Oleh : Imam Yazid, MA
Para
ulama berbeda pendapat mengenai apakah syariat sebelum kita itu menjadi dalil
dalam menetapkan hukum bagi umat Nabi Muhammad. Kaidah Syar`u Man Qablana ini
dimasukkan Al-Ghazali ke dalam empat kaidah yang tidak disepakati oleh para
ulama Ushul.[1]
Pendapat
mereka dapat dikelompokkan sebagai berikut:
1.
Jumhur ulama
Hanafiyah dan Hanabilah dan sebagian Syafi’iyah dan Malikiyah serta ulama kalam
Asy’ariyah dan Mu’tazilah berpendapat bahwa hukum-hukum syara’ sebelum kita
dalam bentuk yang ketiga tersebut di atas tidak berlaku untuk kita (umat Nabi
Muhammad) selama tidak dijelaskan pemberlakuannya untuk umat Nabi Muhammad.
Alasannya adalah bahwa syariat sebelum kita itu berlaku secara umum. Lain
halnya syariat yang dibawa Nabi Muhammad sebagai Rasul terakhir yang berlaku
secara umum dan menasakh syariat sebelumnya.
2.
Sebagian
sahabat Abu Hanifah, sebagian ulama Malikiyah, sebagian sahabat Imam Syafi’i
dan Imam Ahmad dalam salah satu riwayat mengatakan bahwa hukum-hukum yang
disebutkan dalam Alquran atau Sunah Nabi meskipun tidak diarahkan untuk umat
Nabi Muhammad selama tidak ada penjelasan tentang nasakhnya, maka
berlaku pula untuk umat Nabi Muhammad. Dari sini muncul kaidah
شرع من قبلنا شرع لنا
Alasan yang mereka kemukakan adalah beberapa petunjuk
dari ayat Alquran yang diantaranya:
a.
Surat al-Syura:
13
tíu° Nä3s9 z`ÏiB ÈûïÏe$!$# $tB 4Ó»ur ¾ÏmÎ/ %[nqçR üÏ%©!$#ur !$uZøym÷rr& y7øs9Î) $tBur $uZø¢¹ur ÿ¾ÏmÎ/ tLìÏdºtö/Î) 4ÓyqãBur #Ó|¤Ïãur ( ÷br& (#qãKÏ%r& tûïÏe$!$# wur (#qè%§xÿtGs? ÏmÏù 4
Dia
telah mensyariatkan bagi kamu tentang agama, apa yang telah diwasiatkanNya
kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu dan apa yang Kami
wasiatkan kepada Ibrahim, Musa, dan Isa yaitu: Tegakkanlah agama dan jangan
kamu berpecah belah tentangnya”
b.
Surat al-Nahl:
123
§NèO !$uZøym÷rr& y7øs9Î) Èbr& ôìÎ7¨?$# s'©#ÏB zOÏdºtö/Î) $ZÿÏZym ( $tBur tb%x. z`ÏB tûüÅ2Îô³ßJø9$# ÇÊËÌÈ
Kemudian
Kami wahyukan kepadamu untuk mengikuti agama Nabi Ibrahim yang lurus.
Sehubungan
dengan pendapat tersebut, ulama Hanafiyah memberlakukan hukum qishash yang
seimbang sebagaimana tersebut dalam surat Al-Maidah: 45[2]
bagi umat Islam, meskipun ayat tersebut diarahkan kepada orang Yahudi.
Berdasarkan pendapat ini orang muslim yang membunuh kafir dzimmi dikenai
qishash sebagaimana orang kafir dzimmi membunuh orang Islam. Sedangkan kalangan
ulama Syafi’iyah yang tidak memberlakukan syariat umat Yahudi itu untuk umat
Islam memahami ayat tersebut bahwa tidak perlu ada keseimbangan dalam
pelaksanaan qishash antara mushlim dan non-muslim sebagaimana yang diberlakukan
terhadap orang Yahudi. Oleh karena itu, bila orang muslim membunuh kafir
dzimmi, maka tidak diberlakukan hukum qishash. Tetapi bila kafir dzimmi yang
membunuh orang Islam, maka diberlakukan qishash.
