Oleh : Ahmada ZAki Mubarak
Potret
Kehidupan Awal
Beliau
mempunyai nama lengkap Abu Ja'far Muhanmmad
Ibn Jarir Ibn Yazid Ibn Galib al-Thabari al-Amuli.2 Nama ini disepakati
oleh al-Khatib
al-Bagdadi[1]
(392-463/1002-1072), Ibn Katsir dan al-Zahabi.
Tanah
kelahirannya di kota
Amul, ibukota Tabaristan Iran ,[2]
sehingga nama paling belakangnya sering
disebutkan al-Amuli —penisbatan tanah kelahirannya— sebagaimana kelaziman dalam tradisi Arab, semisal al-Bukhari (dari Bukhara ), al-Bagdadi
(dari Bagdad ), dan sebagainya. Ia dilahirkan 223 H (838-839 M),[3]
sumber lain menyebutkan akhir 224 H atau awal 225 H (839-840),[4]
dan meninggal 311/923,[5]
dan informasi lain discbutkan pada 310.[6]
Al-Thabari hidup, tumbuh dan berkembang di lingkungan keluarga yang
memberikan cukup perhatian terhadap
masalah pendidikan terutama bidang keagamaan. Berbarengan dengan situasi Islam yang sedang mengalami kejayaan dan
kemajuannya di bidang pemikiran. Kondisi
sosial yang demikian itu secara psikologis turut berperan dalam membentuk kepribadian al-Thabari dan menumbuhkan
kecintaannya terhadap ilmu. Iklim kondusif
seperti itulah secara ilmiah telah mendorongnya untuk mencintai ilmu semenjak kecil.
Setelah
menempuh pendidikan di kota
kelahirannya, menghafal al-Qur'an dimulai-nya
sejak usia 7 tahun, melakukan pencatatan al-Hadis dimulainya sejak usia 9
tahun. Integritasnya tinggi dalam menuntut ilmu dan girah untuk
melakukan ibadah, dibuk-tikannya dengan melakukan
safari ilmiah ke berbagai negara untuk memperkaya pengetahuan dalam berbagai disiplin ilmu.
Karir Intelektualnya
Menelusuri
jejak kehidupan intelektual seseorang dalam wilayah akademik merupakan
aspek penting dalam kajian atau penelitian seorang tokoh sebelum melihat lebih jauh produk akademik yang dikontribusikan. Produk
paling konkret di bidang akademik adalah
karya ilmiah dalam bentuk tulisan buku yang merupakan representasi dari
atmosfir nalarnya.
Al-Thabari, secara kultural-akademik termasuk 'makhluk yang beruntung',
jika dilihat
setting sosial yang diwarnai oleh
kemajuan sivilisasi Islam dan berkembangnya
pemikiran ilmu-ilmu keislaman (Islamic
Thought) pada abad III hingga awal abad IV H. Tentu saja, sangat berpengaruh secara mental maupun
intelektualnya. Hampir-hampir sulit
kita terima, bahwa al-Thabari di usianya yang ketujuh telah mampu menghafalkan
al-Qur'an, schingga mengantarkan
menjadi Imam shalat pada usia 8 tahun. Hasil tempaan dan gemblengan
orang tua (terutama ayahnya) meninggalkan goresan intelektual yang kuat, hingga waktu yang lama.
Karir
pendidikan diawali dari kampung halamannya—Amul— tempat yang cukup kondusif
untuk membangun struktur fondamental awal pendidikan al-Thabari, ia diasuh oleh ayahnya sendiri, kemudian dikirim ke Rayy,
Basrah, Kufah, Mesir, Siria dan Mesir dalam
rangka " travelling in quest of knowledge" (ar-rihlah talab
aJ'iJm) dalam usia yang masih belia. Sehingga namanya bertambah populer di
kalangan masyarakat karena otoritas keilmuannya.[7]
Di Rayy ia berguru kepada Ibn Humayd, Abu Abdallah Muhammad bin Humayd al-Razi, disamping ia juga menimba ilmu
dari al-Musanna bin Ibrahim al-Ibili, khusus di bidang hadis.
