Oleh : Abdurrahman
A.
Latar
Belakang Masalah
Kasus
Korupsi di Indonesia kian menggila, sementara proses penegakan hukum berjalan
lambat bahkan hanya seperti sandiwara. Putusan-putusan pengadilan terhadap para
pelaku korupsi juga sepertinya banci dan membela yang bayar. Kapolri Jenderal
Timur Pradopo mengungkapkan jumlah perkara kasus korupsi yang ditangani oleh
Kepolisian pada tahun 2011 ini meningkat drastis. Pada 2010 lalu, polisi hanya
menangani 585 perkara. Angka tersebut melonjak mencapai 1.323 perkara pada
tahun ini. "Ada kenaikan sekitar 55,78 persen," ujar Kapolri saat
memberikan keterangan pers refleksi akhir tahun kinerja Kepolisian di Mabes
Polri, Jakarta.
Jumlah
kerugian negara akibat tindak pidana juga meningkat 258,39 persen menjadi Rp.
2,007 triliun. Pada tahun lalu, nilai kerugian hanya sekitar Rp 560,348 miliar.
Berdasarkan penelitian ICW, sepanjang 2011 terdapat 45 terdakwa kasus korupsi
divonis bebas di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi di Tanah Air. Menurut Fahmi,
hal mendasar yang menyebabkan korupsi meningkat pada 2011, adalah kegagalan
bangsa Indonesia membenahi partai politik yang memiliki tangan-tangan di
eksekutif dan legislatif.
Melihat
fakta bahwa tindakan korupsi semakin merajalela maka diperlukan adanya hukuman
yang dapat memberikan efek jera bagi para koruptor. Munculnya wacana menghukum
mati para koruptor di Indonesia kian merebak, sebetulnya sudah lama wacana ini
beredar, namun karena terbentur oleh berbagai persoalan hukum maka kepastian
hukuman mati bagi koruptor masih dalam batas wacana. Menteri Hukum dan Hak
Asasi Manusia Patrialis Akbar pernah menyatakan setuju dengan hukuman mati bagi
koruptor karena hal itu sudah diatur dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999
yang diperbarui oleh Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001. Undang-undang itu
menyebutkan kalau koruptor dapat dihukum mati saat negara dalam keadaan krisis,
bencana alam, atau dalam kondisi tertentu. "Undang-undang sudah mengatur.
Sekarang tergantung bagaimana majelis hakim menafsirkan dan berani memutuskannya,"
katanya.
Bhatara
Ibnu Reza, Koordinator Riset HAM Imparsial, berpendapat lain. Menurutnya,
hukuman mati melanggar HAM karena menghilangkan hak untuk hidup yang termasuk
dalam rumpun utama hak-hak dasar manusia. "Dalam konstitusi kita, hak
untuk hidup ini juga dijamin dalam Pasal 28 (i) UUD 1945," tegas Bhatara
yang dihubungi oleh National Geographic Indonesia. Hal ini, lanjutnya, selaras
dengan Piagam Hak asasi Manusia PBB (Universal Declaration of Human Rights).
Oleh karena itu, penghilangan hak untuk hidup dengan cara apa pun berarti
bertentangan dengan UU.
Di
lain pihak, Indonesia sebagai negara dengan jumlah umat Islam mayoritas masih
belum mampu menerapkan hukuman yang membuat jera koruptor. Di bidang fiqh
Islam, para cendekiawan masih berkutat pada apa hukuman dalam Islam bagi para
koruptor. Padahal jika kita cermat mempelajari hukum Islam maka kita akan dapat
kaidah-kaidah hukum yang dapat menjerat para koruptor hingga bisa dikenakan
hukuman mati. Bagaimana sebenarnya hukuman mati bagi koruptor? Apa dasar
memberikan hukum amti bagi koruptor dalam Islam? Sebuah pembahasan menarik yang
layak untuk dijadikan penelitian.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Please Uktub Your Ro'yi Here...