Oleh : Abu Aisyah
Idhul Adha adalah satu dari dua hari
raya dalam Islam, pada hari itu umat Islam merayakannya dengan berbagai tradisi
keagamaan. Dari mulai shalat Idhul Adha, berkurban dan bertakbir pada hari-hari
tasyrik. Hari raya Idhul Adha dalam beberapa literatur adalah hari-hari
untuk makan-minum dan dijadikan momen untuk bergembira. Inti dari hari raya ini
adalah perintah untuk menyembelih binatang qurban sebagai bentuk pendekatan
diri kepada Allah ta’ala. Binatang yang disembelih biasanya adalah Sapi, Onta
dan Kambing atau Domba.
Tradisi menyembelih hewan kurban
adalah warisan dari Nabi Ibrahim Alaihi Salam yang mendapatkan wahyu
dari Allah ta’ala untuk menyembelih putranya Ismail Alaihi Salam sebagai
ujian keimanan beliau kepadaNya. Maka dengan penuh keikhlasan Ibrahim
menjalankan wahyu tersebut, namun setelah Allah ta’ala melihat kesungguhan
Ibrahim maka Dia menggantikan semebelihan tersebut dengan Domba yang gemuk. Selanjutnya
tradisi ini dilanjutkan oleh umat Islam sebagai bentuk ibadah kepada Allah ta’ala.
Menyembelih hewan kurban pada
hari raya Idhul Adha adalah sebuah kewajiban bagi mereka yang mampu
melaksanakan. Mampu sendiri berarti ia memiliki uang atau hewan yang akan
dijadikan kurban, sementara kebutuhan hidup sehari-hari sudah terpenuhi. Sedangkan
jika seseorang tidak mempunyai harta sehingga tidak mungkin bagi dia untuk
berkurban maka tidak ada kewajiban atasnya untuk berkurban. Apa jadinya jika
seseorang yang sebenarnya mampu untuk berkurban namun ia enggan untuk
melaksanakannya?
Berkurban adalah bentuk kesadaran
dari dalam diri seseorang untuk berusaha memberikan hal terbaik bagi Allah ta’ala.
Tentu saja hewan kurban tersebut tidak akan sampai kepadaNya, akan tetapi
proses keikhlasan, harapan dan pengorbanannya yang akan mendapatkan balasan
(pahala) dariNya. Kesadaran ini akan muncul bersamaan dengan meningkatnya
keimanan seseorang, sehingga semakin tinggi iman seseorang akan semakin besar
keinginannya untuk berkurban. Dalam makna yang luas kurban berarti menyerahkan
seluruh apa yang kita miliki di jalan Allah ta’ala.
Berkaitan dengan Hari Raya Idhul
Adha maka kit alihat saat ini kesadaran masyarakat untuk berkurban terus
meningkat. Hal ini terbukti dengan banyaknya sembelihan yang dilaksanakan di
berbagai tempat, tidak hanya di masjid tapi di rumah-rumah umat Islam-pun
melaksanakan ibadah suci ini. Kesadaran ini tentu harus kita apresiasi sebagai
salah satu indikasi bagi ketakwaan masyarakat. Begitu banyaknya masyarakat yang
berkurban hingga hari raya Idhul Adha adalah ahri untuk makan daging, membuat
sate dan banyaknya daging di rumah-rumah umat Islam.
Di satu sisi umat Islam “Kelebihan”
daging pada hari raya ini, sementara di sisi lain masih ada beberapa masyarakat
yang kekurangan atau bahkan tidak mendapatkan daging hewan kurban tersebut. Hal
ini bisa jadi dikarenakan distribusinya yang tidak merata, sehingga banyak umat
Islam yang tidak bisa menikmati daging hewan kurban di hari Idhul Adha ini.
Inilah yang terjadi di Kampung
Naga, sebuah kampung adat yang berada di wilayah Tasikmalaya. Susana Idhul Adha
di sini benar-benar berbeda dengan di wilayah lainnya. Usai melaksanakan shalat
“sunnah” Idhul Adha semua warga kampung kembali ke rumah, tidak ada sembelihan,
tidak ada kurban dan tidak ada Domba di Kampung Naga. Maka tidak ada pembagain
daging kurban dan tidak ada yang bisa menikmati daging kurban di hari Idhul
Adha ini. Sungguh sangat memprihatikan, di saat masyarakat lainnya berbahagia
dan menikmati daging hewan kurban, di Kampung Naga tidak ada sembelihan dan
tidak ada acara makan daging kurban. Bisa jadi mereka melihat hal ini adalah
sesuatu yang biasa karena mereka juga telah terbiasa dengan hal itu, namun
melihat di beberapa daerah justru kelebihan daging maka sesuatu yang sangat miris
ketika ternyata masih ada saudara kita yang tidak bisa menikmati dan
merayakan Idhul Adha ini. Bisa jadi warga Kampung Naga juga menginginkan
menikmati lezatnya daging kurban, namun apa daya keinginan itu harus ditahan
untuk masa-masa yang entah kapan.
Hari raya Idhul Adha di Kampung Naga
memang tidak identik dengan penyembelihan hewan kurban, sebagai warga kampung
dengan kehidupan yang serba pas-pasan mereka hanya bisa menyediakan makanan
sederhana. Nasi, ikan, tempe atau tahu adalah menu istimewa bagi mereka,
sementara daging adalah makanan tahunan atau hanya ditemukan pada hajatan
pernikahan itupun kalau yang memiliki hajat mampu menyediakannya. Maka jangan
harap mendapatkan kurban di Kampung Naga kalaupun ada itu adalah sumbangan dari
orang luar atau perusahaan yang meitipkan hewan kurbannya di sana. Apakah ada
hubungan dengan keyakinan keagamaan? Secara kasat mata tidak ada hubungan yang
signifikan karena memang ketidakmampuan mereka untuk berkurban, namun jika kita
telisik lebih mendalam bisa jadi memang menurut mereka makna berkurban bukanlah
dalam bentuk penyembelihan. Berkurban berarti melakukan hal-hal yang sifatnya “pengurbanan”
diri untuk mendekatkan diri kepada Allah ta’ala. Sehingga untuk berkurban tidak
harus menyembelih hewan. Keyakinan ini bisa disandingkan dengan ibadah haji,
hingga saat ini tidak ada satu warga Kampung Naga yang menunaikan ibdah haji,
bisa jadi mereka memang tidak mampu untuk melaksanakannya karena kondisi
ekonominya. Karena ketidakmampuan inilah muncul satu keyakinan bahwa haji itu
adalah sesuatu yang agung sehingga bagi yang tidak mampu cukup melaksanakan
ziarah ke makam leluhur dalam bentuk tradisi Hajat Sasih. Berkaitan dengan
Hajat Sasih ini pula tradisi berkurban dialihkan menjadi meyediakan tumpeng dan
lauk-pauknya untuk didoakan oleh tetua kampung agar mendapatkan keberkahan.
Terlepas dari keyakinan
masyarakat Kampung Naga yang tidak melaksanakan kurban karena “ketidakmampuan”
mereka maka sudah selayaknya bagi lembaga-lembaga dakwah dan keagamaan atau
orang-orang yang mampu untuk berkurban agar dalam pendistribusiannya merata
hingga ke pelosok-pelosok nusantara termasuk sampai Ke Kampung Naga. Saya berharap
semoga Idhul Adha di masa-masa yang akan datang warga Kampung Naga dapat
menikmati lezat dan barakahnya daging hewan sembelihan... Wallahu a’alam.