Oleh : Abdurrahman
Hukum
Islam adalah dua kata dalam bahasa Indonesia yaitu kata "hukum" dan
"Islam". Kata "hukum" dalam bahasa Indonesia adalah serapan
dari bahasa Arab yaitu kataالحكم (al-
hukmu) yang merupakan bentuk singular/tunggal, adapun bentuk plural/jama'nya
adalahالأحكام (al-ahkam). Secara etimologi kata
ini berartiالقضاء (al-qadha) yang bermakna memutuskan,
memimpin, memerintah, menetapkan dan menjatuhkan hukuman,[1]
Al-Fairuz Abady menyatakan bahwa kata الحكم (al-
hukmu) dengan dhamah berartiالقضاء (al-qadha)
yaitu mengadili, bentuk jama'nya adalahالأحكام (al-ahkam).[2]
Abdullah
bin Shalih Al-Fauzan dalam Syarh Al-Waraqat Fi Ushul Al-Fiqh menyatakan
:
اللحكم
لغة : المنع والحكم اصطلاحا : ما دل عليه خطاب الشرع المتعلق بأفعال المكلفين من
طلب او تخيير او وضع
Al-Hukmu
secara bahasa adalah mencegah, sedangkan secara istilah adalah segala sesuatu
yang menunjukan padanya kehendak syar'i yang berkaitan dengan
amalan-amalan orang yang sudah dewasa (mukallaf) baik berupa tuntutan
kewajiban, pilihan dan hukum wadh'i.[3]
Nasrun
Haroen merinci pengertian dari kata "al-hukm" dalam beberapa
arti, Pertama,, Menetapkan sesuatu atas sesuatu atau
meniadakannya, seperti menetapkan terbitnya bulan dan meniadakan kegelapan
dengan terbitnya matahari. Kedua, Khitab Allah, seperti “aqimu
ash-shalata” dalam hal ini yang dimaksud dengan hukum adalah nash
yang datang dari Syari'. Ketiga, Akibat dari Khitab Allah,
seperti hukum ijab yang dipahami dari firman Allah “aqimu ash-shalata”. Pengertian
ini digunakan para fuqaha (ahli fiqh). Keempat, Keputusan hakim
di sidang pengadilan.[4]
Dari
berbagai pengertian tersebut terlihat adanya makna yang satu yaitu bahwa al-hukm
adalah :
خطاب الله المتعلق بأفعال المكلفين طلبا
أو تخييرا أو وضعا
Khitab
Allah ta'ala yang berkaitan dengan perbuatan-perbuatan orang mukallaf
yang berupa tuntutan, pilihan atau yang bersifat wadh'i”[5].
Pengertian
ini menunjukan bahwa hukum adalah sesuatu yang menjadi tuntutan syara'
atas setiap orang-orang yang sudah mukallaf untuk melaksanakannya, baik
hal itu berupa tuntutan, pilihan atau berbagai sebab yang mengakibatkan adanya
hukum tersebut, seperti ahkam al-khamsah yaitu haram, makruh, mubah,
sunnah dan wajib.
Berbeda
dengan makna hukum sebelumnya, Muhammad Daud Ali menyatakan kata
"hukum" berasal dari bahasa Arab yaitu al-hukm yang berarti
kaidah, norma, ukuran, tolok ukur, patokan, pedoman yang dipergunakan untuk
menilai tingkah laku atau perbuatan manusia dan benda.[6]
Hal ini sama seperti yang diungkapkan oleh M. Hasbi Ash-Shiddieqy yang
menyatakan “Istilah hukum Islam walaupun berlafadz Arab, namun telah dijadikan
bahasa Indonesia, sebagai terjemahan dari Fiqh Islam atau Syariat
Islam”.[7]
Jika
kita cermati, kata "hukum" dilihat dari asal kata bahasa Arab, maka
makna yang sebenarnya tidaklah sama dengan kata hukum yang telah menjadi bahasa
Indonesia. Kata hukum ini telah mengalami perubahan dan perluasan makna
sehingga tidak sesuai lagi dengan makna bahasa asalnya. Adapun kata yang
semakna dengan hukum dalam bahasa Arab adalah syariah dan fiqh.
