Oleh : Abdullah
A.
Perkembangan Ushul Fiqh Masa Nabi Muhammad Shalallahu Alaihi Wasalam
Sebagaimana ilmu
keagamaan lain dalam Islam, ilmu ushul fiqih tumbuh dan berkembang dengan tetap
berpijak pada Al-Quran dan Sunnah, ushul fiqih tidak timbul dengan sendirinya,
tetapi benih-benihnya sudah ada sejak zaman Rasulullah dan sahabat. Masalah
utama yang menjadi bagian ushul fiqih, seperti ijtihad, qiyas, nasakh, dan
takhsis sudah ada pada zaman Rasulullah dan Sahabat. Pada masa Rasulullah saw,
umat Islam tidak memerlukan kaidah-kaidah tertentu dalam memahami hukum-hukum
syar’i, semua permasalahan dapat langsung merujuk kepada Rasulullah saw lewat
penjelasan beliau mengenai Al-Qur’an, atau melalui sunnah beliau saw.
Sejak periode
awal sejarah Islam, perilaku kehidupan kaum muslimin dalam keseluruhan aspeknya
telah diatur oleh hukum Islam. Aturan-aturan ini, pada esensinya, bersifat
religius.[1] Oleh karena itu, dalam pembinaan dan pengembangannya, selalu
diupayakan berdasarkan kepada al-Qur’an, sebagai wahyu Ilahi yang terakhir,
yang pengaplikasiannya untuk sebagian besar dicontohkan dan dioperasionalkan
oleh sunnah Rasulullah saw.
Bagi umat Islam,
syari’ah adalah “tugas umat manusia yang menyeluruh”, meliputi moral dan etika
pembinaan umat, aspirasi spiritual, ibadah formal dan ritual yang rinci.
Syari’ah mencakup semua hukum publik dan perseorangan, kesehatan bahkan
kesopanan dan akhlak.[2]
Memang dari
sekian aspek yang diatur oleh Islam, aspek hukum mempunyai kedudukan
tersendiri, karena ia menyentuh langsung kenyataan yang dihadapi umat Islam.
Kalau dilihat ayat-ayat al-Qur’an yang mengandung dasar hukum, baik mengenai
ibadah maupun sosial kemayarakatan, bila diikuti perbandingan yang diberikan
oleh Abdul Wahab Khallaf, seperti yang dikutip oleh Harun Nasution hanyalah
sekitar 5,8 persen dari seluruh ayat al-Qur’an yang berjumlah 6360 ayat.[3]
Di zaman
Rasulullah SAW sumber hukum Islam hanya dua, yaitu Al-Quran dan Assunnah.
Apabila suatu kasus terjadi, Nabi SAW menunggu turunnya wahyu yang menjelaskan
hukum kasus tersebut. Apabila wahyu tidak turun, maka Rauslullah SAW menetapkan
hukum kasus tersebut melalui sabdanya, yang kemudian dikenal dengan hadits atau
sunnah.
Hal ini antara
lain dapat diketahui dari sabda Rasulullah SAW sebagai berikut:
Artinya:“Sesungguhnya
saya memberikan keputusan kepada kamu melalui pendapatku dalam hal-hal yang
tidak diturunkan wahyu kepadaku.” (HR. Abu Daud dari Ummu Salamah)
Hasil ijtihad
Rasulullah ini secara otomatis menjadi sunnah bagi Umat Islam. Hadits tentang
pengutusan Mu’az Ibn Jabal ke Yaman sebagai qadi, menunjukkan perijinan yang
luas untuk melakukan ijtihad hukum pada masa Nabi. Dalam pengutusan ini Nabi
bersabda:
كيف تقضي اذا عرض لك قضاء؟
قال اقضي بكتا ب الله قال فان لم تجد في كتاب الله؟ قال فبسنة رسول الله قال فان
لم تجد في سنة رسول الله قال اجتهد رأى ولا الو فضرب رسول الله على صدره وقال
الحمد لله الذي وفق رسول الله لما يرضي الله
ورسوله
Artinya:
“Bagaimana engkau (mu’az) mengambil suatu keputusan hukum terhadap permasalahan
hukum yang diajukan kepadamu? Jawab mu’az saya akan mengambil suatu keputusan
hukum berdasarkan kitab Allah (Al-Quran). Kalau kamu tidak menemukan dalam
kitab Allah? Jawab Mu’az, saya akan mengambil keputusan berdasarkan keputusan
berdasarkan sunnah Raulullah. Tanya Nabi, jika engkau tidak ketemukan dalam
sunnah? Jawab Mu’az, saya akan berijtihad, dan saya tidak akan menyimpang. Lalu
Rasulullah menepuk dada Mu’az seraya mengatakan segala puji bagi Allah yang
telah memberi taufik utusan Rasulnya pada sesuatu yang diridhai oleh Allah dan
rasulnya.”
