Oleh : AM Bambang Prawiro, MEI
Perjalanan menuju Kampung
Naga dapat ditempuh dari Bandung melalui dua arah, yaitu
melalui Tasikmalaya dan Garut. Jika melewati Tasikmalaya maka perjalanan berjarak
kurang lebih 30 KM, Jika menggunakan jalur Bandung-Garut-Singaparna maka maka
jarak tempuhnya kurang lebih 160 KM, sementara dari Kota Garut berjarak 26 KM. Untuk
mengetahui arah Kampung Naga maka terdapat sebuah plang yang menunjuk ke arah
Kampung Naga. Memasuki lokasi Kampung Naga pengunjung
disambut oleh sebuah gapura[1]
dengan atap terbuat dari injuk dengan tinggi kurang lebih 5 meter. Di
bagian kanan gapura terdapat pohon Caringin (Beringin) besar yang
memberikan kesan sejuk, menurut Bapak Abdul Majid salah seorang pemilik kios di
depan gapura, pohon caringin ini
ditanam bersamaan dengan dibangunnya terminal tempat parkir Kampung Naga.
Sementara di bagian kiri terdapat papan bertuliskan “Tanah ini milik Pemerintah
Kabupaten Tasikmalaya” tertulis luas tanah 2.635 M2, Nomor Sertifikat 10.
Melangkah masuk ke
dalam tepatnya ke Terminal (tempat
parkir kendaraan),
tampak lokasi parkir yang cukup luas dengan model parkir serong sehingga
memungkinkan hingga sepuluh bis besar terparkir di situ. Pada bagian sebelah
kiri terdapat sebuah bangunan yang berfungsi sebagai tempat menyimpan drum-drum
minyak tanah. Bangunan sebelahnya adalah Kantor Pusat Informasi dan Kantor
Koperasi Warga Kampung Naga dengan nama “Sauyunan”. Bangunan ini juga menjadi
Kantor Perhimpunan Pramuwisata Kampung Naga yang disingkat “Hipana”.
Bersebelahan dengan kantor ini berjajar kios-kios cenderamata yang menjual produk-produk masyarakat Kampung
Naga dan sekitarnya. Sementara di sebelahnya lagi terdapat banguan yang
digunakan untuk tempat pembakaran sampah.
Maju ke depan lagi terdapat sebuah bangunan yang belum jadi yang akan digunakan
untuk loket parkir dan kios cinderamata.
Pada bagian ujung kiri
tempat parkir berdiri kokoh Tugu Kujang Pusaka[2]
yang tampak megah dengan warna dominan hitam. Tugu ini dikelilingi pagar besi
yang memiliki satu pintu di bagian muka. Pada kedua sisi pintu pagar bagian
luar terdapat patung kepala harimau. Pada bagian kanan tugu terdapat tulisan
mengenai keterangan detail pembangunan tugu ini. Tertulis bahwa tugu ini
diresmikan oleh Gubernur Jawa barat pada 16 April 2009 atau 19 Maulud 1430 H.
Pengagas utama pembuatan tugu ini adalah Drs. Anton Charliyan, MPKN yang pada
waktu itu menjabat sebagai Kapolwil Priangan dan KRAT. H. Derajat Hadiningrat
selaku Pimpian Graha Limau Kencana. Tugu ini dikelilingi oleh sebuah kolam
kecil dengan ukurna kurang lebih 80 cm, serta dikelilingi pagar besi kecuali di
bagian depan. Pada bagian belakang tugu terdapat tembok yang menjadi batas
dengan warga Sa-naga.
Untuk menuju lokasi
Kampung Naga maka hanya ada satu jalan menuju ke lokasi yaitu dengan menuruni
anak tangga yang berjumlah kurang lebih
400 anak tangga. Anak tangga pertama berjumlah 11 anak tangga
yang menyampaikan saya ke perempatan tangga. Dari sini perjalanan dilanjutkan dengan menuruni tangga dan menyusuri jalan di tepi sungai Ciwulan.
