Oleh : AM. Bambang Prawiro
Ulama adalah pewaris
para nabi, mereka menjadi pelanjut tugas kenabian yaitu menyampaikan wahyu Tuhan
kepada seluruh insan. Proses melanjutkan ajaran-ajaran Tuhan tercermin dalam
bentuk mengajak umat manusia kepada yang ma’ruf dan mencegah segala bentuk
kemungkaran. Dalam konteks melanjutkan tugas Nabi, maka para ulama adalah pewaris
dalam hal-hal yang bersifat keagamaan. Adapun dalam masalah pemerintahan maka
kepemimpinan Nabi Muhammad Shalallahu Alaihi Wasalam digantikan oleh
para khalifah dan raja-raja Islam sesudahnya. Dari sini tampak adanya pemisahan
kepemimpinan yang terjadi, yaitu antara kepemimpina agama dan kepemimpinan
negara. Satu permasalahan besar yang hingga saat ini belum terpecahkan.
Sebagaimana tercatat
dalam literatur sejarah bahwa Nabi Muhammad Shalallahu Alaihi Wasalam memiliki
fungsi ganda (dwi fungsi), selain sebagai seorang Nabi dan rasul yang bertugas
menyampaikan wahyu Tuhan, beliau juga berperan sebagai seorang kepala negara di
Madinah (city-state/negara-kota). Sebagai seorang Nabi dan Rasul
beliau memiliki amanah untuk mengajak manusia ke jalan kebenaran Islam.
Sementara dalam posisi sebagai kepala negara beliau harus mengayomi seluruh
warga negara yang tidak hanya berasal dari komunitas muslim tapi juga komunitas
Yahudi, Nashrani, Zoroaster dan golongan lainnya. Dwi-fungsi yang diperankan
oleh beliau tidak bisa diwariskan oleh generasi sesudahnya, sehingga realitas
umat Islam saat menempatkan dua posisi kepemimpinan yang berbeda, yaitu antara
pemimpin keagamaan dan pemimpin kenegaraan. Dua jenis kepemimpinan yang tidak
bisa dihindari setelah wafatnya Nabi Muhammad Shalallahu Alaihi Wasalam.
Para khalifah dan
raja-raja Islam setelah beliau pun yang berusaha untuk sedekat mungkin
menggantikan beliau dalam dwi-fungsi ini, namun tidak ada satu orangpun yang mampu
memerankannya, sehingga sebagian besar khalifah dan raja-raja Islam lebih memposisikan
diri sebagai seorang kepala negara, sementara kepemimpinan agama diserahkan
kepada para ulama.
Khalifah Abu Bakar
Ash-Shidiq menyebutkan posisi beliau adalah khalifati rasul yaitu
pengganti Rasulullah Shalallahu Alaihi Wasalam. Walaupun beliau berusaha
semaksimal mungkin untuk mencontoh dwi-fungsi Rasulullah namun dalam prakteknya
beliau tidak bisa menggantikan secara total peran dan posisi Rasulullah Shalallahu
Alaihi Wasalam. Demikian pula tiga khalifah setelahnya, mereka lebih
memerankan diri sebagai pemimpin negara, adapun peran sebagai ulama tetap
disandang dengan bantuan dari orang-orang shaleh yang berada di sekitarnya.
Dalam hal ini posisi nabi sebagai seorang alim digantikan oleh majelis
syura yang berusaha untuk menapaki dan melaksanakan jejak-jejak keagamaan
beliau. Para pemimpin Islam pada periode berikutnya bahkan telah memosisikan
ulama sebagai penasehat negara, walaupun dalam beberapa kasus seorang kepala
negara Islam juga adalah seorang yang alim dalam masalah agama.
Pada masa-masa
berikutnya pemisahan antara kepemimpinan agama dan negara semakin jelas dengan
diposisikannya ulama sebagai penasehat raja (Qadhi), ia bertugas sebagai
hakim dalam setiap penyelesaian sengketa khususnya yang berkaitan dengan agama.
Keputusan-keputusan hakim tersebut menjadi fatwa yang dijadikan acuan dalam
proses pemerintahan yang dipimpin oleh seorang khalifah atau raja. Hal ini
berlangsung terus-menerus hingga masa kekhalifahan Islam berakhir.
Selanjutnya setelah
keruntuhan kekhalifahan Islam, dunia Islam berada dalam cengkeraman kolonialis
Eropa sehingga mau tidak mau umat Islam semakin dijauhkan dari para ulama. Walaupun
usaha-usaha untuk memosisikan ulama sebagai patner pemimpin negara terus
dilakukan namun kondisi umat Islam yang masih terjajah memaksa umat Islam
semakin menyempitkan peran dan posisi ulama. Kemudian yang terjadi adalah ulama
hanya sebatas pemberi fatwa dalam masalah-masalah rumah tangga, waris dan
masalah perdata. Sementara permasalahan yang lebih luas yang berkaitan dengan
kenegaraan hampir tidak bisa diakses-nya lagi.
