Oleh : Abdurrahman
Hukum Islam adalah dua kata dalam bahasa Indonesia yang berasal dari
bahasa Arab. Dua kata tersebut terdiri dari kata "hukum" dan "Islam".
Kata "hukum" dalam bahasa Indonesia adalah kata serapan yang berasal
dari bahasa Arab yaitu kata الحكم
(al- hukmu)
yang merupakan bentuk singular/tunggal, adapun bentuk plural/jama'nya
adalah الأحكام (al-ahkam).
Secara etimologi kata ini berarti القضاء
(al-qadha)
yang bermakna memutuskan, memimpin, memerintah, menetapkan dan menjatuhkan
hukuman,[1]
bentuk fa'il-nya adalah الحاكم
– الحكيم
(al-haakim-al-hakiim) yaitu orang yang memutuskan suatu perkara
dan menjatuhkan hukuman kepada yang bersalah. Al-Fairuz Abady menyatakan bahwa
kata الحكم (al- hukmu)
dengan dhamah berarti القضاء
(al-qadha) yaitu
mengadili, bentuk jama'nya adalah االأحكام
(al-ahkam).[2]
Abdullah bin Shalih Al-Fauzan dalam Syarh
Al-Waraqat Fi Ushul Al-Fiqh menyatakan :
اللحكم
لغة : المنع والحكم اصطلاحا : ما دل عليه خطاب الشرع
المتعلق بأفعال المكلفين من طلب او تخيير او وضع
Al-Hukmu
secara bahasa adalah mencegah, sedangkan secara istilah adalah segala sesuatu
yang menunjukan padanya kehendak syar'i yang berkaitan dengan
amalan-amalan orang yang sudah dewasa (mukallaf) baik berupa tuntutan
kewajiban, pilihan dan hukum wadh'i.[3] Nasrun
Haroen merinci pengertian dari kata "al-hukm" dalam beberapa arti, yaitu :
1.
Menetapkan sesuatu atas sesuatu atau meniadakannya, seperti menetapkan
terbitnya bulan dan meniadakan kegelapan dengan terbitnya matahari.
2.
Khitab Allah, seperti “aqimu
ash-shalata” dalam hal ini yang dimaksud dengan hukum adalah nash
yang datang dari Syari'.
3.
Akibat dari Khitab Allah, seperti hukum ijab yang dipahami dari
firman Allah “aqimu ash-shalata”. Pengertian ini digunakan para fuqaha
(ahli fiqh)
4.
Keputusan hakim di sidang pengadilan.[4]
Dari berbagai pengertian tersebut terlihat adanya makna yang satu yaitu
bahwa al-hukm adalah :
خطاب الله المتعلق بأفعال المكلفين طلبا
أو تخييرا أو وضعا
“Khitab Allah ta'ala yang berkaitan dengan
perbuatan-perbuatan orang mukallaf yang berupa tuntutan, pilihan atau
yang bersifat wadh'i”[5].
Pengertian ini menunjukan bahwa hukum adalah sesuatu yang menjadi tuntutan syara'
atas setiap orang-orang yang sudah mukallaf untuk melaksanakannya, baik
hal itu berupa tuntutan, pilihan atau berbagai sebab yang mengakibatkan adanya
hukum tersebut, seperti ahkam al-khamsah yaitu haram, makruh, mubah,
sunnah dan wajib. Berbeda dengan makna hukum sebelumnya, Muhammad Daud Ali
menyatakan kata "hukum" berasal dari bahasa Arab yaitu al-hukm
yang berarti kaidah, norma, ukuran, tolok ukur, patokan, pedoman yang
dipergunakan untuk menilai tingkah laku atau perbuatan manusia dan benda.[6] Hal
ini sama seperti yang diungkapkan oleh M. Hasbi Ash-Shiddieqy yang menyatakan
“Istilah hukum Islam walaupun berlafadz Arab, namun telah dijadikan bahasa
Indonesia, sebagai terjemahan dari Fiqh Islam atau Syariat Islam”.[7]
Jika kita cermati, kata "hukum" dilihat dari asal kata bahasa
Arab, maka makna yang sebenarnya tidaklah sama dengan kata hukum yang telah
menjadi bahasa Indonesia. Kata hukum ini telah mengalami perubahan dan
perluasan makna sehingga tidak sesuai lagi dengan makna bahasa asalnya. Adapun
kata yang semakna dengan hukum dalam bahasa Arab adalah syariah dan Al-Fiqh.