Perjalanan memasuki kampung disambut dengan pemandangan
sungai yang menghampar di sebelah kanan, gemericik air yang jatuh dari tebing di ujung sebelah kanan membawa pesona yang
berbeda dengan suasana di tempat lainnya. Sejauh mata memandang yang terlihat
adalah hijau yang berpadu
dengan warna dasar coklat
tanah khas pedesaan. Sementara memandang ke depan tampak Kampung Naga dengan susunan
rumah yang tertata rapi dengan warna
dominan hitam. Perjalanan menyusuri jalan kampung di tepi sungai Ciwulan
berjarak kurang lebih 500 meter dan berakhir
pada sebuah belokan ke arah kiri menuju wilayah pemukiman Kampung Naga.
Memasuki area Kampung Naga kita
disambut dengan sebuah tanah lapang dengan dua buah rumah di bagian kiri dan
tiga buah rumah di bagian kanan. Rumah Kuncen sendiri berada di bagian kiri
nomor dua dari arah pintu masuk. Pandangan pertama ketika masuk selain adanya
tanah lapang juga berdiri kokoh sebuah Masjid dan Bale Patemon yang
saling berdampingan. Di sebelah kiri
masjid terdapat lokasi bekas Leuit yang
dipagari dengan bambu welahan.
Berjalan menaiki sebuah tangga batu dan berbelok sedikit ke kanan akan
menyampaikan ke Bumi Ageung. Bangunan ini adalah salah satu dari empat bangunan
yang dikeramatkan dan tidak boleh diambi fotonya serta tidak sembarang orang
bisa memasukinya. Bahkan warga Kampung Naga sendiri tidak bisa memasukinya.
Berdampingan dengan
Bumi Ageung yang dibatasi oleh pagar Kandang
Jaga terdapat rumah penduduk. Di
sebelahnya lagi terdapat bangunan yang disebut katarajuan yaitu sebuah bangunan yang digunakan oleh perwakilan
dari Desa Jahiyang yang akan mengikuti Hajat Sasih. Bangunan ini juga termasuk
yang tidak dipotret dari dekat. Jalan setapak yang berada di samping bangunan ini
merupakan jalan menuju makam Eyang Sembah
Dalem. Pada lokasi ini tidak sembarang orang boleh memasukinya atau
memotretnya.
Pola Pemukiman
Pola pemukiman
penduduk di Kampung Naga memiliki ciri khas yang tidak didapati di wilayah
lainnya. Terdapat pembagian tiga wilayah yang saling terpisah dan dibatasi oleh
Jaga Kandang pada masing-masing
areanya. Area pertama adalah area yang digunakan untuk hal-hal yang sifatnya
kotor seperti jamban (pacilingan),
balong, kandang kambing, saung lisung dan
di bagian timur terdapat sungai Ciwulan dengan leuweung karamatnya. Kawasan
hutan ini juga diyakini merupakan kawasan kotor karena merupakan tempat bagi dedemit dan jurig yang dikalahkan dan ditempatkan di sana oleh Sembah Dalem. Area berikutnya adalah
kawasan pemukiman penduduk, kawasan ini merupakan tempat bagi penduduk Kampung
Naga untuk mendirikan bangunan bumi/imah sebagai
tempat tinggal. Terdapat 113 bangunan dengan 108 rumah penduduk, sisanya adalah
masjid[3],
Bale Patemon[4], Bumi Ageung[5], Leuit[6], dan
Katarajuan[7]. Di area ini juga terdapat lapangan besar yang digunakan
untuk menjemur padi dan tempat bermain anak-anak. Di samping masjid terdapat
lokasi bekas leuit yang ditandai
dengan pagar keliling terbuat dari awi (bambu),
sementara di belakang rumah Kuncen atau di depan sebelah kanan masjid dan Bale
Patemon berjarak 25 meter terdapat Depok[8] yang
juga dikelilingi oleh pagar bambu keliling tanpa pintu.
