihat. Karena itu, ada ungkapan di kalangan hakim muslim: Nahnu
nahkum bidz-zdawahir wallahu yatawalla bis-sara’ir (Kami memutus dengan apa
yang tampak, sedangkan Allah mengendalikan yang tidak tampak). Hakim memutus
sebatas kemampuannya dan putusannya tidak menjadikan yang batil menjadi hak
atau hak menjadi batil. Ia tidak menghalalkan yang haram dan tidak pula
mengharamkan yang halal dalam kenyataan yang ia lihat, tetapi bila hakikatnya
tidak seperti yang ia putuskan, maka itu termasuk ilmu Allah. Karena itu,
seperti disabdakan dalam sebuah Hadits riwayat Muslim, bila hakim telah
berusaha dengan sungguh-sungguh (berijtihad), tetapi ternyata salah di sisi
Allah, maka ia masih mendapatkan sebuah pahala sebagai balasan atas
kesungguhannya. Bila putusannya benar di sisi Allah, maka ia mendapat pahala
dua kali, yaitu balasan atas kesungguhannya dan balasan atas kebenarannya.
Berbeda dengan fatwa mufti, maka putusan peradilan bersifat mengikat.[4][4]
Disebut diyani,
keagamaan, karena ia bersifat ukhrawi, bagaimana nantinya di akhirat,
berdasarkan hakikat sesuatu dan kenyataan yang sebenarnya, sekalipun orang
tidak melihatnya. Segi ini menyangkut hubungan seseorang dengan Tuhannya. Hukum
jenis kedua inilah yang menjadi dasar fatwa mufti.
Hukum Islam sebagai hukum yang
hidup dan berkembang di dunia hari ini digambarkan oleh Imran Ahsan Khan Nyazee
sebagai sebuah pohon yang berurat dalam, berpohon besar, berdahan dan beranting
banyak, berdaun dan berbuah.[5][5]
Urat tunggang dan akarnya berasal dari Qur’an dan Sunnah
Nabi. Batangnya dikembangkan melalui formulasi para fuqahâ’ sepanjang zaman. Daun dan buahnya dikembangkan oleh
negara melalui produk perundang-undangan modern dan yurisprudensi peradilan.
Menurut Nyazee, daun yang menjadi tugas negara dapat dirapihkan dan
ranting-ranting kecil serta benalu yang merusak pohon secara umum dapat
dipotong, tetapi batang dan akarnya tidak boleh dibongkar karena tindakan seperti
ini akan membongkar akar dan batang hukum Islam sebagai hukum yang berasal dari
wahyu. Dengan demikian, pembaharuan hukum Islam sepanjang masa harus
memperhatikan teori ini.
Keberlakuan Hukum Islam di Indonesia
Ketika orang Belanda sampai di Nusantara sekitar abad ke
16 dan 17 Masehi, mereka menemukan beberapa kerajaan besar atau kecil yang
tersebar di berbagai pelosok, terutama kerajaan-kerajaan Islam di wilayah
pesisir. Sebuah negara bagaimanapun kecilnya pasti diatur berdasarkan hukum
tertentu, tidak terkecuali keadaan Indonesia pada masa itu, dan sebuah
kenyataan pula bahwa mayoritas penduduk beragama Islam. Berdasarkan kenyataan
ini maka beranjak dari teori rereptio in complexu yang diramu oleh
L.W.C. van den Berg, pemerintahan jajahan Belanda menyatakan bahwa hukum Islam
berlaku untuk orang Islam tanpa membedakan apakah mereka merupakan muslim yang
taat atau bukan.
Kebijakan pemberlakuan hukum Islam kepada ummat Islam ini
masih diperhatikan oleh pemerintah jajahan sampai kemudian Christian Snouck
Hurgronje memperkenalkan istilah Adat recht (hukum Adat) pada tahun
1893. Dari penelitiannya di Aceh, Snouck berkesimpulan bahwa hukum Islam yang
diberlakukan di Aceh tidaklah hukum Islam murni, tetapi hukum Islam yang telah
diterima oleh hukum Adat. Dari sini kemudian ia terkenal dengan teori receptie
yang ia ciptakan bahwa hukum Islam yang dapat diberlakukan oleh pemerintah
hanyalah hukum Islam yang telah diresepsi oleh hukum Adat setempat.
Apa yang dimaksud hukum Adat tidak mempunyai makna
tunggal. Ia kadang-kadang dimaksudkan sebagai “the native customs and uses”
(adat istiadat dan kebiasaan asli), atau “the religious laws, institutions and
customs” (adat istiadat, kelembagaan dan hukum-hukum keagamaan), “the religious
laws or customs” (hukum-hukum keagamaan dan adat istiadat) dan lain-lain.[6][6] Secara umum dapat dikatakan bahwa hukum Adat yang
dimaksud adalah hukum lokal Nusantara yang dipengaruhi oleh berbagai unsur yang
diberlakukan oleh penduduk bumi putera sewaktu Belanda sampai di Indonesia.
