Oleh : Abdurrahman
Kekuatan
fiskal suatu Negara tergantung pada kekuatan devisa yang dihasilkan. Fiskal
akan berhubungan dengan kebijakan pendapatan, belanja, utang dan investasi
Negara. Kekuatan sebuah Negara dapat diamati dari struktur APBN. Dalam Islam
struktur arus keluar-masuk devisa sudah dikenal sejak zaman Rasulullah dan
tetap dipertahankan oleh Umar dengan penyempurnaan-penyempurnaan. Penyempurnaan
tidak lain terjadi karena perkembangan masyarakat Islam yang luar biasa.
Struktur pembiayaan fiskal dan penerimaannya pada saat itu mencakup:[1]
Penerimaan
|
Pengeluaran
|
Zakat
(Harta)
Kharaj
(Pajak Tanah)
Jizyah
(Pajak Jiwa)
Khumus
(1/5 Ghanimah)
‘Usyur
(Bea Cukai)
Fai
(Penguasaan tanpa perlawanan)
Ghanimah
/ Anfal (Rampasan)
Pinjaman Sememntara (Utang)
|
Penyebaran
Islam
Pendidikan
dan kebudayaan
Pengembangan
ilmu Pengetahuan
Pengembangan
infrastruktur
Pembangunan
Armada perang dan keamanan
Biaya
Moneter (Cetak Uang)
Gaji
pejabat dan Pegawai
Pengembangan
ke-Qadhi-an (Kehakiman)
Pembangunan
Administrasi negara
Layanan Sosial, Hadiah dan Bonus
|
Baitul
Mall adalah lembaga pengelolaan keuangan Negara sehingga kebijakan fiskal
dengan jelas dapat kita pahami. Kebijakan fiskal Baitul Mall telah memberikan
dampak positif terhadap tingkat investasi, penawaran agregat dan sekaligus
berpengaruh kepada tingkat inflasi dan pertumbuhan ekonomi.
Seiring
dengan perluasan Islam sampai ke Iraq dan Mesir maka pemasukan ghanimah,
fai dan lain-lain semakin meningkat. Umar kemudian menetapkan
pos-pos pemasukan seperti kharaj dari Iraq. Hal ini terjadi
pada masa Umar. Umar juga yang pertma kali mentransfer pemasukan zakat dari
daerah ke pusat seperti yang terjadi pada Mu’az bin Jabal mengirimkan zakat
dari Yaman ke Madinah dan Umar menolaknya. Walaupun pada akhirnya Umar
menerimanya karena di Yaman tidak ada lagi mustahiq zakat.[2]
Beberapa
laporan tentang keberhasilan kebijakan fiskal Umar dapat kita ketahui dalam
sejarah:[3]
o Saat itu
jarang terjadi Angaran devisit. Kecuali hanya sekali pada tahun “Ramadah”
kira-kira tahun ke-18 H. Saat itu terjadi terjadi kekeringan di sebagian Negara
Islam akan tetapi dapat diatasi dengan bantuan makanan dari wilayah lain. Lama
masa “Ramadah”
ada yan meriwayatkan 9 bulan, 1 tahun dan ada yang mengatakan sampai 2 tahun.
o Sistem
pajak proposional (prorposional tax). Umar bin Khattab
memungut pajak (Jizyah) dari penduduk Syam dan Mesir yang kaya sebesar 4 dinar
dan bagi mereka yang penghidupannya menengah diambil 2 dinar sementara bagi
mereka yang miskin tetapi berpenghasilan dikutip 1 dinar. Jadi pajak tidak
ditentukan pun dapat memenuhi kehidupannya. Terhadap penduduk Iraq diwajibkan membayar
jizyah sebesar 48 dirham bagi yang kaya, 24 dirham bagi kalangan menengah dan
12 dirham bagi kalangan miskin berpenghasilan. Lebih jelasnya dapat
diperhatikan table berikut:
Klsifikasi wajib pajak
|
Dinar
(4,25 g)
|
Emas
(gram)
|
Golongan kaya
|
4
|
17,00
|
Golongan menengah
|
2
|
8,50
|
Golongan miskin berpengasilan
|
1
|
4,25
|
Rotasi
perhitungan jizyah dalam satu tahun dimulai pada awal bulan Muharram dan
ditutup ahkhir bulan Dzulhijjah, hingga selesai penarikan sebelum datangnya
bulan Muharram berikutnya. Tiga bulan terakhir adalah untuk ancang dan
penyempurnaan perhitungan sehingga genap satu tahun.
