Oleh : AM. Bambang Prawiro, MEI
Kalau
membaca judul tulisan ini, biasanya akan muncul satu perasaan tidak suka dalam
diri kita, karena seolah-olah menunjukan bentuk kesombongan dari orang yang menulis
dan mengucapkan kata-kata tersebut. Benarkah demikian? Jawabannya tentu saja
bisa benar dan bisa salah karena kesombongan seringkali tidak bisa terdeteksi
hanya dari tampilan luar. Misalnya seseorang yang bersedekah terus ingin agar
sedekahnya tersebut disebutkan menggunakan pengeras suara, apakah orang
tersebut sombong dan riya? Tentu saja harus dilihat dulu motivasi dan
penyebabnya. Demikian juga seseorang yang menggunakan pakaian yang bagus,
apakah dia sombong? Belum tentu juga karena bisa jadi bajunya yang biasa
digunakan sedang kotor atau karena ia baru beli baju baru.
Demikian
juga ketika seseorang menyebutkan dirinya sebagai seorang Profesor, Doktor,
Sarjana, Kyai, Haji dan berbagai gelar keduniaan lainnya. Belum tentu mereka
yang selalu menempelkan di dekat namanya gelar kehormatan telah berbuat
sombong.
Sombong
adalah masalah hati, ia tercermin dalam tingkah laku sehari-hari, sehingga
seseorang dikatakan sombong ketika hatinya menyatakan dirinya itu sombong. Artinya
hanya dia sendiri dan Allah yang tahu apakah ia sombong atau tidak. Orang lain
hanya bisa melihat dari tingkah laku dan tindak-tanduknya, namun itu juga belum
bisa menghukumi seseorang sombong. Hanya sekadar indikasi saja bahwa seseorang
itu telah berbuat sombong.
Bicara
tentang kesombongan, selain urusan hati ia juga berupa tingkah laku, sehingga
kesombongan itu akan terlihat ketika ia merasa tidak nyaman manakala tidak
dipanggil dengan gelar kehormatannya tersebut. Namun hal ini juga tidak begitu
saja terjadi, sepertinya tidak etis ketika marah jika tidak dipanggil dengan
gelar kehormatannya. Indikasi paling jelas tampak dari raut muka dan komunikasi
non-verbal jika seseorang tidak suka dengan hal tersebut.
Dari sini
dapat dipahami bahwa judul tulisan ini akan sangat relative untuk dipahami,
bisa menjadi salah satu bentuk kesombongan atau bisa jadi ia adalah bentuk doa
dan cita-cita seseorang. Saya sendiri lebih memaknai judul ini sebagai sebuah
doa dan motivasi, tidak ada sedikitpun rasa untuk menyombongkan diri. Percaya tidak?
Kalau tidak juga tidak apa, karena ini menjadi problem pribadi dari penulisnya
dan tentu saja menyangkut masalah hati jadi hanya penulisnya dan Allah yang
Maha Tahu sedangkan manusia hanya bisa melihat dhahirnya.
Saya memaknai
judul tulisan sebagai bentuk doa mudah-mudahan doctor tersebut bisa tercapai,
sebenarnya sih bukan masalah doctor tapi selesai dalam suatu pekerjaan dalam
hal ini proses pembelajaran memiliki kepuasan tersendiri. Tentu saja tanggung
jawab setelah proses pendidikan tersebut lebih berat sebelum proses
penyelesaiannya. Selanjutnya maka judul ini adalah sebuah cita-cita akademik
yang terakhir dalam sebuah jenjang pendidikan di negeri ini. Bukankah tidak ada
lagi proses pembelajaran formal setelah seseorang menyelesaikan program doctoral?
Kalau berbicara tentang belajar memang tidak ada habisnya, sehingga walaupun
secara formal proses pendidikan formal berakhir di program doctoral namun bagi
saya justru itu adalah awal dari proses pembelajaran yang sebenarnya. Tanggung jawab
sebagai seorang doctor jauh lebih berat dari sekadar bangga dengan gelar S3. Sehingga
cita-cita ini yang membuat hidup semakin memiliki harapan dan cita-cita. Mengenai
hal ini saya teringat dengan Ummul Muk’minin Ummu Abdillah Aisyah Radhiyallahu
‘anhuma yang memiliki kunyah (julukan/gelar) Ummu Abdillah, padahal kita
tahu bahwa beliau tidak memiliki anak. Demikian juga panggilan Nabi Muhammad Shalallahu
Alaihi Wasalam kepada seorang anak kecil yang beliau panggi dengan Abu
Umair, padahal ia masih kecil dan belum meiliki anak. Mak saya meilihat ini
adalah sebuah cita-cita dan doa dari seorang hamba kepada rabbnya.
Sebagai
sebuah doa dan cita-cita maka “I am a Doctor” menjadi satu harapan yang membuat
saya lebih terarah, memiliki rencana-rencana dan amemiliki harapan-harapan ke
depan. Inilah salah satu yang membuat hidup saya penuh semangat. Sebagai sebuah
doa mudahan-mudahan ia terkabul sehingga saya bisa menyelsaiakan program ini. Sedangkan
sebagai sebuah cita-cita ia menjadi pemicu hidup saya agar terus-menerus
meningkatkan kualitas diri saya sehingga bisa menjadi lebih baik di masa yang
akan datang. Soal kesombongan? Mungkin saja perasaaan tu ada, namun saya katakana
secara jujur bahwa hingga saat ini Alhamdulillah tidak ada rasa untuk bangga
dengan diri sendiri atau merasa tinggi dibandingkan yang lain. Tidak pernah
terbersit dalam hati saya rasa untuk merasa sombong dengan gelar ini. Justru tanggung
jawab yang besar yang selalu menghantui apakah bisa mempertanggungjawabkan
keilmuan tersebut. Tentu saja doa agar terhindar dari segala bentuk kesombongan
senantiasa dipanjatkan agar jangan terjebak kepada sikap sombong ini bagaimana
dengan ucapan “Merasa Tidak Sombong Adalah Salah Satu bentuk Kesombongan”? maka
jawabannya adalah ada dalam diri kita. Silahkan bertanya pada diri sendiri
apakah kita sombong atau tidak. Wallahu a’lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Please Uktub Your Ro'yi Here...