Syariah
menurut bahasa memiliki beberapa makna, diantaranya adalahالوارد (al-warid) yang berarti jalan, ia bermakna pulaنحو الماء yaitu
tempat keluarnya (mata) air.[8]
Al-Raghib menyatakan syariah adalah metode atau jalan yang jelas dan
terang misalnya ucapaanشرعت له نهجا (aku
mensyariatkan padanya sebuah jalan). Manna' Khalil Al-Qathan berkata “Syariat
pada asalnya menurut bahasa adalah sumber air yang digunakan untuk minum,
kemudian digunakan oleh orang-orang Arab dengan arti jalan yang lurus (al-syirath
al-mustaqim) yang demikian itu karena tempat keluarnya air adalah sumber
kehidupan dan keselamatan/kesehatan
badan, demikian juga arah dari jalan yang lurus yang mengarahkan manusia
kepada kebaikan, padanya ada kehidupan jiwa dan pengoptimalan akal mereka[9]
Kata
syariah banyak terdapat di dalam Al-Qur'an, misalnya firman Allah ta’ala
dalam QS Al-Jatsiyah : 18
ثُمَّ جَعَلْنَاكَ
عَلَى شَرِيعَةٍ مِّنَ اْلأَمْرِ فَاتَّبِعْهَا وَلاَتَتَّبِعْ أَهْوَآءَ
الَّذِينَ لاَيَعْلَمُونَ
Kemudian
Kami jadikan kamu berada di atas suatu syariat (peraturan) dari urusan
(agama itu), maka ikutilah syariat itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-orang
yang tidak mengetahui.
Makna syariah pada ayat ini adalah peraturan atau cara
beragama. Sedangkan dalam QS Asy-Syura ayat 13 bermakna memberikan tata cara beragama
:
شَرَعَ لَكُم مِّنَ
الدِّينِ مَاوَصَّى بِهِ نُوحًا وَالَّذِي أَوْحَيْنَآ إِلَيْكَ وَمَاوَصَّيْنَا
بِهِ إِبْرَاهِيمَ وَمُوسَى وَعِيسَى أَنْ أَقِيمُوا الدِّينَ وَلاَتَتَفَرَّقُوا
فِيهِ كَبُرَ عَلَى الْمُشْرِكِينَ مَاتَدْعُوهُمْ إِلَيْهِ اللهُ يَجْتَبِي
إِلَيْهِ مَن يَشَآءُ وَيَهْدِي إِلَيْهِ مَن يُنِيبُ
Dia telah mensyari'atkan bagi kamu tentang agama apa
yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu
dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa yaitu:
Tegakkanlah agama dan janganlah kamu berpecah belah tentangnya. Amat berat bagi
orang-orang musyrik agama yang kamu seru mereka kepadanya. Allah menarik kepada
agama itu orang yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada (agama)-Nya
orang yang kembali (kepada-Nya).
Makna syariah yang serupa disebutkan dalam QS Al-Syura
ayat 21 Allah ta’ala
berfirman :
أَمْ لَهُمْ
شُرَكَآؤُاْ شَرَعُوا لَهُم مِّنَ الدِّينِ مَالَمْ يَأْذَن بِهِ اللهُ وَلَوْلاَ
كَلِمَةُ الْفَصْلِ لَقُضِىَ بَيْنَهُمْ وَإِنَّ الظَّالِمِينَ لَهُمْ عَذَابٌ
أَلِيمُُ
Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang mensyariatkan
untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah? Sekiranya tak ada ketetapan yang
menentukan (dari Allah) tentulah mereka telah dibinasakan. Dan sesungguhnya
orang-orang yang zalim itu akan memperoleh azab yang amat pedih.
Dari beberapa ayat tersebut dapat
disimpulkan bahwa kata syariah bermakna peraturan, agama dan tata cara
ibadah. Pengertian ini telah mengarah kepada makna secara istilah, karena
khitab dari ayat-ayat tersebut adalah orang-orang yang beriman agar
mereka dapat merealisasikan syariat tersebut.