o Besarnya
Kharaj
(pajak tanah) ditentukan berdasarkan produktifitas lahan, bukan berdasarkan
zona. Produktifitas lahan diukur dari tingkat kesuburan lahan dan irigasi. Jadi
sangat memungkinkan dalam satu wilayah atau areal yang berdekatan akan berbeda
jumlah kharaj
yang akan dikeluarkan. Kebijakan ini menyebabkan pengusaha kecil yang kurang
produktif masih dapat melanjutkan usahanya. Kharaj ada dua macam, yaitu Kharaj
‘Unwah (pajak paksa) kharaj ini berasal dari lahan orang kafir yang
dikuasai oleh kaum muslim secara paksa (peperangan) seperti tanah di Iraq,
Syam, Mesir. Umar tidak membatalkan kharaj tanah itu meskipun pemiliknya sudah
masuk Islam. Kedua, Kharaj Sulhu (pajak damai) kharaj
ini diambil dari tanah dimana pemiliknya telah menyerahkan diri kepada kaum
muslimin (berdasarkan perjanjian) damai. Umar telah mengutus Utsman bin Hanif
dan Huzaifah bin Nukman untuk melakukan pengukuran tanah-tanah gembur (hitam)
dan menetapkan besar kharaj. Setelah menetapkan kriteria tanah yang
wajib pajak berdasarkan jenis tanah, jenis tnanaman, proses pengelolaan dan
juga hasil akhir, kemudian Umar menetapkan kharaj setiap satu jarib
gandum basah 2 dirham, setiap satu jarib kurma yang baru matang 4
dirham, 4 dirham dari satu jarib jagung basah dan 8 dirham untuk setiap
satu jarib kurma kering, 6 dirham untuk setiap satu jarib tebu, anggur
10 dirham, zaitun 12 dirham.
o Progresseve rate adalah
penurunan jumlah pajak bertambahnya jumlah ternak. Hal ini akan mendorong orang
untuk memperbanyak ternaknya dengan biaya yang lebih rendah.
o Perhiungan
zakat perdagangan berdasarkan besarnya keuntungan bukan atas harga jual.
o Porsi
besar untuk pembangunan infrastruktur. Umar bin Khattab mendirikan kota dengan
yang besar yaitu Basrah (gerbang untuk perdagangan dengan Romawi) dan Kufah
(sebagai pintu masuk perdagangan dengan Persia). Khalifah Umar juga membangun
kanal dari Fustat ke Laut Merah sehingga orang yang membawa gandum ke Mesir
tidak perlu lagi memakai unta karena sekarang mereka bisa langsung menyeberang
sungai Sinai ke Laut Merah.
o Managamen
yang baik. Penerimaan Baitul Mall pada masa Umar bin Khattab pernah mencapai
180 juta dirham. Umar juga membuat jaringan yang baik dengan Baitul Mall yang ada
di daerah.
o Peningkatan
pendapatan dan partisifasi kerja. Umar selalu memantau pendapatan dan hak-hak
pada Baitul Mall. Ia juga memantau tanah-tanah garapan agar tidak ada yang
terbengkalai. Pendistribusian harta dengan cara ini akan meningkatkan
pendapatan masyarakat dan pada akhirnya akan meningkatkan permintaan agregatif.
o Pemungutan
pajak. Kebijakan ini berhasil menciptakan stabilitas harga dan mengurang
inflasi. Pada saat stagnansi, menurunnya permintaan dan penawaran agregat,
pemerintah dapat mendorongnya dengan pajak Khumus. Dengan kebijakan ini
harga tetap stabil dan produksi tetap berjalan.
o Pengaturan
anggaran. Pengaturan anggaran yang cermat dan proporsional menjaga keseimbangan
tidak akanterjadi budget deficit malah surplus.
Sumber-sumber
pendapatan saat itu tidak terbatas hanya pada zakat saja akan tetapi masih
banyak pendapatan lain yang dapat mengisi pundi-pundi Baitul Mall. Sisi
permintaan Negara saat itu adalah:[4]
o kharaj
(pajak tanah) seperti yang telah diuraikan di atas. Yang menentukan jumlah
besaran pajak adalah: karkteristik tanah (tingkat kesuburan), jenis tanaman dan
irigasi.
o Zakat
terkumpul dalam beberapa bentuk, ada yang berupa uang; dinar dan dirham,
biji-bijian, ternak, perak dan emas. Zakat yang dibayarkan sangat berfariasi
karena sumbernya berbeda-beda. Biji-bijian dari petani, ternak dari peternak
dan uang, emas dari zakat perdagangan.
o Khumus (20% atau 1/5) dari harta rampasan perang (ghanimah).
o Jizyah adalah pajak jiwa bagi orang yang non muslim (ahluzzimmah)
sebagai pengganti zakat fitrah. Besaran kewajiban diklasifikasikan menurut
kualitas dan kapasitas seseorang. Semua ini ditentukan dengan baik dan benar.
o ‘Usyur
(bea cukai) 1/10 atas barang dagangan pedagang yang melewati wilayah muslim dan
¼ saja dari 1/10 atas orang muslim.
o Rikaz juga dikenakan 10%. Rikaz ini
kadang-kadang dikelompokkan kedalam ‘Usyur adalah barang tambang atau
apa saja yang ditemukan dalam perut bumi seperti harta karun.
