I.
Pendahuluan
Dalam
dunia antropologi budaya, dan para pelaku didalamnya sudah barang tentu tidak
asing lagi ketika dihadapkan dengan istilah paradigma. Pandangan/persepsi, kata
yang bermakna sama ini juga marak kita jumpai dalam setiap permasalahan yang
terjadi di kehidupan sehari-hari kita. Setiap hari kita tentu memiliki banyak
permasalahan, apapun permasalahan itu, manusia atau bukan, paradigma/pandangan
akan selalu berperan di dalamnya. Tergambar jelas dari fenomena bagaimana
sebuah respon kita berikan dari pandangan kita terhadap sesuatu atau
permasalahan. Begitu banyaknya sikap dan perilaku yang kita tunjukkan untuk
mengkondisikan kehidupan duniawi yang syarat dengan kompleksitas. Contoh
sederhana ketika kita mendapatkan informasi dari teman tentang seseorang, perilaku
atasan kepada bawahan, penampilan orang lain, kebiasaan yang dilakukan orang
lain, dan masih banyak lagi stimulus orang lain yang seringkali merefleksikan
sikap dan perilaku kita terhadap kondisi tersebut. Baik atau buruknya sebuah
respon yang kita berikan bergantung bagaimana persepsi/anggapan/pandangan yang
berada di benak/otak kepala kita masing-masing. Kita juga sering mendengar
beberapa statement terkait dengan istilah paradigma yang mengatakan, “kita
harus menjadi mahasiswa yang ber-paradigma kritis dan transformatif”, “kalau
ingin maju, maka kita harus merubah paradigma kita”, dan masih banyak lagi kita
jumpai dilain konteks, seperti dalam judul buku, makalah, dan bahkan terpampang
besar dalam pamflet atau baliho sebagai tema besar dalam sebuah seminar atau
agenda-agenda ilmiah lainnya.
Dari
beberapa fenomena diatas terkait dengan istilah paradigma, kita bisa
menyimpulkan bahwa paradigma mempunyai peran penting dalam berbagai aktifitas
sehari-hari yang sangat relevan dengan keilmuan dan kebudayaan, seperti yang
dikemukakan Thomas Kuhn bahwa paradigma adalah inti dari ilmu perngetahuan (the
structure of sciencetific revolution).
dan untuk menentukan itu semua tentunya diperlukan kajian-kajian dan
penelitian yang tidak mudah. Keterkaitan paradigma dengan kebudayaan dan
kehidupan sehari-hari menjadikan istilah itu mempunyai arti yang luas. Mungkin
juga itu menjadi salah satu faktor mengapa Thomas Kuhn mendevinisikannya dengan
banyak arti. Akan tetapi bisa ditegaskan lagi bahwa paradigma adalah sebuah
kerangka berfikir/pemikiran yang didalamnya terdapat unsur-unsur yang saling
berkaitan[2]. Prof Ahimsa Putra memberikan sumbangan yang berarti terhadap
pembicaraan mutakhir dalam antropologi budaya. Disamping pandangannya terhadap
paradigma yang mempunyai 9 unsur Asumsi Dasar (anggapan), Nilai, Model
(analogy/perumpamaan), Masalah, Konsep, Representasi/ Etnografi/ Penyajian,
Metode Analisis, Hasil Analisis (Teori), Metode Penelitian. Beliau juga
berhasil mengidentifikasi sketsa beberapa episode revulusioner dalam
antropologi budaya telah menghasilkan 15 paradigma cukup mencerminkan betapa
dinamis antropologi budaya sebagai cabang ilmu pengetahuan. (1) evolusionisme
(evolusi kebudayaan), (2) diffusionisme (difusi kebudayaan), (3) partikularisme
historis, (4) fungsionalisme (-struktural), (5) cross-cultural comparison
(studi perbandingan), (6) analisis variable, (7) kepribadian kebudayaan, (8)
tafsir kebudayaan (interpretive anthropology), (9) strukturalisme
(Lévi-Strauss), (10) etnosains, (11)materialisme budaya, (12) materelialisme
historis, (13) konstruksionisme (fenomenologi sosial), (14) actor oriented, dan
(15) post-modernisme (Ahimsa Putra, 2008).