Hadits ini
secara tersurat tidak menunjukkan adanya upaya Nabi untuk mengembangkan Ilmu
Ushul Fiqh, tapi secara tersirat jelas Nabi telah memberikan keluasan dalam
mengembangkan akal untuk menetapkan hukum yang belum tersurat dalam Al-Quran
dan Sunnah.
Artinya dengan
keluwesannya Nabi dalam melakukan pemecahan masalah-masalah ijtihadiyah telah
memberikan legalitas yang kuat terhadap para sahabat. Dalam sebuah haditsnya
yang mengandung kebolehan bagi manusia untuk mencari solusi terhadap
urusan-urusan keduniaan Rasulullah bersabda:
انتم اعلم بأمور دنياكم
Artinya: “Kamu
lebih mengetahui tentang urusan duniamu”
Cara-cara Rasul
berijtihad inilah yang menjadi bibit
munculnya ilmu ushul fiqh. Pada masa
Nabi, seringkali para sahabat “dilatih” berijtihad dalam berbagai kasus:
Seperti kasus shalat ashar di bani quraizah.
Nabi menyuruh para sahabat agar shalat ashar di desa Bani Quraizah , namun
ternyata sebelum mereka sampai di desa tersebut, waktu ashar hampir habis. Maka
sebagian sahabat melakukan shalat ashar di perjalalan meskipun belum sampai di
Desa Bani Quraizhah, karena.Jika shalat ashar di tempat tujuan, waktunya
diprediksi sudah magrib.Sebagian sahabat tidak mau shalat di perjalanan, karena
Nabi memerintahkan tadinya shalat ashar di Desa Bani Quraizhah. Mereka ashar di
Desa tujuan.
Kepada kelompok
yang shalat, Nabi Saw mengatakan “Anda telah kreatif memahami Pesanku dengan
melaksanakan shalat di perjalanan” kelompok yang shalat di perjalanan ini
memahani nash Secara rasional dan kontekstual merupakan bibit Ahli Ra’y.
Kemudian kepada kelompok yang tidak shalat di jalan Tapi di desa Bani
Quraizah Nabi mengatakan “Anda telah
mengamalkan sabdaku” kelompok yang shalat di Desa Tujuan, Kelompok ini mehami
nash Secara literal (tekstual) merupakan bibit Ahli Hadits.
Kemudian dalam
kasus lain, yakni tentang tawanan perang. Pada suatu saat Islam menang dalam
sebuah peperangan dan memiliki tawanan perang yang pandai membaca. Pada saad
itu ada beberapa pendapat para sahabat, yaitu ada kelompok yang menyatakan
sebaiknya dibunuh saja karena mereka tawanan perang dan golongan kafir. Akan
tetapi ada juga kelompok yang menyatakan bahwa sebaiknya jangan dibunuh, karena
para tawanan perang tersebut pandai membaca (berpendidikan) sebaiknya mereka
dihukum untuk mengajari umat Islam membaca. Pada saat itu banyak sekali umat
Islam yang tidak pandai membaca.
Akan tetapi ada
keraguan yang besar dari kelompok yang menyatakan sebaiknya dibunuh saja bahwa
kelak para tawanan tersebut akan menjadi duri dalam daging bagi umat Islam.
Setelah itu Rasulullah Saw. mendapatkan ayat yang menyatakan bahwa para tawanan
yang pandai membaca tersebut jangan dibunuh, tapi dihukum untuk mengajar umat
Islam membaca, sampai seluruh umat Islam di daerah itu pandai membaca,
setelahnya tawanan dapat dibebaskan. Karena jumlah umat Islam yang tidak pandai
membaca sangat banyak, maka butuh waktu yang sangat lama bagi para tawanan
untuk bebas. Malah akhirnya para tawanan itu menjadi umat muslim.
Contoh lain
yakni pada kasus tayamum Ibnu Mas’ud dan Umar bin Khathab. Pada suatu hari Umar
dan Ibnu Mas’ud mau melaksanakan shalat, tapi tidak ada air. Maka mereka
bertayammum, kemudian mereka melaksanakan shalat.Beberapa saat selesai shalat,
tiba-tiba mereka menemukan air. Seorang kembali berwudhu’ dan melaksakan shalat,
Sementara seorang lagi tidak mengulangi lagi wudhu’ dan shalatnya. iapa yang
dibenarkan Rasulullah SAW? Rasulullah tidak menyalahkan salah satu di antara
mereka.
