Tradisi menutup kepala bagi
laki-laki adalah tradisi dunia yang ada di setiap sistem budaya, ia menjadi
sebuah kewajiban yang mencerminkan kepribadian seseorang. Dalam ruang lingkup
ilmu rawi hadits (orang-orang yang meriwayatkan hadits Nabi Muhammad Shalallahu
Alaihi Wasalam) terdapat salah satu persyaratan seseorang itu dianggap tsiqah
(syarat diterima riwayat haditsnya) adalah ketika ia senantiasa menutup
kepalanya dengan imamah, sorban, peci atau yang lainnya. Tradisi menutup kepala
di kalangan muslim menjadi satu keutamaan terutama ketika hendak melaksanakan
shalat dan beberapa ibadah lainnya.
Tradisi menutup kepala menjadi
trend terutama di abad pertengahan, dari budaya Eropa di Barat hingga budaya
Nusantara dan China terdapat tradisi menutup kepala. Bagaimana dengan
Indonesia? Menutup kepala menjadi kebiasaan yang juga kita temukan di seluruh
budaya Indonesia. Dari Aceh di barat hingga Papua di timur semunya menjadikan penutup
kepala sebagai “mahkota”. Pada suku Sunda? Tampak jelas bahwa suku Sunda
menjadikan penutup kepala sebagai bagian tidak terpisahkan dalam kehidupan
mereka.
“Moga-moga wae dina mastaka
aya mustika” begitu kata Kang Entang, sebagai sesepuh suku Sunda. Tentu saja
tradisi menutup kepala ini telah diwariskan secara turun-temurun, dalam ranah
ini penggunaan penutup kepala bukan lagi sebagai pelindung ketika hujan atau
panas, tetapi telah menjadi sebuah gaya hidup (life style) yang didasarkan pada
keyakinan.
Penggunaan iket kepala saat ini
menjadi trend baru masyarakat Adat terutama di Jawa Barat, ada yang setuju dan
tidak sedikit yang mencibirnya. Tentu saja karakter masyarakat adat yang “cuek”
tidak pernah ambil pusing dengan pendapat-pendapat tersebut. Namun ada yang
menarik ketika iket kepala ini disandingkan dengan peci khas timur tengah. Bagaimana
jadinya dan seperti apa pendapat anda tenga hal ini? Maksud saya adalah ketika
peci dan iket kepala itu menjadi saudara kembar...
Sebagaimana disebutkan di awal
bahwa menutup kepala merupakan tradisi dunia, sehingga klaim bahwa ia adalah
ciri khas budaya tertentu sepertinya tidak tepat, apalagi sampai
mendeskriditkan salah satu dari tradisi ini. Demikian juga para pemakai penutup
kepala dengan segal modelnya merupakan keragaman yang layak kita rayakan. Masing-masing
memiliki karakter dan kekhasan dan yang lebih dari itu adalah bahwa
penggunannnya akan selaras dengan kondisi masyarakat dan lingkungannya. Sebagai
contoh peci dan imamah atau sorban di Arab akan sesuai dengan lingkungannnya,
demikian juga penggunaan iket kepala akan sesuai dengan budaya sunda yang
selalu berada di huma.
Maksud dari tulisan ini adalah
bahwa antara peci dan iket kepala sejatinya memiliki kesamaan fungsi dan
tradisi, sehingga menjadi sebuah warna ketika keduanya bisa bersama dalam
perbedaan bukan saling merendahkan antara yang satu dengan yang lainnya. Bagaimana
menurut anda?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Please Uktub Your Ro'yi Here...