Dari
seluruh paradigma dalam studi kebudayaan, ada beberapa paradigma yang tidak
historis. Fungsionalisme, dan Strukturalisme adalah dua diantara beberapa
paradigma tersebut. Mengapa dikatakan demikian? Sebuah penelitian budaya dengan
menggunakan pendekatan sejarah atau historis, ternyata belum bisa diterapkan
pada masyarakat yang sederhana atau belum mengenal tulisan, seperti yang
dilakukan oleh Malinowski dan Brown. Dari situ muncul beberapa paradigma baru
yang tidak historis tersebut, Fungsionalisme yang dibawa oleh Bronis Law
Malinowski dan Strukturalisme oleh Lévi-Strauss. Akhirnya dengan segala
pertimbangan, penulis bermaksud untuk membandingkan dua paradigma tersebut
(Fungsionalisme Bronis Law Malinowski dan
Strukturalisme Lévi-Strauss), dan merumuskan beberapa permasalahan
terkait dengan (1) kelebihan dan kekurangan dari kedua paradigma itu, dan (2)
beberapa unsur perbandingan dari kedua paradigma.
II.
Kerangka Teori
Dalam
perbandingan paradigma Strukturalisme Lévi-Strauss dan Fungsionalisme Bronis
Law Malinowski ini, penulis menganalogikan paradigma sebagai kebudayaan.
Menurut Kaplan dan Manners dalam memutuskan tentang dapat atau tidaknya fenomen
kebudayaan diperbandingkan, gagasan tipe struktural, misalnya saja, menjadi
sangat penting. Yang dimaksud tipe struktural disini adalah suatu klasifikasi
fenomen yang dipelajari menurut cirinya yang penting dan menentukan, selagi
kita mendefinisikan ciri tersebut. Yang menjadi dasar penting disni adalah
suatu bangunan (construct) semacam itu mengandung semacam teori. Alasannya,
dalam tindakan kita memilih ciri penting dalam fenomen yang kita katakan
“menentukan” itulah kita sedang menuju pada penyusunan teori. Alasan kedua,
karena tidak ada klasifikasi fenomen yang mutlak maka tipe struktural
bervariasi menurut masalah yang dikaji (Kaplan dan Manners, 11, 2002).
Dengan
menggunakan dasar tipe struktural yang bermakna construct atau bangunan, maka
penulis mencoba mengkonstruk permasalahan dalam paradigma Strukturalisme
Lévi-Strauss dan Fungsionalisme Bronis Law Malinowski ini menjadi beberapa
unsur diantaranya, sejarah, devinisi, kelemahan, kelebihan, dan perbandingan di
kedua paradigma tersebut. Adapun langkah-langkah yang di lakukan penulis adalah
sebagai berikut.
Memaparkan
sejarah bagaimana munculnya paradigma Strukturalisme Lévi-Strauss dan
Fungsionalisme Bronis Law Malinowski, dengan mengumpulkan data selengkap-lengkapnya.
Mendevinisikan
konsep paradigma Strukturalisme Lévi-Strauss dan Fungsionalisme Bronis Law
Malinowski secara eksplisit menurut pemahaman penulis
Mencari
kelemahan dan kelebihan dari paradigma Strukturalisme Lévi-Strauss dan
Fungsionalisme Bronis Law Malinowski ini dan menyimpulkannya.
Kemudian
membandingakan paradigma Strukturalisme Lévi-Strauss dan Fungsionalisme Bronis
Law Malinowski dan menyimpulkannya.
III.