Banyak perdebatan di kalangan ahli, terutama Indonesia,
tentang penggunaan istilah hukum Adat. Adat (al-‘adat) dalam
perbendaharaan hukum Islam dikenal dengan istilah hukm al-‘adah (ruling
of the tradition) atau dalam istilah yang lazim disebut al-‘urf (use,
custom, tradition) dan dipandang sebagai salah satu sumber komplementer
hukum Islam. Hukum Adat dalam pengertian ini tidak ada permasalahan bagi para
ahli hukum Islam, tetapi hukum Adat yang diperkenalkan oleh Snouck adalah
kebiasaan yang mempunyai implikasi hukum, khususnya kebiasaan yang disertai
sanksi dalam hal pelanggaran.
Teori rerecptie mendapat tanggapan serius dari Hazairin
yang menyatakan bahwa teori Snouck bersifat tendensius dengan maksud
menelantarkan hukum Islam yang sudah berlaku di kalangan penduduk selama ini.
Sebagai seorang islamolog, Snouck tahu betul tentang posisi hukum Adat dalam
konteks hukum Islam, tetapi ia sengaja menggunakan pengertian baru sama sekali
untuk mengalihkan perhatian dari hukum Islam yang diyakini oleh mayoritas
penduduk. Karena itu, Hazairin sering menyebut teori receptie sebagai
teori iblis, yaitu makhluk halus iblis yang mempunyai tabiat menyesatkan
manusia dengan tipu muslihatnya.[7][7] Hazairin cukup beralasan karena Snouck sebenarnya adalah
seorang ateis yang pernah menjadi intel Belanda dan menyamar sebagai orang
muslim di Makkah dengan nama ‘Abdul Ghafar.[8][8]
Teori hukum Adat selanjutnya dikembangkan oleh Cornelis
van Vollenhoven yang membagi wilayah Nusantara kepada beberapa wilayah hukum
Adat. Ia telah berusaha keras mengkodifikasi hukum Adat dari berbagai wilayah
di Indonesia dengan maksud akan menjadikannya sebagai hukum penduduk bumi
putera, tetapi bahkan sampai ke masa pendudukan Jepang pada tahun 1942, upaya
ini tidak pernah berhasil karena tidak mendapat dukungan penuh pemerintah
jajahan.[9][9] Sungguhpun demikian, Van Vallenhoven, Ter Haar dan para
penganjur hukum Adat yang lain dari kalangan bangsa Belanda mempunyai
murid-murid sampai ke zaman kemerdekaan dari kalangan orang-orang Indonesia
sendiri, dan sampai sekarang, hukum Adat masih tetap dipandang sebagai salah
satu unsur hukum nasional Indonesia. Ini di samping unsur-unsur lain yang
terdiri dari hukum Islam dan hukum warisan kolonial Belanda. Malah di zaman
kemerdekaan, unsur-unsur hukum Indonesia tidak hanya terdiri dari
perundang-undangan warisan kolonial, hukum Islam dan hukum Adat, tetapi juga
perundang-undangan yang mengambil aspirasi dari perundang-undangan Barat
modern, terutama bidang hukum ekonomi dan HAM.
Perkembangan hukum Islam di Indonesia dapat dilihat dari
konteks perkembangan keempat unsur ini, apakah akan terjadi persaingan yang
menyebabkan salah satu unsur menang, ataukah akan terjadi pelaburan dan
harmonisasi dengan mempertemukan bagian-bagian yang mungkin dipertemukan dan
meninggalkan berbagai kontradiksi sehingga terbentuk sebuah hukum nasional
Indonesia modern yang dapat menjawab tantangan hukum masa depan. Semuanya
tergantung kepada perkembangan di masa depan.
Menurut Hazairin, keempat unsur tersebut dapat
diintegrasikan tanpa kontradiksi melalui kebijakan legislasi nasional. Dari
mana pun asal-usulnya, dari hukum Adat, hukum Islam, hukum warisan kolonial
Belanda, maupun hukum Barat modern, bila telah disusun dalam bentuk legislasi
nasional melalui pembuatan perundang-undangan yang lazim dalam sebuah negara
demokrasi, maka legislasi nasional tersebut adalah hukum nasional Indonesia.
Dari sudut politik hukum Islam, menurut penulis, terdapat
di Indonesia dua kecenderungan dari awal kemerdekaan sampai sekarang di
kalangan ahli hukum, terutama hukum Islam. Kecenderungan pertama adalah hukum
Islam berlaku untuk warga yang beragama Islam, dan kecenderungan kedua adalah
bahwa substansi hukum Islam masuk ke dalam perundang-undangan Indonesia tanpa
label Islam sehingga mengikat kepada semua warga negara tanpa melihat agamanya.
Misalnya substansi hukum pidana, perdata dan ekonomi Islam menjadi bagian yang
integral dari hukum pidana, perdata dan ekonomi nasional Indonesia tanpa
menyatakan bahwa substansi ini sebagai substansi hukum Islam. Kedua
kecenderungan ini mengemuka dalam perkembangan hukum Islam di Indonesia sejak
awal proklamasi kemerdekaan sampai sekarang.[10][10]
Peraturan Perudang-Undangan Islam
Bila kita melihat produk perundang-undangan berhubungan
dengan Islam yang dilahirkan di zaman Republik, ternyata istilah hukum Islam
dan syariat Islam (juga: syariah) digunakan silih berganti (interchangable).
Tidak mengherankan bila sejak Republik ini berdiri,
Indonesia telah menghasilkan berbagai peraturan perundang-undangan yang
berujung kepada hukum atau syariat Islam bagi warga masyarakat beragama Islam.
