Oleh : Maman Suherman
Ungkapan
al-maqashid terambil dari kata: qa-sha-da yang secara etimologis berarti
tujuan. Sesutu yang ingin atau akan diraih dinyatakan sebagai “al-maqsad”. Kata
jamanya al-Maqashid. Uraian lengkap tentang Maqashid al-Syar’iah tertuang dalam
kitab Al-Muwafaqat, karya Al-Syatiby (Ibrahim bin Musa bin Muhammad, al-Lakhamy
al-Gharnathy, wafat th 790 H).
Imam
as-Syathiby membagi maqashid al-syariyah pada dua bagian pokok, yaitu Maqashid
yang dikembalikan pada tujuan pembuat syari’at, dan Maqashid yang dikembalikan
pada tujuan Mukallaf/penerima tanggung jawab syari’at.
Dari
sudut pandang pembuat syara, maka tujuan hukum syara itu adalah semata-mata
untuk kemaslahatan/kesejahteraan umat manusia, baik kesejahteraan di dunia
maupun kesejahteraan di akhirat kelak “وَهِيَ أَنَّ وَضْعَ الشَّرَائِعِ إِنَّمَا
هُوَ لِمَصَالِحِ الْعِبَادِ فِي الْعَاجِلِ وَالْآجِلِ مَعًا”. Dengan mengesampingkan unsur perbedaan pendapat diantara para ulama yang
ada, Imam as-Syatiby menyatakan bahwa argumentasi tentang maqashid didasarkan
pada beberapa ayat al-Qur’an dan al-sunnah[1].
Pembicaraan tentang
tujuan pembinaan hukum Islam atau maqashid al-tasyri' merupakan
pembahasan penting dalam hukum Islam yang tidak luput dari perhatian ulama
serta pakar hukum Islam. Sebagian ulama menempatkannya dalam bahasan Ushul
Fiqh, dan ulama lain membahasnya sebagai bahasan tersendiri serta diperluas
dalam "Filsafat Hukum Islam". Untuk tidak mengurangi kedudukannya
sebagai bahasan dalam Filsafat Hukum Islam namun tetap menjadikannya sebagai
bagian dari bahasan Ushul Fiqh, di sini akan diuraikan bahasan mengenai
pembinaan hukum Islam secara sederhana dan bersifat umum.
Bila diteliti semua suruhan dan larangan Allah dalam
Al-Our'an, begitu pula suruhan dan larangan Nabi dalam sunah yang terumuskan
dalam fikih, akan terlihat bahwa semuanya mempunyai tujuan tertentu dan tidak
ada yang sia-sia. Semuanya mempunyai hikmah yang mendalam, yaitu sebagai rahmat
bagi umat manusia, sebagaimana ditegaskan dalam beberapa ayat Al-Qur'an,
diantaranya dalam surat al-Anbiya (21): 107, tentang tujuan Nabi Muhammad diutus:
Tiadalah maksud Kami mengutusmu, kecuali menjadi rahmat bagi seisi alam.
Rahmat untuk seisi alam
dalam hadis di atas diartikan dengan kemaslahatan umat.
Para ulama sepakat bahwa memang hukum syard itu mengandung
kemaslahatan untuk umat manusia. Namun ulama berbeda pendapat dalam menempatkan
kemaslahatan itu sebagai tujuan penetapan hukum syara'. Apakah untuk
kemaslahatan itu Allah menetapkan hukum? Atau dengan bahasa lain: Apakah
kemaslahatan itu yang mendorong Allah untuk menetapkan hukum? Dalam hal ini ada
dua pendapat:
1.
Ulama yang berpegang
pada prinsip bahwa perbuatan Allah itu tidak terikat kepada apa dan siapa pun
(yang dianut oleh ulama kalam Asy'ariyah). Menurut mereka, Allah berbuat
sesuai dengan keinginan-Nya sebagaimana yang firman-Nya dalam surat Hud (11):
107:
Sesungguhnya Tuhanmu
Maha Pelaksana terhadap apa saja yang Dia kehendaki.