Pembahasan
Fungsionalisme
Bronis Law Malinowski
Yang
melatar belakangi lahirnya fungsionais adalah karena masih didapatkannya
kelemahan-kelemahan pada paradigma-paradigma sebelumnya,(evolusi, difusi, dan
sejarah kebudayaan), meskipun sudah menggunakan metode dengan baik, dan bahkan
mereka selalu memperbaiki metode analisis dalam penelitiannya. Akan tetapi
kesan yang muncul dari hasil atau kesimpulan dari penelitian mereka seakan
spekulatif. Kelemahan-kelemahan muncul antara lain disebabkan karena,
studi-studi yang mereka lakukan tidak membandingkan kebudayaan-kebudayaan yang
saling berdekatan, akan tetapi lebih kepada data yang telah tersedia dalam
budaya itu sendiri, dan tidak dilakukannya penelitian lapangan untuk memperoleh
data tersebut (Ahimsa-Putra, 2008). Meskipun ada beberapa ilmuwan yang telah
melakukan penelitian lapangan, sampai pada sejarah kebudayaan pun, seperti yang
dilakukan Boas dan dikembangkan murid-muridnya hingga abad ke 20, masih juga
terdapat kelemahan-kelemahan didalamnya. Terbukti dengan berbagai kritik yang
dilontarkan pada teori tersebut. Bronis Law Malinowski adalah salah satu
ilmuwan yang menolak pendekatan sejarah (historical approach) dalam
antropologi. Dari penelitian Malinowski ini, disadari bahwa, adanya
keterbatasan pendekatan sejarah ketika digunakan untuk mempelajari masyarakat
sederhana di luar Eropa, yang belum mengenal tulisan dan juga belum pernah
ditulis orang lain (Ahimsa-Putra, 2008). Sejarah yang dipahami oleh masyarakat
di luar Eropa (termasuk di Indonesia), adalah sejarah yang mereka yakini pernah
ada di kehidupan sebelum mereka dalam sebuah dongeng atau mitos, karena di
jaman itu memang belum mengenal tulisan. Misalnya, budaya slametan di jawa yang
pernah di teliti oleh Clifford Gertz, dalam bukunya “relegion of java”
menerangkan bahwa slametan menjaga mereka dari gangguan makhluk halus sehingga
mereka tidak lagi merasa sakit, sedih, atau bingung. Slametan juga dapat
diadakan untuk memenuhi semua hajat orang sehubungan dengan suatu kejadian yang
ingin diperingati, ditebus atau dikuduskan. Kelahiran, perkawinan, sihir,
kematian, pindah rumah, mimpi buruk, panen, ganti nama, membuka pabrik, sakit,
memohon kepada arwah penjaga desa, khitanan, memulai suatu rapat politik dan
mungkin masih banyak lagi peristiwa-peristiwa yang bisa di slameti (dilakukan
slametan), dan itu dilakukan sejak dulu oleh leluhur mereka yang diyakini
mempunyai kisah tersendiri (Clifford Gertz, 1981).
Dari
situlah kemudian terlihat gejala-gejala paradigma fungsionalisme yang dibawa
oleh Bronis Law Malinowski, seorang tokoh dalam sejarah teori antropologi yang
lahir di Cracow, Polandia pada tahun 1884, seorang putera bangsawan dan guru
besar sastrawan slavik di Polandia. Teori ini diilhaminya dari teori belajar,
atau learning theory, yang sangat menarik perhatiannya, sehingga dipakainya
untuk memberi dasar eksak bagi pemikirannya terhadap hubungan-hubungan
berfungsi dari unsur-unsur suatu kebudayaan (Koentjaraningrat, 171, 2007). Dari
ketertarikannya tentang teori tersebut, kemudian ia terapkan pada sebuah
tulisan mengenai aspek-aspek pada masyarakat pada kepulauan Trobrian yang berada
di bagian utara kepulauan Masim, sebelah tenggara Papua Niugini, yang pernah ia
teliti pada tahun 1914 (Koentjaraningrat, 2007). Secara tidak langsung ia telah
mengintroduksikan sebuah paradigma baru dalam ilmu antropologi, kemudian muncul
reaksi dari kalangan keilmuan antropologi, yang memberikan dorongan kepadanya
untuk mengembangkan teori tersebut, dan terciptalah sebuah paradigma baru yang
tidak historis ini yakni Fungsionalisme.
Di
lain hal Radcliffe-Brown, ilmuwan yang mendeskripsikan masyarakat di kepulauan
Andaman (penduduk Negrito) sebelah utara Pulau Sumatra antara tahun 1906 dan
1908, sebagai desertasinya yang memang sifatnya lebih struktural, tapi itu
merupakan contoh lain dari suatu deskripsi terintegrasi secara fungsional.
Kemudian buku itu diterbitkan bersamaan dengan buku Malinowski pada tahun 1922.
