Oleh : Abdurrahman Muhammad
Ulama adalah pewaris
para nabi, mereka menjadi pelanjut tugas kenabian yaitu menyampaikan wahyu Tuhan
kepada seluruh insan. Dalam ruang lingkup yang lebih spesifik para ulama adalah
penerus tugas Rasulullah Shalallahu Alaihi Wasalam yaitu sebagai pemberi
peringatan dan kabar gembira bagi seluruh umat manusia. Setelah Rasulullah Shalallahu
Alaihi Wasalam wafat, maka tidak ada lagi rasul dan nabi, karena Nabi
Muhammad Shalallahu Alaihi Wasalam adalah nabi dan rasul terakhir. Dari sinilah
makalah ini berawal, yaitu posisi dan peran para ulama di tengah masyarakat.
Nabi Muhammad Shalallahu
Alaihi Wasalam dalam prakteknya memiliki fungsi ganda, selain sebagai
seorang Nabi dan rasul yang bertugas menyampaikan wahyu Tuhan, beliau juga
berperan sebagai seorang kepala negara di Madinah (city-state/negara-kota).
Dalam posisi beliau sebagai kepala negara tentu saja beliau harus mengayomi
seluruh warga negaranya, tidak hanya dari komunitas muslim tapi juga komunitas
Yahudi, Nashrani, Zoroaster dan golongan lainnya. Dari dwi-fungsi inilah beliau
memiliki kedudukan yang tidak bisa ditandingi oleh generasi sesudahnya. Para khalifah
setelah beliau pun yang berusaha untuk sedekat mungkin menggantikan beliau
tidak mampu memerankan fungsi ganda ini, sehingga sebagian besar khalifah lebih
memerankan diri sebagai seorang kepala negara.
Khalifah Abu Bakar
Ash-Shidiq menyebutkan posisi beliau adalah khalifati rasul yaitu
pengganti Rasulullah Shalallahu Alaihi Wasalam. Walaupun beliau berusaha
semaksimal mungkin untuk mencontoh dwi-fungsi Rasul namun dalam prakteknya
beliau tidak bisa menggantikan secara total peran dan posisi Rasulullah Shalallahu
Alaihi Wasalam. Demikian pula tiga khalifah setelahnya, mereka lebih
memerankan diri sebagai pemimpin negara, adapun peran sebagai ulama tetap
disandang dengan bantuan dari orang-orang shaleh yang berada di sekitarnya. Dalam
hal ini posisi nabi sebagai seorang alim digantikan oleh majelis
syura yang berusaha untuk menapaki dan melaksanakan jejak-jejak keagamaan
beliau. Para pemimpin Islam pada periode berikutnya bahkan telah memosisikan
ulama sebagai penasehat negara, walaupun dalam beberapa kasus seorang kepala
negara Islam juga adalah seorang yang alim dalam masalah agama.
Pemisahan antara agama
dan negara pada periode setelah kepemimpinan khulafa ar-rasyidin semakin
jelas dengan diposisikannya ulama sebagai penasehat raja (Qadhi), ia
bertugas sebagai hakim dalam setiap penyelesaian sengketa khususnya yang
berkaitan dengan agama. Keputusan-keputusan hakim tersebut menjadi fatwa yang
dijadikan acuan dalam proses pemerintahan yang dipimpin oleh seorang khalifah. Hal
ini berlangsng terus-menerus hingga masa kekhalifahan Islam berakhir.
Selanjutnya setelah
keruntuhan kekhalifahan Islam, dunia Islam berada dalam cengkeraman kolonialis
Eropa sehingga mau tidak mau umat Islam semakin dijauhkan dari para ulama. Walaupun
usaha-usaha untuk memosisikan ulama sebagai patner pemimpin negara terus
dilakukan namun kondisi umat Islam yang masih terjajah memaksa umat Islam
semakin menyempitkan peran dan posisi ulama. Kemudian yang terjadi adalah ulama
hanya sebatas pemberi fatwa dalam masalah-masalah rumah tangga, waris dan
masalah perdata. Sementara permasalahan yang lebih luas yang berkaitan dengan
kenegaraan hampir tidak bisa mengakses-nya lagi.