Efisiensi
dan efektifitas merupakan landasan pokok dalam kebijakan pengeluaran
pemerintah. Dalam Islam hal itu dipandu oleh kaidah-kaidah syariah yaitu
kemaslahatan dan penentuan skala prioritas. Berikut acuannya dapat kita
perhatikan:[5]
o Pengeluaran
demi pemenuhan kebutuhan hajat masyarakat banyak.
o Pengeluaran
sebagai alat retribusi kekayaan.
o Pengeluaran
yang mengarah kepada bertambahnya permintaan-permintaan efektif.
o Pengeluaran
yang berkaitan dengan investasi dan produksi.
o Pengeluaran
yang bertujuan menekan tingkat inflasi dengan kebijakan inetrvensi pasar.
Dengan
demikian pada Baitul Mal sebenarnya juga dapat kita perhatikan kebijakan dalam
pengalokasian belanja pada masa Umar. Pos pengeluarannya diarahkan kepada empat
belas bagian:[6]
o Belanja
kebutuhan operasional pemerintah (dar al-khalifah) termasuk upacara
kemerdekaan.
o Belanja
Penunjang Wilayah (masalih ad-daulah) termasuk
kebutuhan administrasi surat-menyurat.
o Biaya
pembangunan kota Basrah dan Kufah.
o Pergantian
mata uang (biaya moneter).
o Belanja
pegawai Negara.
o Biaya
utang tanggungan Negara.
o Belanja
umum yang berkaitan dengan infrastruktur (penggalian teluk)
o Biaya
fasilitas kehakiman.
o Biaya
santunan kepada kerabat rasul dan lain-lain.
o Belanja
jihad (militer, persenjataan dan lain-lain).
o Biaya
perluasan Masjid Haram dan kelambu Kiswah oleh Umar, lampu penerangan
masjid.
o Biaya
penyimpanan harta zakat.
o Biaya
penjagaan dan penyimpanan harta umum.
o Biaya
pengurus urusan darurat (At-Tawary).
Urutan
pembiayaan jika dilihat dari skala prioritas, pembiayaan yang berhubungan
dengan kemasyarakatan dapat kita deskripsikan sebagai berikut: [7]
Primer
|
Skunder
|
Biaya
pertahanan
Penyaluran
‘Usyur kepada mustahiq
Membayar
gaji pegawai, guru, imam, qadhi, muadzin, dan pejabat Negara
Infrastruktur
(gali teluk)
Biaya
fasilitas kehakiman
Biaya
pencetakan dirham baru (biaya moneter)
Lampu
penerang Masjid
Membayar
upah sukarelawan
Membayar
utang Negara
Bantuan Imergensi dan musafir
|
Beasiswa
yang belajar ke Madinah
Hiburan
untuk delegasi asing, biaya perjalanan
Hadiah
untuk pemerintah Negara lain (Masa rasul)
Membayar
denda atas mereka yang mati terbunuh secara tidak sengaja oleh pasukan Islam
Pembayaran
utang orang Islam yang meninggal dalam keadaan miskin
Pembayaran
tunjangan untuk orang miskin
Tunjangan
untuk sanak saudara Rasulullah
Persediaan darurat
|
Umar
juga memberikan upah pegawai yang diambil dari kas Negara (Baitul Mal). Untuk
gubernur Basrah dan para stafnya perhari diberikan dua ekor kambing yang
disembelih satu pada pagi hari dan satu lagi pada sore hari. Mereka memakan
dagingnya dan meminum kuahnya. Itulah gaji mereka. Meskipun penulis tidak
mendapatkan penjelasan tentang tunjangan tamabahan kepada Abu musa selain 2
ekor kambing setiap hari. Penulis yakin ada tunjangan lain seperti hadiah.
Sebab gubernur-gubernur yang lain seperti Ustman bin Hanif mendapatkan 5 dirham
setiap hari dan hadiah-hadiah. Untuk petugas pajak ditanah Iraq adalah ¼
kambing dan 5 dirham setiap hari dan hadiah-hadiah lainnya. Abdullah bin Mas’ud
100 dirham perbulan dan ¼ kambing setiap hari.[8]
Ada dua
kebijakan yang selalu dilakukan Rasul, Khulafaurrasyidin termasuk Umar bin
Khattab dalam mengelola belanja pemerintah yaitu pertama, mendorong masyarakat
untuk beraktifitas ekonomi baik secara sendiri-sendiri atau kelompok tanpa
bantuan Baitul Mal. Kedua, tindakan atau kebijakan untuk mendorong pertumbuhan
ekonomi masyarakat dengan bantuan dana Baitul Mal.[9]
Inilah
garis-garis besar pengeluaran pemerintah umar yang berdasarkan pada
kemaslahatan umum dan skala prioritas. Semua pengeluaran yang diambil dari
Baitul Mall atas perintah dan sepengetahuan Umar. Begitulah detil dan ketatnya
penjagaan Umar terhadap harta kaum muslimin sehingga tidak ada hak-hak mereka
yang tertunda apalagi tidak kebagian. “Harta itu bagiku seperti anak yatim”
kata Umar bin Khattab dalam pidatonya saat pengangkatannya sebagai khalifah.[10]
apakah ada bukunya ??? kira2 percetakannya apa?
BalasHapushttp://www.tokobukuikhwan.com/2015/01/buku-fikih-ekonomi-umar-bin-al-khathab.html
BalasHapusmantap... umar sosok luar biasa...
BalasHapus