Oleh : AM Bambang Prawiro
Sebelum membahas lebih
jauh mengeni hukum Islam ditinjau dari Anthropologi budaya, maka terlebih
dahulu dirumuskan bagaimana anthropologi budaya memandang suatu fenomena di
tengah masyarakat, dalam hal ini bagaimana hukum Islam menjadi realitas di
masyarakat. Para anthropolog dalam analisanya terhadap suatu fenomena budaya di
tengah masayarakat senantiasa menggunakan empat pembahasan utama sebagai pisau
analisa dalam membedah suatu fenomena budaya. Keempat pembahsan tersebut adalah
perkembangan suatu budaya, penyebarannya, aneka warna budaya yang serumpun dan
azas yang menjadi asal budaya tersebut.
Berangkat dari keempat
tema pembahasan tersebut maka
hukum Islam dilihat dari
anthropologi budaya terdiri beberapa pembahsan yaitu :
1. Perkembangan Hukum Islam
2. Penyebaran Hukum Islam
3. Aneka Warna dan Corak Hukum Islam
4. Azas-azas dalam Hukum Islam
Hukum Islam adalah
norma dan aturan yang didasarkan pada nilai-nilai agama Islam. Dalam ranah
anthropologi ia masuk dalam ruang lingkup budaya, maka dalam hal ini hukum
Islam diposisikan sebagai budaya. Hukum Islam muncul dan berkembang di Jazirah
Arabia, sebuah kawasan dengan system hukum rimba dimana yang kuat akan
mengalahkan yang lemah. Kejahiliyahan masyarakat Arab tercermin dari berbagai
tindakan mereka dalam kehidupan sosial kemasayarakatan yang bertentangan dengan
nilai-nilai kemanusiaan. System perkawinan tanpa ikatan, pewarisan yang tidak
melibatkan perempuan, poligami tanpa batasan, pembunuhan anak-anak perempuan
dan penistaan terhadap perempuan adalah sebagian dari realitas masyarakat
jahiliyah.[1]
Di bidang politik,
muncul kekuatan berbagai kabilah yang saling berseteru untuk mendapatkan
kekuasaan secara legal. Pertempuran terjadi antar kabilah, padahal penyebabnya
adalah masalah yang sepele. Setiap orang akan membela mati-matian kabilahnya,
mereka terlelap dalam fanatik golongan yang berlebihan.
Di tengah-tengah
kondisi seperti inilah Islam dengan system hukumnya muncul, dengan locus
tunggal yaitu pemurnian peribadahan hanya satu Tuhan Islam menjadi fenomena
baru dalam bidang keagamaan pada waktu itu. Periode Mekkah sebagai periode awal
dari kelahiran hukum Islam belu menampakan bentuknya yang elegan. Belum ada
hukum-hukum khusus yang berkenaan dengan perbuatan hamba dengan Tuhannya.
Periode ini lebih ditekankan pada penguatan aqidah dan keyakinan akan adanya
satu Tuhan yang harus disembah dan diibadahi (monoteisme).
Tekanan dan intimidasi
yang semakin keras dari kalangan Quraisy memaksa Muhammad dan para pengikutnya
untuk meninggalkan Mekkah mencari wilayah baru yang dapat menerima agama
barunya tersebut. Yatsrib (Madinah) menjadi tujuan akhir umat Islam untuk
membangun sebuah kekuatan hukum baru. Usaha untuk mencari tempat baru untuk
mengembangkan agama Islam sejatinya sudah dilakukan, dengan perginya beberapa
shahabat Nabi ke Habasyah (Ethiopia). Namun walaupun raja di sana menerima umat
Islam dengan baik namun para pendeta
Nasrani merasa tidak nyaman dengan hal itu, sehingga habasyah tidak bisa
dijadikan tempat untuk mengembangan Islam.
Madinah adalah nama
baru bagi suatu wilayah yang pada awalnya bernama Yatsrib, sebuah wilayah
pertanian dengan hamparan pohon kurma yang menghijau. Sebagian penduduknya
adalah Kaum ‘Aush, Khajraj dan beberapa kabilah dari orang-orang Yahudi dan
Nashrani. Bila kita melihat komposisi dari warga Madinah waktu itu maka
terlihat bahwa penduduknya adalah masyarakat multi kultur dan keyakinan. Di
kota inilah hukum Islam mulai mengembangkan bentuknya.
1.