Mereka berpendapat bahwa bukan untuk memaslahatkan
umat itu Allah menetapkan hukum. Jadi, tujuan penetapan hukum syara' itu
bukan untuk kemaslahatan umat, meskipun semua hukum Allah itu tidak luput dari
kemaslahatan umat.
2.
Ulama yang yang
berpegang pada prinsip keadilan dan kasih sayang Allah pada hamba-Nya (yang
dianut oleh ulama kalam al-Mu'tazilah); berpendapat bahwa memang untuk kemaslahatan
umat itulah Allah menetapkan hukum syara'. Sebenarnya kalau kita
perhatikan perbedaan pendapat di atas dalam hal tujuan penetapan hukum syara'
tersebut, akan terlihat bahwa perbedaannya semata-mata hanya perbedaan secara lafzi
dan tidak mengakibatkan perbedaan secara praktis dalam penetapan hukum itu
sendiri karena semua pihak sepakat bahwa semua hukum yang ditetapkan Allah ada
tujuannya dan tujuan itu adalah bagi kemaslahatan umat.
Kemaslahatan
Secara sederhana
maslahat itu diartikan sesuatu yang baik dan dapat diterima oleh akal yang
sehat. Diterima akal, mengandung arti bahwa akal itu dapat mengetahui dengan
jelas kenapa begitu. Setiap suruhan Allah dapat dipahami oleh akal, kenapa
Allah menyuruh, yaitu karena mengandung kemaslahatan untuk manusia baik
dijelaskan sendiri alasannya oleh Allah atau tidak. Suruhan Allah untuk berzikir dan shalat disebutkan sendiri
alasannya oleh Allah. Alasan suruhan shalat dijelaskan dalam surat al-Ankabut
(29): 45:
Sesungguhnya shalat itu dapat mencegah seseorang dari perbuatan keji dan
munkar.
Sedangkan suruhan berzikir disebutkan alasannya dalam
surat al-Ra'd (13): 28:
Ketahuilah bahwa dengan berzikir itu hati akan tenteram.
Allah melarang minum khamar dan berjudi dalam surat
al-Maidah (5): 90:
Sesungguhnya minum khamar dan berjudi, berhala, dan bertenung adalah
perbuatan keji dari setan dan oleh karenanya jauhilah.
Untuk menjelaskan kenapa perbuatan tersebut dilarang,
dijelaskan Allah dalam surat al-Maidah (5): 91:
Sesungguhnya setan bermaksud menimpakan kepadamu permusuhan dan kemarahan
melalui khamar dan judi itu dan melengahkan kamu dari mengingat Allah dan
shalat.
Memang ada beberapa
suruhan Allah yang tidak diketahui alasannya oleh akal, seperti suruhan
melakukan shalat zuhur setelah tergelincir matahari. Namun tidaklah berarti
suruhan Allah itu tanpa tujuan, cuma tujuannya belum dapat dicapai oleh akal
manusia.
Bentuk Maslahat:
Maslahat itu ada dua bentuk:
1)
Mewujudkan manfaat,
kebaikan dan kesenangan untuk manusia yang disebut Jalbul Manafi’(membawa
manfaat). Kebaikan dan kesenangan itu ada yang langsung dirasakan oleh yang
melakukan saat melakukan perbuatan yang disuruh itu. Ibarat orang yang sedang
haus meminum minuman segar. Ada juga yang dirasakannya kemudian hari,
sedangkan pada waktu melaksanakannya, tidak dirasakan sebagai suatu kenikmatan
tetapi justru ketidakenakan. Seperti orang yang sedang sakit malaria disuruh
meminum pil kina yang pahit. Segala suruhan Allah berlaku untuk mewujudkan
kebaikan dan manfaat seperti ini.
2)
Menghindarkan umat
manusia dari kerusakan dan keburukan yang disebut “dar-ul mafasid (menolak
kerusakan). Kerusakan dan keburukan itu ada yang langsung dirasakannya setelah
melakukan perbuatan yang dilarang, ada juga yang pada waktu berbuat,
dirasakannya sebagai suatu yang menyenangkan tetapi setelah itu dirasakan
kerusakan dan keburukannya. Umpamanya berzina dengan pelacur yang berpenyakit
atau meminum minuman manis bagi yang berpenyakit gula.
