Oleh : Abdullah
a
|
l-Qur’an al-Karīm dan Hadits atau Sunnah Rasulullah adalah dua sumber primer dan asasi dalam Islam. Hal ini selain telah
menjadi konsensus (ijmā’) umat,
juga telah menjadi sebuah
keyakinan (i’tiqād) yang bulat dan mapan (taken for granted), tidak boleh
diganggu gugat.
Seorang yang
menjadikan al-Qur’an sebagai dalil, ia hanya
membutuhkan satu perangkat penelitian (nazar), yaitu penelitian
tentang hukum yang dikandung oleh nash al-Qur’an
(an-nazar fī dalālah al-nash ‘alā al-hukm), tidak membutuhkan penelitian terhadap musnad
atau transmisi periwayatannya, karena al-Qur’an
diriwayatkan secara mutawatir, lafazh maupun maknanya (lafzan
wa ma’nan).
Sedangkan bagi
orang yang ingin menjadikan hadits sebagai dalil, maka ia membutuhkan
dua perangkat penelitian sekaligus, yaitu:
Pertama;
penelitian tentang orisinilitas dan validitas hadits (an-nazar
fī tsubūtihā ‘an
al-Nabī );
apakah benar berasal dari Rasulullah , karena tidak
setiap hal yang disandarkan kepada beliau adalah benar.
Untuk itulah,
maka penelitian terhadap suatu hadits guna mengetahui
tingkat validitasnya sangat
signifikan, agar suatu hadits dapat diketahui apakah ia dapat dijadikan
hujjah atau tidak dalam menetapkan hukum. Ini
berarti mengadakan penelitian ulang terhadap hadits-hadits, terutama
dari segi sanadnya yang ditempuh dengan metode takhrīj.
Takhrīj pada prinsipnya
adalah upaya meneliti kembali atau mengeluarkan suatu hadits dari kitab-kitab hadits, untuk menganalisis keadaan
sanadnya, baik aspek kesinambungan tranmisi
perawi maupun tingkat kredibilitas para perawi. Dengan demikian akan diketahui
tingkat validitas hadits.
Begitulah model takhrīj
ini –sebagai suatu penelitian ulang– terhadap hadits-hadits yang sudah terhimpun dalam kitab-kitab hadits
memerlukan kesungguhan dan ketelitian.[2]
DEFINISI TAKHRĪJ
Menurut bahasa atau etimologi, takhrīj
berasal dari akar kata kharraja-yukharriju-takhrījan yang memiliki beberapa makna, di antaranya berarti:
·
melatih (al-tadrīb),
·
mengajarkan (al-ta’līm),
·
menyimpulkan (al-istinbāt),
·
mengarahkan (al-taujīh),
·
memperlihatkan (al-izhār), dan
Sedangkan menurut para ahli hadits, secara umum terma takhrīj
setidaknya dipergunakan untuk tiga hal
berikut[4]:
·
Takhrīj adalah sinonim (murādif) dari
terma ikhrāj, berarti
menampakkan hadits kepada orang lain dengan menyebutkan tempat pengambilannya (ibrāz
al-hadīts li
al-nās bi dzikr makhrajihi),
yaitu sanad atau tranmisi para perawinya.
·
Takhrīj berarti mengeluarkan hadits dan meriwayatkannya dari kitab-kitab (ikhrāj
al-ahādīts min butūn al-kutub wa riwāyatuhā).
·
Takhrīj berarti dalālah, maksudnya menunjukkan sumber-sumber asli atau
primer hadits dan menyandarkan kepadanya (al-dalālah
‘alā mashādir
al-hadīts al-ashliyyah wa ‘azwuhu ilaihā), yaitu dengan menyebutkan penyusun yang pernah
meriwayatkannya.
Berdasarkan arti yang ketiga ini, takhrīj sebagai
salah satu disiplin ilmu hadits secara
istilah atau terminologis dapat didefinisikan sebagai:
(
عِلْمٌ بِأَنْ يُذْكَرَ مَصَادِرُ الْحَدِيْثِ اْلأَصْلِيَّةُ، إِمَّا بِحُكْمٍ
عَلَيْهِ أَوْ لاَ )
Ilmu yang menyebutkan sumber-sumber
sebuah hadits, baik disertai penetapan status hukum haditsnya maupun tidak.[5]
( اَلدَّلاَلَةُ عَلَى مَوْضِعِ الْحَدِيْثِ فِي
مَصَادِرِهِ اْلأَصْلِيَّةِ الَّتِي أَخْرَجَتْهُ بِسَنَدِهِ، ثُمَّ بَيَانُ
مَرْتَبَتِهِ عِنْدَ الْحَاجَةِ )
Menunjukkan tempat
atau letak hadits pada sumber-sumber primer yang mentakhrījnya beserta
sanadnya, kemudian menjelaskan martabat atau status hukumnya jika diperlukan.[7]
Bahkan ada pula yang
mendefinisikannya dengan ungkapan yang singkat sebagai:
( ذِكْرُ الْمُؤَلِّفِ
الْحَدِيْثَ بِإِسْنَادِهِ فِي كِتَابِهِ )
PENJELASAN
DEFINISI TAKHRĪJ
Berdasarkan definisi yang banyak dipakai dari takhrīj secara istilah atau terminologis, ada beberapa hal penting yang dapat
disimpulkan[9]:
·
“Menunjukkan tempat atau letak hadits...”, maksudnya menyebutkan kitab-kitab yang memuat hadits.
Di dalam kitab tersebut biasanya terdapat ungkapan semacam ( أَخْرَجَهُ الْبُخَارِيُّ فِيْ صَحِيْحِهِ ), bahwa hadits tersebut
ditakhrīj (dikeluarkan) oleh al-Bukhārī dalam Shahīhnya.
·
“...pada
sumber-sumber primernya...”, maksudnya
kitab-kitab sebagai berikut:
1.
Kitab-kitab sunnah yang dihimpun
penyusunnya setelah menerima langsung dari guru-gurunya berikut sanad-sanadnya yang bersambung hingga sampai
kepada Nabi .
Seperti kitab-kitab induk hadits yang
enam (al-kutub al-sittah), Muwatta’ Mālik, Musnad Ahmad, Mustadrak al-Hākim,
Mushannaf ‘Abdur Razzāq,
dan lainnya.