Misalnya adalah UU No. 1/1974 yang mengatur sahnya perkawinan berdasarkan hukum
agama, dan bagi ummat Islam hukum agama adalah hukum Islam. Berdasarkan UU ini,
maka perkawinan penduduk hanya sah bila dilakukan menurut keyakinan agamanya
dan setelah itu dicatatkan pada negara. Bagi warga beragama Islam, pencatatan
tersebut di Kantor Urusan Agama dan bagi warga non-muslim di Kantor Catatan Sipil.
UU No. 7/1989 tentang Peradilan Agama mengatur tentang
salah satu pengadilan negara di Indonesia berdasarkan hukum Islam. Sesuai UU
No. 14 Tahun 1970, Pengadilan Agama adalah salah satu dari empat jenis
Pengadilan di Indonesia yang semuanya bermuara ke Mahkamah Agung. Peradilan
Agama adalah peradilan untuk orang yang beragama Islam (Pasal 1 ayat 1)
mengenai masalah tertentu (Pasal 2). Pengadilan Agama berwenang memeriksa,
memutus dan menyelesaikan perkara-perkara di tingkat pertama antara orang-orang
yang beragama Islam di bidang (a) perkawinan; (b) kewarisan, wasiat dan hibah,
yang dilakukan berdasarkan hukum Islam; (c) wakaf dan shadagah (Pasal 49).
Dalam UU No. 3/2006 yang merupakan revisi UU No. 7/1986, kewenangan PA menjadi
tujuh bidang, yaitu (1) perkawinan, (2) kewarisan, (3) wakaf, (4) hibah, (5)
shadaqah, (6) zakat, dan (7) ekonomi syariah (Pasal 49). Pasal 10 ayat (2) UU
No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman menyatakan bahwa “Badan peradilan
yang berada di bawah Mahkamah Agung meliputi badan peradilan dalam Lingkungan
Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer dan Peradilan Tata Usaha
Negara.”
Pasal 2 UU No. 17 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan
Ibadah Haji menyatakan bahwa “Setiap warga negara yang beragama Islam mempunyai
hak untuk menunaikan ibadah haji.” Lebih lanjut Pasal 3 menjelaskan:
“Pemerintah berkewajiban melakukan pembinaan, pelayanan dan perlindungan dengan
menyediakan fasilitas, kemudahan, keamanan, dan kenyamanan yang diperlukan oleh
setiap warga negara yang menunaikan ibadah haji.” Ditambahkan dalam Pasal 3
bahwa: “Penyelenggaraan ibadah haji berdasarkan atas keadilan memperolah
kesempatan, perlindungan, dan kepastian hukum sesuai dengan Pancasila dan
Undang-Undang Dasar 1945.”
Pasal 2 UU No. 25 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat
menyatakan bahwa: “Setiap warga negara Indonesia yang beragama Islam dan mampu
atau badan yang dimiliki oleh orang muslim berkewajiban menunaikan zakat.”[11][11] Lebih lanjut Pasal 3 menyatakan: “Pemerintah
berkewajiban memberikan perlindungan, pembinaan, dan pelayanan kepada muzakki,
mustahiq, dan amil zakat.”
Pasal 1 ayat (1) UU No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf
menyatakan bahwa: “Wakaf adalah perbuatan hukum wakif untuk memisahkan dan/atau
menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau
untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentinganya guna keperluan ibadah
dan/atau kesejahteraan umum menurut syariah.” Selanjutnya Pasal 2 menyatakan
bahwa: “Wakaf sah apabila dilaksanakan menurut syariah.”
Penjelasan atas UU ini antara lain menyatakan: “Salah
satu langkah strategis untuk meningkatkan kesejahteraan umum, perlu
meningkatkan peran wakaf sebagai pranata keagamaan yang tidak hanya bertujuan
menyediakan berbagai sarana ibadah dan sosial, tetapi juga memiliki kekuatan
ekonomi yang berpotensi, antara lain untuk memajukan kesejahteraan umum,
sehingga perlu dikembangkan pemanfaatannya sesuai dengan prinsip syariah.”
Setelah Piagam Jakarta, istilah syariat masuk pertama
kali ke dalam khazanah hukum Indonesia melalui UU No. 10 Tahun 1998 UU yang merevisi UU No. 7 Tahun 1982
tentang Perbankan di mana dinyatakan dalam Pasal 1 ayat (12) tentang pembiayaan berdasarkan Prinsip
Syariah. Dalam pasal ini diterangkan dengan jelas bahwa yang dimaksud prinsip
syariah adalah aturan perjanjian berdasarkan hukum Islam. Jadi istilah syariah
di sini disamakan dengan hukum Islam.
