1.
Pengertian Ritual Hajat
Sasih
Tidak ada
pengertian khusus mengenai Hajat Sasih yang dilaksanakan di Kampung Naga. Akan
tetapi jika dilihat secara bahasa, hajat (dalam Bahasa Sunda) berarti perayaan,
dan sasih berarti bulan. Hajat Sasih merupakan salah satu perayaan dalam bentuk
ritual khusus yang dilaksanakan selama dua bulan sekali oleh masyarakat Kampung
Naga. Ritual ini adalah ritual terbesar dan tersakral yang mereka laksanakan
dibandingkan ritual-ritual lainnya. Ritual ini dilaksanakan dengan waktu dan
tata cara tertentu yang telah ditetapkan oleh leluhur mereka. Hajat Sasih
merupakan titik kulminasi dari rasa tunduk dan patuh kepada leluhur mereka.
Masyarakat Kampung Naga mengaku berasal dari cikal bakal atau nenek moyang yang
sama, yaitu seorang tokoh yang dikenal dengan nama Sembah Dalem Eyang
Singaparana. Tokoh inilah yang menurunkan tata kehidupan dan tata kelakuan yang
sampai saat ini dianut dan dilaksanakan oleh seluruh warga masyarakat Kampung
Naga atau disebut juga Seuweu Putu Naga. Hajat Sasih hanya boleh diikuti oleh
kaum pria. Dengan dipimpin oleh Kuncen Kampung Naga, acara ini dimulai sejak
pagi hari, tepatnya sejak pukul 09.00 WIB. dan berakhir menjelang shalat
dzuhur.
2.
Sejarah Pelaksanaan
Ritual
Asal-usul atau
sejarah masyarakat Kampung Naga khususnya ritual Hajat Sasih sangat boleh jadi
akan terkuak jika sejarah nenek moyang mereka yang tertulis di atas daun lontar
dan salah satu piagamnya yang terbuat dari tembaga masih utuh. Lempeng yang
terbuat dari tembaga sebenarnya bukan lempeng yang asli. Lempeng asli milik masyarakat
Kampung Naga terbuat dari kuningan.
Lempeng tersebut pada tahun 1922 dipinjam
oleh Pemerintah Hindia Belanda di Batavia (Jakarta) dan tidak
dikembalikan. Yang dikembalikan hanya duplikatnya yang terbuat dari
tembaga.
Benda-benda
pusaka dan keramat yang merupakan tulisan dan gambaran sejarah dari leluhur dan
asal usulnya pada tahun 1956 habis tidak tersisa karena terbakar. Kampung Naga dibumihaguskan oleh DI/TII pimpinan
Kartosuwiryo. Pada saat itu, Tasikmalaya dan beberapa daerah lainnya di Priangan
Timur pernah dijadikan basis DI/ TII di daerah JawaBarat. Termasuk yang dibakar
oleh DI/TII tersebut adalah Bumi Ageung. Rumah yang notabenenya dipakai sebagai
tempat penyimpanan benda- benda pusaka juga ikut musnah. Benda-benda pusaka
yang saat ini masihada hanyalah beberapa benda yang tidak dapat terbakar dan
beberapa tulisanyang pada waktu Kampung Naga dibumihanguskan disimpan oleh
pemangku adat Sa-naga . Oleh karena itulah sangat sukar mengungkap bagaimana
sejarah asli Kampung Naga khususnya sejarah pelaksanaan ritual Hajat Sasih
Akan tetapi,
secara garis besar ritual Hajat Sasih merupakan titah langsung dari Sembah
Dalem Eyang Singaparana. Sembah Dalem menuliskan segala aturan mengenai ritual
ini. Hal ini dimaksudkan agar anak cucu keturunannya bisa mengingat dan
senantiasa melaksanakan ritual tersebut. Selain itu, tatacara pelaksanaan
ritual dituliskan agar tidak terjadi pelanggaran atau penyelewengan ajaran adat yang diajarkan olehnya. Tidak diketahui
sejak kapan ritual ini dilaksanakan akan tetapi masyarakat Kampung Naga
meyakini bahwa ritual ini telah berlaku selama ratusan tahun sejak meninggalnya
Sembah Dalem Eyang Singaparana.