2.
Kitab-kitab sunnah
pendamping (kutub al-sunnah al-tābi‘ah)
bagi
kitab-kitab primer tersebut di atas.
Seperti kitab yang menghimpun sejumlah kitab induk tersebut
di atas, misalnya
kitab al-Jam’ baina al-Shahīhain karya al-Humaidī , atau kitab
yang menghimpun hadits-hadits yang disebut
awal matannya saja (al-atrāf), misalnya kitab Tuhfah al-Asyrāf
bi Ma’rifah al-Atrāf karya al-Mizzī
,atau kitab ringkasan dari sejumlah kitab sunnah, seperti kitab Tahdzīb
Sunan Abī Dāwud
karya al-Mundzirī .
3.
Kitab-kitab yang berhubungan dengan berbagai displin ilmu lain seperti
tafsir, fiqih dan sejarah, yang diperkuat oleh hadits-hadits.
Dengan syarat, penyusunnya meriwayatkannya dengan
sanad-sanadnya secara mandiri
atau independen. Maksudnya, ia tidak
mengambilnya dari kitab-kitab lain yang telah disusun sebelumnya. Misalnya Tafsīr al-Tabarī dan sejarah (Tārīkh)nya, dan kitab al-Umm
karya al-Syāfi’ī .
Kitab-kitab
ini tidak dikhususkan oleh penyusunnya untuk
menghimpun teks-teks sunnah. Mereka
menyusunnya berkaitan dengan disiplin ilmu lain, tetapi mereka memperkuat hukum-hukum ataupun hal lainnya dengan
hadits-hadits yang mereka riwayatkan dari guru-guru mereka dengan sanad-sanadnya, dan tidak mengambilnya
dari kitab-kitab lain yang sudah lebih dulu ada.
Adapun
kitab-kitab yang menghimpun hadits-hadits bukan dengan menerima langsung dari guru-guru, tetapi dari kitab-kitab yang sudah ada; menurut terminologis disiplin ilmu
takhrīj, maka kitab-kitab semacam ini tidak dianggap sebagai sumber
primer.
Contohnya
seperti kitab Bulūgh al-Marām min Adillah
al-Ahkām karya Ibnu Hajar
dan Riyād
al-Shālihīn karya al-Nawawī . Meskipun demikian, kitab-kitab semacam ini cukup membantu dan bermanfaat.
·
“…menjelaskan martabat atau statusnya
jika diperlukan”,
maksudnya menjelaskan tingkatan
suatu hadits; shahih, dha’if dan sebagainya jika diperlukan.
Menjelaskan martabat dan status hukum suatu hadits bukan
hal pokok yang harus ada dalam
takhrīj, karena hanya sebagai pelengkap, dibutuhkan ketika diperlukan.
Oleh karena itu, bila tidak ada alasan, misalnya hadits terdapat
dalam al-Shahīhain,
atau salah satu dari keduanya, atau terdapat
dalam kitab yang penyusunnya hanya mengumpulkan hadits shahih saja, maka
penjelasan tentang status hukum hadits tidak diperlukan lagi.[10]
URGENSI
DAN KEBUTUHAN TERHADAP TAKHRĪJ[11]
Tidak diragukan lagi
bahwa mengetahui takhrīj sangat penting bagi orang yang menggeluti ilmu-ilmu
syar’i, dengan mempelajari kaidah-kaidah dan metode-metodenya, agar ia mengetahui
letak suatu hadits pada sumber-sumbernya yang primer.
Kebutuhan terhadap takhrīj sangat besar sekali,
yaitu agar pencari ilmu dapat memperkuat
ilmunya dengan hadits, namun tidak
sekedar meriwayatkan, namun ia pun mengetahui para ulama yang meriwayatkan
hadits dalam kitabnya secara musnad (bersambung sanadnya).
Oleh karena itu, ilmu takhrīj sangat dibutuhkan oleh berbagai
kalangan, khususnya orang yang menggeluti ilmu-ilmu syar’i dan disiplin ilmu
lain yang terkait dengan ilmu syar’i tersebut.
FAEDAH
TAKHRĪJ
Takhrīj memiliki manfaat dan
faedah
yang sangat besar, terutama bagi mereka yang berkecimpung dalam
hadits dan ilmu-ilmu hadits. Karena
dengan perantaraannya seorang dapat mengetahui
salah satu sumber hadits primer yang disusun oleh para tokoh atau imam hadits.[12]
Sebagian ulama
bahkan ada yang menghitung faedah takhrīj hingga mendekati dua
puluhan faedah. Di antara faedahnya yang paling penting secara ringkas adalah[13]:
1.
Mengetahui kualitas
hadits; shahih atau dha’if.
2. Meyakini keshahihan hadits, karena
boleh jadi berdasarkan satu jalan sebuah hadits dinilai
shahih, namun berdasarkan jalan yang lain ternyata dha’if.
Hal ini dapat
dilakukan dengan menghimpun berbagai jalan dari sebuah
hadits melalui kajian takhrīj , hingga dapat diketahui kualitas keshahihannya
berdasarkan semua jalannya.
3. Dengan menelaah berbagai jalan dari
sebuah hadits melalui kajian takhrīj, karena boleh
jadi sebuah hadits yang tadinya dihukumi sebagai hadits mudallas yang dianggap sebagai hadits dha’if, akhirnya
diketahui sebagai hadits yang ternyata ia mendengarnya
langsung dari guru atau perawinya.
4. Seorang perawi terkadang dalam
hidupnya mengalami dua fase kehidupan (halāh al-ikhtilāt); fase saat
riwayatnya dinilai shahih dan fase dimana riwayatnya malah dianggap dha’if, sehingga mengalami perubahan dan
pergeseran penilaian.
SEJARAH
PERKEMBANGAN TAKHRĪJ DAN ILMU TAKHRĪJ
Dahulu para ulama dan
pengkaji hadits belum memerlukan pengetahuan hadits, baik tentang kaidah maupun asal-usulnya
yang kini diistilahkan sebagai ushūl al-takhrīj; karena mendalamnya
pengkajian mereka terhadap sumber-sumber sunnah. Kontak mereka dengan sumber-sumber
primer hadits pun amat kuat. Ketika mereka memerlukan kesaksian (penguatan)
suatu hadits, dengan segera mereka ingat
letaknya pada kitab-kitab sunnah, bahkan mereka hafal hingga jilidnya. Oleh karena itu, mudah bagi mereka
memanfaatkan dan menyandarkan kepadanya dalam mentakhrīj hadits.