Jauh sebelum ini, yaitu tanggal 10 Juni 1991, telah
terbit Kompilasi Hukum Islam di Indonesia (KHI) berdasarkan Instruksi Presiden
RI No. 1 Tahun 1991. KHI terdiri dari tiga buku tentang Hukum Perkawinan, Hukum
Kewarisan, dan Hukum Perwakafan. Khusus mengenai
Buku III telah disempurnakan menjadi UU No. UU No. 41/2004 tentang Wakaf. Buku
I dan Buku II KHI juga sedang mengalami revisi dan telah menjadi RUU dengan nama
RUU Hukum Terapan Peradilan Agama Bidang Perkawinan, dan RUU Hukum Terapan
Peradilan Agama Bidang Kewarisan, dan cepat atau lambat kedua RUU ini tentu
juga akan menjadi UU. Hukum Islam dalam KHI ini tidak lain adalah kompilasi
syariat Islam dalam bidang perkawinan, kewarisan dan kewakafan. Sejak
diterbitkan, KHI telah digunakan sebagai hukum materiil di Peradilan Agama (PA)
yang merupakan Peradilan Syariat Islam di Indonesia.
Istilah syariat juga muncul dalam Pasal 25 ayat (1),
(2) dan (3) UU No. 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Daerah Istimewa Aceh
sebagai Propinsi Naggroe Aceh Darussalam. Pasal ini mengatur tentang Peradialn
Syariat Islam dengan nama Mahkamah Syariyah dengan kewenangan berdasarkan
syariat Islam dalam sistem hukum nasional yang diatur secara khusus dengan
Qanun Aceh sebagai Perda (Peraturan Daerah) khusus otonomi Aceh.
Mahkamah
Syariyah atau Peradilan Syariat Islam di Propinsi NAD adalah PA plus dengan
kewenangan melebihi PA di propinsi-propinsi lain berdasarkan Qanun. Di
propinsi-propinsi lain, kewenangan PA terbatas dalam tujuh bidang seperti
diatur dalam Pasal 49 UU No. 3/2006, tetapi sesuai UU No. 11 Tahun 2006 tentang
Pemerintahan Aceh, di Aceh meliputi bidang yang luas sekali, yaitu ibadah,
hukum keluarga (al-ahwal ash-shakhshiyyah), hukum perdata (al-mu`amalah),
hukum pidana (al-jinayah), qadha’ (peradilan), tarbiyah
(pendidikan), dakwah, syiar dan pembelaan Islam, yang akan diterapkan
berdasarkan Qanun (Pasal 125 ayat 1, 2 dan 3). Dengan berlakunya UU ini, pengertian
syariat Islam di Aceh kembali kepada makna asalnya, yaitu sebagai agama Islam
itu sendiri atau sebagai the right way of religion[12][12] menurut pemahaman ‘Abdullah Yusuf ‘Ali. Syariat
dengan pengertian luas seperti ini tidak hanya menyangkut aspek hukum dari
agama Islam, atau sebagai fiqh dalam pengertian yang lazim, tetapi keseluruhan
agama Islam. Ini akan membawa kepada sebuah pertanyaan serius di mana depan:
Apakah seluruh aspek ajaran Islam membutuhkan perundang-undangan negara (dalam
hal Aceh adalah Qanun), ataukah hanya aspek yang berhubungan dengan hukum
semata?
Perundang-undangan
syariat Islam di daerah tingkat satu dan tingkat dua tidak hanya melalui Qanun
Aceh, tetapi juga berbagai Peraturan Daerah (Perda), Surat Edaran dan lain-lain
di beberapa daerah. Misalnya adalah di Bulukumba (Sulawesi Selatan), yaitu
Perda No. 03/2002 tentang Larangan Penertiban dan Penjualan Minuman Keras,
Perda No. 02/2003 tentang Pengelolaan Zakat, Infak dan Sedekah, Perda No.
05/2003 tentang Berpakaian Muslim dan Muslimah, Perda No. 06/2005 tentang
Pandai Baca-Tulis al-Quran Bagi Siswa dan Calon Penganten. Di Maros (Sulawesi
Selatan) ada Perda No. 15, 16, 17/Desember 2005 tentang Buta Aksara al-Quran,
Busana Muslim, dan Pengelolaan Zakat. Di Lombok Timur (Nusa Tenggara Barat) ada
Perda No. 09/2005 tentang Zakat Profesi. Di Pamekasan (Madura) ada Perda No.
18/2001 tentang Larangan Perederan Minuman Beralkohol. Di Cianjur (Jawa Barat)
ada Surat Edaran No. 061/2896/Org tentang Anjuran Pemakaian Seragam Kerja (Muslim/Muslimah)
Pada Hari-Hari Kerja. Di Padang (Sumatera Barat) ada Instruksi Wali Kota No.
451.442/Binsos-III/2005 tentang Kewajiban Berbusana Muslim. Di Riau ada Surat
Gubernur No. 003.1/UM/08.1 tentang Pembuatan Papan Nama Arab-Melayu.[13][13]
Beberapa
Perda ini menunjukkan adanya dukungan terhadap hukum atau syariat Islam dari
wakil-wakil rakyat di daerah-daerah tertentu. Melihat perkembangan sekarang,
tidak mustahil jumlah Perda syariat Islam atau apa yang dipandang sebagai Perda
Syariah akan bertambah di masa depan. Ini tentu di samping perundang-undangan
pada tingkat pusat yang akan lahir dalam waktu dekat atau di masa depan untuk
mendukung reformasi hukum di negeri ini.