Selanjutnya ia menuju Bagdad berekpetasi untuk studi kepada Ahmad bin Hanbal (164-241/7780-855), ternyata ia
telah wafat, kemudian scgera putar haluan menuju dua kota besar Selatan Bagdad,
yakni Basrah dan Kufah, sambil mampir ke Wasit karena satu jalur perjalanan
dalam rangka studi dan riset. Di Basrah ia berguru kepada Muhammad bin ' Abd
al-A'la al-Shan'ani (w. 245/859), Muhammad bin Musa al-Harasi (w. 248/862) dan
Abu al-As'as Ahnmad bin al-Miqdam (w. 253/867), disamping kepada Abu al-Jawza'
Ahmad bin Usman (w. 246/860). Khusus bidang tafsir ia berguru kepada seorang Basrah Humayd bin Mas'adah dan Bisr
bin Mu'az al-'Aqadi (w. akhir 245/859-860),
meski sebelumnya pemah banyak menyerap pengetahuan tafsir dari seorang Kufah Hannad bin al-Sari (w. 243/857).[8]
Setelah beberapa
waktu di dua kota tersebut, ia kembali ke Bagdad dan menetap untuk waktu yang lama, dan masih concern bidang
qira'ah, fiqh dengan bimbingan guru, seperti Ahmad bin Yusuf al-Sa'labi, al-Hasan ibn Muhammad al-Sabbah
al-Za'farani dan Abi Sa'id al-Astakhari.[9]
Belum puas dengan apa yang telah ia gapai, berlanjut dengan melakukan kunjungan (visiting) ke berbagai
kota untuk mendapatkan nilai tambah (added
value) baginya, terutama pendalaman gramatika, sastra
(Arab) dan qira'ah—Hamzah dan
Warasy— (yang masih populer di kalangan qurra 'hingga saat ini), yang telah
memberikan kontribusi kepadanya, tidak
saja dikenal di Baghdad, tetapi juga di Mesir, Syam, Fustat, dan Beirut. Dorongan kuat untuk menulis kitab
tafsir diberikan oleh salah seorang gurunya Sufyan ibn 'Uyainah dan Waki' ibn al-Jarah,[10]
disamping Syu'bah bin al-Hajjaj, Yazid bin Harun dan 'Abd ibn Hamid.[11]
Kota Bagdad,
menjadi domisili terakhir al-Thabari, sejumlah karya telah berhasil ia telorkan dan akhirnya ia wafat pada Senin, 27 Syawwal 310
H bertepatan dengan 17 Fcbruari 923M dalam
usia 85 tahun. Kematiannya disalati oleh masyarakat siang dan malam
hari hingga beberapa waktu setelah wafatnya.[12]
[1] Lihat al-Khatib al-Baghdadi, Tarikh
Baghdad (Beirut
: Dar l-Fikr, t.th), hlm.
[2] Sebuah kota di Iran, 12 km ada yang menyebutkan 20
km sebelah Selatan Laut Kaspia. daerah yang penduduknya
suka konflik (berperang), dan biasanya alat yang digunakan adalah Tabar
(kapak), sebagai senjata
tradisional untuk menghadapi musuh. Itulah sebabnya nama panggilan lebih
dikena) dengan sebutan
al-Tabari,yang diambilkan dari nama"kultural"-nya.
al-Tabari,yang diambilkan dari nama"kultural"-nya.
[3] Yaqut al-Hamawi, Mu'jamal-Udaba xviii, dikutip melalui Rasul
Ja'farian dalam jurnal al-Hikmah,
Syawwal Zulhijjah 1413/April-Juni 1993, 109 bandingkan dengan Bakar Isma'il, Ibn Jarir al-Tabari.., hlm. 12.
Syawwal Zulhijjah 1413/April-Juni 1993, 109 bandingkan dengan Bakar Isma'il, Ibn Jarir al-Tabari.., hlm. 12.
[4] Tampaknya para ahli sejarah
berbeda dalam menentukan tahun kelahirannya oleh karena ada sistem penanggalan
yang berbeda yang berlaku saat itu, bersifat tradisional dengan bersandar pada
peristiwa-peristiwa penting bukan angka. Lihat Muhammad Bakr Ismail, Ibn
Jarir…, hlm. 10. bandingkan Bandingkan Franz Rosenthal, The History of
al-Tabari , Vol. I (New York : State University of New york Press, 1989),
hlm. 11
[5] Mohammed Arkoun, Rethingking
Islam: Common Questions, Uncommon Answers, terj. Yudian W. Asmin Lathiful Khuluq (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 1996), hlm. 65
[6] Menurut catatan Muhammad Aly
al-Shabuny dalam PengantarStudy al-Qur'an Terj. Chudlori Umar dan Moh. Matsna HS. (Bandung: al-Ma'arif, 1984), hlm. 257.
Selengkapnya lihat Franz Rosenthal. The History…, hlm. 178.
[7] Rosenthal, The History…, hlm.
78
[8] Masih banyak nama-nama guru,
seperti Isma'il bin Musa al-Fazari (w. 245/859) di bidang qira'ah belajar kepada Sulaiman bin 'Abd al-Rahman bin
Hammad al-Talhi (w. 252/866), Abu Kurayb Muhammad bin al-'Ala, seorang
Kufah (w. 247 atau 248/861-862) dan bidang yang lain pun ditekuni, karena
al-Tabari disamping menekuni Hadis, Fiqh
(baca; Syafi'i), tafsir juga menekuni qira'ah (Qur'an reading) dan
sejarah, lihat Rosenthal, Ibid., 19
[9] Bakr Ismail, Ibn Jarir…, hlm.
25
[10] Subhi al-Salih, Mabahis fi
'Ulum al-Qur'an (Beirut : Dar
al-'Ilm lil al-Malayin, cet. VII, 1972), 290.
[11] Badruddin az-Zarkasyi, al-Burhan fi 'Ulum al-Qur'an, Tahqiq
Muhammad Abu al-Fadl Ibrahim Jld. II (Dar
al-lhya' al-Kutub al-'Arabiyah, I376H/I957M), hlm.159
[12] Rosenthal, The History…, hlm.
78
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Please Uktub Your Ro'yi Here...