Hal ini berlangsung beberapa abad hingga terbatasnya waktu
bagi banyak ulama dan pengkaji hadits untuk menelaah kitab-kitab sunnah
dan sumber-sumbernya yang primer;
ketika itulah mereka mengalami kesulitan untuk mengetahui letak hadits yang
dijadikan penguat oleh para penyusun
kitab ilmu-ilmu syar’i dan ilmu-ilmu lainnya, seperti fiqih, tafsir dan
sejarah. Lantas sebagian ulama (hadits) bangkit dan berusaha mengatasinya. Mereka mulai mentakhrīj hadits-hadits yang ada pada sebagian kitab
bukan hadits dan menyandarkan
hadits-hadits tersebut ke sumbernya dari kitab-kitab sunnah yang primer disertai penyebutan
metode-metodenya. Mereka kemudian
dapat menyatakan bahwa hadits-hadits
di sebagian kitab tersebut atau seluruhnya shahih atau dha’if, berdasarkan ketentuan yang berlaku. Akhirnya, muncullah apa yang
disebut dengan kitab-kitab takhrīj (kutub al-takhrīj).
Ulama pertama yang dinilai dan dianggap sebagai pentakhrīj
adalah al-Khatīb al-Baghdādī (w. 463 H.). Adapun kitab takhrīj pertama
yang paling terkenal adalah Takhrīj al-Fawā’id
al-Muntakhabah al-Shihāh wa al-Gharā’ib karya al-Syarīf Abī al-Qāsim al-Husainī dan karya Abī
al-Qāsim al-Maharwānī , dimana keduanya masih berbentuk manuskrip. Yang lainnya adalah
kitab Takhrīj Ahādīts al-Muhadzdzab karya Muhammad bin Mūsā
al-Hāzimi al-Syāfi’ī (w. 584 H.).
Dr. ‘Umar Sulaimān al-Asyqar mencatat bahwa pada fase kemunduran
dan stagnan (marhalah al-jumūd wa al-taqlīd),
sekelompok ulama mulai memberikan perhatian dalam pentakhrījan
dan pentahqīqan hadits-hadits yang ada dalam kitab-kitab fiqih terkenal. Hal ini dikarenakan kebanyakan fuqaha’ dalam kitab-kitab mereka mengemukakann hadits-hadits yang masih bercampur, shahih, dha’if dan bahkan
yang palsu (maudhū’), karena ketidaktahuan tentang ilmu hadits dan ketidakmampuan dalam menjelaskan hadits yang shahih dari yang dha’if. Di antara kitab fiqih pertama yang ditakhrīj adalah kitab al-Hidāyah
dalam fiqih Hanafi, kitab
tersebut disusun oleh ‘Ali
bin Abī Bakar ‘Abdil
Jalīl al-Farghānī al-Marīghīnānī (w. 593 H.), kemudian hadits-haditsnya ditakhrīj
oleh al-Hāfiz bin Yūsuf bin Muhammad
bin Ayyūb al-Hanafi al-Zaila’ī (w. 762 H.), yang menamakan
kitabnya dengan Nashb al-Rāyah fī Takhrīj Ahādīts
al-Hidāyah.[15]
Sedangkan ketika takhrīj telah menjadi sebuah
disiplin ilmu yang kemudian dikenal
sebagai ‘ilm al-takhrīj, Dr. Sa’ad bin ‘Abdillah Ālu Humayyid berpendapat bahwa kitab pertama yang memaparkan tentang metodologi takhrīj dan hal lain yang terkait dengannya adalah kitab Ushūl al-Takhrīj
wa Dirāsah al-Asānīd karya Dr. Mahmūd al-Tahhān, kemudian diikuti oleh kitab Kasyf al-Litsām ‘an Turuq Takhrīj Hadīts
al-Nabī ‘alaihi al-Shalāh wa al-Salām karya Dr. ‘Abdul Muhdī bin ‘Abdil Hādī.[16]
Pada dasarnya, ilmu takhrīj merupakan ilmu yang
menjadi kelanjutan dari hasil kerja keras dan usaha gigih para ulama dalam
mengkaji ilmu hadits, baik secara riwāyah maupun dirāyah,
khususnya ilmu mushthalah al-hadīts. Demikian pula hubungan ilmu takhrīj dengan disiplin
ilmu-ilmu syariat lainnya, khususnya tafsir,
fiqih, aqidah dan hadits, karena ilmu-ilmu tersebut pasti terkait erat dengan hadits-hadits Rasulullah yang menjadi sumber primernya.[17]
KITAB-KITAB
TAKHRĪJ
Setelah
masa perkembangan sebagaimana tersebut di atas, kemudian para ulama banyak mentakhrīj hadits-hadits yang terdapat
dalam berbagai kitab dan dalam berbagai disiplin ilmu. Di antaranya[18]:
1.
Dalam aqidah dan tauhid:
· كِتَابُ فَرَائِدِ الْقَلاَئِدِ فِي تَخْرِيْجِ
أَحَادِيْثِ شَرْحِ الْعَقَائِدِ النَّسَفِيَّةِ لِمُلاَ عَلِيِّ الْقَارِي.
· تَخْرِيْجُ أَحَادِيْثِ شَرْحِ الْمَوَاقِفِ
لِلسُّيُوْطِيِّ.
· تَخْرِيْجُ أَحَادِيْثِ شَرْحِ الْعَقِيْدَةِ
الطَّحَاوِيَّةِ ِللأَلْبَانِيِّ.
2.
Dalam tafsir:
· تَخْرِيْجُ أَحَادِيْثِ تَفْسِيْرِ الْكَشَّافِ
لِلْحَافِظِ جَمَالِ الدِّيْنِ الزَّيْلَعِيِّ.
