Pada masa awal persiapan kemerdekaan
Republik Indonesia, perbincangan tentang hukum Islam dari aspek fiqh semakin
surut karena semua umat Islam disibukkan dengan pembentukkan Negara Kesatuan
Republik Indonesia (NKRI). Namun, kesibukkan tersebut tidak pernah membuat
Hasbi ikut terlena untuk melupakan agenda pembaruan hukum Islam di Indonesia
kendatipun banyak para pembaru Muslim di masanya yang mendirikan
organisasi-organisasi kemsyarakatan (Ormas).
Berdasarkan hal tersebut, wacana yang dikembangkan
dalam pemikiran keislaman menjadi kurang empiris dan mengakibatkan
terbengkalainya sederet nomenklatur permasalahan sosial-politik yang terjadi di
masyarakat, yang telah menggerakkan Soekarno untuk ikut memberikan kritik
terhadap kerangka pikir yang selama ini dipakai oleh para ulama. Kungkungan
pola pikir para ulama yang berpacu pada fahm-u ‘l-‘ilm li ‘l-inqiyâd ketika
memahami doktrin hukum Islam yang terdapat di dalam khazanah literatur klasik
membuat eksistensi hukum Islam tampak resisten, tidak mampu mematrik diri, dan
sebagai konsekuensinya ia menjadi panacea bagi persoalan sosial-politik. Para
ulama secara umum telah melupakan sejarah dan menganggap bahwa mepelajari
sejarah tidaklah begitu penting sehingga kritik atas dimensi ini menjadi tidak
ada. Dengan semikian, pandangan mereka terhadap fiqh adalah sebagai kebenaran
ortodoksi mutlak, yang absolutitasnya menegasikan kritik dan pengembangan, dan
bukan sebagai pemikiran yang yang bersifat nisbi, yang membutuhkan kritik dan
pengembangan. Maka, perlulah sebuah pemikiran dan pandangan baru yang dapat
menggeser paradigma dari pola fahm-u ‘l-‘ilm li ‘l-inqiyâd ke pola fahm-u ‘ilm
li ‘l-intiqâd.[2]
Dari titik berangkat kenyataan sosial
dan politik seperti itulah pemikiran fiqh Indonesia hadir, ia terus mengalir
dan disosialisasikan oleh Hasbi. Menurutnya, hukum Islam harus mampu menjawab
persoalan-persoalan baru, khususnya dalam segala cabang dari mu‘âmalah, yang
belum ada ketetapan hukumnya. Ia harus mampu hadir dan bisa berpartisipasi
dalam membentuk gerak langkah kehidupan masyarakat. Para ulama (lokal) dituntut
untuk memiliki kepekaan terhadap kebaikan (sense of mashlahah) yang tinggi dan
kreatifitas yang penuh dengan tanggung jawab dalam upaya merumuskan alternatif
fiqh baru yang sesuai dengan situasi dan kondisi masyarakat yang dihadapinya.
Nalar pemikiran yang digunakan oleh
Hasbi dengan gagasan fiqh Indonesia adalah satu keyakinan bahwa prinsip-prinsip
hukum Islam sebenarnya memberikan ruang gerak yang lebar bagi pengembangan dan
ijtihad-ijtihad baru.[3] Menurutnya, hingga tahun 1961, salah satu faktor yang
menjadi penghambat adalah adanya ikatan emosional yang begitu kuat (fanatik,
ta‘ashshub) terhadap madzhab yang dianut oleh umat Islam. Dan untuk membentuk
fiqh baru ala Indonesia, diperlukan kesadaran dan kearifan lokal yang tinggi
dari banyak pihak, terutama ketika harus melewati langkah pertama, yaitu
melakukan refleksi historis atas pemikiran hukum Islam pada masa awal
perkembangannya. Perspektif ini mengajarkan bahwa hukum Islam baru bisa
berjalan dengan baik jika ia sesuai dengan kesadaran hukum masyarakat. Yakni,
hukum yang dibentuk oleh keadaan lingkungan atau dengan kebudayaan dan tradisi
setempat (adat dan ‘urf), bukan dengan memaksakan format hukum Islam yang
terbangun dari satu konteks tertentu kepada konteks ruang dan waktu baru.[4]
Maka, kita dapat menyimpulkan bahwa ide fiqh Indonesia yang telah dirintis
olehnya berlandaskan pada konsep bahwa hukum Islam (fiqh) yang diberlakukan
untuk umat Islam Indonesia adalah hukum Islam yang sesuai dan memenuhi
kebutuhan rakyat Indonesia, selama itu tidak bertentangan syari’at.
Dalam pandangan Hasbi, pemikiran hukum
Islam harus berpijak pada prinsip mashlahah mursalah, keadilan, kemanfaatan,
serta sadd-u ‘l-zarî‘ah. Semua prinsip itu, merupakan prinsip gabungan dari
setiap madzhab. Maka, untuk memberikan pemahaman yang baik, ia menawarkan
metode analogi-deduktif – satu model istinbâth hukum yang pernah dipakai oleh
Imam Abû Hanîfah – untuk membahas satu permasalahan yang tidak ditemukan ketentuan
hukumnya dalam khazanah pemikiran klasik. Dengan demikian, untuk memudahkan
penerapan metode di atas, ia menggunakan pendekatan sosial-kultural-historis
dalam segala proses pengkajian dan penemuan hukum Islam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Please Uktub Your Ro'yi Here...