Periode
Kelahiran Hukum Islam
Muhammad sebagai
seorang Nabi dan kepala pemerintahan memiliki posisi sentral dalam proses
pembentukan hukum Islam. Apabila kaum muslimin dihadapkan pada suatu
permasalahan, mereka segera menyampaikannya pada Rasul. Beliau sendiri yang
langsung menyampaikan fatwa hukum, menyelesaikan sengketa, dan menjawab
berbagai pertanyaan. Keputusan hukum tersebut kadang-kadang dijawab oleh
ayat-ayat Qur’an yang diwahyukan kepada Rasul, dan kadang-kadang beliau “berijtihad”. Apa yang datang dari Rasul menjadi
hukum bagi kaum muslimin dan menjadi undang-undang yang wajib ditaati, baik
yang datangnya dari Allah maupun dari ijtihad beliau sendiri.
Sumber pembentukan
hukum dalam periode Rasul ini ada dua, yaitu: wahyu ilahi dan ijtihad Rasul
(ijtihad nabawi). Jadi apabila datang permasalahan di antara kaum muslimin yang
membutuhkan ketentuan hukum (terjadi sengketa, pertanyaan, atau permohonan fatwa),
ada dua kemungkinan yang akan terjadi: Pertama, Allah menurunkan wahyu kepada
nabi untuk menetapkan keputusan. Contohnya adalah turunnya wahyu untuk menjawab
pertanyaan sahabat tentang: perang di bulan haram (2: 217) dan tentang arak dan
judi (2: 219). Kemungkinan kedua adalah suatu hukum diputuskan dengan ijtihad
nabawi. Ijtihad ini pun pada suatu waktu merupakan ta’bir ilham Ilahi yang
diberikan Allah kepada nabi, dan di waktu yang lain praktis merupakan hasil
dari kesimpulan-kesimpulan yang beliau ambil sendiri dengan berorientasi kepada
kemaslahatan. Hukum-hukum ijtihadiyah yang nabi tidak memperoleh ilham dari
Allah, yakni yang bersumber dari pandangan pribadi beliau disebut hukum nabawi;
hukum ini tidak akan diakui Allah, kecuali kalau ternyata benar. Jika ternyata
salah, maka Allah akan mengadakan pembetulan.
Contoh nyata mengenai
hal ini adalah peristiwa penetapan hukum bagi tawanan perang Badar. Saat itu
belum ada syariat tentang tawanan perang, karenanya nabi berijtihad dengan
memusyawarahkan hal ini dengan para pembesar di kalangan sahabat. Abu bakar
memberikan pandangan agar para tawanan itu dikenakan tebusan sebagai imbalan
pembebasannya, “Mereka adalah kaummu dan kerabatmu, biarkanlah mereka tetap
hidup, barangkali Allah menerima taubat mereka, lalu ambilah fidyah dari
mereka, yang berfumgsi memperkuat sahabat-sahabatmu.”, demikian pendapat Abu
bakar.
Sedangkan Umar bin
Khattab berpendapat bahwa para tawanan itu harus dibunuh, “Mereka telah
membohongi dan mengusir engkau, maka hadapkanlah mereka kemari dan penggallah
leher-leher mereka, mereka adalah tokoh-tokoh kafir, sedangkan Allah akan
memberimu kecukupan bukan dari uang tebusan” demikian alasan Umar.
Pengembangan dan
Pembentukan Hukum Islam. Dalam upaya memberikan keputusan
hukum yang merujuk kepada sumber-sumber tasyri, Rasulullah selalu menunggu
datangnya wahyu sebelum memmutuskan sesuatu; dan kalau ternyata wahyu tidak
turun, beliau menyadari, bahwa persoalannya telah diserahkan kepada ijtihad
beliau dengan berlandaskan kepada undang-undang Ilahi dan jiwa tasyri, serta
perhitungan pribadinya yang berorientasi pada kemaslahatan, dan juga musyawarah
dengan para sahabat.
Adapun prinsip-prinsip umum yang menjadi
landasan pembentukan hukum, secara garis besar ada empat prinsip:
a.
Berangsur-angsur
(tadarruj). Proses pembentukan hukum Islam terjadi
secara berangsur-angsur. Hukum-hukum syariat tidak datang secara sekaligus
berbentuk undang-undang, ia datang bertahap mengikuti berbagai peristiwa dan
kejadian.
b.
Menyedikitkan
peraturan-peraturan. Kelahiran hukum-hukum syariat adalah
semata-mata karena adanya kebutuhan manusia dalam menjamin kemaslahatannya,
maka seyogyanya pembentukan hukum-hukum itu dibatasi menurut relevansi
kebutuhan dan kemaslahatan manusia..
c.
