Oleh : Al-Faqir Ilallah
Sebenarnya
upaya kearah yang modern telah dimulai oleh Umar, malah cikal bakalnya sudah
terlihat sejak zaman Rasulullah. Untuk operasi pasar, Umar telah melaksanakan
sendiri tatkala memerintahkan pegawai Baitul Mall untuk zakat,
jizya, Kharaj, ‘usyur dan lain-lain. Konsekwensinya pemerintah akan
menyerp dinar dan dirham ke dalam kas Negara (devisa) dan dapat digunakan untuk
pembiayaan fiscal.
Kebijakan
moneter Umar diantaranya seperti gagasan spektakulernya tentang pembuatan uang
dari kulit unta agar lebih efisien. Stabilitas nilai tukar emas dan perak
terhadap mata uang dianar dan dirham. Penetapan nilai dirham, Instrument
moneter, kontrol harga barang dipasar dan lain sebagainya. Mengenai pencetakan
uang dalam Islam terjadi perbedaan pendapat. Namun riwayat yang tebanyak dan
masyhur menjelaskan bahwa Malik bin Marwan-lah yang pertama mencetak dirham dan
dinar dalam Islam.
Sedangkan
dalam riwayat lain menyebutkan Umar yang pertam kali mencetak diraham pada
masanya. Tentang hal ini Al-maqrizi mengatakan, ketika Umar bin Khattab
menjabat sebagai khalifah dia menetapkan uang dalam kondisinya semula dan tidak
terjadi perubahan satupun pada masanya hingga tahun18 H. Dalam tahun ke-6
kekhalifahannya ia mencetak dirham ala ukiran Kisra dan dengan bentuk yang
serupa. Hanya saja ia menambahkan kata alhamdulillah dan dalam bagian yang
lain dengan kata rasulullah dan pada bagian yang
lain lagi dengan kata lailahillallah, sedangkan gambarnya
adalah gambar Kisra bukan gambarnya Umar.
Namun
dalam riwayat Al-Baihaqi diriwayatkan, ketika Umar melihat perbedaan antara
dirham bighali
dengan nilai delapan daniq, dan ada dirham thabary
senilai empat daniq, diraham yamani
dengan nilai satu daniq. Ketika ia melihat kerancuan
itu, kemudian ia menggabungkan dirham Islam yang nilainya enam dhraiq.
Dan masih banyak riwayat yang lain menerangkan bahwa Umar telah mencetak mata
uang Islam. Hal ini juga dapat dianalogikan bahwa Umar telah mencetak mata uang
Islam ketika ia melontarkan berkeinginan untuk mencetak uang dari kulit unta
agar lebih efisien, karena khawatir unta akan habis dikuliti maka niat itu
diurungkan. Ide ini juga menjadi dasar-dasar menegement moneter. Umar juga
mengambil tanah-tanah yang tidak digarap untuk dibagikan kepada yang lain untuk
digarap agar tanah itu membawa hasil.[1]
Selain
Baitul Mal Umar juga menggunakan hisbah sebagai pengontrol pasar. Umar sendir
sangat sering turun ke pasar untuk mengecek harga-harga barang agar tidak ada
kecurangan. Suatu ketika Umar pernah memarahi Habib bin Balta’ah yang menjual
kismis terlalu murah, maka Umar memerintahkan untuk menaikkan harga agar orang
lain pun dapat melakukan jual beli. Umar tidak pernah menahan kekayaan Negara,
semuanya didistribusikan kepada rakyat sehingga peredaran uang terjadi dalam
masyarakat. Umar mengawasi harga barang di pasar sehingga tidak terjadi
monopoli, oligapoli dan sebagainya. Kebijakan ini merupakan upaya pelepasan
uang kedalam masyarakat untuk ketersediaan modal kerja.[2]
Semangat
pengotrolan cadangan dalam kas Baitul Mall sudah mulai dieperhatikan pada masa
ini. Baitul Mall mungkin lebih cocok disebut Bank Sentral atau Bank BI dalam
kontek Indonesia. Baitul Mal bertugas untuk mengumpulkan, menyimpan dan
menyalurkan devisa Negara. Kekeyaan itu berasal dari berbagai sumber
diantaranya zakat, jizyah, kharaj, ‘usyur, khumus, fai,
rikaz, pinjaman dan sebagainya.[3]
Himbauan sebagai salah satu instrument moneter.
Instrument ini lazim digunakan Umar dalam mengatrol kesetabilan ekonomi Negara.
Umar mengawasi segala bentuk pembayaran keluar-masuk kas Negara. Umar sering
menegur para gubernur agar kutipan kharaj, jizyah, ‘usyur dilakukan
dengan benar. Umar tidak membenarkan penyiksaan atau penjara kepada orang yang
memang benar tidak sanggup membayar jizyah. Hukuman boleh dilaksanakan
apabila terjadi pengingkaran atau sengaja memperlambat pembayaran. Terhadap ini
Umar sangat keras.
Stiap
pendapatan berupa ganimah, rikaz, fai, ‘usyur sebagian dikirim ke pusat
(Madinah). Pengawasan moneter ala Umar ini sangat ketet sehingga tidak ada
penimbunan uang dan barang. Selain itu valuta asing dari Persia (dirham) dan
Romawi (dinar) dikenal oleh seluruh lapisan masyarakat Arab telah menjadi alat
pembayaran resmi. Sistem devisa bebas diterapkan tidak ada halangan sedikitpun
mengimpor dinar atau dirham. Lebih jauh Umar juga sudah mulai memperkenalkan transaksi
tidak tunai dengan mengguanakan cek dan promissory notes. Umar juga
menggunakan instrumen ini untuk mempercepat distribusi barang-barang yang baru
diimpor dari Mesir dan Madinah.[4]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Please Uktub Your Ro'yi Here...