Kepada Ibnu
Mas’ud ia berkata,”Laka Ajrani” (Bagimu dua pahala), sedangkan kepada Umar, Rasulullah
SAW berkata, “Ajzaatka Shalatuka”, (shalatmu yang sekali itu telah memadai
(cukup), tak perlu diulang lagi).
Berdasarkan
contoh-contoh kasus tersebut, dapat diketahui bahwa Ijtihad tersebut ada yang
ditaqrir (diakui) Rasulullah, ada yang turun ayat tentangnya dan ada yang
dibenarkan Rasulullah.
Dorongan untuk
melakukan ijtihad itu tersirat juga dalam hadits Nabi yang menjelaskan tentang
pahala yang diperoleh seseorang yang melakukan ijtihad sebagai upaya yang
sungguh-sungguh dalam mencurahkan pemikiran baik hasil usahanya benar atau
salah.
Selain dalam
bentuk anjuran dan pembolehan ijtihad oleh Nabi di atas, Nabi sendiri pada
dasarnya telah memberikan isyarat terhadap kebolehan melakukan ijtihad
setidak-tidaknya dalam bentuk qiyas sebagaimana dapat kita temukan dalam
hadits-hadits Nabi yang artinya:
“Seorang wanita
namanya Khusaimiah datang kepada Nabi dan bertanya, Ya Rasulullah ayah saya
seharusnya telah menunaikan haji, dia tidak kuat duduk dalam kendaraan karena
sakit, Apakah saya harus melakukan haji untuknya? Jawab Rasulullah dengan
bertanya bagaimana pendapatmu bila Ayahmu mempunyai utang? Apakah engkau harus
membayar? Perempuan itu menjawab , Ya, Nabi berkata utang kepada Allah lebih
utama untuk dibayar".
Hadits ini
menggambarkan upaya qiyas yang dilakukan oleh Nabi, yaitu ketika seorang
sahabat datang kepada Nabi yang menanyakan tentang keharusan penunaian
kewajiban ibadah haji bapaknya yang mengidap sakit, Nabi menegaskan keharusan
penunaiannya dengan melakukan pengqiyasan terhadap pembayaran utang antara
sesama manusia.
Ada satu hal
yang perlu dicatat, kehadiran Nabi sebagai pemegang otoritas tunggal dalam
permasalahan-permasalahan hukum membuat Nabi sangat berhati-hati disatu pihak,
dan terbuka dipihak lain. Sikap hati-hati yang ditempuh oleh Nabi dalam rangka
penerapan hukum Islam bidang ibadah. Penjelasan Nabi yang berkaitan dengan ini
cukup rinci. Wahyu memegang peranan sangat penting. Sikap terbuka yang ditempuh
oleh Nabi dalam upaya pengembangan hukum Islam bidang muamalah.
Berbeda dengan
ibadah, dalam muamalah penjelasan Nabi lebih banyak bersifat garis besar,
sedangkan perincian dan penjelasan pelaksanaannya diserahkan kepada manusia.
Manusia dengan akal yang dianugerahkan kepadanya diberi peranan lebih banyak.
Artinya, ini pulalah salah satu faktor yang ikut mendukung terhadap pertumbuhan
ilmu ushul fiqh selanjutnya.
Dalam beberapa
kasus, Rasulullah SAW juga menggunakan qiyas ketika menjawab pertanyaan para
sahabat. Misalnya ketika menjawab pertanyaan Umar Ibn Khatab tentang batal atau
tidaknya puasa seseorang yang mencium istrinya. Rasulullah SAW bersabda:
“Apabila kamu
berkumur-kumur dalam keadaan puasa, apakah puasamu batal?” Umar menjawab:”Tidak
apa-apa” (tidak batal). Rasulullah kemudian bersabda “maka teruskan puasamu.”
(HR. al-Bukhari, muslim, dan Abu Dawud).
Hadits ini
mengidentifikasikan kepada kita bahwa Rasulullah SAW jelas telah menggunakan
qiyas dalam menetapkan hukumnya, yaitu dengan mengqiyaskan tidak batalnya
seseorang yang sedang berpuasa karena mencium istrinya sebagaimana tidak
batalnya puasa karena berkumur-kumur.