· اَلْفَتْحُ السَّمَاوِيُّ بِتَخْرِيْجِ
أَحَادِيْثِ تَفْسِيْر الْقَاضِي الْبَيْضَاوِيِّ لِزَيْنِ الدِّيْنِ عَبْدِ
الرَّؤُوْفِ الْمُنَاوِيِّ.
· تَخْرِيْجُ أَحَادِيْثِ تَفْسِيْرِ أَحْكَامِ
الْقُرْآنِ ِلابْنِ الْعَرَبِيِّ لِمُحُمَّدِ مُصْطَفَى بَلْقَاتٍ.
3.
Dalam hadits:
· نَتَائِجُ اْلأَفْكَارِ فِي تَخْرِيْجِ
أَحَادِيْثِ اْلأَذْكَارِ ِِلابْنِ حَجَرٍ الْعَسْقَلاَنِيِّ.
· هِدَايَةُ الرُّوَاةِ إِلَى تَخْرِيْجِ
أَحَادِيْثِ الْمَصَابِيْحِ وَالْمِشْكَاة ِِلابْنِ حَجَرٍ الْعَسْقَلاَنِيِّ.
· تَخْرِيْجُ تَقْرِيْبِ اْلأَسَانِيْدِ لِلْحَافِظِ
وَلِيِّ الدِّيْنِ زُرْعَةَ الْعِرَاقِيِّ.
4.
Dalam ilmu ushul:
· تَخْرِيْجُ أَحَادِيْثِ الْمُخْتَصَرِ الْكَبِيْرِ
ِِِِِِِِلابْنِ حَجَرٍ الْعَسْقَلاَنِيِّ.
· تَخْرِيْجُ أَحَادِيْثِ اللُّمَعِ فِي أُصُوْلِ
الْفِقْهِ لِعَبْدِ اللهِ الصِّدِّيْقِ الْغُمَارِيِّ.
· تَخْرِيْجُ أَحَادِيْثِ الْمُسْتَصْفَى مِنْ
عِلْمِ اْلأُصُوْلِ لِبَشِيْرِ صُبْحِيْ بَشِيْرٍ.
a. Fiqih Hanafi:
· نَصْبُ الرَّايَةِ ِلأَحَادِيْثِ الْهِدَايَةِ لِعَبْدِ
اللهِ بْنِ يُوْسُفَ الزَّيْلَعِيِّ.
· اَلدِّرَايَةُ فِي تَخْرِيْجِ أَحَادِيْثِ
الْهِدَايَةِ ِِلابْنِ حَجَرٍ الْعَسْقَلاَنِيِّ.
b. Maliki:
· الْهِدَايَةُ فِي تَخْرِيْجِ أَحَادِيْثِ
الْبِدَايَةِ ِلأَحْمَدَ بْنِ الصِّدِّيْقِ الْغُمَارِيِّ.
· طَرِيْقُ الرُّشْدِ فِي تَخْرِيْجِ أَحَادِيْثِ
بِدَايَةِ ابْنِ رُشْدٍ لِعَبْدِ اللَّطِيْفِ بْنِ إِبْرَاهِيْمَ آلِ عَبْدِ
اللَّطِيْفِ.
c. Fiqih Syafi’i:
· تَخْرِيْجُ أَحَادِيْثِ الْمُهَذَّبِ لِمُحَمَّدِ
بْنِ مُوْسَى الْحَازِمِيِّ.
· اَلتَّلْخِيْصُ الْحَبِيْرُ فِي تَخْرِيْجِ شَرْحِ
الْوَجِيْزِ الْكَبِيْرِ ِِلابْنِ حَجَرٍ الْعَسْقَلاَنِيِّ.
d. Fiqih Hanbali:
· إِرْوَاءُ الْغَلِيْلِ فِي تَخْرِيْجِ أَحَادِيْثِ
مَنَارِ السَّبِيْل ِللأَلْبَانِيِّ.
· اَلتَّحْقِيْقُ فِي أَحَادِيْثِ التَّعْلِيْقِ فِي
فِقْهِ الْحَنَابِلَةِ ِلابْنِ الْجَوْزِيِّ.
6.
Dalam akhlak:
· إِخْبَارُ اْلأَحْيَاءِ بِأَخْبَارِ اْلإِحْيَاءِ
ِللْعِرَاقِيِّ.
· اَلْمُغْنِي عَنْ حَمْلِ اْلأَسْفَارِ فِي اْلأَسْفَارِ
فِي تَخْرِيْجِ مَا فِي اْلإِحْيَاءِ مِنْ أَخْبَارٍ ِللْعِرَاقِيِّ.
· اَلنَّفِيْسُ فِي تَخْرِيْجِ أَحَادِيْثِ
التَّلْبِيْسِ لِيَحْيَ بْنِ خَالِدِ تَوْفِيْقٍ.
·
Kajian Hadits Kitab Durratun Nashihin karya Dr. Ahmad Lutfi Fathullah,
M.A. (Disertasi di Universitas Kebangsaan Malaysia).
·
Hadits-hadits
Lemah dan Palsu dalam Kitab Durratun Nashihin (Keutamaan Bulan Rajab, Sya’ban dan Ramadhan) karya Dr. Ahmad
Lutfi Fathullah, M.A. (Jakarta: Darus Sunnah).
·
Hadits-hadits Palsu Seputar Ramadhan
karya Prof. Dr. K.H. Ali Mustafa Yaqub, M.A.
(Jakarta: Pustaka Firdaus).
7.
Dalam bahasa dan nahwu:
· فَالِقُ اْلإِصْبَاحِ فِي تَخْرِيْجِ أَحَادِيْثِ
الصِّحَاحِ لِلسُّيُوْطِيِّ.
· تَخْرِيْجُ اْلأَحَادِيْثِ وَاْلآثَارِ الَّتِي
وَرَدَتْ فِي شَرْحِ الْكَافِيَةِ فِي النَّحْوِ لِعَبْدِ الْقَادِرِ
الْبَغْدَادِيِّ.
8.
Dalam disiplin ilmu lain:
· تَخْرِيْجُ اْلأَحَادِيْثِ الوَارِدَةِ فِي
كِتَابِ اْلأَمْوَالِ لِعَبْدِ الصَّمَدِ بَكْرِ عَابِدٍ.