Secara istilah “syariat” adalah “Seperangkat norma
yang mengatur masalah-masalah bagaimana tata cara beribadah kepada Allah ta'ala,
serta bermuamalah dengan sesama manusia”. Al-Fairuz Abady menyebutkan bahwa
syariat adalah apa-apa yang disyariatkan Allah kepada para hambaNya.[10]
Ibnu Mandzur menyatakan bahwa syariah
adalah :
والشريعةُ
والشِّرْعةُ ما سنَّ الله من الدِّين وأَمَر به كالصوم والصلاة والحج والزكاة
وسائر أَعمال البرِّ
Segala
sesuatu yang ditetapkan Allah dari dien
(agama) dan diperintahkanya seperti puasa, shalat, haji, zakat dan amal
kebaikan lainnya.[11]
Definisi ini seperti yang disebutkan oleh Manna' Al-Qathan
yang menyebutkan bahwa syariat secara istilah adalah “Setiap sesuatu yang
datang dari Allah ta'ala yang disampaikan oleh utusan/RasulNya kepada
para hambaNya, dan
Dia adalah pembuat syariat yang awal, hukumNya dinamakan syar'an.[12]
Senada
dengan pengertian ini Mahmud Syalthut mendefinisikannya dengan "Sebuah nama untuk tata
peraturan dan hukum yang diturunkan oleh Allah ta'ala dalam bentuk
ushulnya dan menjadi kewajiban setiap muslim sebagai pedoman dalam berhubungan
dengan Allah dan antar sesama manusia."[13]
Para intelektual muslim Indonesia memberikan definisi dari syariah dengan beraneka ragam, misalnya
Hasbi Ash-Shidieqy mendefinisikannya dengan “Segala yang disyariatkan Allah
untuk kaum muslimin, baik ditetapkan oleh Al-Qur'an ataupun sunnah Rasul yang
berupa sabda, perbuatan, ataupun taqrirnya”.[14] Sedangkan M. Ali Hasan menyatakan
bahwa syari'ah adalah : Hukum-hukum yang disyariatkan oleh Allah bagi
hamba-hambaNya (manusia) yang dibawa oleh para nabi, baik menyangkut cara
mengerjakannya yang disebut far'iyah amaliyah (cabang-cabang amaliyah)
dan untuk itulah fiqh dibuat, atau yang menyangkut petunjuk beri'tiqad
yang disebut ashliyah i'tiqadiyah (pokok keyakinan), dan untuk itu para
ulama menciptakan ilmu kalam (ilmu tauhid). Dalam bagian lain disebutkan
bahwa syariah adalah “Semua yang disyariatkan Allah untuk kaum muslimin
baik melalui Al-Qur'an maupun melalui sunnah rasul.[15]
Dari sini dapat disimpulkan bahwa kata hukum dalam “Hukum
Islam” bukanlah arti hukum dalam bahasa Arab al-hukm akan tetapi makna
hukum dalam bahasa Indonesia adalah bermakna syari'ah dalam bahasa Arab.
Pendapat ini seperti disebutkan oleh Fathurrahman Djamil yang menyimpulkan :
Kata hukum Islam tidak ditemukan sama sekali di dalam Al-Qur'an dan literatur
hukum dalam Islam, yang ada dalam Al-Qur'an adalah kata syari'ah, fiqh,
hukum Allah dan yang seakar dengannya, kata hukum Islam merupakan terjemahan
dari term “Islamic Law” dari literatur barat.[16]
Maka dalam ruang lingkup hukum Islam digunakan istilah Syariah
Islam, yaitu "Seluruh peraturan dan tata cara kehidupan dalam Islam
yang diperintahkan oleh Allah ta'ala yang termaktub di dalam Al-Qur'an
dan Al-Sunnah". Hal ini sebagaimana term hukum dalam bahasa Indonesia
yaitu “Seperangkat norma yang mengatur tingkah laku manusia dalam suatu
masyarakat, baik peraturan atau norma itu berupa kenyataan yang tumbuh dan
berkembang di tengah masyarakat maupun peraturan atau norma yang dibuat dengan
cara tertentu dan ditegakkan oleh penguasa, baik berupa hukum tertulis ataupun
tidak tertulis seperti hukum adat”.[17]
Pengertian selanjutnya dalam rangkaian hukum Islam adalah
kata “Islam”. Kata ini secara bahasa berasal dari bahasa Arab yaitu kataالسلام - أسلم –
يسلم - إسلاما (al-salam-aslama-yaslimu-islaman) kata ini mempunyai
cabang makna yang sangat banyak, namun semuanya menunjuk kepada makna السلم (al-salam) yaitu kesejahteraan, kedamaian serta sifat tunduk patuh.[18]
Dalam Al-Qur'an akar kata أسلم (aslama) terdapat dalam QS Al-Hujuraat
:
14
قَالَتِ الْأَعْرَابُ
ءَامَنَّا قُلْ لَمْ تُؤْمِنُوا وَلَكِنْ قُولُوا أَسْلَمْنَا وَلَمَّا يَدْخُلِ
الْإِيمَانُ فِي قُلُوبِكُمْ وَإِنْ تُطِيعُوا اللَّهَ وَرَسُولَهُ لَا يَلِتْكُمْ
مِنْ أَعْمَالِكُمْ شَيْئًا إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ
Orang-orang Arab Badui itu berkata: "Kami telah
beriman". Katakanlah (kepada mereka): "Kamu belum beriman, tetapi
katakanlah: "Kami telah tunduk", karena iman itu belum masuk
ke dalam hatimu dan jika kamu ta`at kepada Allah dan Rasul-Nya, Dia tiada akan
mengurangi sedikitpun (pahala) amalanmu; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi
Maha Penyayang".