Keadaan inilah yang
mejadi latar belakang bagi beberapa ulama di India dan Persia untuk berusaha
memperjuangkan kembali eksistensi ulama, selain juga berusaha untuk melindungi
umat Islam dari berbagai tekanan musuh-musuh internal maupun eksternal. Maka
pada tahun 1947 Ali Jinnah seorang ulama dari India mendirikan Negara Republik
Islam Pakistan. Upaya ini didasarkan kepada prinsip awal bahwa peran dan posisi
ulama seharusnya tidak bisa lepas dari pemerintahan, dalam hal ini pemerintah
Islam sudah selayaknya menjadikan para ulama sebagai pedoman dalam setiap
pelaksanaan kebijakannya.
Setelah itu menyusul
kelompok Syiah yang dipelopori oleh Ayatullah Khumaini dengan perjuangan
utamanya membangun pemerintah Islam yang “kaafah” yaitu menjadikan peran
ulama sebagai tokoh sentral dalam setiap kebijakan kenegaraannya. Revolusi
Islam yang digerakannya pada tahun 1979 menghasilkan dibentuknya Negara
Republik Islam Iran. Wilayatul faqih sebagai majelis ulama menjadi posisi
sentral dalam pemerintahan Iran.
Dari fenomena dua model
pemerintahan Islam ini muncul beberapa pendapat di kalangan ulama modernis
muslim mengenai posisi dan peran ulama, ada dua pendapat mengenai hal; ini.,
apakah ia hanya sebagai penasehat kepala negara? Atau juga menjadi eksekutor
dalam kebijakan kenegaraan? Pendapat pertama menyatakan bahwa ulama cukup
menjadi ustadz, buya atau mubaligh yang datang ke jamaah atau jamaah yang
datang belajar atau minta fatwa. Soal kehidupannya, serahkan kepada
inisiatifnya yang lain, atau profesi sampingannya atau profesi utamanya yang
lain. Bagi pemahaman yang satu ini, ulama bukan profesi tetapi fungsi
pengabdian non-ekonomik. Bahkan ada anggapan bahwa ulama tidak pantas dibayar
kalau datang memberikan pengajian. Pengajian hanyalah tugas sucinya.
Pendapat lain
menyatakan bahwa fungsi, tugas dan peranan ulama harus dilakukan reinterpretasi
ulang dan bersesuaian dengan tuntutan kehidupan modern. Ulama pada dasarnya
sesuai makna generik adalah orang berilmu. Karena itu tugasnya ialah
mengamalkan ilmunya dan mengajarkan ilmu itu kepada ummat. Tetapi peranan itu
dalam kenyataan dalam sejarah komunitas Islam, amatlah transformatif, komplek
dan berubah-ubah. Sejak wafatnya Rasulullah Shalallahu Alaihi Wasalam masa
sahabat Khulafa al-Rasyidun, masa dinasti Umayah, Abbasiyiah, Fathimiyah,
dinasti Turki Usmani, dinasti Shafawiyah di Persia, Dinasti Mughal di anak
benua India, ulama dituntut lebih luas dari hanya berilmu dan pengajar atau
tempat bertanya ummatnya. Kalau di masa Khalifah Rasyidin Abu Bakar, Umar,
Usman dan Ali, khalifah masih mendekati fungsi, tugas dan peranan kenabian.
Transformasi terjadi setelah itu. Era pasca Khulafa al-Rasyidun ini, mulai dari
daulat-dinasti tadi sampai bubarnya dinasti Khalifah Turki Usmani 1924. Ada
persepsi bahwa ulama menjadi patner khalifah, amir dan sultan di masa
dinasti-dinasti tadi. Sebaliknya ada persepsi bahwa ulama menjadi topeng
khalifah atau pemerintahan untuk melegalisasikan kebijakan dalam bentuk
fatwa-fatwa ulama.
Dari sinilah muncul
berbagai permasalahan tentang posisi dan peran ulama di dalam masyarakat,
apakah ia hanya sebagai penyampai (mubaligh) saja atau ia berfungsi
ganda seperti yang diperankan oleh Nabi Muhammad Shalallahu Alaihi Wasalam?
Dalam ruang yang lebih spesifik bagaimana sebenarnya posisi dan peran ulama
dalam pemerintahan? Dengan mengambil dua contoh pemerintahan Islam yang
memiliki basis theologi yang berbeda diharapkan kita akan mengetahui bagaimana
posisi dan peran mereka bagi kemajuan suatu bangsa dan negara. Oleh akrena itu
makalah ini akan mengkaji mengenai posisi dan peran ulama dan proses legislasi di
Republik Islam Iran (RII) dan Republik Islam Pakistan (RIP).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Please Uktub Your Ro'yi Here...