Syariah
menurut bahasa adalah الوارد
(al-warid) yang berarti
jalan, dikatakan pula نحو
الماء yaitu tempat keluarnya
(mata) air.[8]
Al-Raghib menyatakan syariah adalah metode atau jalan yang jelas dan
terang. Dikatakan : شرعت له نهجا
(aku mensyariatkan padanya sebuah jalan), الشريعة
al-syari'ah bisa pula
bermakna sebuah tempat di tepi pantai. Manna' Khalil Al-Qathan berkata : Syariat
pada asalnya menurut bahasa adalah sumber air yang digunakan untuk minum,
kemudian digunakan oleh orang-orang Arab dengan arti jalan yang lurus (al-syirath
al-mustaqim) yang demikian itu karena tempat keluarnya air adalah sumber
kehidupan dan keselamatan/kesehatan
badan, demikian juga arah dari jalan yang lurus yang mengarahkan manusia
kepada kebaikan, padanya ada kehidupan jiwa dan pengoptimalan akal mereka[9] Kata
atau lafadz "syariah" banyak terdapat di dalam Al-Qur'an,
misalnya firmanNya dalam QS Al-Jatsiyah ayat 18 :
ثُمَّ جَعَلْنَاكَ عَلَى شَرِيعَةٍ
مِّنَ اْلأَمْرِ فَاتَّبِعْهَا وَلاَتَتَّبِعْ أَهْوَآءَ الَّذِينَ لاَيَعْلَمُونَ
Kemudian Kami jadikan kamu berada di atas suatu syariat
(peraturan) dari urusan (agama itu), maka ikutilah syariat itu dan
janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui.
Makna syariah pada ayat ini adalah peraturan
atau cara beragama. Sedangkan dalam QS Asy-Syura ayat 13 bermakna memberikan
tata cara beragama :
شَرَعَ لَكُم مِّنَ
الدِّينِ مَاوَصَّى بِهِ نُوحًا وَالَّذِي أَوْحَيْنَآ إِلَيْكَ وَمَاوَصَّيْنَا
بِهِ إِبْرَاهِيمَ وَمُوسَى وَعِيسَى أَنْ أَقِيمُوا الدِّينَ وَلاَتَتَفَرَّقُوا
فِيهِ كَبُرَ عَلَى الْمُشْرِكِينَ مَاتَدْعُوهُمْ إِلَيْهِ اللهُ يَجْتَبِي
إِلَيْهِ مَن يَشَآءُ وَيَهْدِي إِلَيْهِ مَن يُنِيبُ
Dia telah mensyari'atkan bagi
kamu tentang agama apa yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah
Kami wahyukan kepadamu dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa
dan Isa yaitu: Tegakkanlah agama dan janganlah kamu berpecah belah tentangnya.
Amat berat bagi orang-orang musyrik agama yang kamu seru mereka kepadanya.
Allah menarik kepada agama itu orang yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk
kepada (agama)-Nya orang yang kembali (kepada-Nya).
Makna syariah yang serupa disebutkan
dalam QS Al-Syura ayat 21 Allah berfirman :
أَمْ لَهُمْ
شُرَكَآؤُاْ شَرَعُوا لَهُم مِّنَ الدِّينِ مَالَمْ يَأْذَن بِهِ اللهُ وَلَوْلاَ
كَلِمَةُ الْفَصْلِ لَقُضِىَ بَيْنَهُمْ وَإِنَّ الظَّالِمِينَ لَهُمْ عَذَابٌ
أَلِيمُُ
Apakah mereka mempunyai
sembahan-sembahan selain Allah yang mensyariatkan untuk mereka agama
yang tidak diizinkan Allah? Sekiranya tak ada ketetapan yang menentukan (dari
Allah) tentulah mereka telah dibinasakan. Dan sesungguhnya orang-orang yang
zalim itu akan memperoleh azab yang amat pedih.
Dari beberapa ayat tersebut dapat
disimpulkan bahwa kata syariah bermakna peraturan, agama dan tata cara
ibadah. Pengertian ini telah mengarah kepada makna secara istilah, karena
khitab dari ayat-ayat tersebut adalah orang-orang yang beriman agar
mereka dapat merealisasikan syariat tersebut.
Secara terminologi/istilah, syariat
adalah “Seperangkat norma yang mengatur masalah-masalah bagaimana tata cara
beribadah kepada Allah ta'ala, serta bermuamalah dengan sesama manusia”.