Adapun yang dijadikan tolok ukur untuk menentukan baik
buruknya (manfaat dan mafsadatnya) sesuatu yang dilakukan dan yang menjadi
tujuan pokok pembinaan hukum itu adalah apa yang menjadi kebutuhan dasar bagi
kehidupan manusia. Tuntutan kebutuhan bagi kehidupan manusia itu
bertingkat-tingkat. Secara berurutan, peringkat kebutuhan itu adalah: primer,
sekunder, dan tersier.
1. Kebutuhan Primer/Dharuri
Kebutuhan tingkat
"primer" adalah sesuatu yang harus ada untuk keberadaan manusia atau
tidak sempurna kehidupan manusia tanpa terpenuhinya kebutuhan tersebut.
Kebutuhan yang bersifat primer ini dalam Ushul Fiqh disebut tingkat
dharury. Ada lima hal yang harus ada
pada manusia sebagai ciri atau kelengkapan kehidupan manusia. Secara berurutan,
peringkatnya adalah: agama, jiwa, akal, harta, dan keturunan (harga diri).
Kelima hal ini disebut "dharuriyat yang lima". Kelima dharuriyat tersebut adalah hal
yang mutlak harus ada pada manusia. Karenanya Allah menyuruh untuk melakukan
segala upaya bagi keberadaan dan kesempurnaannya. Sebaliknya Allah melarang
melakukan perbuatan yang dapat menghilangkan atau mengurangi salah satu dari
kelima dharuriyat yang lima itu. Segala perbuatan yang dapat mewujudkan
atau mengekalkan lima unsur pokok itu adalah baik, dan karenanya harus
dikerjakan. Sedangkan segala perbuatan yang merusak atau mengurangi nilai lima
unsur, pokok itu adalah buruk, dan karenanya harus dijauhi.
Untuk menegakkan agama, manusia disuruh beriman kepada Allah, kepada Rasul,
kepada kitab suci, kepada malaikat, kepada hari akhir, mengucapkan dua kalimah
syahadat serta melakukan ibadah yang pokok lainnya. Untuk menjaga agama, Allah menyuruh
manusia untuk berjihad di jalan Allah sebagaimana banyak ditegaskan dalam
Al-Qur'an yang di antaranya pada surat at-Taubah (9): 41: “Berjibadlah kamu dengan harta dan
jiwamu di jalan Allah”.
Di samping itu Allah melarang manusia berbuat sesuatu
yang dapat menghilangkan agama. Karena itu Allah mengharamkan murtad
sebagaimana firman-Nya dalam surat al-Baqarah (2): 217:
Barangsiapa yang murtad di antaramu dari agamanya kemudian ia mati dalam
kekafiran, mereka itulah yang dihapus amalannya di dunia dan akhirat.
Sehubungan dengan itu Allah menyuruh memerangi orang yang tidak beriman,
sebagaimana firman-Nya dalam surat at-Taubah (9): 29: “Perangilah
orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan hari akhir.”
Untuk memelihara keberadaan jiwa yang telah diberikan Allah bagi kehidupan,
manusia harus melakukan banyak hal, seperti makan, minum, menutup badan, dan
mencegah penyakit. Manusia juga perlu berupaya dengan melakukan segala sesuatu
yang memungkinkan untuk meningkatkan kualitas hidup. Segala usaha yang mengarah
pada pemeliharaan jiwa itu adalah perbuatan baik, karenanya disuruh Allah untuk
melakukannya. Sebaliknya, segala sesuatu yang dapat menghilangkan atau merusak
jiwa adalah perbuatan buruk yang dilarang Allah. Dalam hal ini Allah melarang
membunuh tanpa hak, sebagaimana firman-Nya dalam surat al-An'am (6): 151:
Janganlah kamu melakukan pembunuhan terhadap diri yang diharamkan Allah, kecuali secara hak.
Begitu pula Allah melarang menjatuhkan diri kepada kebinasaan sebagaimana
firman-Nya dalam surat al-Baqarah (2): 195:
Janganlah kamu menimpakan dirimu kepada kerusakan.