Rasulullah Saw,
dalam memecahkan masalah yang muncul, terkadang juga meminta pendapat para
sahabat melalui forum musyawarah. Sebagai contoh, beliau meminta pertimbangan
kepada Abu Bakar dan Umar dalam menangani tawanan perang Badar.[4] Pada masa
itu, segala masalah yang timbul di kalangan umat dapat diselesaikan di hadapan
beliau yang memiliki otoritas keagamaan.[5] Yang jadi masalah barangkali
setelah sepeninggal Rasul, yakni perihal siapa yang mengganti hak otoritatif
tersebut. Pada satu sisi, sumber pemecahan masalah keagamaan telah terputus,
sedang pada sisi lain, kejadian-kejadian yang timbul dalam masyarakat tentu
berlangsung tanpa mengenal batas. Untuk mengantisipasi hal tersebut, maka
dibutuhkan pranata ijtihad secara kontinue demi pemenuhan kebutuhan masyarakat
Islam.[6]
B. Perkembangan
Ushul Fiqh Pada Masa Sahabat
Memang, semenjak
masa sahabat telah timbul persoalan-persoalan baru yang menuntut ketetapan
hukumnya. Untuk itu para sahabat berijtihad, mencari ketetapan hukumnya.
Setelah wafat Rasulullah SAW sudah barang tentu berlakunya hasil ijtihad para
sahabat pada masa ini, tidak lagi disahkan oleh Rasulullah SAW, sehingga dengan
demikian semenjak masa sahabat ijtihad sudah merupakan sumber hukum.
Pada masa
sahabat yang lebih dekat dengan tradisi kehidupan Rasulullah saw, pemecahan
masalah hukum lebih banyak bersandar pada al-Qur’an dan tradisi yang dibawa
oleh Rasul, dan mereka saling bertukar informasi tentang tradisi Rasul
tersebut.[7] Apabila mereka tidak menemukannya dalam dua sumber tersebut,
mereka dengan segala upaya dan kesungguhan berijtihad mencari pemecahan masalah
dengan selalu mengambil inspirasi dan menangkap pesan-pesan universal al-Qur’an
dan sunnah. Dalam berijtihad seringkali mereka meng hasilkan pemecahan yang
berbeda.[8] Oleh karena itu, tidaklah berlebihan kalau Ibnu Khaldun, seorang
sosiolog muslim yang terkenal mengatakan: “Tidaklah sahabat itu mampu berfatwa,
dan tidak semua dari mereka itu dapat diambil dan dijadikan pedornan dalam
agama”.[9] Lain halnya di kalangan
Syi’ah yang berkeyakinan bahwa para imam mereka memiliki hak otoritatif
sebagaimana juga yang dimiliki oleh Rasul dalam menginter pretasikan wahyu
Ilahi. Apapun yang diputuskan olehnya melalui interpretasi dan elaborasi
adalah mengikat kaum muslimin.[10]
Sebagai contoh
hasil ijtihad para sahabat, yaitu Umar bin Khattab tidak menjatuhkan hukuman
potong tangan kepada seseorang yang mencuri karena kelaparan (darurat atau
terpaksa). Alasan rasional Umar atas kasus ini adalah karena pada masa itu
suasana ekonomi sangat gawat (paceklik), yang disebut dengan amul maja’ah,
yaitu tahun kelaparan.
Contoh lain
yaitu Kasus tanah Sawad di Iraq. Umar tidak memberikan harta ghanimah (hasil
perang) kepada prajurit Islam, walaupun menurut Al-quran (Al-Anfal ayat 41), bahwa 80 % hasil tersebut harus
diserahkan kepada prajurit Islam yang telah berhasil membebaskan daerah
tersebut. Hal ini dilakukan karena Umar punya alasan yang rasional, yaitu Jika
penduduk asli dibiarkan mengusainya,maka mereka akan bayar kharaj yang menjadi
pemasukan (income) untuk biaya menjaga perbatasan daulah Islam. Jika ghanimah
diberikan, Umar khawatir para sahabat akan menjadi tuan-tuan Tanah.
Kemudian dalam
Kasus tidak memberi zakat pada Muallaf. Umar tidak memberikan zakat kepada
muallaf, padahal menurut Al-Qur’an (surat al-Ma’idah ayat 60), mereka berhak
mendapat. Hal ini dilakukan Umar dengan alasannya yang rasional, yaitu: dulu di
masa Rasulullah dan Abu Bakar, Islam belum kuat dan belum banyak jumlahnya, maka
diperlukan upaya pelunakan hati orang yang baru masuk Islam agar tertarik
kepada Islam dan makin banyak yang masuk Islam, tetapi di masa Umar, Islam
telah kuat, tidak begitu dibutuhkan lagi pelunakan hati melalui materi (dana
zakat).