Al-Fairuz Abady menyebutkan bahwa syariat adalah apa-apa yang disyariatkan
Allah kepada para hambaNya.[10] Ibnu Mandzur menyatakan bahwa syariah adalah :
والشريعةُ
والشِّرْعةُ ما سنَّ الله من الدِّين وأَمَر به كالصوم والصلاة والحج والزكاة
وسائر أَعمال البرِّ
Segala sesuatu yang ditetapkan Allah dari dien (agama) dan
diperintahkanya seperti puasa, shalat, haji, zakat dan amal kebaikan lainnya.[11]
Definisi ini seperti yang disebutkan oleh Manna'
Al-Qathan yang menyebutkan bahwa syariat secara istilah adalah “Setiap sesuatu
yang datang dari Allah ta'ala yang disampaikan oleh utusan/RasulNya
kepada para hambanya, dan Dia adalah pembuat syariat yang awal, hukumNya dinamakan
syar'an.[12] Mahmud
Syalthut mendefinisikan syariah dengan "Sebuah nama untuk tata peraturan
dan hukum yang diturunkan oleh Allah ta'ala dalam bentuk ushulnya dan
menjadi kewajiban setiap muslim sebagai pedoman dalam berhubungan dengan Allah
dan antar sesama manusia."[13]
Para intelektual muslim Indonesia memberikan definisi
dari syariah dengan beraneka ragam,
misalnya Hasbi Ash-Shidieqy yang mendefinisikannya dengan “Segala yang
disyariatkan Allah untuk kaum muslimin, baik ditetapkan oleh Al-Qur'an ataupun
sunnah Rasul yang berupa sabda, perbuatan, ataupun taqrirnya”.[14]
Masjfuk Zuhdi mendefinisikannya dengan “Hukum yang
ditetapkan Allah melalui RasulNya untuk hamba-hambaNya, agar mereka mentaati
hukum itu atas dasar iman, baik yang berkaitan dengan akidah, amaliah
(ibadah dan muamalah) dan yang berkaitan dengan akhlak.[15] Sedangkan M. Ali Hasan menyatakan
bahwa syari'ah adalah : Hukum-hukum yang disyariatkan oleh Allah bagi
hamba-hambaNya (manusia) yang dibawa oleh para nabi, baik menyangkut cara mengerjakannya
yang disebut far'iyah amaliyah (cabang-cabang amaliyah) dan untuk itulah
fiqh dibuat, atau yang menyangkut petunjuk beri'tiqad yang disebut ashliyah
i'tiqadiyah (pokok keyakinan), dan untuk itu para ulama menciptakan ilmu
kalam (ilmu tauhid).
Dalam bagian lain disebutkan bahwa syariah
adalah “Semua yang disyariatkan Allah untuk kaum muslimin baik melalui
Al-Qur'an maupun melalui sunnah rasul.[16]
Dari sini dapat disimpulkan bahwa kata hukum dalam
“Hukum Islam” bukanlah arti hukum dalam bahasa Arab al-hukm akan tetapi
makna hukum dalam bahasa Indonesia adalah bermakna syari'ah dalam bahasa
Arab. Pendapat ini seperti disebutkan oleh Fathurrahman Djamil yang
menyimpulkan : Kata hukum Islam tidak ditemukan sama sekali di dalam Al-Qur'an
dan literatur hukum dalam Islam, yang ada dalam Al-Qur'an adalah kata syari'ah,
fiqh, hukum Allah dan yang seakar dengannya, kata hukum Islam merupakan
terjemahan dari term “Islamic Law” dari literatur barat.[17]
Menjadi jelas bagi kita bahwa hukum Islam dalam
literatur klasik adalah syariah Islam, yaitu "Seluruh peraturan dan
tata cara kehidupan dalam Islam yang diperintahkan oleh Allah ta'ala yang
termaktub di dalam Al-Qur'an dan Al-Sunnah".
[1] Ahmad Warson Munawwir, Kamus Munawwir, Surabaya :
Pustaka Progressif, 1997, hlm. 286.
[2] Al-Fairuz Abady, Al-Qamus
Al-Muhith, Libanon : Muasasah Ar-Risalah, 1998. hlm. 1095.
[3] Abdullah bin Shalih Al-Fauzan, Syarh
Al-Waraqat Fi Ushul Al-Fiqh, Riyadh : Dar Al-Muslim, 1997. hlm. 28.
[4]
Nasrun Haroen, Ushul Fiqh I, Jakarta : PT Logos Wacana Ilmu, 2001, hlm. 207
[5]
Abdul Wahhab Khalaf, Ilmu Ushul Fiqh, Kairo : Dar Al-Hadits, 2003, hlm.
87.
[6] Mohammad Daud Ali, Hukum Islam
: Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia, Jakarta : PT
RajaGrafindo Persada, 2004, hlm. 44.
[7] M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Falsafah
hukum Islam, Jakarta : PT Bulan Bintang,
1986. hlm. 44.
[8] Ibnu Mandzur, Lisan Al-‘Arab Juz
VII, hlm. 86
[9] Manna' Khalil Al-Qatan, At-Tasyri'
Wa Al-Fiqhi fi Al-Islam Tarikhan wa Manhajan, Mesir : Maktabah Wahbah,
2001, hlm. 13.
[10] Al-Fairuz Abady, Al-Qamus
Al-Muhith, hlm. 732.
[11] Ibnu Mandzur, Lisan Al-‘Arab Juz V,
hlm. 86.
[12]
Manna' Khalil Al-Qathan, At-Tasyri' Wa Al-Fiqhi fi Al-Islam Tarikhan wa
manhajan, hlm. 14.
[13]
Mahmud Syalthut, Al-Islam Aqidah Wa-Syari'ah, hlm. 73.
[14]
Hasbi Ash-Shidieqy, Pengantar hukum Islam, Semarang : PT. Pustaka Rizki
Putra , 2001. hlm. 18.
[15]
Masjfuk Zuhdi, Pengantar Hukum Syariah, Jakarta : CV Haji Masagung,
1990, hlm. 1
[16]
M. Ali Hasan, Perbandingan Madzhab, Jakarta : PT Rajagrafindo Persada,
1995, hlm. 5.
[17] Fathurrahman Jamil, Filsafat Hukum
Islam, Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 1999. hlm. 11.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Please Uktub Your Ro'yi Here...