Sebagai ancaman
terhadap pembunuhan itu, Allah menetapkan hukuman qishash sebagaimana
firman-Nya dalam surat al-Baqarah (2): 178:
Allah telah menetapkan atasmu hukuman qishash karena pembunuhan.
Untuk memelihara akal yang diciptakan Allah khusus bagi manusia, diharuskan
berbuat segala sesuatu untuk menjaga keberadaannya dan meningkatkan kualitasnya
dengan cara menuntut ilmu. Segala usaha untuk itu adalah perbuatan baik yang
disuruh Allah. Dalam hal ini manusia disuruh menuntut ilmu tanpa batas usia
dan tidak memperhitungkan jarak atau tempat, sebagaimana sabda Nabi yang
populer: Menuntut ilmu itu wajib atas setiap orang yang beriman.
Sebaliknya manusia dilarang berbuat sesuatu yang dapat
menghilangkan atau merusak akal. Segala perbuatan yang mengarah pada kerusakan
akal adalah perbuatan buruk; karenanya dilarang syura'. Dalam hal ini, Allah mengharamkan meminum minuman
memabukkan dan segala bentuk makanan, minuman yang dapat mengganggu akal. Nabi
dalam sunahnya menetapkan sanksi pukulan sebanyak 40 kali atas peminum minuman
yang memabukkan itu.
Untuk mempertahankan
hidup, manusia memerlukan sesuatu yang dapat memenuhi kebutuhan hidupnya,
^seperti makan, minum, dan pakaian. Untuk itu diperlukan harta dan manusia
harus berupaya mendapatkannya secara halal dan baik. Segala usaha yang mengarah
bagi pencarian harta yang halal dan baik adalah perbuatan baik yang disuruh
oleh syara\ Banyak firman Allah
dalam Al-Qur'an yang menyuruh manusia mencari rezeki, di antaranya dalam surat
al-Jumu'ah (62): 10:
Bila telah kamu tunaikan shalat, bertebaranlah di
muka bumi
dan carilah rezeki dari Allah.
Segala usaha yang mengarah pada peniadaan atau
perusakan harta, adalah perbuatan buruk yang dilarang. Dalam hal ini Allah
melarang mencuri, dan sanksi bagi pencuri adalah dengan potong tangan seperti
firman-Nya dalam surat al-Maidah (5): 38:
Pencuri laki-laki dan perempuan potonglah tangan
keduanya.
Untuk kelangsungan
kehidupan manusia, perlu adanya keturunan sah dan yang jelas. Untuk maksud itu
Allah melengkapi makhluk hidup ini dengan nafsu syahwat yang mendorong untuk
melakukan hubungan kelamin yang jika dilakukan secara sah adalah baik. Dalam
hal ini Allah mensyari'atkan kawin dan berketurunan, sebagaimana firman-Nya
dalam surat an-Nur (24): 32:
Kawinilah orang-orang yang membujang di antaramu dan orang-orang baik di
antara hambamu.
Segala usaha yang mengarah pada penghapusan atau
perusakan keturunan yang sah adalah perbuatan buruk. Oleh karena itu, Nabi
sangat melarang sikap tabattul atau membujang karena mengarah pada
peniadaan keturunan. Islam juga melarang zina yang dinilai sebagai perbuatan
keji dan dapat merusak tatanan sosial, mengaburkan nasab keturunan serta akan
mendatangkan bencana. Dalam surat al-Isra' (17): 32, Allah berfirman:
Janganlah kamu dekati perbuatan zina, karena ia adalah perbuatan keji.
Selanjutnya dalam surat
an-Nur (24): 3, Allah menetapkan sanksi bagi pezina:
Pezina laki-laki dan perempuan cambuklah masing masingnya 100 kali.
Termasuk dalam kelima
kebutuhan primer (dharuri) tersebut menurut sebagian ulama adalah
"harga diri" yang disuruh Allah untuk menjaganya dan melarang berbuat
sesuatu yang dapat mencemarkannya. Dalam hal ini diharamkan menuduh perempuan
baik-baik melakukan zina tanpa bukti yang sah dan pelakunya diancam dengan 80
kali cambuk, sebagaimana firman Allah dalam surat an-Nuh (24): 4:
Orang-orang yang menuduh perempuan baik-baik berbuat zina dan tidak dapat
mengemukakan empat orang saksi cambuklah 80 kali.