3.
Waktu Pelaksanaan Ritual
Selain mengatur
tatacara pelaksanaan ritual, Sembah Dalem Eyang
Singaparana juga mengatur waktu-waktu khusus pelaksanaan ritual ini. Hal
ini dimaksudkan agar masyarakat Kampung Naga dan Sa-naga tidak sembarangan
dalam melaksanakanya. Hajat Sasih merupakan upacara ritualyang agenda
pelaksanaannya diselenggarakan secara tetap. Upacara tersebut berlangsung
sebanyak enam kali dalam setahun, dengan
waktu yang sudah ditetapkan dan tidak boleh diubah. Waktu-waktu tersebut antara
lain:
1.
Bulan Muharam (Muharram) pada
tanggal 26, 27 atau 28
2.
Bulan Maulud (Rabi’ul Awwal)
pada tanggal 12, 13, atau 14.
3.
Bulan Rewah (Sya’ban) pada
tanggal 16, 17 atau 18.
4.
Bulan Syawal (Syawal) pada
tanggal 14, 15, atau 16.
5.
Bulan Rayagung (Dzulhijjah)
pada tanggal 10, 11, atau 12. (Her Suganda, Kampung Naga Mempertahankan
Tradisi, hal. 83)
Dalam satu
tahun, enam kali ritual dilaksanakan. Tiga hari dalam setiap bulan di atas
dimaksudkan sebagai alternatif. Mereka dapat memilih berdasarkan waktu yang
lebih memungkinkan untuk melaksanakannya.
Hajat Sasih
tidak boleh dilaksanakan bersamaan dengan ritual Menyepi, pada setiap hari
selasa, rabu dan sabtu. Oleh karena itu, disediakan alternatif sehingga
masyarakat Kampung Naga melaksanakan salah satu ritual dengan tidak melanggar
ritual adat yang lainnya. Dalam kepercayaan masyarakat Kampung Naga, nyepi
merupakanwaktu yang tepat untuk melakukan introspeksi diri. Oleh sebab itu,
pelaksanaanya tidak boleh terganggu oleh ritual-ritual lain. Hal ini berlaku
bahkan untuk pelaksanaan upacara ritual yang secara tetap
diselenggarakan,termasuk didalamnya ritual Hajat Sasih.
Jika waktunya
bersamaan denganwaktu melaksanakan ritual nyepi, maka pelaksanaan upacara
ritual tersebut harus dimajukan atau dimundurkan agar tidak berbenturan. Dengan
melakukan ritual ini, masyarakat Kampung Naga berusaha mengembalikan dan
memusatkan kekuatan-kekuatan yang hilang dalamdirinya karena jiwa mereka sudah
tercemar oleh anasir buruk atau pengaruh luar. Dengan cara ini pula mereka
berusaha mengeluarkan isi jiwanya yang kotor dan berusaha mengisinya dengan
kekuatan alam semesta yang baik. (Her Suganda, Kampung Naga Mempertahankan
Tradisi, hal 23)
Berbeda dengan
konsep nyepi yang dimiliki oleh kaum Hindu Bali, selama melakukan ritual nyepi,
masyarakat Kampung Naga tetap melaksanakan rutinitas keseharian mereka termasuk
bekerja. Selama menjalankan nyepi, mereka dilarang melakukan beberapa hal yang
dianggap dapat mencemari niat. Salah satu dari pantangan tersebut adalah
dilarang menceritakan sesuatu apapun yang berkenaan dengan adat istiadat mereka
di waktu itu.
4.
Tatacara Ritual Hajat Sasih
Sebagai tahap
awal pelaksanaan ritual Hajat Sasih, secara bergotong-royong masyarakat Kampung
Naga membersihkan area perkampungan. Setiap pojok rumah atau belokan yang
memungkinkan bertumpuknya sampah, dibuat dan dipasangkan tempat sampah yang
terbuatdari bambu. Begitu pula di sepanjang perjalanan menuju perkampungan.