Penempatan
rumah-rumah warga diatur sedemikian rupa dengan pertimbangan nilai-nilai
kekeluargaan, misalnya rumah harus berhadap-hadapan diharapkan akan terjadi
interaksi yang intensif antar warga terutama ketika mereka duduk-duduk di tepas imah. Pola bangunan rumah yang
menempatkan dapur di bagian depan dengan dinding sasag[9]
juga memungkinkan tetangga di depan rumahnya mengetahui apakah tetangganya
tersebut masak atau tidak sehingga jika ada tetangga yang tidak memasak karena
tidak ada persediaan lebih cepat diketahui dan bisa membantunya. Dinding sasag juga akan dengan mudah melihat
dalam rumah ketika terjadi kebakaran atau kecelakaan yang berada di rumah. Jarak
antar rumah yang satu dengan rumah sebelahnya kurang lebih 1 meter, sementara jarak
berhadapan antara satu rumah dengan rumah yang lainny abervariasi, dari 2,5
meter hingga 1,5 meter. Seluruh rumah di Kampung Naga menggunakan sistem
panggung dengan jarak 60-80 cm dari permukaan tanah. Tipe rumah panggung
terbukti tahan terhadap gempa dan bebas dari gangguan binatang melata.
Area ketiga yaitu
kawasan makam yang dianggap suci oleh masyarakat Kampung Naga. Lokasinya di
sebelah barat pemukiman berupa bukit
kecil dengan semak belukar di sekelilingnya serta ditumbuhi
pohon-pohon kecil dan sedang. Kawasan ini
merupakan hutan tertutup yang tidak sembarang orang bisa memasukinya (leuweung larangan). Kawasan ini juga disebut leuweung karamat karena disinilah letak makam Eyang Sembah Dalem yang menjadi leluhur masyarakat Kampung Naga,
selain itu terdapat pula beberapa makam dari para pengikut beliau. Kawasan ini berada
di luar pemukiman dengan batas jaga
kandang dan di bagian depannya
terdapat pintu yang terbuat dari bambu.
Kampung Naga terletak
di sebuah lembah yang subur yang dikelilingi
oleh sawah di bagian utara dan selatan, sementara di bagian barat terdapat
sebuah bukit, sedangkan di bagian timur terdapat sungai Ciwulan dan sebuah
dataran tinggi di atasnya. Jumlah penduduknya sebanyak 314 jiwa dengan 108
Kepala Keluarga. Secara administrasi kampung ini masuk ke dalam
wilayah Desa Neglasari, Kecamatan Salawu, Kabupaten Tasikmalaya Propinsi Jawa
Barat. Saat ini seluruh keluarga tersebut menjadi satu Rukun
tetangga (RT) yaitu RT 01 RW 01. Menurut Pak Uron selaku Ketua RT di Kampung
Naga, “Sebenarnya dahulu Kampung Naga terdapat 4 RT kemudian dikurangi lagi
menjadi 2 RT dan sekarang disatukan menjadi satu Rukun Tetangga”.
[1] Gapura ini
dibangun oleh Dinas Pariwisata Kabupaten Tasikmalaya bersamaan dengan dibangunnya lahan parkir bagi pengunjung Kampung Naga.
[2] Disebut
Tugu Kujang Pusaka karena tugu ini memiliki bagian atasnya berupa kujang yang
terbuat dari kurang lebih 900 pusaka yang berasal dari seluruh wilayah
Pasundan.
[3] Kampung Naga memiliki satu buah masjid yang menjadi pusat kegiatan
keagamaan dan peringatan hari-hari besar Islam.
[4] Bale Patemon adalah sebuah bangunan sebagai tempat untuk menerima
tamu, bermusyawarah dan kegiatan yang bersifat massal.
[5] Bumi Ageung
secara bahasa berarti rumah Rumah Besar, ia adalah sebuan bangunan berbentuk
rumah yang dikelilingi oleh pagar bambu dua lapis dengan susunan bersilang.
Bumi Ageung diyakini sebagai bangunan keramat oleh masyarakat Kampung Naga
sehingga tidak boleh dimasuki oleh setiap orang kecuali sesepuh Kampung Naga.
[6] Leuit atau lumbung padi
adalah sebuah bangunan kecil yang digunakan untuk menyimpan padi sebagai
persiapan di masa yang akan datang.
[7] Katarajuan adalah sebuah
bangunan yang digunakan untuk menginap warga Kampung Naga yang berasal dari
Desa Jahiyang yang akan mengikuti Hajat Sasih
[8] Depok berasal dari kata
padepokan, tempat ini dahulunya adalah bekas tempat untuk shalat yang menjadi
satu-satunya peninggalan dari leluhur Kampung Naga.
[9] Dinding Sasag terbuat
dari bambu yang disusun secara simultan sehingga menghasilkan desain khas
Kampung Naga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Please Uktub Your Ro'yi Here...