Dalam bab terakhir ini (BAB V) diangkat beberapa teori mengenai
budaya dengan harapan dapat digunakan sebagai alat untuk memperspektif suatu
fenomena budaya atau fenomena sosial yang muncul baik dalam dimensi masa kini,
masa lampau atau pun di masa mendatang. (Adapun beberapa teori tersebut adalah
sebagai berikut):
1. Budaya yang lebih tinggi dan aktif akan mempengaruhi budaya yang
lebih rendah dan pasif melalui kontak budaya (Malinowski, 1983:21-23). Teori
Malinowski ini sangat nampak dalam pergeseran nilai-nilai budaya kita yang
condong ke Barat. Dalam era globalisasi informasi menjadi kekuatan yang sangat
dahsyat dalam mempengaruhi pola pikir manusia. Budaya barat saat ini
diidentikkan dengan modernitas (modernisasi), dan budaya timur diidentikkan
dengan tradisional atau konvensional. Orang tidak saja mengadopsi ilmu
pengetahuan dan teknologi Barat sebagai bagian dari kebudayaan tetapi juga
meniru semua gaya orang Barat, sampai-sampai yang di Barat dianggap sebagai
budaya yang tidak baik tetapi setelah sampai di Timur diadopsi secara membabi
buta. Seorang yang sudah lama menetap di Australia kemudian mudik ke Indonesia,
ia tercengang melihat betapa cepatnya perubahan budaya di Indonesia. Ia saat
itu bahkan merasa berada di Amerika. Ada beberapa saluran TV yang menayangkan
banyak film Amerika yang penuh dengan adegan kekerasan dan seks. Selama
beberapa minggu ia berada di tanah air, ia tidak melihat kesenian tradisional
yang ditayangkan di TV swasta seperti yang pernah dilihatnya dahulu di TVRI. Ia
kemudian sadar bahwa reog, angklung, calung, wayang golek, gamelan, dan tarian
tradisional tidak hanya nyaris tidak ditayangkan di TV, tetapi juga jarang
sekali dipertontonkan langsung di tengah-tengah masyarakatnya. Sementara itu,
ia justru menemukan Mc. Donald’s, Kentucky Fried Chicken, Pizza Hut, dan Dunkin
Donuts di sini. Beberapa toserba dan pasar swalayan juga mirip seperti yang ia
temukan di luar negeri dengan penataan yang serupa. Kedua tempat berbelanja
tersebut bahkan lebih banyak menggunakan petunjuk-petunjuk berbahasa Inggeris,
meskipun mayoritas pengunjungnya adalah orang Melayu. Ia melihat banyak pemuda
bergaya masa kini, dengan rambut panjang di buntut kuda, sebelah telinganya
beranting, bercelana Levi’s duduk-duduk santai di Mall, seraya meneguk minuman
dingin ‘Soft Drink’. Demikian pula pemuda-pemudinya banyak sekali yang hanya
menggunakan kaos sepotong yang ketat dan tidak sempat menutup pussarnya, dengan
celana panjang yang ketat pula, sedangkan rambutnya disisir dengan gaya
semrawut. Di kota-kota besar sudah tumbuh pub-pub, night-club, diskotik dan
karaoke yang sangat laris. Restoran-restoran yang menyediakan makanan ala
China, dan Eropa. Ia tertegun benarkah ini negeriku Indonesia? Fenomena
tersebut menunjukkan bahwa kebudayaan Indonesia yang halus dan yang tinggi
nilai budayanya telah terkontaminasi oleh kebudayaan Barat yang sekuler seperti
itu?
2. Teori Sinkronisasi Budaya (Hamelink, 1983) menyatakan “lalu
lintas produk budaya masih berjalan satu arah dan pada dasarnya mempunyai mode
yang sinkronik . Negara-negara Metropolis terutama Amerika Serikat menawarkan
suatu model yang diikuti negara-negara satelit yang membuat seluruh proses
budaya lokal menjadi kacau atau bahkan menghadapi jurang kepunahan.
Dimensi-dimensi yang unik dari budaya Nusantara dalam spektrum nilai
kemanusiaan yang telah berevolusi berabad-abad secara cepat tergulung oleh
budaya mancanegara yang tidak jelas manfaatnya. Ironisnya hal tersebut justru
terjadi ketika teknologi komunikasi telah mencapai tataran yang tinggi,
sehingga kita mudah melakukan pertukaran budaya. (Dalam sumber yang sama)
Hamelink juga mengatakan, bahwa dalam sejarah budaya manusia belum pernah
terjadi lalu lintas satu arah dalam suatu konfrontasi budaya seperti yang kita
alami saat ini. Karena sebenarnya konfrontasi budaya dua arah di mana budaya
yang satu dengan budaya yang lainnya saling pengaruh mempengaruhi akan
menghasilkan budaya yang lebih kaya (kompilasi). Sedangkan konfrontasi budaya
searah akan memusnahkan budaya yang pasif dan lebih lemah. Menurut Hamelink, bila
otonomi budaya didefinisikan sebagai kapasitas masyarkat untuk memutuskan
alokasi sumber-sumber dayanya sendiri demi suatu penyesuaian diri yang memadai
terhadap lingkungan, maka sinkronisasi budaya tersebut jelas merupakan ancaman
bagi otonomi budaya masyarakatnya.