Berkat kiprah Malinowski dan Radcliffe-Brown serta murid-murid mereka,
peradigma fungsionalisme yang kemudian disebut fungsionalisme-struktural,
berhasil menjadi paradigma yang menguasai ilmu-ilmu social di Barat tahun
1940-1960an. Berbagai teori fungsional-struktural mengenai gejala sosial-budaya
bermunculan di era tersebut, seperti teori fungsi kebudayaan, fungsi mitos,
fungsi ritual, fungsi kekerabatan, fungsi sistem politik, fungsi hukum dan
sebagainya (Ahimsa-Putra, 2008).
Dalam
salah satu bentuknya, fungsionalisme adalah penekanan dominan dalam studi
antropologi khususnya penelitian etnografis, selama beberapa dasawarsa silam.
Artinya, menonjolnya fungsionalisme dan kerja lapangan dalam antropologi secara
bersamaan ini bukanlah suatu hal yang kebetulan (Kaplan dan Manners, 76, 2002).
Fungsionalisme, menurut para ilmuwan-ilmuwannya adalah sebuah paradigma
kebudayaan yang meliputi, metodologi untuk mengeksplorasi saling
ketergantungan, dan fungsionalisme merupakan teori tentang proses kultural.
Selain berminat melacak cara saling pertautan yang sangat bermacam ragam dan
sering kali mengejutkan antara unsur-unsur suatu budaya, banyak fungsionalis
berpandangan dan mengklaim bahwa mereka telah menciptakan sosok teori yang
menjelaskan mengapa unsur-unsur itu berhubungan secara tertentu, dan mengapa
terjadi pola budaya tertentu atau setidak-tidaknya mengapa pola itu bertahan.
Ketika Malinowski menjelaskan magic Trobrian sehubungan dengan fungsinya untuk
mengurangi kecemasan menghadapi hal-hal yang tidak di pahami, dia seolah
menjelaskan alasan kehadiran dan kelestarian magic itu dalam budaya masyarakat
Trobriand. Menurut Kaplan dan Manners dalam bukunya mengatakan bahwa dalam
fungsionalisme ada kaidah yang bersifat mendasar bagi suatu antropologi yang
berorientasi pada teori, yakni, (diktum metodologis), bahwa kita harus
mengeksplorasi cirri sistemik budaya, artinya kita harus mengetahui bagaimana
perkaitan antara institusi-institusi atau struktur-struktur suatu masyarakat
sehingga membentuk suatu sistem yang bulat, kemungkinan lain adalah memendang
budaya sebagai sehimpun cirri yang berdiri sendiri, khas dan tqanpa kaitan yang
muncul disana-sini karena kebetulan historis. Fungsionalisma sebagai perspektif
teoretik dalam antropologi bertumpu pada (analogi dengan organisme), artinya ia
membawa kita memikirkan sistem sosial-budaya sebagai semacam organisme, yang
bagian-bagiannya tidak hanya saling berhubungan melainkan juga memberikan andil
bagi pemeliharaan, stabilitas, dan kelestarian hidup “organisme” itu. Dengan
demikian dasar semua penjelasan fungsional adalah asumsi (terbuka maupun
tersirat) bahwa semua sisem budaya memiliki syarat fungsional tertentu untuk
memungkinkan eksistensinya. Atau sistem budaya memiliki kebutuhan (mungkin
dikatakan sebagai “kebutuhan sosial “ ala Radcliffe-Brown, atau diungkapkan
dalam peristilahan biologis individual ala Malinowski) yang semuanya harus
dipenuhi agar sistem itu dapat bertahan hidup.dapatlah diduga bahwa jika
kebutuhan sistem fungsional itu tidak dipenuhi maka sistem itu akan mengalami
disintegrasi dan “mati”. Atau ia akan berubah menjadi sistem lain yang berbeda
jenis. Maka dalam hal ini institusi, kegiatan budaya, dan kompleks kultural
lainnya, dipahami atau dijelaskan bukan hanya sebagai spesifikasi hubungan
dengan suatu sistem yang lebih besar dan mengimplikasikan hal-hal tersebut.
Hendak ditunjukkan pula bahwa hubungan tadi ikut berperan memelihara sistem
besar itu atau sebagian tertentu darinya (Kaplan dan Manners, 77-78, 2002).