Pada ayat ini kata أَسْلَمْنَا berarti kami tunduk kepada peraturan Allah ta'ala. Adapun dalam QS Al-Jin : 14, kata أَسْلَمْ bermakna taat terhadap
perintahNya :
وَأَنَّا مِنَّا
الْمُسْلِمُونَ وَمِنَّا الْقَاسِطُونَ فَمَنْ أَسْلَمَ فَأُولَئِكَ تَحَرَّوْا
رَشَدًا
Dan sesungguhnya di antara kami
ada orang-orang yang ta`at dan ada (pula) orang-orang yang menyimpang dari
kebenaran. Barangsiapa yang ta`at, maka mereka itu benar-benar telah
memilih jalan yang lurus.
Sinonim dari kata tunduk dan taat adalah berserah diri, hal
ini seperti disebutkan dalam QS Az-Zumar : 54
وَأَنِيبُوا إِلَى رَبِّكُمْ
وَأَسْلِمُوا لَهُ مِنْ قَبْلِ أَنْ يَأْتِيَكُمُ الْعَذَابُ ثُمَّ لَا
تُنْصَرُونَ
Dan kembalilah kamu kepada Tuhanmu, dan berserah
dirilah kepada-Nya sebelum datang azab kepadamu kemudian kamu tidak dapat
ditolong (lagi).
Selain itu masih banyak sekali ayat-ayat yang menggunakan
lafadz aslama seperti dalam QS Ash-Shafaat 103, An-Naml 44, Al-Haj 34,
Al-An'am 14, Al-Maidah 44, An-Nisaa 125, Ali Imran 83 dan 20 serta Al-Baqarah ayat
131 dan 112.[19]
Akar kata aslama juga terdapat dalam sebuah hadits
yang shahih dari riwayat Abdullah bin Amr bin Al-'Ash, Rasulullah bersabda :
المسلم من سلم المسلمون من لسانه ويده
Seorang
muslim itu adalah seseorang yang kaum muslimin lainnya selamat dari ucapan
lidah dan gangguan tangannya.”[20]
Sedangkan pengertian Islam menurut istilah adalah :
الإستسلام لله بالتوحيد والانقياد له
بالطاعة والبراءة من الشرك وأهله
Penyerahan
diri kepada Allah ta'ala serta tunduk dengan penuh ketaatan serta
berlepas diri dari syirik dan para pelakunya."[21]
Secara umum dapat dikatakan bahwa Islam adalah “Rangkaian
ibadah kepada Allah ta'ala dengan apa-apa yang disyariatkanNya, ia
berlaku sejak Nabi pertama di utus hingga hari kiamat, sebagaimana disebutkan
dalam QS Al-Baqarah ayat 128 :
رَبَّنَا
وَابْعَثْ فِيهِمْ رَسُولاً مِّنْهُمْ يَتْلُوا عَلَيْهِمْ ءَايَاتِكَ
وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَيُزَكِّيهِمْ إِنَّكَ أَنتَ
الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ
Ya
Tuhan kami, jadikanlah kami berdua orang yang tunduk patuh kepada Engkau dan
(jadikanlah) diantara anak cucu kami umat yang tunduk patuh kepada Engkau dan
tunjukkanlah kepada kami cara-cara dan tempat-tempat ibadat haji kami, dan
terimalah taubat kami. Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Penerima taubat lagi
Maha Penyayang.
Sedangkan Islam dalam arti khusus adalah agama yang
diturunkan oleh Allah ta’ala kepada Nabi Muhammad Shalallahu Alaihi Wassalam
bagi seluruh umat manusia.[22]
Pengertian yang lebih komprehensif disebutkan oleh Mahmud Syalthut dalam Al-Islam,
Aqidah wa Syari'ah, ia mendefinisikan Islam dengan “Dienullah (Agama
Allah) yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad Shalallahu Alaihi Wasalam
yang berisi pokok pengajaran pada bidang ushul (dasar/pokok) maupun
syariat, dan Nabi diperintahkan untuk menyampaikan kepada seluruh manusia dan
menda'wahkannya.[23]
Dari sini dapat dipahami bahwa hukum Islam adalah hukum yang
berdasarkan kepada nilai-nilai yang terkandung dalam Islam. Mengenai hal ini M.
