Oleh : Abdurrahman
Dalam periode ini,
wewenang pembentukan hukum sepenuhnya berada di tangan Rasul. Apabila kaum
muslimin dihadapkan pada suatu permasalahan, mereka segera menyampaikannya pada
Rasul. Beliau sendiri yang langsung menyampaikan fatwa hukum, meneyelesaikan sengketa,
dan menjawab berbagai pertanyaan. Keputusan hukum tersebut kadang-kadang
dijawab oleh ayat-ayat Qur’an yang diwahyukan kepada Rasul, dan kadang-kadang
beliau berijtihad. Apa yang datang dari Rasul menjadi hukum bagai kaum muslimin
dan menjadi undang-undang yang wajib ditaati, baik yang datangnya dari Allah
maupun dari ijtihad beliau sendiri.
Namun ini bukan berarti
pintu ijtihad tertutup sama sekali bagi selain Rasul. Ada beberapa riwayat yang
menyebutkan bahwa sebagaian sahabat telah berijtihad di masa hidup Rasulullah. Ali
bin Abi Thalib diberi arahan oleh Nabi cara memutuskan hukum ketika diutus ke
Yaman untuk menjadi hakim. Muadz bin Jabal pun sebelum diutus ke Yaman pernah
ditanya oleh Nabi: “Dengan apa engkau akan mengambil keputusan, apabila
dihadapkan kepadamu suatu masalah yang tidak engkau temukan di dalam Kitabullah
dan Sunnah Rasul?”, Muadz menjawab: “Aku akan berijtihad dengan pendapatku”.
Rasul kemudian berkata: “Segala puji bagi Allah, yang telah menyesuaikan utusan
Rasulullah dengan apa yang diridhoi oleh Allah dan Rasul-Nya.”
Amr bin Ash pada suatu
hari pernah diperintah oleh Nabi dengan sabdanya: ”Putuskanlah perkara ini!” .
Amr bertanya: ”Apakah akau akan berijtihad, sedangkan engkau ada ya
Rasulullah?”. Rasul menjawab: “Ya! Kalau engkau benar, maka engkau akan
memperoleh dua pahala, dan kalau salah, maka akan memperoleh satu pahala.”
Meskipun demikian,
kewenangan para sahabat untuk berijtihad adalah hanya pada situasi-situasi
khusus dan sifatnya dalam rangka tathbiq (penerapan / pelaksanaan hukum) dan
tidak dalam rangka tasyri (pembentukan / pembuatan hukum). Di samping itu hasil
ijtihad para sahabat tentang suatu masalah tidaklah menjadi ketetapan hukum
bagi kaum muslimin secara umum atau mengikat mereka, kecuali ada ikrar (legalisasi)
dari Rasul.
Sumber pembentukan
hukum
Sumber pembentukan
hukum dalam periode Rasul ini ada dua, yaitu: wahyu ilahi dan ijtihad Rasul
(ijtihad nabawi). Jadi apabila datang permasalahan diantara kaum muslimin yang
membutuhkan ketentuan hukum (terjadi sengketa, pertanyaan, atau permohonan
fatwa), ada dua kemungkinan yang akan terjadi: Pertama, Allah menurunkan wahyu
kepada nabi untuk menetapkan keputusan. Contohnya adalah turunnya wahyu untuk
menjawab pertanyaan sahabat tentang: perang di bulan haram (2: 217) dan tentang
arak dan judi (2: 219). Kemungkinan kedua adalah suatu hukum diputuskan dengan
ijtihad nabawi. Ijtihad ini pun pada suatu waktu merupakan ta’bir ilham Ilahi
yang diberikan Allah kepada nabi, dan di waktu yang lain praktis merupakan
hasil dari kesimpulan-kesimpulan yang beliau ambil sendiri dengan berorientasi
kepada kemaslahatan. Hukum-hukum ijtihadiyah yang nabi tidak memperoleh ilham
dari Allah, yakni yang bersumber dari pandangan pribadi beliau disebut hukum
nabawi; hukum ini tidak akan diakui Allah, kecuali kalau ternyata benar. Jika
ternyata salah, maka Allah akan mengadakan pembetulan.