Dari
uraian diatas menimbulkan asumsi bahwa kesempurnaan paradigma fungsionalis
masih harus dibumbui dengan beberapa aspek yang tanpanya bisa jadi wujud
fungsionalis adalah sebuah paradigma yang stagnan atau bahkan bisa dikatakan
mati. Artinya paradigma ini masih mempunyai kelemahan, meskipun secara
eksplisit teorinya sudah mampu menyimpulkan keadaan sebuah kebudayaan.
Kelemahan-kelemahan yang ada mungkin bisa di kategorikan sebagai berikut[3],
Manakala
analisis fungsional berupaya untuk tidak berhenti pada metodologi pencarian
hubungan struktural bamun terus mengarah ke suatu teori tentang asal mula atau
persistensi struktur tertentu, maka ia terkendala oleh keterbatasan logis yang
itu ke itu juga. Karena pelekatan fungsi pada suatu institusi selalu merupakan
hal yang bersifat post hoc.
Penjelasan
fungsional berlagak pura-pura arif dan masuk akal dalam memandang institusi
beserta fungsinya. Seolah ia menjelaskan lebih banyak daripada yang betul-betul
ia jelaskan. Misalnya, dikatakan bahwa daam masyarakat X pelaksanaan ritual
tertentu memupuk solidaritas sosial sehingga mendukung sistem di mana ritual
itu menjadi bagian. Marilah kita abaikan dahulu apa yang dimaksud dengan
“solidaritas sosial” dan “memelihara sistem” itu. Kita melihat suatu masyarakat
sedang mendenyut, dan kita saksikan para warga pribuminya melaksanakan ritual.
Memang sangat masuk akal bila kedua hal itu lalu dikait-kaitkan secara yang
tersebut diatas, akan tetapi penjelasan macam apakah yang telah kita berikan
mengenai ritual itu, baik mengenai asal-mula maupun kesestarian pelaksanaannya?
Analisis
fungsional mempersoalkan pemeligaraan diri sistem, ia tidak dapat menjelaskan
perubahan struktural. Untuk menjelaskan perubahan struktural, orang harus
mempertimbangkan bobot kausal variebel-variabel tertentu. Artinya, haruslah
ditentukan unsur, institusi, atau struktur mana yang lebih mendasar, lebih
“fungsional” daripada yang lain-lain.
Dari
beberapa kelamahan diatas kemudian muncullah tanggapan-tanggapan terkait solusi
yang menjadi jalan keluar dari kelemahan-kelemahan yang ada, dan deskripsi atas
paradigma fungsionalisme ini.
Kaplan
dan Manners mengatakan bahwa selama fungsi sosial yang sama itu dapat
dilaksanakan oleh berbagai institusi, atau sepanjang institusi yang satu itu
dapat melaksanakan berbagai fungsi, penjelasan semacam itu sangat sulit atau
bahkan mustahil. Penjelasan fungsional tentang persistensi suatu institusi pun
semakin persis sama muskilnya.
Suatu
institusi atau kegiatan bedaya dikatakasn fungsional manakala memberikan andil
bagi adaptasi atau penyesuaian sistem tertentu, dan disfungsional apabila
melemahkan adaptasi. Dan yang menjadi masalah pokok ialah bahwa kita tidak
dapat mengatakan kapan suatu institusi lebih bersifat fungsional dari pada
disfungsional, bila hanya menggunakan tinjauan empirik sederhana.
Syarat
minimalnya, untuk analisis fungsional yang memadai adalah, (1) suatu konsepsi
tentang sistem, (2) daftar syarat fungsional untuk sistem itu, (3) definisi
berbagai sifat atau “status” sistem yang dalam keadaan terpelihara, (4)
pernyataan tentang kondisi eksternal sistem tersebut dan dengan demikian dapat
di control, (5) pengetahuan tertentu tentang mekanisme internal dalam
pemeliharaan sifat sistem itu atau dalam mempertahankannya agar berada dalam
batas tertentu.
Jika
minat kita tidak sekedar pada kronologi atau pengisahan sejarah alam, kita
harus menggunakan proses klasifikasi, kategorisasi, serta menunjukkan
kemungkinan hubungan antara tipe-tipe kejadian. Disinilah perspektif fungsional
dan perspektif evolusi hafus dikawinkan dengan perspektif historis. Seban hanya
dengan menggabungkan fungsionalisme, evolusionisme, dan sejarah itulah kita
baru dapat mulai merumuskan teori.
