Oleh : Zenith Harris Merrill
Monoteisme Bangsa Primitif
Sehingga, kita menemukan keyakinan terhadap satu Tuhan yang
Maha Besar diantara semua suku-suku yang disebut primitif, yang telah
ditemukan. Suku Maya di Amerika Tengah meyakini satu Tuhan yang menciptakan
segala sesuatu, yang mereka panggil Itzamna [1], Kaum Mende di Sierra Leone,
Afrika Barat, meyakini satu Tuhan yang menciptakan alam semesta dan roh-roh,
yang mereka panggil Ngewo[2], di Babilon Kuno sesembahan utama penduduk kota
itu, Marduk [3], dipandang sebagai Tuhan yang Maha Besar. Di Hinduisme, Brahma
adalah satu Tuhan yang absolut, abadi, dan bukan-manusia, yang tidak mempunyai
permulaan dan akhir[4].
Di agama Yoruba, yang dianut oleh lebih dari 10 juta orang
di Afrika Barat (utamanya Nigeria), terdapat satu Tuhan yang Maha Besar,
Olorius/Olodumare (Penguasa langit). Meskipun demikian, agama Yoruba modern
dicirikan oleh berbagai bentuk upacara peribadahan Orisha yang mengubah agama
ini menjadi lebih dekat ke politeisme.
Dari Monoteisme Menjadi Politeisme
Satu dari ahli-ahli barat pertama yang mengakui pengaruh
penting trend dari monoteisme menjadi politeisme ekstrim adalah Stephen
Langdon, dari Oxford. Langdon mengambil pandangan bahwa Sumerian adalah
peradaban sejarah yang paling tua dan dia mencatat “Dalam pandangan saya
sejarah peradaban manusia yang paling tua adalah proses kemunduran secara tajam
dari monoteisme ke politeisme ekstrim dan kepercayaan yang tersebar luas
tentang roh-roh. Dalam pendirian yang sangat tepat, ini adalah sejarah
kejatuhan manusia.”[5]
Edward McCrady, yang menulis tentang keagamaan orang India,
mengamati bahwa bahkan Rig Veda(Book 1, p.164) menunjukkan bahwa tuhan-tuhan di
masa-masa awal dipandang secara sederhana sebagai perwujudan yang bemacam-macam
dari Zat Ketuhanan Yang Maha Tunggal, dia menyatakan bahwa: “Mereka
menyebut-Nya dengan Indra, Mythra, Varunna, Agnee – semuanya adalah istilah
(sebutan/nama) yang berbeda untuk satu Tuhan Yang Maha Bijaksana.”[6]
Sifat-sifat Tuhan Yang Maha Esa Bangsa Primitif
Ahli sejarah China kadang-kadang membagi periode sejarah
kuno ke dalam tiga periode: periode utama, periode menengah, dan periode dekat.
Periode pertama kira-kira merentang dari abad ke-21 sampai abad ke-12 sebelum
Masehi. Menurut Ron Williams, yang membaca tulisan China, setiap periode
memiliki ciri-ciri keagamaan tersendiri, dan periode pertama secara terang
adalah monoteistik. Williams juga mencatat bahwa: “Pada periode sejarah China
ini, Penguasa yang Besar adalah Tunggal dan tidak dapat dibagi, tidak dapat
berubah, tidak ada yang menyamai, mengatur secara absolut dan sendirian di atas
segala sesuatu yang ada di langit dan di bumi. Dia melakukan apa yang Dia
kehendaki tanpa ada kekuatan yang dapat menghalanginya, dan kehendak-Nya selalu
hak.”[7]
Dalam serial jurnal The Great Ages of Man, satu volumenya
diterbitkan berkaitan dengan China kuno, yang ditulis oleh Edward H. Schafer
,yang mencatat: “Satu dari yang paling tua dan pasti paling besar dari
tuhan-tuhan adalah Tuhan Langit Ti'en. Pada masa-masa awal Ti'en dipandang
sebagai Raja Besar di langit, lebih megah dari segala yang ada di bumi.