Pasal
49 Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 7 Tahun
1989 tentang Peradilan Agama menyatakan bahwa salah satu kewenangan Peradilan
Agama adalah memutus sengketa dalam bidang ekonomi syariah. Hukum ekonomi
syariah yang dimaksud meliputi sebelas jenis, yaitu a. bank syariah; b. lembaga keuangan makro syariah; c.
asuransi syariah; d. reasuransi syariah; e. reksadana syariah; f. obligasi
syariah dan surat berharga berjangka menengah syariah; g. sekuritas syariah; h.
pembiayaan syariah; i. pegadaian syariah; j. dana pensiun lembaga keuangan
syariah; dan k. bisnis syariah. Dengan kesebelas jenis hukum ekonomi syariah
ini berarti hampir seluruh cakupan fiqh mu‘amalat dalam syariat Islam telah
menjadi hukum positif di Indonesia.
Kemunculan ekonomi syariah melaini
kecenderungan hukum Islam yang berlaku sejak awal kemerdekaan Indonesia. Selama
ini, keberlakuan hukum Islam hanya menyangkut warga yang beragama Islam. Khusus
mengenai ekonomi syariah, begitu juga sengketa mengenai ekonomi syariah, tidak
hanya menyangkut warga negara yang beragama Islam, tetapi mencakup semua warga
negara tanpa melihat perbedaan agama. Dengan melibatkan diri dalam kegiatan
ekonomi syariah, maka baik muslim maupun non-muslim, telah menundukkan dirinya
kepada ketentuan hukum ekonomi syariah. Transaksi ekonomi syariah pada umumnya
berdasarkan akad atau perjanjian di antara para pihak, dan dalam hal terjadi
sengketa, maka akad atau perjanjian itulah yang menjadi konstitusi bagi para
pihak. Dalam hal ini, kemungkinan sengketa tidak hanya terjadi antara sesama
muslim, tetapi juga antara muslim dan non muslim, bahkan antara sesama non
muslim, bila mereka adalah pihak-pihak yang terlibat dalam akad atau perjanjian
syariah.
Dalam bidang ekonomi syariah juga telah terbit
perundang-undangan tentang Perbankan Syariah dan SBSN. Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang
Tentang Surat Berharga Syariah Negara menyatakan bahwa: ”Surat Berharga Syariah
Negara selanjutnya disingkat SBSN, atau dapat disebut Sukuk Negara, adalah
surat berharga negara yang diterbitkan berdasarkan prinsip syariah, sebagai
alat bukti bagian penyertaan terhadap Aset SBSN, baik dalam mata uang rupiah,
maupun valuta asing.”
Penyelasan Umum UU Sukuk Negara
menyatakan: ”Keuangan Islam didasarkan pada prinsip moralitas dan keadilan.
Oleh karena itu, sesuai dengan dasar operasionalnya yakni syariah Islam yang
bersumber dari al-Qur’an dan al-Hadits serta Ijma’, instrumen pembayaran
syariah harus selaras dan memenuhi prinsip syariah, yaitu antara lain transaksi
yang dilakukan oelh para pihak harus bersifat adil, halal, thayyib, dan
maslahat. Selain itu, transaksi dalam keuangan Islam sesuai dengan syariah
harus terlepas dari unsur larangan berikut: (1) Riba, yaitu unsur bunga atau return
yang diperoleh dari penggunaan uang untuk mendapatkan uang (money for money); (2) Maysir,
yaitu unsur spekulasi, judi, dan sikap untung-untungan; dan (3) Gharar, yaitu unsur ketidakpastian yang
antara lain terkait dengan penyerahan, kualitas, kuantitas, dan sebagainya. .
.”
Sementara itu, Pasal 1 ayat (1)
Undang-Undang Perbankan Syariah menjelaskan bahwa: ”Perbankan syariah adalah
”segala sesuatu yang menyangkut tentang Bank Syariah dan Unit Usaha Syariah,
mencakup kelembagaan, kegiatan usaha, serta cara dan proses dalam melaksanakan
kegiatan usahanya.” Pasal 2 menjelaskan bahwa ”Perbankan Syariah dalam
melakukan kegiatan usahanya berasaskan Prinsip Syariah, demokrasi ekonomi, dan
prinsip kehati-hatian.”
Pasal ayat (12)
menjelaskan: ”Prinsip Syariah adalah prinsip hukum Islam dalam kegiatan
perbankan berdasarkan fatwa yan dikeluarkan oleh lembaga yang memiliki kewenangan
dalam penetapan fatwa di bidan syariah.”
Pasal 26 ayat (1),
(2) dan (3) menyatakan: ”(1) Kegiatan usaha sebaaimana dimaksud dalam Pasal 19,
Pasal 20, dan Pasal 21 dan/atau produk dan jasa syariah, wajib tunduk kepada
Prinsip Syariah. (2) Prinsip Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
difatwakan oleh Majelis Ulama Indonesia. (3) Fatwa sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) dituangkan. dalam Peraturan Bank Indonesia.”
Pasal 4 ayat (2) menyatakan bahwa
”Bank Syariah atau UUS dapat menjalanka fungsi sosial dalam bentuk lembaga baitul mal, yaitu menerima dana yang
berasal dari zakat, infak, sedekah, hibah atau dana sosial lainnya dan
menyelurkannya kepada organisasi pengelola zakat.”