· تَخْرِيْجُ أَحَادِيْثِ مُشْكِلَةِ الْفَقْرِ
وَكَيْفَ عَالَجَهَا اْلإِسْلاَمُ ِللأَلْبَانِيِّ.
· تَخْرِيْجُ أَحَادِيْثِ فَضَائِلِ الشَّامِ
ِللأَلْبَانِيِّ.
METODOLOGI
TAKHRĪJ
Berdasarkan kajian teoritis yang ditelaah
dan pengalaman praktis yang dialami langsung, Dr. Mahmūd al-Tahhān menyimpulkan bahwa
metode-metode takhrīj hadits (turuq
takhrīj al-hadīts) yang mungkin berguna dan membantu para peminat hadits
dalam mentakhrīj hadits memiliki lima
metode[20],
yang kemudian oleh Dr. ‘Imād ‘Alī Jum’ah ditambahkan
dengan satu metode mutakhir[21] sehingga
berjumlah enam metode.
Keenam metode tersebut adalah:
( اَلتَّخْرِيْجُ
عَنْ طَرِيْقِ مَعْرِفَةِ رَاوِي الْحَدِيْثِ مِنَ الصَّحَابَةِ )
Metode ini digunakan ketika nama sahabat disebutkan dalam
hadits yang hendak ditakhrīj.
Oleh karena itu, jika nama sahabat tidak
disebutkan dalam hadits, dan tidak mungkin untuk diketahui, maka metode
ini tidak dapat digunakan. Jika nama sahabat
disebut pada hadits, atau kita
mengetahuinya dengan jalan tertentu, lalu kita mulai menerapkan langkah-langkah
mentakhrījnya, maka kita memerlukan tiga macam kitab pembantu takhrīj,
yaitu:
1. Kitab-kitab musnad
(al-masānīd), misal kitab:
· مُسْنَدُ أَحْمَدَ بْنِ حَنْبَلٍ.
· مُسْنَدُ الْحُمَيْدِيِّ.
2.
Kitab-kitab ensiklopedi (al-ma’ājim), misal kitab:
· اَلْمُعْجَمُ الْكَبِيْرُ لِلطَّبْرَانِيِّ.
· مُعْجَمُ الصَّحَابَةِ ِلأَبِي يَعْلَى
الْمُوْصِلِيِّ.
3.
Kitab-kitab al-atrāf, misal kitab:
· تُحْفَةُ اْلأَشْرَافِ بِمَعْرِفَةِ اْلأَطْرَافِ
لِلْمِزِّيِّ.
· إِتْحَافُ الْمَهَرَةِ بِأَطْرَافِ الْعَشَرَةِ
ِلابْنِ حَجَرٍ الْعَسْقَلاَنِيِّ.
( اَلتَّخْرِيْجُ
عَنْ طَرِيْقِ مَعْرِفَةِ أَوَّلِ لَفْظٍ مِنْ مَتْنِ الْحَدِيْثِ )
Metode ini
digunakan ketika kita mengetahui dengan pasti permulaan
lafadz dari matan hadits, karena tanpa hal ini kita akan kehilangan banyak
waktu.
Untuk
menggunakan metode ini kita memerlukan tiga jenis kitab penunjang, yaitu:
1.
Kitab-kitab yang khusus memuat
hadits-hadits yang terkenal dan beredar luas dari mulut ke mulut, misal kitab:
· اَلْمَقَاصِدُ الْحَسَنَةُ لِلسَّخَاوِيِّ.
· كَشْفُ الْخَفَاءِ وَمُزِيْلُ اْلإِلْبَاسِ
لِلْعَجْلُوْنِيِّ.
2.
Kitab-kitab
yang memuat hadits-hadits yang tersusun berdasar urutan huruf mu’jam
(ensiklopedi), misal kitab:
· اَلْجَامِعُ الصَّغِيْرُ مِنْ حَدِيْثِ
الْبَشِيْرِ النَّذِيْرِ لِلسُّيُوْطِيِّ.
3.
Kitab-kitab indeks yang disusun para
ulama untuk kitab-kitab tertentu, misal kitab:
· مِفْتَاحُ الصَّحِيْحَيْنِ لِلتَّوْقَادِيِّ.
· مِفْتَاحُ التَّرْتِيْبِ ِلأَحَادِيْثِ تَارِيْخِ
الْخَطِيْبِ لِلسَّيِّدِ أَحْمَدَ الْغُمَارِيِّ.
· اَلْبُغْيَةُ فِي تَرْتِيْبِ أَحَادِيْثِ الْحِلْيَةِ
لِلسَّيِّدِ عَبْدِ الْعَزِيْزِ الْغُمَارِيِّ.
? METODE KETIGA: Takhrīj dengan cara mengemukakan
kata-kata yang jarang digunakan dalam suatu bagian matan hadits. [24]
(
اَلتَّخْرِيْجُ عَنْ طَرِيْقِ مَعْرِفَةِ كَلِمَةٍ يَقِلُّ دَوْرَانُهَا عَلَى
اْلأَلْسِنَةِ مِنْ أَيِّ جُزْءٍ مِنْ مَتْنِ الْحَدِيْثِ )
Metode ini
digunakan manakala kita mengetahui satu lafadz atau kata dalam hadits,
walaupun tidak terkenal atau jarang diingat.
Dalam
metode ini diperlukan kitab penunjang, misalnya:
· اَلْمُعْجَمُ الْمُفَهْرَسُ
ِلأَلْفَاظِ الْحَدِيْثِ النَّبَوِيِّ لِلَفِيْفٍ مِنِ الْمُسْتَشْرِقِيْنَ.
· فِهْرِسُ أَلْفَاظِ جَامِعِ التِّرْمِذِيِّ عَلَى
طَرِيْقِ اَلْمُعْجَمِ الْمُفَهْرَسِ ِلأَلْفَاظِ الْحَدِيْثِ النَّبَوِيِّ للبيك.
(
اَلتَّخْرِيْجُ عَنْ طَرِيْقِ مَعْرِفَةِ مَوْضُوْعِ الْحَدِيْثِ )
Metode ini digunakan
oleh orang yang memiliki ketajaman ilmu (dzauq
‘ilmī) yang
memungkinkannya mengetahui topik hadits,
atau dapat menentukan salah satu topik jika hadits tersebut mempunyai banyak
topok kajian, atau oleh orang yang banyak mengkaji kitab-kitab hadits. Tidak semua orang mampu menentukan topik hadits, terlebih pada sebagian hadits yang
topiknya tidak jelas bagi orang biasa.