Tujuan yang bersifat dharuri merupakan tujuan utama dalam pembinaan
hukum yang mutlak harus dicapai. Oleh karena itu, suruhan-suruhan syara'
dalam hal ini bersifat mutlak dan pasti, serta hukum syura" yang
berlatar belakang pemenuhuan kebutuhan dharuri adalah "wajib"
(menurut jumhur ulama) atau "fardhu" (menurut ulama Hanafiyah).
Sebaliknya, larangan Allah yang berkaitan dengan dharuri ini bersifat
tegas dan mutlak. Hukum yang ditimbulkannya termasuk haram dzdti. Untuk mendukung pencapaian dari tujuan yang
dharuri ini, syara' menetapkan hukum-hukum pelengkap yang terurai
dalam kitab-kitab fiqh.
2. Kebutuhan Sekunder/Hajiyat
Tujuan tingkat
"sekunder" bagi kehidupan manusia ialah sesuatu yang dibutuhkan bagi
kehidupan manusia, tetapi tidak mencapai tingkat dharuri. Seandainya
kebutuhan itu tidak terpenuhi dalam kehidupan manusia, tidak akan meniadakan
atau merusak kehidupan itu sendiri. Meskipun tidak sampai akan merusak
kehidupan, namun keberadaannya dibutuhkan untuk memberikan kemudahan dalam
kehidupan. Tujuan penetapan hukum syara'' dalam bentuk ini disebut
tingkat hajiyat.
Tujuan hajiyat
dan segi penetapan hukumnya dikelompokkan pada tiga kelompok:
1)
Hal yang disuruh
syara' melakukannya untuk dapat melaksanakan kewajiban syara'
secara baik. Hal ini disebut muqad- dimah wajib. Umpamanya mendirikan sekolah dalam hubungannya
dengan menuntut ilmu untuk meningkatkan kualitas akal. Mendirikan sekolah
memang perlu, namun seandainya sekolah tidak didirikan tidaklah berarti tidak
akan tercapai upaya mendapatkan ilmu, karena menuntut ilmu itu dapat
dilaksanakan di luar sekolah. Kebutuhan akan sekolah itu berada pada tingkat
hajiyat.
2)
Hal yang dilarang
syara' melakukannya untuk mengindarkan secara tidak langsung pelanggaran
pada salah satu unsur yang dharuri. Perbuatan zina berada pada larangan
tingkat dharuri. Namun segala perbuatan yang menjurus kepada perbuatan
zina itu juga dilarang untuk menutup pintu bagi terlaksananya larangan zina
yang dharuri itu. Melakukan khalwat (berduaan dengan lawan jenis
di tempat sepi) memang bukan zina dan tidak akan merusak keturunan. Juga tidak
mesti khalwat itu berakhir pada zina. Meskipun demikian, khalwat
itu dilarang dalam rangka menutup pintu terhadap pelanggaran larangan yang
bersifat dbaruri. Kepentingan akan adanya tindakan untuk menjauhi
larangan mi berada pada tingkat bajiyat. 3. Segala bentuk kemudahan yang
termasuk hukum rukshsah (kemudahan) yang memberi kelapangan dalam
kehidupan manusia. Sebenarnya tidak ada rukhsab pun tidak akan hilang
salah satu unsur yang dbarun itu, tetapi manusia akan berada dalam
kesempitan (kesulitan). Rukhsbab ini, berlaku dalam hukum
"ibadat" seperti shalat bagi yang berada dalam perjalan; dalam
"muamalat" seperti bolehnya jual beli salam (inden); juga
dalam "jinayat" seperti adanya maaf untuk membatalkan pelaksanaan
qisbash bagi pembunuh, baik diganti dengan diyat (denda) atau tanpa
diyat sama sekali.
3. Kebutuhan
Tersier/Takhsiniyat
Tujuan tingkat
"tersier" adalah sesuatu yang sebaiknya ada untuk memperindah
kehidupan. Tanpa terpenuhinya kebutuhan tersier, kehidupan tidak akan rusak dan
juga tidak akan menimbulkan kesulitan. Keberadaannya dikehendaki untuk
kemuliaan akhlak dan kebaikan tata tertib pergaulan. Tujuan dalam tingkat ini disebut
"takbsiniyat".