Pada masa Ali
bin Abi Thalib pun ada beberapa contoh Ijtihad, misalnya Ali berpendapat bahwa
wanita yang suaminya meninggal dunia dan belum dicampuri serta belum ditentukan
maharnya, hanya berhak mendapatkan mut'ah (pemberian). Ali menyamakan kedudukan
wanita tersebut dengan wanita yang telah dicerai oleh suaminya dan belum
dicampuri serta belum ditentukan maharnya, yang oleh syara' ditetapkan hak
mut'ah baginya, sebagaimana disebutkan dalam firman Allah:
Artinya
:"Tidak ada sesuatupun (mahar) atas kamu, jika kamu menceraikan
isteri-isterimu sebelum kamu bercampur dengan mereka dan sebelum kamu
menentukan maharnya. Dan hendaklah kamu memberikan mut'ah (pemberian) kepada
mereka. Orang yang mampu menurut kemampuannya dan orang yang miskin menurut
kemampuannya (pula), yaitu pemberian menurut yang patut. Yang demikian itu
merupakan ketentuan bagi orang-orang yang berbuat kebajikan." (Al-Baqarah
: 236).
Ali bin Abi
Thalib pun menggunakan qiyas, yaitu mengqiyaskan orang yang meminum khamar
dengan hukuman orang yang melakukan qazaf (menuduh berzina) Hukuman pelaku
qazaf ialah dera 80 kali, Ali juga menghukum peminum khamar dengan dera (pukul)
80 kali.
Apabila
diperhatikan secara cermat, para sahabat mengistimbath hukum, mula-mula dengan
memperhatikan teks-teks Al-Quran kemudian Sunnah. Bila hukumnya tidak ditemukan
di dalam keduanya, mereka melakukan ijtihad dan mengumpulkan para sahabat untuk
bermusyawarah dan hasil kesepakatan mereka dikenal dengan ijma’ sahabat.
Sahabat telah menggunakan metode qiyas dan istislah dalam berijtihad. Mereka
juga telah menggunakan ijma’sebagai sumber hukum
Dari
contoh-contoh ijtihad yang dilakukan oleh Rasulullah SAW, demikian pula oleh
para sahabatnya baik di kala Rasulullah SAW masih hidup atau setelah beliau
wafat, tampak adanya cara-cara yang digunakannya, sekalipun tidak dikemukakan
dan tidak disusun kaidah-kaidah (aturan-aturan) nya, sebagaimana yang kita
kenal dalam Ilmu Ushul Fiqh. Karena pada masa Rasulullah SAW, demikian pula
pada masa sahabatnya, tidak dibutuhkan adanya kaidah-kaidah dalam berijtihad
dengan kata lain pada masa Rasulullah SAW dan pada masa sahabat telah terjadi
praktek berijtihad, hanya saja pada waktu-waktu itu tidak disusun sebagai suatu
ilmu yang kelak disebut dengan Ilmu Ushul Fiqh karena pada waktu-waktu itu
tidak dibutuhkan adanya.
Hal ini
dikarenakan Rasulullah SAW mengetahui cara-cara nash dalam menunjukkan hukum
baik secara langsung atau tidak langsung, sehingga beliau tidak membutuhkan
adanya kaidah-kaidah dalam berijtihad, karena mereka mengetahui sebab-sebab
turun (asbabun nuzul) ayat-ayat Al-Qur'an, sebab-sebab datang (asbabul wurud)
Al- Hadits, mempunyai ketazaman dalam memahami rahasia-rahasia, tujuan dan
dasar-dasar syara' dalam menetapkan hukum yang mereka peroleh karena mereka
mempunyai pengetahuan yang luas dan mendalam terhadap bahasa mereka sendiri
(Arab) yang juga bahasa Al-Qur'an dan As-Sunnah. Dengan pengetahuan yang mereka
miliki itu, mereka mampu berijtihad tanpa membutuhkan adanya kaidah-kaidah.
C. Perkembangan
Ushul Fiqh Pada Masa Tabi’in
Pada masa tabi'in,
tabi'it-tabi'in dan para imam mujtahid, di sekitar abad II dan III Hijriyah
wilayah kekuasaan Islam telah menjadi semakin luas, sampai ke daerah-daerah
yang dihuni oleh orang-orang yang bukan bangsa Arab atau tidak berbahasa Arab
dan beragam pula situasi dan kondisinya serta adat istiadatnya. Banyak diantara
para ulama yang bertebaran di daerah-daerah tersebut dan tidak sedikit penduduk
daerah-daerah itu yang memeluk agama Islam. Dengan semakin tersebarnya agama
Islam di kalangan penduduk dari berbagai daerah tersebut, menjadikan semakin
banyak persoalan-persoalan hukum yang timbul. Yang tidak didapati ketetapan
hukumnya dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah. Untuk itu para ulama yang tinggal di
berbagai daerah itu berijtihad mencari ketetapan hukumnya.