Dalam mentakhrīj hadits dengan menggunakan metode ini diperlukan
kitab-kitab hadits penunjang yang disusun berdasarkan bab-bab dan topik-topik tertentu. Kitab jenis ini banyak
sekali, di antaranya:
1. Kitab-kitab yang bab-bab dan
topik-topiknya mencakup semua masalah agama, misal kitab:
· اَلْجَوَامِعُ، اَلْمُسْتَخْرَجَاتُ
وَالْمُسْتَدْرَكَاتُ عَلَى الْجَوَامِعِ، اَلْمَجَامِيْعُ، وَالزَّوَائِدُ.
· مِفْتَاحُ كُنُوْزِ السُّنَّةِ لِلْمُسْتَشْرِقِ
الْهُوْلَنْدِيِّ الدُّكْتُوْرِ أَرْنُدْجَان وِنْسِيْك.
2. Kitab-kitab yang bab-bab dan
topik-topiknya membahas banyak masalah agama, misal kitab:
· اَلسُّنُنُ، اُلْمُصَنَّفَاتُ، اَلْمُوَطَّآتُ.
· اَلْمُسْتَخْرَجَاتُ عَلَى اَلسُّنُنِ.
3. Kitab-kitab yang bab-bab dan topik-topiknya mencakup masalah agama tertentu,
misal kitab:
· َاْلأَجْزَاءُ.
· اَلتَّرْغِيْبُ وَالتَّرْهِيْبُ.
· كُتُبُ التَّخْرِيْجِ.
(
اَلتَّخْرِيْجُ عَنْ طَرِيْقِ النَّظَرِ فِى حَالِ الْحَدِيْثِ مَتْنًا وَسَنَدًا
)
Maksud metode ini adalah memperhatikan dengan seksama keadaan hadits dan sifat-sifatnya yang terdapat pada matan hadits atau sanadnya. Lalu mencari sumber takhrīj (makhraj)
hadits dengan jalan mengetahui keadaan atau sifatnya
pada kitab-kitab yang mengklasifikasi semua hadits yang terdapat sifat tersebuat,
baik pada matan maupun sanadnya. Contohnya:
- Pada matan.
Jika pada matan hadits terdapat tanda-tanda hadits palsu (amārāt
al-wadh’), seperti segi
kerancuan lafazh, rusaknya arti, bertentangan dengan nash al-Qur’an atau karena sebab
lainnya. Cara yang paling singkat untuk mengetahui
makhrajnya adalah melihat
kitab-kitab al-maudhū’āt, maka akan ditemukan takrījnya, komentar
atasnya dan juga pemalsunya sekaligus.
Di
antara kitab tersebut adalah:
· اَلْمَصْنُوْعُ فِي مَعْرِفَةِ الْحَدِيْثِ
الْمَوْضُوْعِ لِعَلِيِّ الْقَارِيِّ الْهَرْوِيِّ.
·
تَنْزِيْهُ
الشَّرِيْعَةِ الْمَرْفُوْعَةِ عَنِ اْلأَحَادِيْثِ الشَّنِيْعَةِ الْمَوْضُوْعَةِ
ِلأَبِي الْحَسَنِ عَلِيِّ بْنِ مُحَمَّدِ بْنِ عِرَاقٍ الْكِنَانِيِّ.
Jika
hadits yang dicari adalah hadits qudsi, maka makhraj tercepat adalah
kitab-kitab yang khusus menghimpun hadits-hadits qudsi, di antaranya:
·
مِشْكَاةُ
اْلأَنْوَارِ فِي مَا رُوِيَ عَنِ اللهِ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى مِنَ اْلأَخْبَارِ
لِمُحْيِ الدِّيْنِ مُحَمَّدِ بْنِ عَلِيِّ بْنِ عَرَبِيِّ الْحَاتِمِيِّ
اْلأَنْدَلُسِيِّ.
·
َاْلاِتْحَافَاتُ
السَّنِيَّةُ بِاْلأَحَادِيْثِ الْقُدْسِيَّةِ لِعَبْدِ الرَّؤُوْفِ
الْمُنَاوِيِّ.
- Pada sanad.
Jika
pada sanad hadits terdapat salah satu isyarat berikut:
a.
Jika dalam sanad terdapat bapak yang meriwayatkan hadits dari anaknya,
maka sumber tercepat untuk
mentakhrījnya adalah kitab-kitab yang khusus menghimpun
hadits-hadits yang diriwayatkan bapak dari anak-anaknya, seperti kitab:
·
رِوَايَةُ الاَبَآءِ عَنِ الأًبْنَاءِ ِلأَبِي بَكْرٍ أَحْمَدَ بْنِ عَلِيِّ
الْخَطِيْبِ الْبَغْدَادِيِّ.
b.
Jika sanadnya berangkai, maka diperlukan kitab-kitab yang menghimpun
hadits-hadits yang berangkai, seperti kitab:
·
اَلْمُسَلْسَلاَتُ الْكُبْرٰي لِلسُّيُوْطِيِّ.
·
اَلْمَنَاهِلُ السَّلْسَلَةُ فِي اْلأَحَادِيْثِ الْمُسَلْسَلَةِ لِمُحَمَّدِ
بْنِ عَبْدِ الْبَاقِي اْلأَيُّوْبِيِّ.
c. Jika sanadnya mursal, maka diperlukan kitab-kitab al-marāsīl,
seperti kitab:
·
اَلْمَرَاسِيْلُ
ِلأَبِي دَاوُدَ السِّجِسْتَانِي.
·
اَلْمَرَاسِيْلُ
ِلأَبِي حَاتِمٍ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ مُحَمَّدٍ الْحَنْظَلِيِّ الرَّازِيِّ.
d.
Jika sanadnya
terdapat perawi dha’if, maka mencarinya
dari kitabkitab al-dhu’afā’, seperti kitab:
·
مِيْزَانُ
اْلاِعْتِدَالِ لِلذَّهَبِيِّ.