Contoh nyata mengenai
hal ini adalah peristiwa penetapan hukum bagi tawanan perang Badar. Saat itu
belum ada syariat tentang tawanan perang, karenanya nabi berijtihad dengan
memusyawarahkan hal ini dengan para pembesar di kalangan sahabat. Abu bakar
memberikan pandangan agar para tawanan itu dikenakan tebusan sebagai imbalan
pembebasannya, “Mereka adalah kaummu dan kerabatmu, biarkanlah mereka tetap hidup,
barangkali Allah menerima taubat mereka, lalu ambilah fidyah dari mereka, yang
berfumgsi memperkuat sahabat-sahabatmu.”, demikian pendapat Abu bakar.
Sedangkan Umar bin
Khattab berpendapat bahwa para tawanan itu harus dibunuh, “Mereka telah
membohongi dan mengusir engkau, maka hadapkanlah mereka kemari dan penggallah
leher-leher mereka, mereka adalah tokoh-tokoh kafir, sedangkan Allah akan
memberimu kecukupan bukan dari uang tebusan.”, demikian alasan Umar.
Rasulullah kemudian
lebih memilih pendapat Abu Bakar, yang kemudian ternyata Allah mengadakan
pembetulan dengan turunnya ayat:
“Tidak patut ada
beberapa tawanan bagi nabi, sehingga ia pecah belahkan (musuh) di bumi; kamu
suka kepada harta benda dunia, padahal Allah menghendaki (pahala) akhirat.” (QS.
Al-anfal: 67).
Contoh lain berkaitan
dengan ijtihad nabawi yang diralat firman Allah adalah peristiwa pemberian izin
Nabi kepada beberapa orang untuk tidak turut dalam peperangan Tabuk dengan
alasan adanya udzur. Allah mengadakan pembetulan keputusan Nabi tersebut dengan
menurunkan firman-Nya:
”Allah memberi maaf
kepadamu, mengapa engkau izinkan mereka, sebelum nyata bagimu orang-orang yang
benar, dan( sebelum) engkau tahu
orang-orang yang berdusta?” (QS. At-taubah: 43).
Dengan demikian dapat
disimpulkan bahwa pembentukan hukum pada periode Rasul ini dapat dikatakan
seluruhnya adalah bersumber dari Allah, meskipun ada ijtihad Rasul. Karena pada
akhirnya keputusan tetap harus sesuai dengan apa yang dikehendaki Allah. Jika
ijtihad itu benar Allah akan membiarkannya, dan jika salah maka akan segera
mendatangkan pembetulan atau ralat.
Pedoman pembentukan
hukum pada periode ini
Dalam upaya memberikan
keputusan hukum yang merujuk kepada sumber-sumber tasyri, Rasulullah selalu
menunggu datangnya wahyu sebelum memmutuskan sesuatu; dan kalau ternyata wahyu
tidak turun, beliau menyadari, bahwa persoalannya telah diserahkan kepada
ijtihad beliau dengan berlandaskan kepada undang-undang Ilahi dan jiwa tasyri,
serta perhitungan pribadinya yang berorientasi pada kemaslahatan, dan juga
musyawarah dengan para sahabat.
Adapun prinsip-prinsip
umum yang menjadi landasan pembentukan hukum, secara garis besar ada 4 prinsip:
Berangsur-angsur
(tadarruj)
Proses pembentukan
hukum Islam terjadi secara berangsur-angsur. Hukum-hukum syariat tidak datang
secara sekaligus berbentuk undang-undang, ia datang bertahap mengikuti berbagai
peristiwa dan kejadian.
Tadarruj ini memiliki
hikmah sebagai berikut:
Memudahkan ummat dalam
mengenal materi demi materi undang-undang yang mengatur kehidupannya.
Memudahkan ummat dalam
memahami masalah-masalah hukum secara sempurna.
Menjadi ilaj (obat)
untuk memperbaiki jiwa-jiwa yang keras agar siap menerima taklif agama tanpa bosan,
kesulitan atau keengganan.
Menyedikitkan
peraturan-peraturan
Kelahiran hukum-hukum
syariat adalah semata-mata karena adanya kebutuhan manusia dalam menjamin
kemaslahatannya, maka seyogyanya pembentukan hukum-hukum itu dibatasi menurut
relevansi kebutuhan dan kemaslahatan manusia..
Qur’an dan Sunnah
melarang memperbanyak pertanyaan yang menyebabkan menjadi ketetapan hukum.