3. Agen Eropa merupakan pendorong utama terjadinya proses perubahan
budaya (Malinowski, 1983:24). Sejak zaman pemerintahan kolonisasi Belanda
membuka perkebunan dan pabrik-pabrik sampai dengan abad ke-21 di mana
pemerintah mengeluarkan kebijakan dengan membuka kran dan kemudahan bagi para
investor asing, sedikit banyaknya akan membawa perubahan dalam sistem
perekonomian kita. Perusahaan asing yang dikelola dengan modal besar
menggunakan tenaga murah dari penduduk pribumi. Dalam sistem ekonomi kapitalis
tenaga kerja dianggap sebagai faktor produksi dan tujuan perusahaan asing di
Indonesia jelas bukan untuk melaksanakan demokrasi ekonomi seperti yang tertera
dalam UUD 1945 Pasal 33. Salah satu sisi perusahaan asing berbondong-bondong
menanamkan investasinya di bumi Indonesia adalah karena (1) Indonesia memiliki
sumber alam ‘Natural Resource’ yang berlimpah ruah; (2) Perusahaan asing dapat
mendapatkan tenaga kerja murah dengan demikian perusahaan asing yang menanamkan
modal di sini memiliki keunggulan daya saing berimbang atau komparatif
‘Comparative Advantage’ sehingga dapat menjual hasil produksinya di bawah harga
dengan kualitas produksi yang sama. Kondisi ini tentu secara perlahan tetapi
pasti diikuti oleh para pelaku ekonomi bangsa kita. Dengan demikian secara
berangsur-angssur sistem ekonomi kapitalis akan semakin tertanam dalam jiwa
para pelaku ekonomi di bumi persada kita. Sebagai bukti adalah pertama,
sulitnya para konglomerat mendengar himbauan Presiden untuk menyisihkan
keuntungannya sebagai upaya pengentasan kemiskinan ; kedua, sulitnya Menteri
Sosial untuk mendapatkan bantuan dalam HKSN.
4. Proses perubahan budaya dapat terjadi karena difusi, yakni unsur
budaya yang satu bercampur dengan unsur budaya lainnya sehingga menjadi
kompleks, di mana unsur komponennya menjadi tidak dekat lagi dengan unsur
budaya aslinya. Kajian di Melanesia dan Afrika Barat pengaruh aliran budaya
dari Asia Tenggara. Budaya Mesir purba yang masih tertinggal di India, Cina,
Kepulauan Pasifik hingga sampai ke Dunia Baru Malinowski tidak sepakat dengan
teori tersebut, melalui kajian empiris dia menyatakan difusi merupakan proses
yang diarahkan oleh budaya yang lebih kuat / pemberi budaya dan mendapat
tantangan hebat dari budaya yang lemah / penerima budaya (Malinowski, 1983:
27). Hasil penelitian di daerah transmigrasi Rajabasa Lama, Way Jepara Lampung
Tengah 1995-1997 menunjukkan terjadinya difusi di bidang cara pengolahan lahan
pertanian. Hal ini terjadi di mana penduduk suku Lampung yang tadinya terbiasa
mengolah lahan secara tertutup (masih menyisakan bagian hutan di lahan
pertanian), kini mereka mulai mengolah lahan secara terbuka (membabat habis
sisa hutan yang tadinya sebagai cadangan kayu dan sebagainya). Transmigrasi
asal suku Jawa yang tadinya mencangkul dalam-dalam tanahnya sebelum ditanami,
kini mereka hanya mengoret (mencangkul tipis-tipis lahannya untuk sekedar
menghilangkan rumputnya) seperti yang biasa dilakukan oleh orang Lampung,
karena ternyata dengan mengoret humusnya tidak cepat habis. Para transmigran
juga membuat gerobak, seperti halnya gerobaknya orang Lampung yang berukuran
kecil dan ramping, sehingga cukup ditarik oleh sapi seekor dan mudah menerobos
di jalan-jalan setapak.