Tujuan takbsiniyat
ini menurut asalnya tidak menimbulkan hukum wajib pada perbuatan yang disuruh
dan tidak menimbulkan hukum haram ' pada yang dilarang sebagaimana yang berlaku
pada dua tingkat lainnya (dbaruri dan bajiyat). Segala usaha
untuk memenuhi kebutuhan takbsini ini menimbulkan hukum
"sunah", dan perbuatan yang mengabaikan kebutuhan takbsini
menimbulkan hukum "makruh".
Takbsini berlaku pada bidang ibadal, seperti berhias dan berpakaian rapi pada waktu
ke masjid; dan pada bidang muamalat, seperti pada jual beli syuf'ah;
juga berlaku pada adat, seperti hemat dalam berbelanja; serta berlaku pula
dalam bidang jinayat seperti tidak membunuh anak-anak dan perempuan dalam
peperangan.
Pembagian tujuan syara' pada tiga hal tersebut, se'kaligus
menunjukkan peringkat kepentingan. Tingkat dbaruri lebih tinggi dari
tingkat bajiyat, dan tingkat hajiyat lebih tinggi dari tingkat takhsiniyat.
Kebutuhan dalam peringkat yang sesama dbaruri pun berurutan pula tingkat
kepentingannya, yaitu: agama, jiwa, akal, harta, keturunan (harga diri). Adanya
peringkat dan urutan kepentingan itu akan tampak di saat terjadi perbenturan
antar masing-masing kepentingan itu dan salah satu di antaranya harus
didahulukan.
Bila terjadi
perbenturan antara tuntutan yang bersifat dbaruri dengan yang bersifat
hajiyat, maka yang didahulukan adalah yang tingkat dbaruri. Contoh
dalam hal ini umpamanya seorang dokter laki-laki menghadapi pasien perempuan
yang terancam jiwanya dan diperlukan operasi untuk penyelamatan. Memelihara
jiwa si sakit dituntut dalam tingkat dbaruri. Tetapi untuk melakukan
tuntutan ini ia harus melihat aurat perempuan yang hukumnya terlarang dalam
tingkat bajiyat. Di sini terjadi perbenturan antara suruhan dalam
tingkat dbaruri dengan larangan dalam tingkat bajiyat. Dalam hal
ini ulama membenarkan si dokter melihat aurat si sakit waktu operasi tersebut,
karena harus mendahulukan yang dbaruri dari bajiyat.
Bila terjadi perbenturan dua tuntutan yang sama-sama
berada dalam tingkat dbaruri namun berbeda dalam unit kepentingan
didahulukan urutan yang lebih tinggi. Bila kepentingan memelihara agama
berbenturan dengan kepentingan memelihara jiwa,maka diutamakan memelihara
agama. Dalam hal ini jihad pada jalan Allah diutamakan bila agama sudah
terancam meskipun untuk itu akan mengorbankan jiwa. Dalam hal ini Allah
berfirman dalam surat at-Taubah (9): 41:
Jihadlah kamu dengan hartamu dan jiwamu di jalan Allah.
Biia terjadi
perbenturan antara kepentingan memelihara jiwa dengan kepentingan memelihara
akal, didahulukan kepentingan memelihara jiwa. Dalam hal ini umpamanya
seseorang yang tersekat kerongkongannya dan terancam jiwanya kecuali dengan
meminum cairan tertentu dan kebetulan cairan yang ada hanyalah minuman
terlarang, maka boleh dia meminum khamar yang terlarang itu meskipun sampai ia
mabuk karena meminum minuman itu.
Bila terjadi perbenturan antara kepentingan memelihara
akal dengan kepentingan memelihara harta, maka kepentingan memelihara akal
harus didahulukan. Umpamanya seseorang yang akalnya terancam kerusakan dan baru
dapat ia melepaskan ancaman itu dengan cara mencuri sesuatu yang dimiliki orang
lain. Dalam hal ini dibolehkan ia mencuri untuk memelihara akalnya itu.