Strukturalisme
Lévis-Strauss
Nama
yang mungkin lebih akrab ditelinga kita dengan merk celana jeans ternama itu
sesungguhnya adalah seorang antropolog berkebangsaan Prancis berketurunan
Yahudi, lahir di Brussles, Belgia, pada tanggal 28 Nopember 1905, dari ayah
bernama Raymond Lévi-Strauss dan Ibu Emma Levy (Ahimsa-Putra, 8, 2006)”.
Lévi-Strauss memulai karirnya dibidang antropologi pada tahun 1934 silam.
Sebenarnya minat utama Lévi-Strauss bukanlah Antropologi. Di masa mudanya dia
lebih banyak membaca buku-buku hukum dan filsafat, karena pada tahun 1927
Lévi-Strauss masuk Fakultas Hukum Paris dan pada saat yang sama juga belajar
filsafat di Universitas Sorbonne.
Setelah
menyelesaikan kedua studinya tersebut seiring berjalannya waktu ia mulai
merasakan kebosanan dalam mengajar, dan lebih dari itu, ” I wanted to travel to
see the world” (aku ingin berkelana melihat dunia) katanya. Semboyan inilah
yang kemudian menjadikannya seorang tokoh antropolologi yang tersohor dengan
karyanya Tristes Tropique setelah hijrah ke Brazil dan mengadakan ekspedisi
pertamanya ke pedalaman Brazil serta mengunjungi berbagai suku indian yang
boleh dibilang belum terjamah oleh peradaban Brazil. Dari situ kemudian muncul
karya-karya lain yang semakin mendukung keeksistensiannya dalam dunia
Antropologi seperti: artikel tentang orang Bororo (1936), The Elementary
Structures of Kinship (1949), Anthropologie Structurale (1958), Anthropologie
Structurale deux (1973), Totemisme, Savage Mind, karya monumental berupa
tetralogi (The Raw and The Cooked, From Honey to Ashes, The Origin of Table
Manners, The Naked Man), The Way of The Mask, Myth and Meaning, The View from
Afar, Anthropology and Myth, The Jealous Potter, dan The Story of Lynx
(Ahimsa-Putra, 2006).
Munculnya
paradigma fungsionalisme ternyata belum juga menjadi penyempurna sebuah
paradigma teori kebudayaan, seperti paradigma-paradigma sebelumnya,
fungsionalisme juga tidak lepas dari kritik dari para ilmuwan sosial, yang
menganggap bahwa paradigma ini tidak dapat digunakan untuk memahami dan
menjelaskan fenomena perubahan masyarakat dan kebudayaan karena terlalu
menekankan pada hubungan fungsional antar unsur dan keseimbangan sistem
(Buckley, 1967; Ahimsa-Putra, 2008). Dari kelemahan-kelemahan yang ada dalam
paradigma fungsionalisme inilah yang menyebabkan lahirnya beberapa paradigma
baru, yang ternyata juga mengungkap bahwa gejala sosial-budaya tidak lagi hanya
dipandang sebagai realitas empiris, tetapi juga sebagai wujud dari suatu
kerangka berfikir kolektif, yang perlu diungkap isi dan strukturnya
(Ahimsa-Putra, 2008). Salah satu diantara paradigma ini adalah Strukturalisme,
paradigma yang mendapatkan inspirasi dari linguistik dan sastra ini, dibawa
oleh C, Lévis-Strauss, seorang ahli antropologi dari Perancis, yang tersohor
dengan karya sekaligus disertasinya tentang kekerabatan, yang diterbitkan pada
tahun 1949, dan mendapat perhatian dari para ahli antropologi bahkan mencapai
kalangan luar antropologi (Ahimsa-Putra, 2009).