Pasal 4 ayat (3) menyatakan bahwa:
”Bank Syariah dan UUS dapat menghimpun dana sosial yang berasal dari wakaf uang
dan menyalurkannya kepada pengelola wakaf (nazhir)
sesuai dengan kehendak pemberi wakaf (wakif).”
Hukum materil ekonomi syariah di
Indonesia pada umumnya baru dalam bentuk fiqh para fuqaha’ atau fatwa DSN MUI
secara khusus. Mengisi kekosongan perudang-undangan dalam bidang ini bagi
kepentingan penyelesaian sengketa di pengadilan, maka Mahkamah Agung RI
menerbitkan Peraturan Mahkamah Agung No. 02 Tahun 2008 tentang Kompilasi Hukum
Ekonomi Syariah (KHES). KHES terdiri dari 4 Buku, masing-masing tentang Subyek
Hukum dan Amwal, Akad, Zakat dan Hibah, dan Akutansi Syariah.
Pengembangan hukum
Islam di Indonesia antara lain dilakukan oleh Fakultas Syariah Universitas
Islam Negeri (UIN) dan Institut Agama Islam Negeri (IAIN) serta
fakultas-fakultas syariah yang lain lahir di zaman Republik. Sebelum Fakultas
Syariah juga telah berdiri Pendidikan Hukum Islam Negeri, Sekoleh Guru Hakim
Agama Negeri dan Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri yang merupakan cikal bakal
IAIN. Fakultas dan sekolah jenis ini mempunyai akar yang kuat dalam sejarah
pendidikan Islam di Indonesia melalui pendidikan surau, pondok, pesantren dan
madrasah. Di lembaga-lembaga pendidikan ini, fiqh sebagai hukum Islam merupakan
salah satu mata pelajaran penting. Hampir tidak ada pendidikan surau, pondok,
pesantren atau madrasah yang tidak mengajarkan fiqh kepada siswa-siswanya. Pada
tingkat dasar, biasanya diajarkan hukum menyangkut thaharah (bersuci,
wudhu’, tayammum, mandi dan lain-lain) dan ibadah-ibadah setiap hari. Pada
tingkat menengah diajarkan bagian-bagian dari hukum perkawinan, dan pada
tingkat lanjut pendidikan Islam mengajarkan hukum waris, hibah, transaksi
dagang, pertanian, perternakan dan masalah-masalah lainnya yang menjadi bahasan
ilmu fiqh. Buku-buku yang dipakai pada umumnya berasal dari mazhab Syafi‘î atau
cabang-cabangnya, baik yang ditulis oleh fuqaha’ dari Arab dan India, maupun
yang ditulis oleh penulis-penulis Indonesia sendiri. Topik-topik fiqh yang
dibicarakan di lembaga-lembaga pendidikan Islam Nusantara tidak berbeda dari
topik-topik fiqh yang dibicarakan di tempat-tempat lain di dunia Islam.
Fakultas syariah
di Indonesia pada mulanya mengambil model fakultas syariah yang ada di beberapa
negara Arab Timur Tengah, terutama Mesir dengan Universitas al-Azharnya. Di
al-Azhar sendiri, Fakultas Syariah mempunyai dua bentuk: Fakultas Syariah murni
dan Fakultas Syari‘àh serta Hukum (asy-Syariah wa al-Qanûn). Fakultas Syariah
di Indonesia berkembang dari bentuk pertama, dan karena itu dari sejak awal
pendidikan hukum negara diserahkan kepada fakultas hukum di luar IAIN. Sekarang
setelah hukum Islam mulai terintegritas ke dalam hukum nasional, barulah
dirasakan kebutuhan untuk mengembangkan Fakultas Syariah menjadi Fakultas
Syariah serta Hukum.
Kajian syariat
Islam Indonesia juga dilakukan oleh berbagai universitas Eropah, Amerika dan
Australia yang mempunyai pusat kajian Indonesia atau Asia Tenggara. Penelitian
seperti ini sebagiannya dilakukan oleh warga Indonesia sendiri dan sebagian
lagi oleh warga negara asing. Misalnya adalah kajian Islam di Universitas
Leiden di Negeri Belanda, Universitas Sorbonne di Perancis, Universitas London
di Inggeris, Universitas Monas dan Universitas Sydney di Australia, Universitas
McGill di Kanada, Harvard Law School di Amerika Serikat, Universitas Leipzig di
Jerman dan lain-lain. Akhir-akhir ini penelitian tentang Islam Indonesia juga
mulai dilakukan di beberapa universitas Jepang. Hal yang sama juga dilakukan
oleh beberapa universitas di wilayah Timur Tengah seperti Universitas al-Azhar,
Universitas Cairo dan Universitas ‘Ainsyam di Mesir, Universitas Madinah dan
Universitas Umm al-Qura di Saudi Arabia dan lain-lain.[15][15]
Peradilan Agama sebagai Peradilan
Islam
Peradilan Agma dan Mahkamah Syariyah adalah pewaris
peradilan Islam dengan berbagai nama yang sudah ada sebelum kedatangan penjajah
Barat ke Indonesia. Peradilan Agama sebagai peradilan Islam disebut oleh
Belanda sebagai godsdienstige rechtspraak (peradilan ibadat atau agama)
atau priesterraad (peradilan paderi atau rad agama). Kelahirannya secara
resmi berdasarkan pada KonninklijkBesluit
Raja Belanda Willem III tanggal 19 Januari 1882, dan diumumkan dalam Staatsblad
1882 No. 152 dengan nama Priesterraden
yang lazim disebut Raad Agama. Staadsblad No. 152 terdiri dari 7 Pasal.