Acara pembersihan kawasan perkampungan ini dilakukan sehari atau dua hari
menjelang Hajat Sasih dilaksanakan. Selain sebagai bentuk kesadaran masyarakat
Kampung Naga dalam menjaga kebersihan lingkungan tempat tinggal mereka, hal ini
juga menjadi sebuah bentuk ketaatan mereka kepadaaturan adat yang mengharuskan
mereka menjaga lingkungan.
Secara garis
besar, upacara ritual Hajat Sasih diawali dengan ritual beberesih’ yang
dilakukan dengan mandi bersama di Sungai Ciwulan, kemudian dilanjutkan dengan
berziarah ke makam leluhur mereka. Selesai berziarah, acara diakhiri dengan
melakukan do’a syukur bersama. Masyarakat Kampung Naga percaya bahwa yang akan
mereka ziarahi merupakan makam leluhur mereka yaitu Sembah Dalem Eyang Singaparana. Makam tersebut terdapat di Hutan
Keramat yang tidak bisa sembarangan
dimasuki oleh siapapun, kecuali atas seizin Kuncen. Selain makam Sembah Dalem
Eyang Singaparna, di Hutan tersebut masih terdapat dua makam lain yang
dipercaya mereka sebagai makam dari pengawal setia Sembah Dalem Eyang
Singaparana.Untuk mengunjungi leluhur mereka (dengan melaksanakan Hajat Sasih),
para peserta harus memenuhi beberapa ketentuan, diantaranyaadalah:
1.
Pertama, mendapatkan izin
terlebih dahulu dari Kuncen sebagai pemangku adat di Kampung Naga (bagi
masyarakat luar, yang bukanmasyarakat Naga dan Sanaga). Keputusan boleh atau
tidaknya mengikutiritual ini ada di tangan Kuncen.
2.
Kedua, ziarah hanya boleh
dilakukan oleh laki-laki dewasa dan belum pernah melaksanakan Ibadah Haji.
Dalam hal ini, masyarakat Kampung Naga memiliki pemahaman bahwa orang yang
pernah melaksanakan Ibadah Haji telah melaksanakan ziarah yang lebih utama dari
segala ziarah. Oleh karena itu, terlarang melaksanakan ziarah kepada sesuatu
yang lebih rendah dari ziarah ke Tanah Suci.
3.
Ketiga, fisik dan hati dari
peserta ziarah haruslah bersih. Oleh karenaitu, sebelum melaksanakan ziarah,
para peserta diharuskan beberesih terlebih dahulu dengan mandi di Sungai
Ciwulan secara bersamaan.
Adapun secara
rinci tahapan dari pelaksanaan ritual Hajat Sasih antara lain:
a.
Bebersih
Beberesih
artinya membersihkan diri dengan media mandi. Pengertian ini mengandung makna
bukan hanya membersihkan jasmani (fisik) tetapi termasuk didalamnya juga
membersihkan rohani (jiwa) dari berbagai anasir yang menempel dan mengotori
tubuh dan jiwa peserta ritual. Proses kegiatannya ditandai dengan isyarat
melalui bunyi kentongan atau kohkol di
Masjid kampung.
Ritual beberesih
diawali oleh Kuncen yang mendahului turun keSungai Ciwulan. Tangannya
menggenggam sebuku bambu berisi cairan leuleueur. Pada salah satu sisi bagian
atas buku bambu tersebut terdapat lubang kecil, tempat memasukkan dan
mengeluarkan cairan leuleueur. Leuleueur secara harfiah berarti
pelicin. Cairan leuleueur merupakan ramuan khusus yang terbuat dari akar
pohon kapirit dan honje.