Sangat
berbeda dengan Fungsionalisme, yang berasumsi bahwa segala sesuatu itu
mempunyai fungsi, dan para ilmuwannya bermaksud untuk mengungkap fungsi dari berbagai
gejala sosial-budaya dalam masyarakat atau kebudayaan, paradigma
Strukturalisme, dalam hal ini
Lévis-Strauss, telah berhasil mengungkap bahwa antara budaya dan bahasa
mempunyai korelasi atau kesejajaran yang memungkinkan untuk digabungkan atau
dibandingkan, yakni cara suatu masyarakat mengekspresikan pandangan mereka
tentang waktu pada tataran kebahasaan dan kebudayaan. Dalam hal ini para ahli
antropologi maupun ahli bahasa pada dasarnya berupaya menyusun sebuah struktur
dengan satuan-satuan yang membentuknya. Oleh karena itu, dengan sendirinya
korelasi yang kemudian tampak akan berada pada tingkat struktur, bukan pada
pengulangan-pengulangan yang terjadi pada tingkat perilaku (Ahimsa Putra, 26,
2009).
Secara
implisit skema teoritik Lévis-Strauss dalam paradigma strukturalisme bisa di
petakan menjadi,
(Lévi-Strauss,
Bahasa dan Kebudayaan)
Sebagaimana
telah banyak dilakukan para ahli Antropolog Amerika Serikat, Lévi-Strauss
menggunakan model-model linguistik untuk analisis dan deskripsi kebudayaan. Karena
para ahli Antropologi melihat adanya hubungan antara bahasa dengan kebudayaan,
baik hubungan yang timbal-balik, saling mempengaruhi, ataupun hubungan yang
lebih menentukan yang bersifat satu arah: kebudayaan mempengaruhi bahasa, atau
sebaliknya, bahasa mempengaruhi kebudayaan. Akan tetapi yang membedakan merekan
dengan Lévi-Strauss adalah cara mereka menerapkan model-model linguistik dalam
analisis tersebut, serta aliran linguistik yang telah mereka ambil sebagai
sumber inspirasi untuk analisis mereka (Ahimsa-Putra, 23, 2006)”.
Ada
tiga pandangan dikalangan para ahli antropologi mengenai hubungan antara bahasa
dan kebudayaan, pertama, bahasa yang digunakan oleh suatu masyarakat dianggap
sebagai refleksi dari keseluruhan kebudayaan masyarakat yang bersangkutan.
Kedua, bahasa adalah bagian dari kebudayaan, atau bahasa merupakan salah satu
unsur dari kebudayaan. Ketiga, bahasa merupakan kondisi dari kebudayaan, dapat
diartikan dua hal yakni: dalam arti diakronis, bahasa mendahului kebudayaan
karena melalui bahasalah manusia mengetahui budaya masyarakatnya, dan material
yang digunakan untuk membentuk bahasa dan kebudayaan mempunyai jenis yang sama
yakni: relasi-relasi logis, oposisi, korelasi dan sebagainya. Dari ketiga
pandangan itu Lévi-Strauss memilih yang ketiga, menurutnya sebagian para ahli
bahasa dan antropologi selama ini memandang fenomena bahasa dan kebudayaan dari
perspektif yang kurang tepat, karena mereka menganggap ada hubungan kausalitas
antar dua fenomena tersebut. Mereka masih terperangkap dalam penjara
pertanyaan-pertanyaan seperti: “Apakah bahasa mempengaruhi kebudayaan, atau
kebudayaan mempengaruhi bahasa?”. Pertanyaan semacam ini menurut Lévi-Strauss
cukup menyesatkan. Perspektif yang tepat menurutnya adalah memandang bahasa dan
kebudayaan sebagai hasil dari aneka aktivitas yang pada dasarnya mirip atau
sama yang berasal dari “tamu tak diundang” yakni nalar manusia (human mind) dan
bukan dari hubungan kausal, jadi yang
dikatakan Lévi-Strauss mengenai hubungan antara bahasa dan kebudayaan disini
adalah suatu kesejajaran-kesejajaran atau korelasi yang mungkin dan dapat
ditemukan diantara keduanya dalam hal tertentu, sehingga seorang ahli bahasa
bisa saja bekerjasama dengan ahli antropologi untuk membandingkan ekspresi dan
konsep mengenai waktu pada tataran bahasa dan pada tataran sistem kekerabatan
atau relasi antar individu (Ahimsa-Putra, 2006).