Selanjutnya kebanyakan memandang Ti'en sebagai sumber energi non-manusia,
sumber energi yang menggerakkan dunia.”[8]
Kerja lain yang sangat penting pada monoteisme awal dari
orang-orang primitif adalah oleh Wilhelm Schmidt, yang asalnya pekerja
produktif di Jerman, diterbitkan pada tahun 1930 dalam terjemahan bahasa
Inggris sebagai sebuah volume tunggal. Dalam studinya Schmidt mendapatkan bahwa
dia menemukan budaya primitif pada tingkatan budaya yang paling rendah,
mempunyai konsep Tuhan yang lebih murni. Dia mencatat bahwa seperti seseorang
berkembang dari pemburu saja menjadi pengumpul makanan, dan dari penyimpan
makanan menjadi penanam makanan seperti pengembara pastor yang menjaga
jemaahnya, menjadi penanam makanan yang menetap pada suatu tempat, dan di atas
skala masyarakat semi-urban, seseorang menemukan keyakinan sederhana terhadap
Tuhan yang Maha Besar, yang tidak mempunyai isteri dan keluarga. Menurut
Schmidt kita menemukan bentuk keyakinan ini antara Pygmies di Afrika tengah,
orang Australia-tenggara Aborigin, orang Amerika asli di
California-utara-tengah, Algonquians primitif, dan Koryaks serta Ainu pada
batas-batas tertentu. Untuk menyimpulkan penemuannya secara ringkas, kata-kata
dia sendiri adalah: “Kembali ke masyarakat paling primitif, Pygmies di Afrika
atau orang Australia-tengah Aborigin atau orang-Amerika tengah Indian – semua
mempunyai satu Tuhan yang Maha Besar yang kepada-Nya-lah mereka membuat
persembahan... semua masyarakat ini juga mempunyai tata-cara doa yang
pendek...”[9]
Andrew Lang mencatat bahwa "Aborigin Australia mungkin
memiliki salah satu kebudayaan yang paling sederhana dari semua masyarakat yang
dikenal, tetapi mereka memiliki konsep-konsep keagamaan yang begitu tinggi,
yang akan lumrah untuk menjelaskan bahwa konsep itu merupakan akibat dari
pengaruh Eropa. "[10] Pada saat penulisan Lang merasa bahwa penjelasan ini
dibenarkan karena dalam lingkungannya konsep mereka tentang Tuhan dipandang
sebagai yang paling 'berevolusi' dan 'beradab.'
Lang juga menyebutkan bahwa penduduk Kepulauan Andaman, yang
dia pandang berada pada tingkat kebudayaan yang sama dengan Aborigin, meyakini
satu Tuhan. Mereka menggambarkan Tuhan itu sebagai Zat yang tidak bisa dilihat,
abadi, pencipta segala sesuatu (kecuali kejahatan), mengetahui segala yang ada
di hati dan pikiran, Zat yang marah terhadap dusta dan perilaku buruk, membantu
orang yang dalam kesukaran dan penderitaan. Lebih lanjut, konsep Tuhan mereka
adalah bahwa Dia adalah Hakim terhadap jiwa yang telah mati dan pada masa depan
Dia akan memimpin pengadilan yang agung.
Informasi yang diberikan ke Lang itu datang dari
anggota-anggota yang lebih tua dari masyarakat tersebut, yang tidak mengenal
masyarakat lain pada saat itu. Seperti yang Lang katakan, “... pengaruh luar
sepertinya telah dikesampingkan lebih dari biasanya (dalam konsep Tuhan
mereka).”[11]
Sameul Zwemer berbicara tentang ciri-ciri Bushmen yang
monoteistik, seperti kebanyakan orang dari kebudayaan Arctic yang dia
pertahankan, yaitu “Terang ... bahkan untuk penelitian yang sambil lalu.”[12]
Dalam papernya dia tidak hanya menyampaikan ulang apa yang telah diteliti oleh
orang lain, sebut saja hasil penelitian bahwa orang-orang primitif mempunyai
pengetahuan tentang satu Tuhan yang Maha Besar, melainkan lebih menyatakan
bahwa Tuhan yang Maha Besar, yang mereka kenal, secara inti adalah satu Zat
yang sama dengan sifat-sifat yang sama. Canon Titcombe mencatat ketika
berbicara tentang Zulus, mengutip seorang mantan bishop dari Natal yang