Air ramuan
tersebut kemudian dibagikan kepada para peserta beberesih sebagai pengganti
sabun dan shampo. Jika masih tersisa, air ramuan tersebutkemudian dibasuhkan ke
tubuh masing-masing lalu dibilas dengan cara berendam selama beberapa saat di
Sungai Ciwulan.
Selesai
beberesih, para peserta lalu berwudu dan kembali ke rumahmasing-masing. Tubuh
yang masih basah tidak boleh dikeringkan denganhanduk, akan tetapi harus
dibiarkan mengering dengan sendirinya.
b.
Memakai pakaian adat
Dalam keadaan
fisik dan jiwa yang sudah bersih, para peserta ritual kemudian menggunakan
pakaian khas atau pakaian adat warga
Kampung Naga yang juga bersih. Pakaian adat yang ada di Kampung Naga terdiri
dari dua, yaitu pakaian adat yang dipakai sehari-hari dan pakaian adat yang
khusus dipakai saat ada upacara ritual. Pakaian adat ini memiliki empat unsur
yang dapat dibedakan secara jelas dibandingkan dengan masyarakatumumnya.
Diantaranya adalah baju kampret (mirip jubah) berwarna putihatau hitam,
totopong atau ikat kepala dari kain batik, sarung poleng (pelekat) atau calana
komprang (mirip dengan celana kolor panjang), berwarna putih, biru atau
hitam. Bentuk pakaian yang dipakai ketika Hajat Sasih menyerupai jubah
berlengan panjang. Jubah tersebut mirip dengan jubah yang dipakai oleh
masyarakat Arab, hanya saja jubah Kampung Naga tidak memiliki kancing. Untuk
merapatkannya, dalam jubah tersebut terdapat seutas tali dari kain. Sebagian
besar warna pakaian tersebut adalah putih. Akan tetapi ada pula yang berwarna
biru telur asin. Selain itu, mereka juga menggunakan tutup kepala yang disebut
totopong, atau iket khas masyarakat Kampung Naga. Mereka juga memakai sarung
poleng tanpa celana dalam, tanpa alas kaki dan tanpa perhiasan apapun terutama
dari logam.
Setelah lengkap,
mereka menuju Masjid dan menunggu
Kuncen. Sebelum masuk Masjid, mereka mencuci kaki terlebih dahulu dan masuk
kedalamnya sembari menganggukkan kepala dan mengangkat kedua belah tangan. Hal
ini dilakukan sebagai tanda penghormatan dan merendahkan diri, karena Masjid
merupakan tempat beribadah dan suci. Lalu masing-masing peserta mengambil sapu
lidi (nantinya akan digunakan para peserta ritual untuk membersihkan makam)
yang telah tersedia di masjid dan duduk sambil memegangnya.
Untuk menjaga kesakralan,
sebagian besar peserta berdiam diri tanpa berbicara. Namun jika dianggap perlu,
mereka berbicaradengan sangat perlahan.Berbeda dengan Kuncen, Lebe dan Punduh
adat. Selesai melakukan beberesih dan memakai pakaian adat, mereka tidak pergi
ke Masjid melainkan ke Bumi Ageung. Kuncen amitan (minta restu) kepada penghuni
Bumi Ageung. Di sana mereka menyiapkan lamareun (sesajen yang telah diberi mantra) dan parupuyan
(tempat membakar kemenyan) untuk dibawa ke makam. Lamareun terdiri atas kukus
(dupa, kemenyan), daun sirih, buah pinang, kapur, gambir, bako tampang (tembakau), dan daun
saga atau daun cae.
Setelah semua
siap, mereka kemudian keluar. Lebe membawa lamareun dan punduh membawa parupuyan
menuju makam. Para peserta yang berada di dalam Masjid keluar dan mengikuti
Kuncen, Lebe dan Punduh satu persatu. Mereka berjalan rapi secara beriringan
sambil membawa sapu lidi. Sesampainya di pintu gerbang makam (yang ditandai
oleh batu besar), masing-masing peserta menundukan kepala sebagai penghormatan
kepada makam Sembah Dalem Eyang Singaparana. (M. Ahman Sya dan Awan Mutakin,
Masyarakat Kampung Naga Tasikmalaya)
c.