Karena banyaknya
persoalan-persoalan hukum yang timbul dan karena pengaruh kemajuan ilmu
pengetahuan dalam berbagai bidang yang berkembang dengan pesat yang terjadi
pada masa ini, kegiatan ijtihad juga mencapai kemajuan yang besar dan lebih
bersemarak.
Dalam pada itu,
pada masa ini juga semakin banyak terjadi perbedaan dan perdebatan antara para
ulama mengenai hasil ijtihad, dalil dan jalan-jalan yang ditempuhnya. Perbedaan
dan perdebatan tersebut, bukan saja antara ulama satu daerah dengan daerah yang
lain, tetapi juga antara para ulama yang sama-sama tinggal dalam satu
daerah.Kenyataan-kenyataan di atas mendorong para ulama untuk menyusun
kaidah-kaidah syari'ah yakni kaidah-kaidah yang bertalian dengan tujuan dan
dasar-dasar syara' dalam menetapkan hukum dalam berijtihad.
Demikian pula
dengan semakin luasnya daerah kekuasan Islam dan banyaknya penduduk yang bukan
bangsa Arab memeluk agama Islam. Maka terjadilah pergaulan antara orang-orang
Arab dengan mereka. Dari pergaulan antara orang-orang Arab dengan mereka itu membawa
akibat terjadinya penyusupan bahasa-bahasa mereka ke dalam bahasa Arab, baik
berupa ejaan, kata-kata maupun dalam susunan kalimat, baik dalam ucapan maupun
dalam tulisan. Keadaan yang demikian itu, tidak sedikit menimbulkan keraguan
dan kemungkinan-kemungkinan dalam memahami nash-nash syara'. Hal ini mendorong
para ulama untuk menyusun kaidah-kaidah lughawiyah (bahasa), agar dapat
memahami nash-nash syara' sebagaimana dipahami oleh orang-orang Arab sewaktu
turun atau datangnya nash-nash tersebut.
Setelah
meluasnya futuhat daulah islamiyah (abad ke-2 dan ke-3 Hijriyah), umat Islam
Arab banyak berinteraksi dan berkolaborasi dengan bangsa-bangsa lain (selain
bangsa arab yang berbeda bahasa dan berbeda pula latar belakang peradabannya,
perbauran tersebut menyebabkan lemahnya kemampuan berbahasa Arab Fusoha di
kalangan sebagian umat, terutama di Irak. Di sisi lain, kebutuhan akan ijtihad
sangatlah mendesak karena semakin banyaknya masalah-masalah baru yang belum
pernah terjadi dan sangat diperlukan kejelasan hukum fiqhnya. Pada periode inilah, munculnya dua madrasah
besar yang mencerminkan metode mereka dalam berijtihad, yakni Madrasah ahli
ra’yi di Irak dengan pusatnya di Bashrah dan Kufah dan Madarasah Ahli Hadits di
Hijaz yang berpusat di Mekkah dan Madinah.
Perbedaan mendasar dari kedua madrasah
tersebut terletak pada banyaknya penggunaan hadits atau penganalogian dalam
berijtihad. Madrasah ahlir-ra’yi lebih banyak menggunakan qiyas (analogi) dalam
berijtihad, hal ini disebabkan oleh:
1. Sedikitnya jumlah hadits yang sampai ke
ulama Irak dan ketatnya seleksi hadits yang mereka lakukan, hal ini dikarenakan
banyaknya hadits-hadits palsu yang beredar di kalangan mereka, sehingga tidak
mudah bagi mereka untuk menerima riwayat seseorang kecuali melalui proses
seleksi yang sangat ketat. Di sisi lain masalah baru yang mereka hadapi semakin
kompleks serta kebutuhan akan ijtihad kian mendesak, maka mau tidak mau, mereka
hanya mampu mengandalkan qiyas (penganalogian) sebagai sarana dalam menetapkan
hokum-hukum yang ada. Masalah-masalah baru ini muncul akibat peradaban dan
sosial masyarakat Irak yang begitu beragam.
2. Pengaruh atas
reaksi guru mereka, Abdullah bin Mas’ud ra yang banyak menggunakan qiyas dalam
berijtihad ketika menghadapi berbagai persoalan.