Daud Ali mengatakan “Hukum Islam adalah seperangkat tingkah laku yang mengatur
tentang hubungan seorang manusia dengan Tuhan, sesama manusia dan alam sekitarnya yang berasal dari
Allah ta'ala”.[24]
Adapun Hasbi Ash-Shidieqy menyatakan bahwa hukum Islam adalah “Hukum-hukum yang
bersifat umum dan kulli yang dapat diterapkan dalam perkembangan hukum
Islam menurut kondisi dan situasi masyarakat dan masa.[25]
Selain istilah syariah dalam hukum Islam dikenal
pula istilah Fiqh Islam, yaitu serangkaian hukum Islam yang bersifat furu’
(cabang) yang berkaitan dengan perbuatan hamba yang digali dari dalil-dalil
yang terperinci. Fiqh atau al-fiqhu الفقه secara
bahasa adalah الفهم (al-fahmu) yang
berarti “memahami”. Dalam Lisaan Al-Arab disebutkan :
العلم
بالشّيء والفهم له
Al-Fiqh
adalah ilmu tentang sesuatu dan pemahaman tentangnya.[26]
Di dalam Al-Qur’an
terdapat beberapa ayat yang menggunakan istilah fiqh yang bermakna
pemahaman, diantaranya dalah firmanNya :
فَمَالِ
هَٰٓؤُلَآءِ ٱلْقَوْمِ لَا يَكَادُونَ يَفْقَهُونَ حَدِيثًۭا
Maka mengapa orang-orang itu (orang
munafik) hampir-hampir tidak memahami pembicaraan sedikit pun?
Dalam ayat yang lainnya disebutkan :
وَمَا
كَانَ ٱلْمُؤْمِنُونَ لِيَنفِرُوا۟ كَآفَّةًۭ ۚ فَلَوْلَا نَفَرَ مِن كُلِّ فِرْقَةٍۢ
مِّنْهُمْ طَآئِفَةٌۭ لِّيَتَفَقَّهُوا۟ فِى ٱلدِّينِ وَلِيُنذِرُوا۟ قَوْمَهُمْ إِذَا
رَجَعُوٓا۟ إِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُونَ
Tidak sepatutnya bagi orang-orang yang
mukmin itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap
golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka
tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah
kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya.
Sementara di dalam
hadits, Rasulullah bersabda :
مَنْ
يُرِدِ اللّٰهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقّهْهُ فِى الدّيْنِ
Barangsiapa dikehendaki Allah sebagai
orang baik, pasti Allah akan memahamkannya dalam persoalan agama.
Sedangkan secara
istilah fiqh adalah :
معرفة
الأحكام الشرعية العملية بأدلتها التفصيلية
Pengetahuan tentang-tentang hukum
syariat yang bersifat praktis yang diambil dari dalil-dalil yang terperinci.[27] Pengertian
yang lebih komprehensif mengenai fiqh adalah :
العلم
بالأحكام الشّرعيّة العمليّة المكتسب من أدلّتها التّفصيليّة
Ilmu tentang hukum-hukum syari’at yang
berkaitan dengan perbuatan dan perkataan mukallaf (mereka yang sudah terbebani
menjalankan syari’at agama), yang diambil dari dalil-dalilnya yang bersifat
terperinci. Dalil-dalil yang tafsili yang dimaksud berupa nash-nash al
Qur’an dan As sunnah serta yang bercabang darinya yang berupa ijma’ dan
ijtihad.
Dari pengertian syari'ah
dan fiqih yang telah dibahas sebelumnya maka dapat disimpulkan bahwa keduanya
memiliki karakter masing-masing. Dilihat dari sumbernya maka syariah bersumber
dari Allah ta’ala yaitu berupa Al-Qur'an dan Hadits Nabi Muhammad Shalallahu
Alaihi Wasalam. Sedangkan Fiqh bersumber dari para ulama dan ahli Fiqh yang
telah menggali hukum-hukum yang berasal dari Al-Qur'an dan Hadist. Sementara
dari segi obyeknya maka syariah objeknya meliputi bukan saja batin manusia akan
tetapi juga lahiriyah manusia dengan Tuhannya (ibadah). Sedangkan Fiqih objeknya
peraturan manusia yaitu hubungan lahir antara manusia dengan manusia serta manusia
dengan makhluk lainnya. Perbedaan selanjutnya adalah mengenai sanksi ketika
melanggarnya, syariah sanksinya adalah pembalasan Allah ta’ala di akhirat, sedangkan
Fiqih Semua norma sanksinya bersifat sekunder yaitu negara sebagai pelaksana
sanksinya.