“Unjuk-unjuk” dan
membersihkan makam
Setibanya di
gerbang makam, selain Kuncen tidak ada
yang masuk kedalamnya. Adapun Lebe dan Punduh setelah menyerahkan lamareun dan
parupuyan kepada Kuncen, mereka lalu
keluar dan tinggal bersama para peserta ritual yang lain. Setelah itu, Kuncen
lalu membakar kemenyan untuk unjuk-unjuk (meminta izin) kepada Sembah
Dalem Eyang Singaparna. Di depan makam, dengan suara yang halus, Kuncen melakukan unjuk-unjuk, memberitahu
bahwa Seuweu-siwi Naga (anak cucu keturunan Kampung Naga) telah berkumpul dan
menyampaikan maksud serta tujuannya menyelenggarakan ritual Hajat Sasih. Unjuk-unjuk
dilakukan Kuncen sambil menghadap ke sebelah barat, ke arah makam. Arah barat
artinya menunjuk ke arah kiblat. Selain menyampaikan niat ziarah, Kuncen juga menyampaikan sembah hormat dan
permohonan maaf jika seandainya terdapat
adat istiadat yang terlupakan atau sudah dilanggar.
Selesai
melakukan unjuk-unjuk, selanjutnya Kuncen mempersilahkan para peserta ritual
untuk mulai membersihkan makam dan kawasan sekitarnya dengan menggunakan sapu
lidi yang dibawa masing-masing peserta. Bukan hanya sampah kering dedaunan yang
jatuh, rumput-rumput liar yang tumbuh bebas di kawasan makam juga ikut
dibersihkan. Selesai membersihkan makam, Kuncen dan diikuti para peserta
kemudian duduk bersila di atas tanah mengelilingi makam. Secara bergiliran,
mereka menyampaikan do’a dan niat mereka masing-masing. Do’a disampaikan dalam
hati masing-masing untuk memohon
keselamatan, kesejahteraan, berkah serta maksud dan kehendak
masing-masing peserta.
Setelah para
peserta selesai berdo’a dan menyampaikan niat masing-masing, Kuncen lalu
mempersilahkan Lebe untuk memimpin pembacaan ayat-ayat suci Al Qur’an dan
diakhiri dengan do’a bersama. Selesai berdo’a, para peserta secara bergiliran
bersalaman dengan Kuncen. Mereka menghampiri Kuncen dengan cara berjalan
ngengsod atau ngagesor (yakni menggunakan kekuatan tangan sebagai penyangga
sebagai pengganti kekuatan kaki untuk bergerak). Setelah bersalaman para
peserta keluar dari kawasan makam, diikuti oleh Punduh, Lebe dan terakhir
Kuncen. Mereka berjalan rapi dan beriringan kembali ke perkampungan.
Parupuyan dan
sapu lidi disimpan di para (langit-langit) Masjid. Sebelum disimpan, sapu lidi
tersebut dicuci oleh masing-masing peserta upacara di Sungai Ciwulan. Sementara
lamareun disimpan di Bumi Ageung.
d.
Membersihkan Depok
(Tempat Shalat Pertama)
Setelah sebagian
anggota masyarakat yang melaksanakan ritual Hajat Sasih selesai berdo’a, secara
berangsur mereka menuruni bukit dan kembali ke perkampungan. Mereka tidak
langsung pulang ke rumah masing-masing, akan tetapi mereka langsung menuju
sebuah tempat berpagar di kawasan perumahan. Tempat ini diyakini oleh
masyarakat Kampung Naga merupakan tempat dimana pertama kali shalat
dilaksanakan. Ritual ditempat ini tidak dipimpin langsung oleh Kuncen. Hal ini
dikarenakan Kuncen masih melaksanakan ritual di makam keramat. Yang memimpin
ritual disini adalah wakil yang dipercaya Kuncen. Karena pagar tinggi yang
mengelilingi tempat tersebut tidak memiliki pintu, cara masuk satu-satunya
adalah dengan menggunakan tangga. Sikap tenang dan tidak gaduh masih terjaga di
tempat ini. Sesampainya di depan batu, perwakilan Kuncen kembali melakukan
unjuk-unjuk. Selesai melakukannya, barulah acara pembersihan tempat tersebut dimulai. Yang bisa masuk ke
tempat tersebut hanya sebanyak empat atau lima orang.