Keputusan Raja Belanda ini dinyatakan berlaku mulai 1 Agustus 1882 dan
diumumkan dalam Staatsblad 1882 No. 153.[16][16]
Dari staatsblad ini dan berbagai peraturan yang lahir
kemudian menyatakan bahwa penyelesaian perselisihan Hukum Perdata antara orang
Islam dengan orang Islam harus diputuskan menurut hukum agamanya.
Perkara-perkara dimaksud adalah mengenai perkawinan, perceraian, rujuk,
perceraian dan hal-hal yang berhubungan.
Peradilan Agama diakui oleh Belanda sebagai peradilan
Islam dalam bidang tertentu tetapi tidak diikuti dengan pembinaan yang wajar
seperti yang diberikan kepada Landraad (Peradilan Negeri). Ini tentu sesuai
dengan kebijakan politik penjajahan seperti digambarkan dalam sub judul
Keberlakuan Hukum Islam, terutama perpindahan dari teori reseptio in
complexu menjadi teori reseptie. Perbedaan perlakuan tersebut dapat
dilihat dari tidak adanya upaya pemerintah jajahan untuk memberikan pembinaan
dalam bidang organisasi, management, rekruitmen hakim dan pegawai peradilan,
pendidikan dan lain-lain.
Pembinaan baru dapat dilakukan di zaman kemerdekaan,
terutama di zaman reformasi melalaui amandemen Undang-Undang Dasar,
Undang-Undang Peradilan Agama dan perubahan sistem peradilan menjadi sistem
satu atap di bawah Mahkamah Agung. Sistem peradilan ditetapkan dan diatur
berdasarkan pasal-pasal dalam konstitusi, berbagai undang-undang dan penjelasan
undang serta peraturan pemerintah dan lain-lain.
Bab IX, Pasal 24 UUD 1945 hasil perubahan ketiga
menyatakan bahwa kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk
menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Selanjutnya
disebutkan bahwa kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan
badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum,
lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan
tata usaha negara; dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. Sementara itu,
badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaaan kehakiman diatur
dalam undang-undang.
Ketentuan tersebut diulang
kembalai dalam Bab II Pasal 10 UU No. 4/2004 yang menyatakan bahwa kekuasaan
kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada
di bawahnya, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. Selanjutnya dijelaskan bahwa
badan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung meliputi badan peradilan
dalam Lingkungan Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer, dan
Peradilan Tata Usaha Negara.
Perkembangan Peradilan Agama
antara lain dapat dilihat dari peningkatan kewenangan, mulai dari putusannya
yang terbatas dalam biang nikah-talak-rujuk yang harus dikukuhkan oleh
Peradilan Umum sampai meningkat menjadi tujuh bidang dalam UU No. 3/2006 dan
juga kewenangan tambahan untuk Mahkamah Syariyah Aceh sebagai Peradilan Agama
plus berdasar berbagai Qanun Aceh sebagai otonomi khusus.
Penutup
Hukum Islam adalah terjemahan dari Islamic Law.
Dalam Islam sebenarnya tidak dikenal istilah “hukum Islam”, tetapi syariat
Islam (asy-Syariah al-Islâmiyyah) atau fiqh Islam (al-Fiqh
al-Islâmî). Dalam hal ini, hukum Islam seluruhnya bersifat
diyânî (keagamaan), tetapi dalam praktek kenegaraan ada hukum Islam yang
bersifat (1) diyânî murni (yang tergantung kepada ketaatan
individual seorang muslim terhadap hukum agamanya) dan (2) yang bersifat qadhâ’î
(yuridis) yang memerlukan peradilan negara untuk penegakannya
Sistem peradilan Islam di Indonesia dapat dilihat dari peningkatan
kewenangan Peradilan Agama dan Mahkamah Syariyah di Aceh sebagai Peradilan
Syariat Islam dengan kewenangan terbatas seperti ditetapkan oleh peraturan
perundang-undangan. Hukum acara dan materil yang belum terkondifikasi dalam
peraturan perundang-undangan Indonesia dirsepsi dari dari fiqh para fuqaha’ dan
fatwa para ulama.
Sebagai bagian dari
hukum nasional, para pencari keadilan berdasarkan hukum Islam dapat melanjutkan
upaya hukum untuk perkara-perkara yang mereka ajukan dari peradilan tingkat
pertama, sampai ke tingkat banding dan kasasi serta peninjauan kembali di
Mahkamah Agung RI.
-=®=-
Ò Disampaikan pada Annual
Conference and International Seminar: Transformasi Nilai-Nilai Islam Dalam
Membangun Peradaban Baru Dunia, Program Pascasarjana IAIN Sulthan Thaha
Saifuddin, Jambi, Sabtu 5 Desember 2009.
[1][1] Syarî‘at adalah
“jalan agama yang benar” (the right way of Religion) atau agama Islam itu
sendiri yang lebih luas dari ibadah-ibadah formal dan ayat-ayat hukum yang
diturunkan kepada Nabi Mhammad s.a.w. Lihat: ‘Abdullah Yûsuf ‘Alî, The Holy Qur’an: Text, Translation and
Commentary (Brendwood, Maryland: Amana Corporation, 1409 H/1989 M), hal.