mempunyai pengetahuan tentang Zulus dari tangan pertama ketika mereka masih
utuh secara budaya, bahwa mereka tidak mempunyai sesembahan selain mengakui Zat
Tunggal yang Maha Besar, yang dikenal sebagai Zat yang Agung, yang Maha Kuasa,
yang Pertama, dll.[13] Titcombe juga mencatat konsep satu Tuhan di antara
penduduk asli Madagaskar.[14]
Kesimpulan
Semua bukti-bukti ini mengarahkan Paul Radin untuk
menyimpulkan, setelah menyebutkan kerja Lang: “wawasan intuisinya telah
dikuatkan secara berlimpah”.[15] Tambahan lagi, E.O. James menyimpulkan dalam
sebuah paper yang diterbitkan oleh Jurnal of the Royal Anthropological
Institute: “Maka, tidak mungkin untuk mempertahankan sebuah evolusi yang
unilateral (sepihak dan satu) dalam wawasan dan praktek keagamaan seperti yang
disarankan oleh 'Tiga Tingkat' dari Frazer, Tylor dan Comte. Meskipun demikian,
baik spekulasi bahwa ide tentang Tuhan tumbuh dalam peribadatan nenek moyang
seperti yang disebarkan oleh Herbert Spencer maupun model evolusi Frazer dari
politeisme dan animisme ke monoteisme tidak dapat dirujukkan dengan satu
Tuhan-kesukuan yang Maha Besar, yang merupakan ciri dari konsep yang primitif
tentang Tuhan, yaitu konsep satu-Tuhan yang selalu berulang.”[16]
Proses kemunduran monoteisme dapat dilihat pada Budhisme
yang berawal pada abad ke-6 sebagai gerakan pembaruan dalam Hinduisme. Namun
masa berikutnya, patung-patung dan gambar-gambar raksasa dalam jumlah besar
dari Budha didirikan dan dikelilingi dengan bunga, dupa, dll. Lebih lanjut,
pengikut Budhisme menyelenggarakan sejumlah upacara (ritual) kepada
patung-patung tersebut, yang mencakup sujud, ruku (ketundukan), dll. Sebagai
tambahan, Dalai Lama dari Tibet diibadahi sebagai tuhan yang berwujud manusia
(man-god), dengan sujudnya para pengagum terhadapnya. Hal seperti ini juga
dapat diamati dalam gerakan Sufi Naqsyabandi dengan pemimpinnya saat ini Naazim
Qubrusi, dan juga 'pembuat mukjizat' seperti Sai Baba dan 'Ayatullah' Khomaini.
Semua manusia ini diibidahi selain Allah dan menunjukkan proses kemunduran
monoteisme menjadi politeisme.
Catatan Kaki:
[1] John Hinnels, Dictionary of Religions (Penguin Books:
1884), p. 93
[2] Ibid, p. 210
[3] Ibid, p. 204
[4] Ibid, p. 68
[5] Stephen H. Langdon, “Mythology of all Races,” in Semitic
Mythology Journal (Vol. 5, Archaeological Institute of America: 1931), p. xviii/p.18
[6] Edward McCrady, “Genesis and Pagan Cosmologies,” Trans.
Vict. Institute; Vol. 72 (1940), p.55
[7] Ron Williams, “Early Chinese Monotheism,” a thesis paper
presented before the Kelvin Institute (Toronto, 1938)
[8] Edward H. Schafer, “Ancient China,” in The Great Ages of
Man (New York: Time Life, 1967) p. 58
[9] Wilhelm Schmidt, The Origin and Growth of Religion –
Facts and Theories, (London: 1931) p. 131, (translated by HJ Rose)
[10] Andrew Lang, The Making of Religion (London: Longmans
Green, 1909) pp. 175-182, 196
[11] Ibid, p. 196
[12] Samuel Zwemer, “The Origin of Religion – By Evolution
or by Revelation,” (Trans. Vict. Institute, Volume 67; 1937) p. 189
[13] J.H. Titcombe, “Prehistoric Monotheism,” (Trans. Vict.
Institute, Vol. 8, 1937) p. 145
[14] Ibid, p. 144
[15] Paul Radin, Primitive Men as Philosophers (New York:
1956) p. 346
[16] E.O. James, “Religion and Reality,” in The Journal of
the Royal Anthropological Institute (Vol. 79, 1950) p. 28
http://www.salafimanhaj.com/pdf/Monotheism%20and%20Evolution.pdf
16 Nopember 2012, pukul: 19:39 wib
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Please Uktub Your Ro'yi Here...