Oleh : Abdurrahman Misno
Sebuah pertanyaan yang
menarik untuk dijawab adalah “Kenapa hukum Islam bisa diterima oleh manusia
dengan berbagai tradisi dan budaya yang berbeda?” untuk menjawab hal ini maka
kita harus melihat hukum Islam sebagai sebuah realitas general. Dalam hal ini bagaimana
sebenarnya azas dan prinsip hukum Islam yang bersifat umum dan bisa diterima
oleh manusia pada umumnya.
Beberapa azas dan
prinsip hukum Islam yang bersifat universal adalah :
a.
Azas Nafyul kharaji,
meniadakan kepicikan, artinya hukum Islam dibuat dan diciptakan itu berada
dalam batas-batas kemampuan para mukallaf. Namun bukan berarti tidak ada
kesukaran sedikitpun sehingga tidak ada tantangan, sehingga tatkala ada
kesukaran yang muncul bukan hukum Islam itu digugurkan melainkan melahirkan
hukum Rukhsah/keringanan.
b.
Azas Qillatu
Taklif, tidak membahayakan taklifi, artinya hukum Islam itu tidak
memberatkan pundak mukallaf dan tidak menyukarkan.
c.
Azas Tadarruj,
bertahap (gradual), artinya pembinaan hukum Islam berjalan setahap demi setahap
disesuaikan dengan tahapan perkembangan manusia.
d.
Azas
Kemuslihatan Manusia, Hukum Islam seiring dengan dan mereduksi sesuatu yang ada
dilingkungannya.
e.
Azas Keadilan
Merata, artinya hukum Islam sama keadaannya tidak lebih melebihi bagi yang satu
terhadap yang lainnya.
f.
Azas Estetika, artinya
hukum Islam memperbolehkan bagi kita untuk mempergunakan/memperhatiakn segala
sesuatu yang indah.
g.
Azas Menetapkan
Hukum Berdasar Urf yang Berkembang Dalam Masyarakat — Hukum Islam dalam
penerapannya senantiasa memperhatikan adat/kebiasaan suatu masyarakat.
h.
Azas Syara
Menjadi Dzatiyah Islam, artinya Hukum yang diturunkan secara mujmal memberikan
lapangan yang luas kepada para filusuf untuk berijtihad dan guna memberikan
bahan penyelidikan dan pemikiran dengan bebas dan supaya hukum Islam menjadi
elastis sesuai dengan perkembangan peradaban manusia.
Selain adanya azas,
Hukum Islam juga memiliki prinsip-prinsip yang berdiri di atasnya hukum Islam, Adapun
prinsip-prinsip dari hukum Islam adalah :
Prinsip Pertama :
Tauhid.[1] Tauhid
adalah prinsip umum hukum Islam. Prinsip ini menyatakan bahwa semua manusia ada
dibawah satu ketetapan yang sama, yaitu ketetapan tauhid yang dinyatakan dalam
kalimat La’ilaha Illa Allah (Tidak ada tuhan selain Allah). Prinsip ini ditarik
dari firman Allah QS. Ali Imran Ayat 64. Berdasarkan atas prinsip tauhid ini,
maka pelaksanaan hukum Islam merupakan ibadah. Dalam arti perhambaan manusia
dan penyerahan dirinya kepada Allah sebagai manipestasikesyukuran kepada-Nya.
Dengan demikian tidak boleh terjadi setiap mentuhankan sesama manusia dan atau
sesama makhluk lainnya. Pelaksanaan hukum Islam adalah ibadah dan penyerahan
diri manusia kepada keseluruhan kehendak-Nya. Prinsip tauhid inipun menghendaki
dan memposisikan untuk menetapkan hukum sesuai dengan apa yang diturunkan Allah
(Al-Qur'an dan As-Sunah). Barang siapa yang tidak menghukumi dengan hukum
Allah, maka orang tersebut dapat dikateegorikan kedalam kelompok orang-orang
yang kafir, dzalim dan fasiq (Q.S. ke 5 Al-Maidah : 44, 45 dan 47). Dari prinsip
umum tauhid ini, maka lahirlah prinsip khusus yang merupakan kelanjutan dari
prinsip tauhid ini, umpamanya yang berlaku dalam fiqih ibadah sebagai berikut :
a.
Prinsip Pertama
: Berhubungan langsung dengan Allah tanpa perantara — Artinya bahwa tak seorang
pun manusia dapat menjadikan dirinya sebagai zat yang wajib di sembah.
b.
Prinsip Kedua :
Beban hukum (takli’f) ditujukan untuk memelihara akidah dan iman, penyucian
jiwa (tajkiyat al-nafs) dan pembentukan pribadi yang luhur — Artinya hamba
Allah dibebani ibadah sebagai bentuk/aktualisasi dari rasa syukur atas nikmat
Allah.
Berdasarkan prinsip
tauhid ini melahirkan azas hukum Ibadah, yaitu Azas kemudahan/meniadakan
kesulitan. Dari azas hukum tersebut terumuskan kaidah-kaidah hukum ibadah
sebagai berikut :
a.