Mereka
membersihkan bagian dalam tempat tersebut. Sementara masyarakat lain yang tidak
masuk, mereka membersihkan bagian luar
baik dari ranting-ranting pohon yang telah kering dan patah, daun-daun kering
maupun rumput-rumput kecil yang mulai bertumbuhan. Selesai membersihkan tempat
tersebut, semua orang yang masuk kembali keluar melalui tangga yang telah
disiapkan. Terakhir, wakil Kuncen kembali melakukan unjuk-unjuk dan berdo’a.
Selesai itu, barulah dia keluar. Karena tidak semua peserta ritual mengikuti
ritual ini, mereka yang ikut membersihkan tempat tersebut lalu menuju sungai
Ciwulan dan membersihkan sapu lidi yang mereka bawa di sana. Barulah mereka
menuju Masjid dan menunggu kehadiran Kuncen di sana.
e.
Ritual akhir
Setelah selesai melaksanakan shalat dzuhur
berjama’ah, para wanita Kampung Naga membawa
nasi tumpeng beserta lauk pauknya ke Masjid untuk kemudian
dido’akan oleh Kuncen dalam prosesi Hajat Sasih selanjutnya. Prosesi ini
diawali dengan kedatangan wanita patunggon. Wanita patunggon adalah wanita yang
bertugas menjadi penunggu Bumi Ageung. Mereka berpakaian seperti para penari
Bali, separuh tubuhnya mulai dari bagian atas dada dibalut kain. Kedua wanita
tersebut mengantarkan air yang tersimpan di dalam kendi. Mereka bergerak dengan
cara ngengsod atau ngagesor menuju ke
arah Kuncen. Setibanya di hadapan Kuncen dan Sesepuh masyarakat Kampung Naga,
wanita patunggon menyampaikan sembah. Mereka pamit lalu kembali ke tempat
semula dengan cara yang sama, seusai melakukan unjuk-unjuk kepada
Kuncen.
Setelah kedua
wanita tersebut keluar, barulah Kuncen berkumur-kumur dengan air kendi yang
dibawa kedua wanita tadi. Setelah itu Kuncen membakar kemenyan, lalu ia
mengucapkan ijab Kabul sebagai pembukaan. Selanjutnya Lebe membacakan do’anya
setelah ia berkumur-kumur terlebih dahulu dengan air yang sama dari kendi.
Pembacaan do’a diakhiri dengan ucapan amin dan pembacaan surat Al-Fatihah.
f.
Murak Tumpeng
Suasana khidmat
yang menyelimuti semua peserta di dalam Masjid berlangsung untuk beberapa saat.
Tetapi di luar, puluhan wanita telah bersiap menunggu upacara tersebut usai.
Mereka menunggu boboko (tempat menyimpan nasi yang terbuat dari bambu) yang
telah mereka simpan di dalam Masjid. Boboko tersebut berisi tumpeng (nasi
kuning) beserta lauk pauknya yang beragam
tergantung selera dan kemampuan masing-masing keluarga. Ketika pembacaan do’a
selesai, matahari telah tergelincir dari puncaknya. Boboko berisi nasi tumpeng
dan lauk pauknya segera dibagikan kepada pemiliknya masing-masing. Setiap
perempuan mengambilnya dengan tertib dan teratur, lalu membawanya pulang. Nasi
tumpeng tersebut kemudian dijadikan santapan makan siang bersama seisi rumah.
Mereka menyebutnya murak tumpeng.
Berakhirlah runtutan upacara ritual Hajat Sasih.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Please Uktub Your Ro'yi Here...