1297, catatan kaki no. 4756.
[3][3] Musthafâ Ahmad az-Zarqâ’, al-Madkhal
al-Fiqh al-‘آm (Bairut: Dâr al-Fikr,
1966-67), hlm. 58-59; juga lihat Rifyal Ka‘bah, Hukum Islam di Indonesia:
Perspektif NU dan Muhammadiyah (Jakarta:
Universitas Yarsi, 199), hal. 60-62.
[4][4]
Rifyal Ka’bah, “Lembaga Fatwa di Indonesia Dalam Kajian Politik Hukum”, MajalahHukum dan Peradilan. No. 68,
Februari 2009, hal. 60-61.
[5][5] Imran Ahsan Khan
Nyazee, Theories of Islamic Law: The Methodology of Ijtihad (Kuala
Lumpur: The Other Press, 2002), hal. 52-55.
[6][6]
John Ball, Indonesian Law at the Crossroad: Commentary and Materials
(Sydney: Oughtershaw Press, 1996), hal., 1.3.
[8][8] Lihat buku P.S.J. Van Koningsveld, Snouck
Hurgronje dan Islam, terjemahan dari Acht artkelen over leven en werk
van een orientalist uit het koloniale tijdperk. Jakarta:
PT Girimukti Pusaka, 1989.
[9][9]
Peter Burns dalam disertasinya mengupas secara luas tentang upaya Van
Vallenhoven memperjuangkan teorinya, yang oleh Burns disebut sebagai “The
Leiden Legacy”. Ia antara lain menyimpulkan: “The body of Von Vollenhoven, like
that of John Brown, may lie . . . a moldering in the grave, but his
influence, like the soul of the slave-saving rebel, still marches on. . .
[D]espite his great personal values], Van Vallenhoven marched –as his latter
day followers still march—steadily and with great confidence, in a wrong
direction.” (Mayat Von Vollenhoven adalah seperti mayat John Brown, barangkali
terbaring . . . hancur luluh di kuburan, tetapi pengaruhnya adalah seperti
pemberontak penyelamat budak masih berketayangan . . . [di samping nilai
priadinya yang agung]. Van Vollenhoven berketayangan, seperti juga para pengikut
terakhirnya masih berketayangan, dengan tangguh dan percaya diri yang besar,
dalam sebuah arah yang salah). Peter Burns, The Leiden
Legacy: Concept of Law in Indonesia
(Leiden: KITLV
Press, 2004), p. 253.
[10][10] Pendelatam seperti
inti antara lain didukung oleh Padmo Wahjono. Beliau antara lain menyatakan:
“Memasukkan budaya hukum Islam, maka kita dihadapkan kepada dua kemungkinan:
(a) mengenai hukum positif Islam, sehingga kita terbatas memasalahkan hukum
yang berlaku bagi mereka yang beragama Islam, atau (b) mengenai nilai-nilai
hukum Islam, yang akan dapat berlaku bagi seluruh warga negara, bahkan mungkin
seluruh penduduk termasuk yang bukan warga negara. Kedua laternatif ini dapat
mempengaruhi pembentukan hukum nasional di masa yang akan datang.” Padmo
Wahjono, ”Budaya Hukum Islam dalam Perspektif Pembentukan Hukum di Masa
Datang”, dalam Amrullah Ahmad et. al. (Eds.), Prospek Hukum Islam dalam Kerangka Pembangunan Hukum Nasional di
Indonesia (Jakarta: Pengurus Pusat Ikatan Hakim Peradilan Agama, 1994),
hal. 241.
[11][11]
Pasal 1 ayat (2) Keputusan Presiden
RI آNo.
8 Tahun 2001 Tentang Badan Amil Zakat Nasional
menyatakan bahwa “Zakat adalah harta yang wajib disisihkan oleh seorang muslim
atau badan yang dimiliki oleh orang muslim sesuai dengan ketentuan agama untuk
diberikan kepada yang berhak menerimanya.”
[13][13]
Majalah mingguan Gatra, 6 Mei 2006, hal. 26. Juga lihat: Rifyal Ka’bah, The
Jakarta Charter and
the Dynamic of Islamah Shariah in the History of Indonesian law (Jakarta:
University of Indonesia,
School of Law,
Post Graduate Studies Program, 2006), hal. 13-14, 34-35.
[14][14] Lebih lanjuta
lihat, Rifyal Ka’bah, “Sekilas Tentang Pendidikan Hukum dan Syariah di
Indonesia” dalam Nasrullah et. al. (Eds.),Reformasi
Pendidikan Tinggi Hukum (Yogyakarta: Fakultas Hukum
Uniersitas Muhammadiyah, 2002), hal.56-66.
[15][15]Rifyal Ka’bah, ”Penegakan
Syariah/Hukum Islam di Indonesia”, Varia Peradilan, No. 285, Agusuts
2009, hal. 17.
[16][16] Zuffran Sabrie et.al. (Eds.), Peradilan Agama di Indonesia (Jakarta: Departemen Agama RI:
Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam, 1999), h al.12.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Please Uktub Your Ro'yi Here...