Allah SWT berfirman:
(QS. Al-maidah: 101)
Rasulullah bersabda:
”Yang paling besar
dosanya bagi orang Islam terhadap orang Islam, adalah orang bertanya-tanya
tentang sesuatu yang tidak diharamkan bagi kaum muslimin, kemudian diharamkan
terhadap mereka karena pertanyaannya”.
Beliau juga bersabda:
”Sesungguhnya Allah
telah mewajibkan beberapa kewajiban, maka janganlah kamu sia-siakan, dan telah
meletakkan pembatasan-pembatasan, maka janganlah kamu melampauinya, dan telah
mengharamkan beberapa perkara, maka janganlah kamu melanggar, dan telah
mendiamkan beberapa perkara, sebagai rahmat atas kamu dan bukan karena lupa,
maka janganlah kamu mencari-carinya.”
Mempermudah dan
memperingan (taisir dan takhfif)
Prinsip memberikan
kemudahan dan keringanan adalah karakter syariat Islam yang sangat menonjol.
Allah SWT berfirman:
“Allah menghendaki
kemudahan dan tidak menghendaki kesukaran” (QS. 2:…).
Allah juga berfirman:
“Allah hendak
meringankan (keberatan) dari kamu, manusia itu dijadikan (bersifat) lemah.”
(QS. An-Nisaa: 28).
Di firman-Nya:
”Dan tidak dijadikan
bagi kalian dalam agama satu perkara yang berat.” (QS. Al-Haj: 78).
Dalam hadits shahih
diriwayatkan bahwasanya apabila dipilihkan kepada nabi dua hal, maka Nabi mesti
memilih yang lebih mudah diantara keduanya, asal saja tidak mengandung dosa.
Dalam syariat Islam,
jika ada situasi-situasi khusus, dimana hukum-hukum yang telah ditetapkan
ternyata mengandung kesulitan, maka sudah pasti disyariatkan rukhshah
(keringanan), maka dihalalkan apa yang semula haram, manakala timbul keadaan
yang memaksa. Diperbolehkan meninggalkan kewajiban apabila timbul kesulitan
dalam melaksanakannya. Keadaan terpaksa, sakit, bepergian, lupa,
ketidaksengajaan, ketidaktahuan, adalah hal-hal yang dianggap udzur yang
menuntut adanya keringanan.
Pembentukan hukum
sejalan dengan kemaslahatan manusia
Bukti berlakunya
prinsip ini merujuk pada beberapa kenyataan yang terjadi bahwa pada suatu saat
Allah telah menentukan hukum sesuatu, kemudian dinyatakan tidak berlaku lagi,
karena dipandang tidak relevan lagi dengan kemaslahatan manusia.
Contoh:
Perubahan ketentuan
kiblat dari baitul Maqdis ke Baitullah, Ka’bah.
Perubahan ketentuan
masa iddah bagi wanita yang ditinggal mati suaminya dari setahun menjadi 4
bulan 10 hari.
Nabi pernah melarang
ziarah kubur, kemudian memperkenankannya.
Selain itu, syariat
Islam pada masa itu juga membiarkannya tradisi manusia yang ada, sepanjang
tidak bertentangan dengan sendi-sendi agama dan tidak menimbulkan bahaya.
Contoh: Islam membiarkan masalah kekufuan dalam perkawinan; membiarkan ikatan
kekeluargaan dalam hukum waris, dll.
Peninggalan periode ini
Periode rasul ini telah
mewariskan sumber tasyri pertama, yaitu wahyu Ilahi (ayat-ayat ahkam), dan
ijtihad Rasul (hadits-hadits ahkam).
Materi-materi himpunan
nash-nash ini tidak banyak, jumlah ayat-ayat ahkam tentang ibadah dan
hubungannya dengan jihad ada 140 ayat. Jumlah ayat-ayat yang berkenaan dengan
muamalat, jinayat (pidana), dan persaksian, kira-kira ada 200 ayat. Semuanya
tersebar dalam berbagai surah.
Sementara jumlah
hadits-hadits ahkam kira-kira berjumlah 4500 hadits, hal ini seperti
diungkapkan oleh Ibnul Qayyim dalam A’lamul Muwaqqi’in. Sebagian besar
menjelaskan kandungan Al-Qur’an yang mujmal (global) atau sebagai taqrir
(pengakuan) atau taukid (penguat). Selebihnya berupa ketentuan-ketentuan hukum
yang tidak disebutkan dalam Al-Qur’an.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Please Uktub Your Ro'yi Here...