Sebenarnya
perbedaan pendapat dalam soal qishash itu tidak semata disebabkan oleh
perbedaan pendapat dalam hal pemberlakuan syariat sebelum kita tersebut, tetapi
ada beberapa faktor (pertimbangan) lainnya. Meskipun dalam hal ini terdapat
perbedaan pendapat, namun yang berpendapat bahwa syariat sebelum kita itu dapat
menjadi syariat bagi kita adalah bukan karena ia adalah syariat sebelum kita
tetapi karena ia terdapat dalam Alquran dan Sunah Nabi yang harus dijadikan
pedoman. Demikian, kedudukannya sebagai salah satu sumber hukum Islam tidak
berdiri sendiri.
Nabi
Muhammad Saw. sampai usia 40 tahun belum menerima risalah dari Allah Swt. untuk
diberlakukan bagi umatnya. Selama masa menjelang menerima risalah itu, apakah
beliau beramal mengikuti syariat agama sebelumnya atau tidak? Dalam hal ini
ulama ushul berbeda pendapat, yaitu:
1.
sebagian ulama,
termasuk Abu Husein al-Bashri, berpendapat bahwa Nabi Muhammad tidak pernah
mengikuti syariat manapun dari syariat nabi-nabi sebelumnya ketika beliau belum
menerima wahyu. Alasannya karena sekiranya Nabi Muhammad beramal dengan salah
satu syariat yang dibawa Nabi dan Rasul sebelumnya tentu akan ada penukilan
dari beliau dan akan dikenal luas (populer) tentang beramalnya dengan syariat
itu, serta Nabi Muhammad sendiri akan bergabung dan berbaur dengan sesama umat
yang menjalankan syariat tersebut.
Pendapat ini dikuatkan oleh Sidi Nazar Bakry yang mengutip para Jumhur Mutakalimin dan sebagian ulama Malikiyah mengatakan bahwa Nabi
sebelum diutus menjadi Rasul tidak terikat dengan peraturan/syari’at sebelum
Islam, karena jika Nabi Saw. terikat dengan
syari’at sebelum Islam, maka akan ada dalil yang menunjukkannya.[3]
2.
sebagian ulama
lainnya berpendapat bahwa Nabi Muhammad mengikuti salah satu syariat yang
dibawa oleh Nabi dan Rasul sebelumnya menjelang beliau menerima risalah.
Alasannya ialah bahwa Muhammad sebelum menerima risalah telah thawaf di
Baitullah, dan biasa makan daging kurban. Hal ini bukanlah suatu amalan yang
dapat ditetapkan dengan akal. Dengan demikian mesti ada petunjuk wahyu yang
diikuti beliau, yaitu syariat dari Nabi dan Rasul terdahulu.
Di
kalangan ulama yang menyatakan bahwa Nabi Muhammad mengikuti suatu syariat
sebelumnya berbeda pendapat dalam hal syariat Nabi yang diikutinya itu:[4]
1)
ada yang
menyatakan beliau mengikuti syariat Nabi Nuh dengan alasan bahwa Nuh adalah
Nabi yang paling awal disebut membawa syariat, sebagai tersebut dalam surat
al-Syura: 13
tíu° Nä3s9 z`ÏiB ÈûïÏe$!$# $tB 4Ó»ur ¾ÏmÎ/ %[nqçR üÏ%©!$#ur !$uZøym÷rr& y7øs9Î)
Disyariatkan
kepadamu dari agama apa yang diwasiatkan dengannya kepada Nuh dan Kami wahyukan
kepadamu
2)
ada yang
mengatakan bahwa Muhammad mengikuti syariat Nabi Ibrahim, karena Nabi Ibrahim
adalah yang mengasaskan agama Islam, sebagaimana firman Allah dalam QS. Ali
Imran: 67
$tB tb%x. ãNÏdºtö/Î) $wÏqåku wur $|ÏR#uóÇnS `Å3»s9ur c%x. $ZÿÏZym $VJÎ=ó¡B
Ibrahim
itu bukan beragama Yahudi dan bukan pulaberagama Nasrani, tetapi ia adalah
orang yang lurus lagi muslim.
3)
Ada juga yang
berpendapat bahwa Nabi Muhammad mengikuti syariat Nabi Musa, karena Nabi Musa
adalah yang pertama disebut sebagai pembawa kitab.
3.
Pendapat ulama
yang bersikap tawaqquf, dalam arti tidak menentukan sikap tentang apakah
Nabi menjalankan syariat yang dibawa Nabi dan Rasul sebelumnya atau tidak,
meskipun ada kemungkinan masih berlakunya syariat lama tersebut. Pendapat ini
adalah yang terpilih menurut Al-Amidi dan Qadhi Abdul Jabbar dan ulama lain
yang sependapat.