Al-ashlu fii
al-ibadati tauqifu wal ittiba’, yaitu pada pokoknya
ibadah itu tidak wajib dilaksanakan, dan pelaksanaan ibadah itu hanya mengikuti
apa saja yang diperintahkan Allah dan Rasul-Nya ;
b.
Al-masaqqah
tujlibu at-taysiir, Kesulitan dalam melaksanakan ibadah
akan mendatangkan kemudahan
Prinsip Kedua : Keadilan.
Keadilan dalam bahasa Arab memiliki sinonim kata yaitu al-mi’zan
(keseimbangan/moderasi). Kata keadilan dalam al-Qur'an kadang diekuifalenkan
dengan al-qist. Al-Mizan yang berarti keadilan di dalam Al-Qur'an
terdapat dalam QS. Al-Syura: 17 dan Al-Hadid: 25. Term keadilan pada umumnya
berkonotasi dalam penetapan hukum atau kebijaksanaan raja. Akan tetapi,
keadilan dalam hukum Islam meliputi berbagai aspek. Prinsip keadilan ketika
dimaknai sebagai prinsip moderasi, menurut Wahbah Az-Zuhaili bahwa perintah
Allah ditujukan bukan karena esensinya, sebab Allah SWT tidak mendapat
keuntungan dari ketaatan dan tidak pula mendapatkan kemadaratan dari perbuatan
maksiat manusia. Namun ketaatan tersebut hanyalah sebagai jalan untuk
memperluas prilaku dan cara pendidikan yang dapat membawa kebaikan bagi
individu dan masyarakat.
Penggunaan term “adil/keadilan” dalam
Al-Quran diantaranya sebagai berikut :
a. QS. Al-Maidah : 8, Manusia yang memiliki
kecenderungan mengikuti hawa nafsu, adanya kecintan dan kebencian memungkinkan
manusia tidak bertindak adil dan mendahulukan kebatilan daripada kebenaran
(dalam bersaksi) ;
b. QS. Al-An’am : 152, Perintah kepada manusia agar
berlaku adil dalam segala hal terutama kepada mereka yang mempunyai kekuasaan
atau yang berhubungan dengan kekuasaan dan dalam bermuamalah/berdagang ;
c. QS. An-Nisa : 128, Kemestian berlaku adil kepada
sesama isteri ;
d. QS. Al-Hujurat : 9, Keadilan sesama muslim ;
e. QS. Al-An‟am : 52, Keadilan yang berarti
keseimbangan antara kewajiban yang harus dipenuhi manusia (mukalaf) dengan
kemampuan manusia untuk menunaikan kewajiban tersebut.
Prinsip Ketiga : Amar
Makruf Nahi Mungkar. Hukum Islam digerakkan untuk merekayasa
umat manusia untuk menuju tujuan yang baik dan benar yang dikehendaki dan
ridloi Allah dalam filsafat hukum Barat diartikan sebagai fungsi social
engineering hukum. Prinsip Amar Makruf Nahi Mungkar didasarkan pada QS.
Al-Imran : 110, pengkategorian Amar Makruf Nahi Mungkar dinyatakan berdasarkan
wahyu dan akal.
Prinsip Keempat : Kebebasan/Kemerdekaan
(Al-Huriyyah). Prinsip kebebasan dalam hukum Islam
menghendaki agar agama/hukum Islam disiarkan tidak berdasarkan paksaan, tetapi
berdasarkan penjelasan, demontrasi, argumentasi. Kebebasan yang menjadi prinsip
hukum Islam adalah kebebasan dalam arti luas yg mencakup berbagai macamnya,
baik kebebasan individu maupun kebebasan komunal. Keberagama dalam Islam
dijamin berdasarkan prinsip tidak ada paksaan dalam beragama (QS. Al-Baqarah :
256 dan Al-Kafirun: 5)
Prinsip Kelima :
Persamaan/Egalite (Al-Musawah). Prinsip persamaan yang
paling nyata terdapat dalam Konstitusi Madinah (al-Shahifah), yakni prinsip
Islam menentang perbudakan dan penghisapan darah manusia atas manusia. Prinsip
persamaan ini merupakan bagian penting dalam pembinaan dan pengembangan hukum Islam
dalam menggerakkan dan mengontrol sosial, tapi bukan berarti tidak pula
mengenal stratifikasi sosial seperti komunis.
Prinsip Keenam : Saling
Membantu (At-Ta'awun). Prinsip ini memiliki
makna saling membantu antar sesama manusia yang diarahkan sesuai prinsip
tauhid, terutama dalam peningkatan kebaikan dan ketakwaan.
Prinsip Ketujuh :
Toleransi (At-Tasamuh). Prinsip toleransi yang
dikehendaki Islam adalah toleransi yang menjamin tidak terlanggarnya hak-hak
Islam dan ummatnya, tegasnya toleransi hanya dapat diterima apabila tidak
merugikan agama Islam dan juga pihak lainnya.
Mantabs.....
BalasHapus