Sedangkan ciri
madrasah ahli hadits, mereka lebih berhati-hati dalam berfatwa menggunakan
qiyas, karena setting dan latar sosial yang mereka hadapi berbeda pula, situasi
tersebut didukung oleh faktor-faktor, yaitu banyaknya hadits yang berada di
tangan mereka dan sedikitnya kasus-kasus baru yang memerlukan ijtihad, pengaruh pendidikan yang mereka peroleh dari
guru mereka, seperti Abdullah bin Umar ra, dan Abdullah bin ‘Amr bin ‘Ash, yang
sangat berhati-hati menggunakan logika dalam berfatwa.
Pada masa tabi’in
inilah cara mengistinbath hukum semakin berkembang. Di antara mereka ada yang
menempuh metode maslahah atau metode qiyas di samping berpegang pula pada fatwa
sahabat sebelumnya. Pada nmasa tabi’in inilah mulai tampak perbedaan-perbedaan
mengenai hukum sebagai konskuensi logis dari perbedaan metode yang digunakan
oleh para ulama ketika itu.[11]
Corak perbedaan
pemahaman lebih jelas lagi pada masa sesudah tabi’in atau pada masa Al- Aimmat
Al- Mujtahidin. Sejalan dengan itu, kaidah-kaidah istinbath yang digunakan juga
semakin jelas bentuknya bentuknya. Abu Hanifah misalnya menempuh metode qiyas
dan istihsan. Sementara Imam Malik berpegang pada amalan mereka lebih dapat
dipercaya dari pada hadis ahad.[12]
Jadi sudah
barang tentu, jika perbedaan dari kedua madrasah diatas melahirkan
perdebatan-perdebatan yang cukup sengit. Atas dasar inilah, para ulama
terinspirasi dan dipandang perlu untuk membuat kaidah-kaidah (dowabith)
tertulis yang dibukukan sebagai undang-undang bersama dalam menyatukan dua
madrasah ini. Di antara ulama yang mempunyai perhatian terhadap masalah ini
adalah Al-Imam Abdur Rahman bin Mahdi rahimahullah (135-198 H). Beliau meminta
kepada Al Imam Asy-Syafi’i rahimahullah (150-204 H) untuk menulis sebuah buku
tentang prinsip-prinsip metode berfikir yang dapat digunakan sebagai pedoman
untuk berijtihad. Maka lahirlah kitab Ar-Risalah karya Imam Syafi’i sebagai
kitab pertama dalam ushul fiqh.
Hal ini tidak
berarti, bahwa sebelum imam Syafi’i, prinsip prinsip ushul fiqh tidak ada sama
sekali, tetapi ia sudah ada sejak masa ulama-ulama Hanafiyah, akan tetapi
kaidah-kaidah itu belum disusun secara sistematis menjadi sebuah disiplin ilmu
atau khazanah ilmu tersendiri dan masih berserakan pada kitab-kitab fiqh para
‘ulama. Maka dari itu Ar- Risalah, kitab ushul fikih yang ditulis oleh imam
Syafi’i ini pantas menjadi rujukan utama dan model teoritis bagi para ulama
sesudahnya untuk mengembangkan dan menyempurnakan disiplin ilmu ushul fikih.
Dengan
disusunnya kaidah-kaidah syar'iyah dan kaidah-kaidah lughawiyah dalam
berijtihad pada abad II Hijriyah, maka telah terwujudlah Ilmu Ushul Fiqh.
Dikatakan oleh Ibnu Nadim bahwa ulama yang pertama kali menyusun kitab Ilmu
Ushul Fiqh ialah Imam Abu Yusuf -murid Imam Abu Hanifah- akan tetapi kitab
tersebut tidak sampai kepada kita.
Diterangkan oleh
Abdul Wahhab Khallaf, bahwa ulama yang pertama kali membukukan kaidah-kaidah
Ilmu Ushul Fiqh dengan disertai alasan-alasannya adalah Muhammad bin Idris
asy-Syafi'iy (150-204 H) dalam sebuah kitab yang diberi nama Ar-Risalah. Dan
kitab tersebut adalah kitab dalam bidang Ilmu Ushul Fiqh yang pertama sampai
kepada kita. Oleh karena itu terkenal di kalangan para ulama, bahwa beliau
adalah pencipta Ilmu Ushul Fiqh.
Apa yang
dikemukakan diatas menunjukkan bahwa sejak zaman Rasulullah saw, sahabat,
tabi’in dan sesudahnya, pemikiran hukum Islam mengalami perkembangan. Namun
demikian, corak atau metode pemikiran belum terbukukan dalam tulisan yang
sistematis. Dengan kata lain, belum terbentuk sebagai suatu disiplin ilmu
tersendiri.