- Pada matan dan sanad sekaligus.
Ada sifat dan keadaan yang terkadang terjadi pada matan, dan terkadang
pula pada sanad. Seperti
karena cacat (‘illat) dan kesamaran
(ibhām). Jika dijumpai hadits seperti
ini, maka hendaknya dicari pada kitab-kitab
yang dikhususkan para ulama dalam mengkaji masalah tersebut. Di antara
kitab-kitab jenis ini adalah:
·
عِلَلُ الْحَدِيْثِ ِلأَبِي حَاتِمٍ الرَّازِيِّ.
·
َاْلأَسْمَاءُ
الْمُبْهَمَةُ فِي اْلأَنْبَاءِ الْمُحْكَمَةِ لِلْخَطِيْبِ الْبَغْدَادِيِّ.
·
اَلْمُسْتَفَادُ مِنْ مُبْهَمَاتِ الْمَتْنِ وَالاِسْنَادِ ِلأَبِي زُرْعَةَ أَحْمَدَ
بْنِ عَبْدِ الرَّحِيْمِ الْعِرَاقِيِّ.
(
اَلتَّخْرِيْجُ عَنْ طَرِيْقِ الْحَاسُوْب )
Metode ini dapat dipergunakan bila
tersedia sarana berikut:
1. Komputer yang sesuai.
2. Tersedianya program takhrīj hadits.
3. Mengetahui cara dan penggunaan program.
Contoh
program yang digunakan:
1. Program komputer umum, seperti:
· مَوْسُوْعَةُ الْحَدِيْثِ الشَّرِيْفِ، شِرْكَةُ
صَخْرٍ لِبَرَامِجِ الْحَاسِبِ اْلآلِي.
· اَلْمَوْسُوْعَةُ الذَّهَبِيَّةُ، مَرْكَزُ
التُّرَاثِ ِلأَبْحَاثِ الْحَاسِبِ اْلآلِي فِي اْلأُرْدُنِ.
· مَوْسُوْعَةُ مَكْتَبَةِ الْحَدِيْثِ الشَّرِيْفِ،
شِرْكَةُ الْعَرِيْسِ فِي لُبْنَانَ.
2. Program khusus, seperti:
a. Program dari Markaz Khidmah
al-Sunnah, dibawah pengawasan Universitas Islam Madinah.
b.
Program buatan Dr. Hammām Sa’īd
dari Yordania.
c.
Program dari Markaz
al-Sunnah wa al-Sīrah al-Nabawiyyah, dibawah pengawasan
Universitas Qatar.
Serta
masih banyak contoh program yang banyak tersebar di negeri Arab dan lainnya.
Berkaitan
dengan metode, ada beberapa hal berikut yang harus diperhatikan:
1.
Metode ini tidak sempurna karena memiliki beberapa kekurangan; seperti tidak ditemukannya penetapan status hukum
hadits, tidak diketahui mana hadits yang diterima atau ditolak, dan lainnya.
2.
Program yang dihasilkan dari metode ini tidak dianggap sebagai sumber primer hadits,
oleh karena itu untuk bidang akademisi tetap
harus menyandarkan kajian hadits kepada kitab-kitab yang merupakan
sumber-sumber primer hadits.
Demikianlah
pembahasan sekilas tentang metodologi takhrīj
hadits.
PENUTUP
Bila menemukan suatu hadits kemudian mencarinya melalui bantuan kamus atau ensiklopedi
hadits, maka hal tersebut belum memberikan informasi langsung tentang kualitas dari hadits yang bersangkutan. Apabila seseorang ingin
mengetahui lebih lanjut tentang kualitasnya,
maka dia harus mempelajari hadits dimaksud dalam berbagai kitab hadits lainnya,
khususnya kitab-kitab syarh al-hadīts, ma’ānī al-hadīts
dan rijāl al-hadīts.
Menurut ilmu hadits, kegiatan mencari hadits dengan cara menelusuri sampai berhasil menemukannya di kitab-kitab yang ditulis
periwayatnya langsung (mukharrij
al-hadīts) disebut
dengan kegiatan takhrīj al-hadīts.[28]
Takhrīj hadits sebagai sebuah penelitian ulang terhadap hadit-hadits, pada prinsipnya
merupakan asas dasar untuk menilai transmisi sebuah kabar berita (naql
al-khabar), dengan menerimanya secara
hati-hati kemudian menyaring kebenaran transmisinya. Hal ini merupakan indikator kecerdasan (kiyāsah), kejujuran (fatanah) dan kesempurnaan akal (kamāl al-‘aql) bagi seseorang.[29]
Bagi ulama hadits sebagai para
pembela sunnah yang berada di barisan terdepan dalam upaya melestarikan sunnah, penelitian atau kritik
sanad dan matan sunnah –melalui kajian takhrīj al-hadīts– merupakan
salah satu kegiatan penting yang harus mereka lakukan. Minimal ada empat
alasan yang melatarbelakangi pentingnya kegiatan itu yakni:
1. Sunnah merupakan salah satu sumber
ajaran Islam.
2. Tidaklah seluruh sunnah telah
tertulis resmi pada zaman Nabi .
3. Dalam sejarah,
telah terjadi kegiatan berbagai pemalsuan sunnah yang dilakukan oleh banyak pihak dengan berbagai tujuan; dan
4. Proses
penghimpunan sunnah secara resmi dan menyeluruh
telah memakan waktu yang panjang dan terjadi setelah lama Nabi wafat.[30]
Dari paparan makalah ini, dengan
jelas kita dapat menyimpulkan bahwa kegiatan dan kajian takhrīj al-hadīts benar-benar sangat dibutuhkan, sehingga diharapkan metodologi takhrīj dapat dikaji dengan baik dan bahkan menjadi sebuah kajian
yang tidak boleh terlewatkan begitu saja!
BIBLIOGRAFI
Ālū Humayyid, Sa’ad bin ‘Abdillah, 2000, Turuq Takhrīj al-Hadīts,
Riyadh: Dār ‘Ulūm al-Sunnah.
al-Asyqar, ‘Umar
Sulaimān, 1991, Tārīkh al-Fiqh al-Islāmī, Oman: Dār al-Nafā’is.