5. Budaya adalah campuran unsur suatu hasil integrasi budaya yang
hanya bisa dipahami melalui budaya induknya. Teori ini ditolak oleh Malinowski
(Malinowski, 1983: 29). Re-tribalisme yang terjadi di Indonesia pada masa
pemerintahan Kolonial Belanda di mana pada saat itu kelompok Melayu telah
menempati kedudukan yang dominan dalam masyarakat Kota Medan, terutama untuk
kelompok suku-suku Indonesia, dengan menempatkan kebudayaan Islam Melayu
(Melayu – Moslem - Culture) sebagai basis pembauran ‘meeting pot’. (Apabila)
masuk Melayu pada waktu itu berarti juga masuk Islam. Dengan demikian pada
waktu itu banyak anggota-anggota etnis pendatang seperti dari Mandailing, Karo,
Sipirok melakukan asimilasi dengan kelompok Melayu. Mereka hidup sebagai orang
Melayu, berbahasa Melayu sehari-hari, memakai adat resam Melayu dan
menanggalkan pemakaian Marga Batak. Namun demikian setelah kemerdekaan RI,
dimana kekuasaan Kesultanan Melayu berakhir, hingga saat ini ternyata banyak di
antara mereka yang telah menjadi Melayu tersebut kembali memakai marganya,
menelusuri silsilah keluarganya ke gunung. Proses inilah yang disebut dengan
proses re-tribalisme. Setiap kelompok etnis Kota Medan membutuhkan usaha untuk
mengekspresikan identitas etnisnya lewat berbagai media, idiom, dan
simbol-simbol kehidupan budaya. Pengungkapan identitas ini sering dilakukan secara
aktif dan sadar, seperti memakai pakaian adat, perhiasan, bahasa, dan tingkah
laku tertentu, agar orang dari kelompok etnis lainnya mengetahui identitas dan
batas-batas ‘boundaries’ antara mereka dan orang lain (Barth, 1969 dalam
Depdikbud, 1987: 7). Re-tribalisme ini sebenarnya menunjukkan adanya proses
integrasi budaya yang tidak kokoh, bahkan langsung dapat dipahami sebagai
budaya yang kembali ke akar budayanya. Namun hal tersebut tidak bisa untuk
menjelaskan seluruh proses integrasi kebudayaan, bahkan menurut hemat kami
hanya sedikit sekali integrasi budaya yang hanya dapat dipahami dari budaya
induknya.
6. Teori Budaya Fungsional. Ahli antropologi aliran fungsional
menyatakan, bahwa budaya adalah keseluruhan alat dan adat yang sudah merupakan
suatu cara hidup yang telah digunakan secara luas, sehingga manusia berada di
dalam keadaan yang lebih baik untuk mengatasi masalah-masalah yang dihadapinya
dalam penyesuaiannya dengan alam sekitarnya untuk memenuhi kebutuhannya
(Malinowski, 1983: 65) atau “Budaya difungsikan secara luas oleh manusia
sebagai sarana untuk mengatasi: masalah-masalah yang dihadapi sebagai upaya
penyesuaiannya dengan alam dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya”. Contoh
budaya fungsional ini banyak sekali dalam masyarakat kita dan bisa kita jumpai
dalam kehidupan kita sehari-hari. Misalnya pada musim kemarau di mana seorang
petani sulit menanam, peceklik, akhirnya ia menjadi nelayan, dan setelah musim
penghujan tiba ia kembali menjadi petani lagi.
7. Teori tindakan atau action theory (Talcott Parson, E. Shils,
Robert K. Merton dan lain-lain). Kebudayaan (berdasarkan teori tindakan ini)
terdiri dari empat komponen sebagai berikut (1) Sistem Budaya ‘Culture System’;
(2) Sistem Sosial ‘Social System’; (3) Sistem Kepribadian ‘Personality System’;
dan (4) Sistem Organik ‘Organic System’.
(1) Sistem Budaya ‘Culture System’ yang merupakan komponen yang
abstrak dari kebudayaan yang terdiri dari pikiran-pikiran, gagasan-gagasan,
konsep-konsep, tema-tema berpikir dan keyakinan-keyakinan (lazim disebut
adat-istiadat). Di antara adat-istiadat tersebut terdapat “sistem nilai
budaya”, “sistem norma” yang secara khusus dapat dirinci dalam berbagai norma
menurut pranata yang ada di masyarakat. Fungsi sistem budaya adalah menata dan
memantapkan tindakan-tindakan serta tingkah-laku manusia.
(2) Sistem Sosial ‘Social System’; terdiri dari aktivitas-aktivitas
manusia atau tindakan-tindakan dari tingkah laku berinteraksi antarindividu
dalam bermasyarakat. Sebagai rangkaian tindakan berpola yang berkaitan satu
sama lain, sistem sosial itu bersifat kongkrit dan nyata dibandingkan dengan
sistem budaya (tindakan manusia dapat dilihat atau diobservasi). Interaksi
manusia di satu pihak ditata dan diatur oleh sistem budaya. Namun di lain pihak
dibudayakan menjadi pranata-pranata oleh nilai-nilai dan norma tersebut.