Keadaan inilah yang
mejadi latar belakang bagi beberapa ulama di India untuk berusaha memperjuangkan
kembali eksistensi ulama, selain juga berusaha untuk melindungi umat Islam dari
berbagai tekanan dari musuh-musuh internal maupun eksternal. Maka pada tahun
1947 Ali Jinnah seorang ulama dari India mendirikan Negara Republik Islam Pakistan.
Upaya ini didasarkan kepada prinsip awal bahwa peran dan posisi ulama
seharusnya tidak bisa lepas dari pemerintahan, dalam hal ini pemerintah Islam
sudah selayaknya menjadikan para ulama sebagai pedoman dalam setiap pelaksanaan
kebijakannya.
Setelah itu menyusul
kelompok Syiah yang dipelopori oleh Ayatullah Khumaini dengan perjuangan
utamanya membangun pemerintah Islam yang kaafah yaitu menjadikan peran
ulama sebagai tokoh sentral dalam seiap kebijakan kenegaraan. Revolusi Islam
yang digerakannya pada tahun 1979 menghasilkan dibentuknya Negara Republik
Islam Iran. Wilayatul faqih sebagai majelis ulama menjadi posisi sentral
dalam pemerintahan Iran.
Dari fenomena dua model
pemerintahan Islam ini muncul beberapa pendapat di kalangan ulama modernis
muslim mengenai posisi dan peran ulama, ada dua pendapat mengenai hal; ini., apakah
ia hanya sebagai penasehat kepala negara? Atau juga menjadi eksekutor dalam
kebijakan kenegaraan? Pendapat pertama menyatakan bahwa ulama cukup menjadi
ustadz, buya atau mubaligh yang datang ke jamaah atau jamaah yang datang
belajar atau minta fatwa. Soal kehidupannya, serahkan kepada inisiatifnya yang
lain, atau profesi sampingannya atau profesi utamanya yang lain. Bagi pemahaman
yang satu ini, ulama bukan profesi tetapi fungsi pengabdian non-ekonomik.
Bahkan ada anggapan bahwa ulama tidak pantas dibayar kalau datang memberikan
pengajian. Pengajian hanyalah tugas sucinya.
Pendapat lain, fungsi,
tugas dan peranan ulama harus dilakukan reinterpretasi ulang dan bersesuaian
dengan tuntutan kehidupan modern. Ulama pada dasarnya sesuai makna generik
adalah orang berilmu. Karena itu tugasnya ialah mengamalkan ilmunya dan
mengajarkan ilmu itu kepada ummat. Tetapi peranan itu dalam kenyataan dalam
sejarah komunitas Islam, amatlah transformatif, komplek dan berubah-ubah.
Sejak wafatnya Rasulullah
Shalallahu Alaihi Wasalam masa sahabat Khulafa al-Rasyidun, masa dinasti
Umayah, Abbasiyiah, Fathimiyah, dinasti Turki Usmani, dinasti Shafawiyah di
Persia, Dinasti Mughal di anak benua India, ulama dituntut lebih luas dari
hanya berilmu dan pengajar atau tempat bertanya ummatnya.
Kalau di masa Khalifah
Rasyidin Abu Bakar, Umar, Usman dan Ali, khalifah masih mendekati fungsi, tugas
dan peranan kenabian. Transformasi terjadi setelah itu. Era pasca Khulafa
al-Rasyidun ini, mulai dari daulat-dinasti tadi sampai bubarnya dinasti
Khalifah Turki Usmani 1924.
Ada persepsi bahwa ulama
menjadi partner khalifah, Amir dan sultan di masa dinasti-dinasti tadi.
Sebaliknya ada persepsi bahwa ulama menjadi topeng khalifah atau pemerintahan
untuk melegalisasikan kebijakan dalam bentuk fatwa-fatwa ulama. Pada era dan
masa lain, pada pelbagai negara dunia Islam setelah kemerdekaan yang direbut
dari kaum penjajah barat, sejak awal sampai pertengahan abad-20, ulama mengubah
posisi dalam segala versinya.
Ada ulama yang di
belakang atau bahkan di samping pemerintah, ada pula masanya ulama berhadap-hadapan
dengan pemerintah alias ‘lawan’ pemerintah.
Dari sinilah muncul
berbagai teori tentang posisi dan peran ulama di dalam masyarakat, apakah ia
hanya sebagai penyampai saja atau ia berfungsi ganda seperti yang diperankan
oleh Nabi Muhammad Shalallahu Alaihi Wasalam? Dalam ruang yang lebih
spesifik bagaimana sebenarnya posisi dan peran ulama dalam pemerintahan?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Please Uktub Your Ro'yi Here...