Mempermudah dan
memperingan (taisir dan takhfif). Prinsip memberikan
kemudahan dan keringanan adalah karakter syariat Islam yang sangat menonjol.
Allah ta’ala berfirman: “Allah menghendaki kemudahan dan tidak menghendaki
kesukaran”.
Dari beberapa prinsip
yang menjadi landasan pembentukan hukum Islam tampak bahwa hukum Islam muncul
sebagai solusi bagi permasalahan yang ada pada waktu itu.
Karakter mendasar dari
periode pembentukan hukum Islam ini adalah hukum Islam yang masih tumbuh dan
berkembang, dalam arti ia masih tambal sulam. Bukti berlakunya prinsip ini
merujuk pada beberapa kenyataan yang terjadi bahwa pada suatu saat Allah telah
menentukan hukum sesuatu, kemudian dinyatakan tidak berlaku lagi, karena
dipandang tidak relevan lagi dengan kemaslahatan manusia. Misalnya tentang Perubahan
ketentuan kiblat dari baitul Maqdis ke Baitullah, Ka’bah. Demikian juga Perubahan
ketentuan masa iddah bagi wanita yang ditinggal mati suaminya dari setahun
menjadi 4 bulan 10 hari.
Nabi sendiri pada awal
Islam terutama di Mekkah pernah melarang ziarah kubur, kemudian setelah dirasa
terdapat banyak maslahat yang diperoleh dalam berziarah kubur maka beliau memperkenankannya.
Selain itu, syariat Islam pada masa itu juga membiarkannya tradisi manusia yang
ada, sepanjang tidak bertentangan dengan sendi-sendi agama dan tidak
menimbulkan bahaya. Contoh: Islam membiarkan masalah kekufuan dalam perkawinan;
membiarkan ikatan kekeluargaan dalam hukum waris, dll.[2]
Peninggalan periode ini.
Periode pembentukan Hukum Islam ini telah mewariskan sumber tasyri pertama,
yaitu wahyu Ilahi (ayat-ayat ahkam), dan ijtihad Rasul (hadits-hadits ahkam). Materi-materi
himpunan nash-nash ini cukup banyak, jumlah ayat-ayat ahkam tentang ibadah dan
hubungannya dengan jihad ada 140 ayat. Jumlah ayat-ayat yang berkenaan dengan
muamalat, jinayat (pidana), dan persaksian, kurang lebih ada 200 ayat. Semuanya
tersebar dalam berbagai surah dalam Al-Qur’an. Sementara jumlah hadits-hadits
ahkam kira-kira berjumlah 4500 hadits, hal ini seperti diungkapkan oleh Ibnul
Qayyim dalam A’lamul Muwaqqi’in. Sebagian besar menjelaskan kandungan Al-Qur’an
yang mujmal (global) atau sebagai taqrir (pengakuan) atau taukid (penguat).
Selebihnya berupa ketentuan-ketentuan hukum yang tidak disebutkan dalam
Al-Qur’an.
2.
Ekspansi
Hukum Islam ke luar Arabia
Jika pada periode awal
hukum Islam sangat kental dengan budaya Arab, maka periode berikutnya hukum
Islam dihadapkan oleh berbagai tradisi hukum yang ada di dunia. Hal ini
terutama ketika Islam memasuki berbagai budaya dunia dan memaksa terjadinya
satu harmoni antara hukum Islam dan hukum lokal.
Diawali dengan ekspansi
Islam ke Persia, maka Islam berhadapan dengan system hukum yang ada di sana.
System pemerintahan, pengelolaan pajak, model hukuman bagi para pelaku
kejahatan hingga system ekonomi adalah sebagian kecil dari bagian hukum Persia yang bertemu dengan system hukum Islam.[3]
Kebutuhan akan adanya
suatu hukum yang dapat mengakomodir tradisi dan budaya masyarakat menjadikan
hukum Islam harus berakulturasi dengan hukum Persia. Maka muncullah berbagai
hukum yang berasakan Islam namun memiliki ciri-ciri lokal. Hal ini terjadi dan
direspon positif oleh para juris Islam. Di antara mereka adalah Imam syafi’i
yang senantiasa mempertimbangkan tradisi dan budaya yang berkembang di tengah
masayarakat dalam memutuskan suatu hukum.[4]
[2] Muhammad Khudhari Beik, Tarikh
al-tasyri’ Al-Islami, Jakarta : Dar Al-Kutub Al-Islami, tahun 2007, hal. 18
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Please Uktub Your Ro'yi Here...