(3) Sistem Kepribadian ‘Personality System’; adalah soal isi jiwa
dan watak individu yang berinteraksi sebagai warga masyarakat. Kepribadian
individu dalam suatu masyarakat walaupun satu sama lain berbeda-beda, namun
dapat distimulasi dan dipengaruhi oleh nilai-nilai dan norma-norma dalam sistem
budaya dan dipengaruhi oleh pola-pola bertindak dalam sistem sosial yang telah
diinternalisasi melalui proses sosialisasi dan proses pembudayaan selama hidup,
sejak kecilnya. Dengan demikian sistem kepribadian manusia berfungsi sebagai
sumber motivasi dari tindakan sosialnya.
Dan (4) Sistem Organik ‘Organic System’ melengkapi seluruh kerangka
sistem dengan mengikut-sertakan proses biologik dan bio kimia ke dalam
organisme manusia sebagai suatu jenis makhluk alamiah. Proses biologik dan
biokimia tersebut apabila dipelajari lebih dalam ikut menentukan kepribadian
individu, pola-pola tindakan manusia, dan bahkan gagasan-gagasan yang
dicetuskan (Koentjaraningrat, 1980: 235-236). Kebiasaan suku Lampung bila
menghidangkan tamu yang dihormati, atau kerabat yang dihormati adalah
menyuguhkan kepala ikan ‘culture system’. Budaya ini tidak boleh dipahami dari
sudut pandangan orang Jawa atau orang Sunda, di mana kebiasaan kedua suku
tersebut apabila memberikan jamuan makan dengan hidangan kepala ikan dianggap
sebagai suatu penghinaan ‘social system’. Sebagai ilmuwan kita harus memahami
budaya tersebut dari budaya daerah itu sendiri atau dari induk budayanya.
Ikan-ikan yang ada di Lampung adalah ikan-ikan besar dan orang Lampung tidak
mau mengkonsumsi ikan yang kecil-kecil, kecuali dibuat terasi atau makanan
lainnya. Ikan yang biasa dimakan mereka adalah ikan yang “rasa kepalanya enak”,
seperti ikan baung, jelabat, dan sebagainya. Orang Lampung tidak menghidangkan
ikan seperti mujair, gurami, tawes, wader, dan sebagainya untuk menjamu tamu
yang dihormati. Maka karena rasa kepala ikan baung, ikan jelabat sangat enak,
dan ikannya besar ‘organic system’, maka sangat wajar bila mereka menghidangkan
ikan kepada tamunya pada bagian kepalanya. Sebaliknya jenis ikan di Jawa adalah
ikan yang kecil-kecil sehingga kalau memberikan suguhan ikan pada kepalanya
sama (nilainya) dengan memberi kucing. Oleh karena itu, menjelaskan suatu
budaya haruslah dipahami dari budaya (atau sistem budaya yang berlaku) itu
sendiri.
8. Teori Oreantasi Nilai Budaya ‘Theory Oreantation Value of
Culture’. Menurut Kluckhon dan Strodberck soal-soal yang paling tinggi nilainya
dalam kehidupan manusia dan yang ada dalam tiap kebudayaan di dunia ini
menyangkut paling sedikit lima hal, yakni (1) Human Nature atau makna hidup
manusia; (2) Man Nature atau persoalan hubungan manusia dengan alam sekitarnya;
(3) Persoalan Waktu, atau persepsepsi manusia terhadap waktu; (4) Persoalan
Aktivitas ‘Activity’, persoalan mengenai pekerjaan, karya dan amal perbuatan
manusia; dan (5) Persoalan Relasi ‘Relationality’ atau hubungan manusia dengan
manusia lainnya. Bagaimana oreantasi nilai budaya di Indonesia? Dalam
kenyataannya selalu beroreantasi pada nilai-nilai Pancasila, karena Pancasila
sebagai kristalisasi nilai-nilai luhur kebudayaan bangsa Indonesia ternyata
bukan hanya sekedar simbol-simbol, atau slogan dengan rangkaian kata-kata yang
indah tetapi memiliki arah berupa nilai yang menjadi oreantasi budaya yang
sangat tinggi nilainya, di mana masing-masing sila memuat kelima hal atau sila
yang sangat tinggi nilainya. Masing-masing sila memuat makna hidup manusia,
makna sosial, hubungan manusia yang satu dengan yang lainnya, dan arah
aktivitas yang selalu disinari oleh sila yang pertama, yakni Ketuhanan Yang
Maha Esa.
Ditulis Oleh : santri-metro ~ Belajarlah sebanyaknya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Please Uktub Your Ro'yi Here...