Oleh : Mashudi
Umar
Dalam
Islam, zakat dibagi ke dalam dua macam, yaitu zakat jiwa atau fithrah dan zakat
harta benda atau mal. Zakat yang pertama merupakan perintah yang paling banyak
ditunaikan orang (kemungkinan besar karena ringan dan sangat sederhana). Adapun
zakat fithrah harus dibayar oleh setiap Muslim, baik kecil maupun dewasa,
secara periodik pada setiap bulan Ramadhan mulai tanggal 27 Ramadhan hingga
imam shalat Idul Fitri naik ke atas mimbar.
Berbeda
dengan zakat jiwa, pada zakat mal agaknya tidak semua orang memiliki kesadaran
penuh untuk membayarkannya (kemungkinan karena berat dan perhitungannya memang
tidak gampang). Zakat mal hanya diwajibkan bagi mereka yang sudah dewasa,
tentunya juga berkemampuan. Sedang menyangkut waktu pembayaran zakat mal,
Rasulullah mengkategorisasikannya kepada dua bagian. Pertama, zakat yang harus
dibayar secara berkala, biasanya mengena kepada zakat niaga (termasuk jasa atau
profesi), mata uang, dan ternak. Kedua, zakat yang harus dibayar pada saat
harta yang terkena zakat itu tiba di tangan, bersifat insidental, lazimnya
mengena pada hasil pertanian, hasil perkebunan, hasil tambang, dan harta
temuan.
Karena
dari sudut filosofisnya, di samping berfungsi sebagai penyucian jiwa dan harta
benda, zakat juga berfungsi, terutama zakat mal, sebagai sarana pemberdayaan
ekonomi rakyat dan pencapaian keadilan sosial. Di samping sebagai pilar ekonomi
Islam dipandang berpotensi untuk menunjang bagi tercapainya kesejahteraan.
Visi Sosial
Zakat
Di
dalam al-Qur`an ada dua perintah yang disebutkan secara bersamaan dalam 82
ayat, yaitu shalat dan zakat. Dua perintah ini, dalam banyak ayat al-Qur`an
telah menunjukkan diri sebagai sentra dari seluruh jalan ke-Islam-an itu
sendiri. Dalam hadits, kedua perintah itu diletakkan sebagai rukun Islam segera
setelah pengakuan terhadap eksistensi ke-Esaan Tuhan (syahadat), dan dalam
urutan yang mendahului puasa dan haji. Dalam analisis Mas'udi (1991:29),
perintah shalat dimaksudkan untuk meneguhkan ke-Islam-an (kepasrahan) pada
Tuhan yang bersifat personal. Sementara perintah zakat dimaksudkan untuk
mengaktualisasikan ke-Islam-an yang bersifat sosial.
Dari
paradigma ini, kita dapat mengembangkannya secara lebih jauh bahwa Islam
ternyata benar-benar ingin memperjuangkan terwujudnya kesejahteraan sosial yang
di dalamnya zakat merupakan salah satu sarananya. Abd Karim al-Tawati dalam
Mafhum al-Zakat (1986: 27) mengatakan bahwa zakat adalah suatu kerangka
teoritis untuk menegakkan keadilan dan kesejahteraan sosial. Dalam konsep zakat
tampak sekali adanya pemihakan kelas sosial kepada golongan yang lemah dan
terpinggir.
Secara
vokal al-Qur`an menyerukan agar kekayaan tidak boleh hanya berputar terbatas di
kalangan kelas kaya saja (QS, [59]:7). Islam melarang orang-orang yang
menumpuk-numpuk harta (QS, [104]: 1-4). Tegasnya, Islam mengecam monopoli dan
oligopoli dalam sistem ekonomi. Islam menghendaki adanya distribusi yang adil
menyangkut kekayaan.`
Dengan
visi sosial seperti inilah kehadiran zakat dapat dipahami. Zakat datang bukan
agar semua orang memiliki bagian secara sama rata, baik sedikitnya maupun
banyaknya, melainkan untuk mencegah terjadinya ketimpangan, di mana sebahagian
membubung ke atas dengan kekayaan yang dikuasainya, sementara sebagian yang
lain justru tersungkur ke bawah dengan kemelaratan yang dideritanya. Bermula
dari ketimpangan dalam hal ekonomi inilah, ketimpangan di bidang yang lain
(politik dan budaya) kemudian mengikuti. Pada waktu kekayaan menembus batas
teratas, sehingga menyebabkan kesenjangan kelas, saat itulah golongan yang
memonopoli dan mengkonsentrasikan kekayaan itu menjadi musuh-musuh Islam
(Kuntowijoyo, 1996:300). Al-Qur`an menyerukan agar kita menjadi pembela kelas
yang tertindas dan golongan yang lemah. (QS, [4]: 75).