Dari sini dapat
disimpulkan bahwa hukum Islam adalah aturan-aturan yang datang dari Allah
ta’ala melalui perantara para rasulNya yang berupa hukum-hukum yang qath’i (syariah)
dan juga yang bersifat dzanni yaitu fiqh. Dengan kata lain hukum
Islam adalah syariat Allah yang bersifat menyeluruh berupa hukum-hukum yang
terdapat di dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah serta hukum-huukm yang dihasilkan
oleh para ahli hukum Islam dengan menggunakan metode ijtihad (fiqh).
[1] Ahmad Warson Munawwir, Kamus
Munawwir, Surabaya : Pustaka Progressif, 1997, hlm. 286.
[2] Al-Fairuz Abady, Al-Qamus Al-Muhith, Libanon : Muasasah
Ar-Risalah, 1998. hlm. 1095.
[3] Abdullah bin Shalih Al-Fauzan, Syarh Al-Waraqat Fi Ushul Al-Fiqh,
Riyadh : Dar Al-Muslim, 1997. hlm. 28.
[4] Nasrun Haroen, Ushul Fiqh I,
Jakarta : PT Logos Wacana Ilmu, 2001,
hlm. 207
[5] Abdul Wahhab Khalaf, Ilmu
Ushul Fiqh, Kairo : Dar Al-Hadits, 2003, hlm. 87.
[6] Mohammad Daud Ali, Hukum Islam : Pengantar
Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia, Jakarta : PT RajaGrafindo
Persada, 2004, hlm. 44.
[7] M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Falsafah hukum
Islam, Jakarta : PT Bulan Bintang,
1986. hlm. 44.
[8] Ibnu Mandzur, Lisan Al-‘Arab Juz VII, hlm. 86
[9] Manna' Khalil Al-Qatan, At-Tasyri' Wa
Al-Fiqhi fi Al-Islam Tarikhan wa Manhajan, Mesir : Maktabah Wahbah, 2001,
hlm. 13.
[10] Al-Fairuz Abady, Al-Qamus Al-Muhith, hlm. 732.
[11] Ibnu Mandzur, Lisan Al-‘Arab Juz V, hlm. 86.
[12] Manna' Khalil Al-Qathan, At-Tasyri'
Wa Al-Fiqhi fi Al-Islam Tarikhan wa manhajan, hlm. 14.
[13] Mahmud Syalthut, Al-Islam
Aqidah Wa-Syari'ah, hlm. 73.
[14] Hasbi Ash-Shidieqy, Pengantar
hukum Islam, Semarang : PT. Pustaka Rizki Putra , 2001. hlm. 18.
[15] M. Ali Hasan, Perbandingan
Madzhab, Jakarta : PT Rajagrafindo Persada, 1995, hlm. 5.
[16] Fathurrahman Jamil, Filsafat Hukum Islam, Jakarta : Logos
Wacana Ilmu, 1999. hlm. 11.
[17] Mohammad Daud Ali, Hukum Islam : Pengantar
Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia, hlm. 40.
[18] Ibnu Mandzur, Lisan Al-‘Arab Juz VI, hlm. 344.
[20] HR Bukhari. Lihat Fathu Al-Bary Juz 10 hlm. 446. lihat pula Lisan
Al-Arab Ibnu Mandzur hlm. 345. dan Maktabah Syamilah.
[21] Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, Syarh Ats-Tsalastah Al-Ushul,
Mesir : Dar Ibn Al-Jauzy, 2004, hlm. 50.
[22] Ibid., hlm. 15.
[23] Mahmud Syalthut, Al-Islam
Aqidah Wa-Syari'ah, hlm. 7.
[24] Mohammad Daud Ali, Hukum Islam : Pengantar Ilmu Hukum dan Tata
Hukum Islam di Indonesia, hlm. 40.
[25] M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Falsafah hukum
Islam, Jakarta : PT Bulan Bintang, 1986. hlm. 44.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Please Uktub Your Ro'yi Here...