Pembahasan
ulama ushul berikutnya berkembang kepada kemungkinan Nabi Muhammad
mengikuti syariat sebelumnya sesudah beliau menerima risalah. Dalam hal ini
timbul beberapa pendapat:
1.
Abu Hanifah,
Ahmad (dalam salah satu riwayat) dan sebagian pengikut Syafi’i berpendapat
bahwa Nabi Muhammad ada mengikuti syariat sebelumnya yang sah yang diterimanya
melalui wahyu, dan tidak melalui kitab suci para nabi dan rasul terdahulu yang
sudah diperbarui Allah atau diubah oleh para pendetanya, selama syariat
tersebut belum dinasakh.
Mereka
mengajukan argumen dengan beberapa ayat Alquran dan Hadis yang diantaranya
adalah
1)
Surat al-Nahl:
123
§NèO !$uZøym÷rr& y7øs9Î) Èbr& ôìÎ7¨?$# s'©#ÏB zOÏdºtö/Î) $ZÿÏZym (
Kemudian
Kami wahyukan kepadamu untuk mengikuti agama Nabi Ibrahim yang hanif
2)
Surat
Al-Maidah: 44
!$¯RÎ) $uZø9tRr& sp1uöqG9$# $pkÏù Wèd ÖqçRur 4 ãNä3øts $pkÍ5 cqÎ;¨Y9$#
Kami
telah menurunkan Taurat yang di dalamnya terdapat petunjuk dan cahaya yang para
nabi berhukum berhukum dengannya.
2.
Ulama kalam
Asy’ariyah dan Mu’tazilah berpendapat bahwa Nabi setelah menerima risalah
(wahyu) tidak pernah mengikuti syariat sebelumnya. Mereka mengemukakan argumen
sebagai berikut:
a.
Dalam dialog
yang berlangsung antara Nabi dengan Mu’az ibn Jabal tentang cara Mu’az
menyelesaikan perkara sewaktu tidak menemukan jawabannya dalam Alquran dan
Sunah, Mu’az mengatakan bahwa ia akan menggunakan ijtihad dengan akal
pikirannya (ra’yu). Dia tidak menyinggung untuk mengambil ketentuan dari
syariat sebelumnya. Jawaban Mu’az itu mendapat pujian (persetujuan) Nabi.
b.
Kalau Nabi dan
umatnya mengikuti syariat sebelumnya dalam beribadah, tentu mempelajari syariat
sebelumnya itu menjadi wajib kifayah dan Nabi sendiri wajib merujuknya, dan
Nabi sendiri tidak akan berhenti memberikan jawaban terhadap suatu masalah saat
tidak (belum) menerima wahyu. Kenyataannya menunjukkan bahwa Nabi tidak pernah
berpedoman pada syariat sebelumnya.
c.
Ijma’ ulama
menetapkan bahwa syariat Islam yang dibawa Nabi Muhammad itu menasakh syariat
sebelumnya. Seandainya Nabi pernah mengikuti syariat sebelumnya, maka tentu
syariat Islam akan memberikan pengakuan terhadap syariat-syariat sebelumnya,
dan tidak akan menasakhnya.
[1] Keempat kaidah
itu adalah Syar`u Man Qablana, Qaul al-Shahabi, Istihsan, Istishlah. Lihat
Al-Ghazali, Al-Mustashfa.
$oYö;tFx.ur öNÍkön=tã !$pkÏù ¨br& }§øÿ¨Z9$# ħøÿ¨Z9$$Î/ ú÷üyèø9$#ur Èû÷üyèø9$$Î/ y#RF{$#ur É#RF{$$Î/ cèW{$#ur ÈbèW{$$Î/ £`Åb¡9$#ur Çd`Åb¡9$$Î/ yyrãàfø9$#ur ÒÉ$|ÁÏ% 4 `yJsù X£|Ás? ¾ÏmÎ/ uqßgsù ×ou$¤ÿ2 ¼ã&©! 4 `tBur óO©9 Nà6øts !$yJÎ/ tAtRr& ª!$# y7Í´¯»s9'ré'sù ãNèd tbqßJÎ=»©à9$# ÇÍÎÈ
[3] Sidi Nazar Bakry, Fiqh dan Ushul Fiqh,
cet. 4 (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2003),
hal. 239.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Please Uktub Your Ro'yi Here...