Bakkār, Muhammad Mahmūd, 1997, ‘Ilm Takhrīj al-Ahādīts
(Ushūluhu, Tarā’iquhu, Manāhijuhu), Riyadh: Dār Tayyibah.
Bāzamūl, Muhammad ‘Umar, 1995, al-‘Idhāfah: Dirāsāt Hadītsiyyah,
Riyadh: Dār al-Hijrah.
Darwīsy, ‘Ādil Muhammad Muhammad,
1998, Nazarāt fī al-Sunnah wa ‘Ulūm al-Hadīts, Jakarta:
tp.
Fathullah, Ahmad Lutfi, 2006, Hadits-hadits Lemah
dan Palsu Dalam Kitab Durratun Nashihin, Jakarta: Darus Sunnah Press.
Harahap, Syahrin, 2000, Metodologi Studi dan Penelitian Ilmu-ilmu
Ushuluddin, Jakarta: RajaGrafindo Persada.
Ismail, Syuhudi, 1999, Cara Praktis Mencari Hadits, Jakarta: Bulan
Bintang.
____________, 1995, Hadits Nabi Menurut Pembela, Pengingkar dan Pemalsunya, Jakarta: Gema Insani Press.
Jum‘ah, ‘Imād ‘Alī,
2004, Ushūl al-Takhrīj wa Dirāsah al-Asānīd al-Muyassarah, Riyadh: Dār
al-Muslim.
al-Qattān, Mannā’, 1992, Mabāhits fi ‘Ulūm al-Hadīts,
Kairo: Maktabah Wahbah.
al-Rāsikh, ‘Abd
al-Mannān, 2004, Mu’jam Mushtalah al-Ahādīts
al-Nabawiyyah, Beirut: Dār Ibn Hazm.
al-Shuwayyān, Ahmad bin ‘Abdir Rahmān, 2000, Nahwa
Manhajin Syar’iyyin li Talaqqī al-Akhbār wa Riwāyatihā, Riyadh:
Majallah al-Bayān.
al-Tahhān, Mahmūd, 1996, Ushūl al-Takhrīj wa
Dirāsah al-Asānīd, Riyadh: Maktabah al-Ma’ārif.
al-‘Utsaimīn, Muhammad bin Shālih, tt, Rasā’il fī al-Ushūl (Mushtalah al-Hadīts),
Iskandariyah: Dār al-Bashīrah.
al-Zahrānī, Mahammad Matr, 1412 H, Tadwīn al-Sunnah al-Nabawiyyah (Nasya’tuhu wa Tatawwuruhu), Thaif:
Maktabah al-Shadīq.
al-‘Abd al-Latīf, ‘Abd al-‘Azīz bin Muhammad bin Ibrāhīm,
2007, Dawābit al-Jarh wa al-Ta’dīl, Riyadh:
al-Ubaikān.
Bakkār, Muhammad Mahmūd, 1997, ‘Asbāb Radd al-Hadīts
wa Mā Yantaju ‘anhā min Anwā’, Riyadh: Dār Tayyibah.
____________, 1995, Kaedah Kesahihan
Sanad Hadits (Telaah Kritis dan Tinjauan dengan Pendekatan Ilmu Sejarah),
Jakarta: Bulan Bintang.
Suryadi, 2003, Metodologi Ilmu Rijalil Hadis, Yogyakarta: Madani Pustaka
Hikmah.
Yaqub, Ali Mustafa, 2004, Kritik Hadits, Jakarta: Pustaka Firdaus.
[1] Muhammad
bin Shālih al-‘Utsaimīn, Rasā’il fī al-Ushūl (Mushtalah al-Hadīts),
Iskandariyah: Dār al-Bashīrah, tt, hlm. 179.
[2] Syahrin
Harahap, Metodologi Studi dan Penelitian Ilmu-ilmu Ushuluddin,
Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2000, hlm. 27-28.
[3] Mahmūd al-Tahhān,
Ushūl al-Takhrīj wa Dirāsah al-Asānīd, Riyadh: Maktabah al-Ma’ārif, 1996, hlm.
7-8; Muhammad Mahmūd Bakkār, ‘Ilm Takhrīj al-Ahādīts
(Ushūluhu – Tarā’iquhu – Manāhijuhu), Riyadh: Dār Tayyibah,
1997, hlm. 10; dan ‘Imād ‘Alī Jum‘ah, Ushūl al-Takhrīj wa Dirāsah al-Asānīd
al-Muyassarah, Riyadh: Dār al-Muslim, 2004, hlm. 5.
[5] ‘Abd
al-Mannān al-Rāsikh, Mu’jam Mushtalah al-Ahādīts
al-Nabawiyyah, Beirut: Dār Ibn Hazm, 2004, hlm. 37.
[7] Lihat
pula: Jum‘ah, Ushūl al-Takhrīj, hlm. 6; Mannā’ al-Qattān, Mabāhits
fi ‘Ulūm al-Hadīts, Kairo: Maktabah Wahbah, 1992, hlm. 172; Sa’ad bin ‘Abdillah Ālū Humayyid,
Turuq Takhrīj al-Hadīts, Riyadh: Dār ‘Ulūm al-Sunnah,
2000, hlm. 7; dan ‘Ādil Muhammad Muhammad
Darwīsy, Nazarāt fī al-Sunnah wa
‘Ulūm al-Hadīts, Jakarta: tp, 1998, hlm. 266.
[15] ‘Umar Sulaimān al-Asyqar, Tārīkh
al-Fiqh al-Islāmī, Oman: Dār al-Nafā‘is, 1991, hlm. 126-127.
[17] Muhammad ‘Umar Bāzamūl, al-‘Idhāfah: Dirāsāt Hadītsiyyah,
Riyadh: Dār al-Hijrah, 1995, hlm. 278-280.
[29] Ahmad bin ‘Abdir Rahmān al-Shuwayyān, Nahwa Manhajin
Syar’iyyin li Talaqqī al-Akhbār wa Riwāyatihā, Riyadh: Majallah al-Bayān, 2000,
hlm. 42.
[30] Syuhudi Ismail, Hadits Nabi Menurut Pembela,
Pengingkar dan Pemalsunya, Jakarta: Gema Insani Press, 1995, hlm. 42-43.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Please Uktub Your Ro'yi Here...