KESIMPULAN
Ilmu ushul fiqih
tidak timbul dengan sendirinya, tetapi benih-benihnya sudah ada sejak zaman
Rasulullah Saw. Masalah utama yang menjadi bagian ushul fiqih, seperti ijtihad,
qiyas sudah ada pada zaman Rasulullah dan Sahabat. Pada masa Rasulullah saw,
umat Islam tidak memerlukan kaidah-kaidah tertentu dalam memahami hukum-hukum
syar’i, semua permasalahan dapat langsung merujuk kepada Rasulullah saw lewat
penjelasan beliau mengenai Al-Qur’an.
Pada masa
sahabat telah timbul persoalan-persoalan baru yang menuntut ketetapan hukumnya.
Untuk itu para sahabat berijtihad, mencari ketetapan hukumnya. Pada masa
sahabat yang lebih dekat dengan tradisi kehidupan Rasulullah saw, pemecahan
masalah hukum lebih banyak bersandar pada al-Qur’an dan tradisi yang dibawa
oleh Rasul, dan mereka saling bertukar informasi tentang tradisi Rasul
tersebut. Apabila mereka tidak
menemukannya dalam dua sumber tersebut, mereka dengan segala upaya dan
kesungguhan berijtihad mencari pemecahan masalah dengan selalu mengambil inspirasi
dan menangkap pesan-pesan universal al-Qur’an dan sunnah.
Pada masa
tabi’in inilah cara mengistinbath hukum semakin berkembang. Di antara mereka
ada yang menempuh metode maslahah atau metode qiyas di samping berpegang pula
pada fatwa sahabat sebelumnya. Pada nmasa tabi’in inilah mulai tampak
perbedaan-perbedaan mengenai hukum sebagai konskuensi logis dari perbedaan
metode yang digunakan oleh para ulama ketika itu.
DAFTAR
PUSTAKA
Abu al-’Ainaini
Badran, Ushul al-Fiqh al-Islami, Mesir: Muassasah Syabab al-Jami’ah
al-Iskandariyah, t.th.
Abdul Aziz A
Sachenia, Kepemimpinan Dalam Islam Perspektif Syi’ah, Bandung: Mizan, 1991.
Abdul Wahhab
Khalaf, Mashadir al-Tasyri’ al-Islami, Kuwait: Dar al-Qalam, 1976.
Abu Zahrah,
Tarikh al-Madzahib al-Islamiyah, Kairo: Dar al-Fikr al-Arabi, t.th.
Amir Nurudin,
Ijtihad Umar ibn al-Khattab, Jakarta: Rajawali Press, 1991.
Fazlur Rahman,
Islam, Chicago: University of Chicago Press, 1979.
Harun Nasution,
Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jakarta: Bulan Bintang, t.th.
Ibnu Khaldun,
Muqaddimah Ibn Khaldun, t.t., Dar al-Bayan, t.th.
Muhammad Yusuf
Musa, Tarikh al-Fiqh al-Islami, Kairo: Dar al-Kutub al-Haditsah, 1958.
[1] Fazlur
Rahman, Islam, Chicago, University of Chicago Press, 1979, hlm. 68
[2] Ibid., hlm.
101-109
[3] Harun
Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jakarta, Bulan Bintang, t.th.,
hlm. 7
[4] Abu al-’Ainaini Badran, Ushul al-Fiqh
al-Islami, Mesir, Muassasah Syabab al-Jami’ah al-Iskandariyah, t.th., hlm. 5
[5] Ibid.
[6] Abdul Wahhab
Khalaf, Mashadir al-Tasyri’ al-Islami, Kuwait, Dar al-Qalam, 1976, hlm. 6
[7] Muhammad
Yusuf Musa, Tarikh al-Fiqh al-Islami, Kairo, Dar al-Kutub al-Haditsah, 1958,
hlm. 277
[8] Amir
Nurudin, Ijtihad Umar ibn al-Khattab, Jakarta, Rajawali Press, 1991, hlm. 71
[9] Ibnu
Khaldun, Muqaddimah Ibn Khaldun, t.t., Dar al-Bayan, t.th., hlm. 446
[10] Abdul Aziz
A Sachenia, Kepemimpinan Dalam Islam Perspektif Syi’ah, Bandung, Mizan, 1991,
hlm. 23
[11] Abu Zahrah,
Tarikh al-Madzahib al-Islamiyah, Kairo, Dar al-Fikr al-Arabi, t.th., Jilid II,
hlm. 12
[12] Ibid.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Please Uktub Your Ro'yi Here...