Oleh : Imam Yazid dan Jaenudin
Secara
etimologis, kata taqnin (تقنين) merupakan
bentuk masdar dari qannana (قَنَّنَ), yang berarti membentuk undang-undang. Ada yang berpendapat kata
ini merupakan serapan dari Bahasa Romawi, canon. Namun ada juga yang
berpendapat, kata ini berasal dari Bahasa Persia. Seakar dengan taqnin adalah
kata qanun (قَانُوْن) yang berarti ukuran segala
sesuatu, dan juga berarti jalan atau cara (thariqah).[1] Taqnin al-Ahkam berarti mengumpulkan hukum dan
kaidah penetapan hukum (tasyri`) yang berkaitan dengan masalah hubungan
sosial, menyusunnya secara sistematis, serta mengungkapkannya dengan
kalimat-kalimat yang tegas, ringkas, dan jelas dalam bentuk bab, pasal, dan
atau ayat yang memiliki nomor secara berurutan, kemudian menetapkannya sebagai
undang-undang atau peraturan, lantas disahkan oleh pemerintah, sehingga wajib
para penegak hukum menerapkannya di tengah masyarakat.[2]
Menurut
Sobhi Mahmasani kata Qanun berasal dari bahasa Yunani, masuk menjadi bahasa
Arab melalui bahasa Suryani yang berati alat pengukur atau kaidah.
Di Eropa, istilah kanun atau canon dipakai untuk menujuk hukum gereja yang
disebut pula canonik,[3] seperti corpus iuris cononici yang disahkan oleh Paus Gregorus XIII
tahun 1580, kemudian codex iuris coninci oleh Paus Benediktus XV tahun
1919. Hukum kanonik ini terdiri atas injil, fatwa-fatwa dari pemimpin gereja,
keputusan dari sidang-sidang gereja dan keputusan dan perintah dari paus.[4] Oleh intelektual muslim di masa
lalu, istilah kanun digunakan untuk menyebut himpunan pengetahuan yang bersifat
sains seperti buku yag ditulis oleh Ibn Sina dalam bidang kdokteran yang
berjudul Qanun fi al-Tibb, Qanun
al-Mas’udi yakni himpunan pengetahuan tentang astronomi yang dihimpun untuk
Sultan al-Mas’ud (sultan Ghaznawiyah) yang ditulis oleh al-Biruni.
Dalam
konteks sekarang, menurut Mahmasani istilah qanun memiliki tiga arti yaitu: pertama,
pengertian yang sifatnya umum yaitu kumpulan aturan hukum (codex)
seperti qanun pidana Utsmani. Kedua, berarti syariat atau hukum, dan ketiga,
dipakai secara khusus untuk kaidah-kaidah atau aturan yang tergolong dalam
hukum muamalat umum yang mempunyai kekuatan hukum, yakni undang-undang, seperti
dewan legislatif membuat qanun larangan menimbun barang.[5]
Sebagai
perbandingan, dalam ilmu hukum dikenal istilah hukum dan undang-undang. Dalam ilmu
hukum, hukum yaitu himpunan petunjuk-petunjuk hidup (perintah maupun larangan)
yang mengatur tata tertib dalam suatu masyarakat, dan oleh karena itu
seharusnya ditaati oleh anggota masyarakat yang bersangkutan, dan pelanggaran
atas peraturan tersebut dapat menimbulkan tindakan dari pemerintah masyarakat
itu.[6]
Adapun yang disebut pengertian undang-undang secara umum diartikan peraturan
yang dibuat oleh negara. Undang-undang memiliki ciri yaitu keputusan tertulis,
dibuat oleh pejabat yang berwenang, berisi tentang aturan tingkah laku, dan
mengikat secara umum.[7]
Dalam
literatur hukum Islam pada saat sekarang, istilah dan bentuk dari hukum Islam
mengalami perkembangan, ada yang disebut fikih yakni ijtihad ulama yang
tertera dalam kitab-kitab fikih, fatwa yakni pendapat atau ketetapan
ulama atau dewan ulama tentang suatu hukum, keputusan-keputusan hakim (qadha),
dan qanun.[8]
Qanun
dalam kontes sekarang dipandang sebagai formalisasi hukum Islam, yakni aturan
syara’ yang dikodifikasi oleh pemerintah yang bersifat mengikat dan berlaku
secara umum. Lahirnya Qanun dalam era moderen ini sebagai konsekwensi dari
sistem hukum yang berkembang terutama oleh karena pengaruh sistem hukum Eropa. Atas
hal ini, sebagian ulama menganggap formalisasi hukum Islam adalah sesuatu yang
penting sebagai panduan putusan hukum para hakim dalam suatu masalah yang sama
pada lembaga peradilan yang berbeda-beda. Sementara sebagian yang
lain tidak sependapat dengan taqnin al-ahkam dengan argumentasi
tersendiri dari mereka. Perbedaan pandangan ini kadang menghasilkan
pertentangan yang sengit antara kedua kubu. Sebagai akademisi, patut untuk
melakukan analisa atas argumentasi dua kutub pemikiran yang berbeda ini. Maka,
dalam makalah ini akan dipaparkan tentang sekilas sejarah taqnin al-ahkam,
pandangan para ulama tentang taqnin al-ahkam dan analisa
pendapat-pendapat tersebut.
[1] Ibrahim
Anis, Al-Mu`jam al-Wasith, juz 2, h. 763.
[5] Sobhi Mahmasani, op.cit.,
h. 28.
[6] E.
Utrecht, Pengantar dalam Hukum Indonesia, (Jakarta: Ichtiar,1957),
h. 9.
[7] Rosjidi Ranggawidjaja, Pengantar
Ilmu Perundang-undangan Indonesia, (bandung:
Mandar Maju,1998), h. 10.
[8] Jaih Mubarok, Hukum
Islam, (Bandung:
Benang Merah Press, 2006), h. 1.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Please Uktub Your Ro'yi Here...