Tahapan Pengelolaan
Zakat
Zakat
adalah ibadah yang berkaitan dengan harta benda (materi). Seseorang yang telah
memenuhi syarat-syaratnya dituntut untuk menunaikannya, bukan semata-mata atas
dasar kemurahan hatinya, tetapi kalau perlu harus dengan tekanan. Zakat dapat
dituntut oleh kaum miskin, atau bahkan dapat dipaksakan pelaksanaannya oleh
negara.
Dalam
tataran ini, Nabi mengatakan bahwa zakat merupakan kewajiban yang tak dapat
ditawar, atas orang yang telah memiliki kemampuan tertentu. Garaudy (1981: 32)
mengatakan bahwa zakat itu bukanlah suatu karitas, tetapi suatu bentuk keadilan
internal yang terlembaga, sesuatu yang diwajibkan, sehingga dengan rasa
solidaritas yang bersumber dari keimanan itu orang dapat menaklukkan egoisme
dan kerakusan dirinya, yang pada gilirannya dapat terbentuk formasi sosial yang
berkeadilan.
Dengan
argumen di atas, dalam pengelolaan zakat, kita tidak bisa hanya mengandalkan
analisis normatif, melainkan juga harus berpijak pada landasan realitas
empiris. Sehingga ada beberapa strategi pengelolaan zakat yang harus dilakukan,
pertama, sudah saatnya kita melakukan sensus zakat yang dapat mendeteksi para
pembayar zakat (muzakki) hingga ke pelosok pedesaan.
Dan
lewat sensus ini pula kita dapat mengetahui mereka yang berhak menerima zakat
(mustahiq al-zakat).Kedua, wilayah zakat perlu dibagi-bagi atas dasar perbedaan
tingkat kemakmuran, untuk distandarkan berapa margin kewajiban zakat pada
masing-masing daerah. Masing-masing daerah umumnya sudah memiliki data
dasarnya, berupa Pendapatan Domestik Regional Bruto (PDRB), data mengenai
penghasilan rata-rata daerah, tingkat ketimpangan pendapatan daerah dan
sebagainya.
Untuk
ini harus dilakukan perhitungan, kemudian hasil perhitungan itu dijadikan acuan
oleh panitia zakat, sehingga distribusi zakat menjadi tepat sasaran, tidak
sekedar membagi-bagi tanpa memperhatikan fungsional dan tidaknya zakat buat
pemberdayaan ekonomi rakyat pada level bawah. (Effendi, 1999).
Ketiga,
perlu untuk membentuk lembaga zakat lintas SARA yang keberadaannya dikukuhkan oleh
UU zakat. Secara lebih jauh, lembaga zakat yang memiliki kewenangan formal ini,
bukan saja dapat menekan pihak yang enggan membayar zakat, melainkan juga dalam
hal pentasarufan (pendayagunaan)-nya pun dapat difungsikan secara nyata sebagai
upaya membangun tata kehidupan sosial yang lebih adil buat semuanya.
Keempat,
perlunya merelatifkan besaran tarif atau kadar zakat yang harus dikeluarkan.
Apabila ada variabel tantangan keadilan dan kemaslahatan ditemukan lebih berat
pada masyarakat tertentu, maka tidak ada halangan untuk menaikkan dan begitu
juga sebaliknya untuk menurunkan--tarif yang telah ditentukan Nabi Muhammad,
yakni antara 2,5 % dan 10 %. Namun ini memang memerlukan kajian lebih mendalam,
apakah dimasukan ke dalam zakat atau
hanya dalam bentuk infaq-shadaqah saja.
Dalam
konteks ini, Madar F. Mas'udi, Emha Ainun Nadjib dan Jalaluddin Rakhmat pernah
mengusulkan untuk menaikkan tarif zakat menjadi 20 % atas berbagai jenis
pendapatan (rezki) yang diterima oleh kalangan profesional, seperti dokter,
konsultan, dan sebagainya. Tentu saja pendapat ini ditentang oleh banyak ahli
hukum Islam karena bertentangan dengan nash dari Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Walhasil,
kita perlu untuk meningkatkan fungsi zakat yang selama ini lebih sebagai
aktivitas personal menjadi sebuah visi dan gerakan sosial yang menyentuh
realitas sosio-struktural demi terwujudnya keadilan dan kesejahteraan. Di
ujungnya, bagaimana agar hasil pungutan zakat itu dapat berdampak langsung
terhadap masyarakat yang berada di bawah garis kemiskinan, yang lazimnya tidak
terjangkau melalui alat kebijakan fiskal biasa serta berbagai kebijakan ekonomi
yang konvensional.
Terlebih
di waktu krisis multidimesi seperti sekarang, di mana angka
kemiskinan-kefakiran, pengangguran akibat PHK, dan lain-lain semakin menaik
tajam. Dan kasus tragedi Pasuruan 15 September yang menewaskan 21 orang tua,
paling tidak menjadi analisa kita khususnya para muzakki untuk melakukan
strategi penyaluran zakat yang lebih efektif, sehingga tahun-tahun yang akan
datang tidak terulang kembali nyawa manusia melayang dengan sia-sia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Please Uktub Your Ro'yi Here...