Bila terjadi perbenturan antara kepentingan memelihara
harta dengan kepentingan memelihara harga diri, didahulukan kepentingan
memelihara harta. Umpamanya seseorang diperkosa dengan ancaman satu-satunya
harta yang dimilikinya akan dimusnahkan. Dibenarkan tindakan membiarkan diri
dipaksa berbuat zina yang terlarang karena membela harta, apalagi membela jiwa.
Untuk membenarkan tindakan mengambil suatu risiko
buruk untuk mempertahankan kepentingan yang lebih tinggi itu ulama menggunakan
kaidah:
Sesuatu yang diharamkan secara zaati dibolehkan karena dharurat.
Begitu pula bila
terjadi perbenturan antara sesama yang berada dalam kepentingan tingkat
hajiyat, didahulukan satu di antaranya, yaitu yang paling enteng risikonya.
Seandainya sama risikonya didahulukan kepentingan berdasarkan urut sebagaimana
disebutkan di atas, karena meski bagaimana juga kepentingan hajiyat berkaitan
dengan salah satu lima unsur dharuri disebutkan di atas. Kepentingan
menutup aurat berada pada tingkat haji dan kepentingan belajar pokok-pokok
agama juga berada pada tingkat hajiyat yang berkaitan dengan memelihara agama.
Bila untuk kepentingan proses belajar mengajar ini si guru terpaksa melihat
wajah si murid yang semestinya tidak boleh dilakukan, maka ia dibolehkan
meskipun yang demikian adalah aurat. Haram melihat aurat berada pada haram
ghairu dzati atau saddu al-dzari'ah sedangkan belajar pokok-pokok
agama itu adalah sesuatu yang bersifat hajiyat. Hajat dalam hal ini didahulukan
karena yang berlawanan dengannya hanya sebatas haji-yi pula.
Al-Syathiby, Abu Ishak,
Al-Muwafaqat fi Ushul al-Ahkam, Kairo, 1970.
Abd. Rahman Dahlan, Ushul
Fiqh, AMZAH, Jakarta, 2010.
Amir Syarifuddin, H., Ushul Fiqh, Edidi Pertama, Cetakan Ke-5,
Kencana Prenada Media Group, 2009.
Basiq Djalil, Logika
(Ilmu Mantiq), Qalbun Salim, Jakarta, 2008.
Djazuli, H.A., Ilmu Fiqh: Penggalian, Perkembangan, dan Penerapan Hukum
Islam, Edisi Revisi Cetakan Ke-7,
Kencana Prenada Media Group, 2010.
Khalid Ramadhan Hasan, Mu’zam
Ushul al-Fiqh, Mesir, 1997.
Khalimi, Logika:
Teori dan Aplikasi, Gaung Persada Press, Jakarta, 2011.
Ibrahim Beyk, Ahmad, Ilmu
Usuhul al-Fiqh, Daru al-Anshar, Kairo, 1990.
Khudari Beyk, Ushul
al-Fiqh, Mathba’ah al-Istiqamah, Kairo, 1938.
Muhammad Abu Zahrah, Usuhul Fiqih (Terjemah oleh Saefullah Ma’shum
dkk.), Cetakan Pertama, Pustaka Pirdaus, Jakarta, 2008.
Satria Efendi M., Ushul
Fiqh, Prenada Media, Jakarta, 2005.
Wahbah al-Juhaily, Ushul
al-Fiqh al-Islamy, Darul Fikri, Damaskus, 1986.
Yusuf Ahmad Muhammad al-Badawy, Maqashid al-Syariyyah ‘inda Ibnu
Taimiyah, Daru al-Nafa-is, Jordan,
2000.
[1] Ayat-ayat yang dijadikan dasar oleh Imam al-Syatiby antara lain: Surat
an-Nisa ayat 1105; al-Anbiya ayat 107; Hud ayat 7; al-Dzariyat ayat 56; al-Mulku ayat 2; al-Maidah ayat 6;
al-Baqarah ayat 183; al-Ankabut ayat 45; al-Baqarah ayat 150 dan 179; al-Hajj
ayat 39; al-A’raf ayat 172.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Please Uktub Your Ro'yi Here...