(Lévi-Strauss
dan Linguistik Struktural)
Lévi-Strauss
sangat tertarik dan menyetujui strategi analisis para ahli linguistik
struktural, dan dari para ahli linguistik tersebut yang kemudian pemikiran-pemikirannya sangat
berpengaruh pada Lévi-Strauss adalah Ferdinand de Saussure, Roman Jakobson, dan
Nikolai Troubetzkoy. Dari ketiga tokoh linguistik ini hanya, Roman Jakobson lah
yang pernah dikenal secara langsung, darinya lah Lévi-Strauss kemudian banyak
mendapat pengetahuan mengenai analisis struktural dalam linguistik yang
kemudian memungkinkannya melakukan kristalisasi atas ide-idenya yang sebenarnya
juga sudah bersifat structural.
Kita
dapat menemukan lima pandangan dari de Saussure yang menjadi dasar dari
strukturalisme Lévi-Strauss yakni: (1) Signified (tinanda) dan signifier
(penanda) (2) form (bentuk) dan content (isi) (3) langue (bahasa) dan parole
(ujaran,tuturan) (4) syncronic (sinkronis) dan diachronic (diakronis) (5)
syntagmatic (sintagmatik) dan assosiative (paradigmatik) (Ahimsa-Putra, 34,
2006). Yang kemudian itu semua sangat mempengaruhi pemikiran Lévi-Strauss
tentang hakekat ciri-ciri fenomena budaya. Berbeda dengan de Saussure, Jakobson
dengan linguistik strukturalnya telah memberikan pelajaran kepada Lévi-Strauss
tentang bagaimana memahami atau menangkap tatanan (order) yang ada ‘di balik’
fenomena budaya yang begitu variatif
serta mudah menyesatkan upaya manusia untuk memahaminya. Seperti pandangan
Jakobson tentang fonem yang telah membantu Lévi-Strauss membuka cakrawala baru
untuk menganalisis dan memahami sistem kekerabatan dan perkawinan ketika dua
pemikiran ilmiah (evolusi dan fungsionalisme) tengah mendominasi dunia ilmu
pengetahuan di barat dan kemudian juga mempengaruhi sistem kekerabatan dan
variasinya (Ahimsa-Putra, 2006). Selain de Saussure dan Jakobson, Lévi-Strauss
juga dipengruhi oleh pandangan ahli fonologi dari rusia , Nikola Troubetskoy,
mengenai strategi kajian bahasa, yang berawal dari konsepsi Troubetzkoy
mengenai fonem. Troubetzkoy berpedapat bahwa fonem adalah sebuah konsep
linguistik, bukan konsep psikologis. Artinya, fonem sebagai sebuah konsep atau
ide berasal dari para ahli bahasa, dan bukan ide yang diambil dari pengetahuan
pemakai bahasa tertentu yang diteliti. Jadi fonem tidak dikenal oleh pengguna
suatu bahasa, kecuali ahli fonologi dari kalangan mereka atau mereka yang
pernah belajar linguistik (Ahimsa-Putra, 58, 2006).
(Makna,
Struktur dan Transformasi)
Struktur
menurut Lévi-Strauss dalam buku ini adalah model yang dibuat oleh ahli
antropologi untuk memahami atau menjelaskan gejala kebudayaan yang dianalisisnya,
yang tidak ada kaitannya dengan fenomena empiris kebudayaan itu sendiri
(Ahimsa-Putra, 60, 2006). Atau mungkin kita bisa menyimpulkan struktur dalam
konteks sastra/bahasa adalah model yang dibuat oleh ahli sastra/bahasa untuk
memahami atau menjelaskan bahkan memaparkan suatu karya sastra/bahasa yang
dianalisisnya, yang tidak ada kaitannya dengan fenomena empiris karya
sastra/bahasa itu sendiri. Dan model ini merupakan relasi-relasi yang
berhubungan atau yang mempengaruhi satu sama lain. Seperti halnya struktur,
Ahimsa-Putra mengatakan “transformasi disini juga berbeda dengan pengertiannya
dengan yang umum diberikan pada kata ini, yaitu perubahan (Ahimsa-Putra, 61,
2006), mengapa begitu? Karena menurut beliau dalam konsep perubahan terkandung
pengertian proses berubahnya sesuatu ke sesuatu yang lain dalam ruang dan waktu
tertentu. Sedangkan transformasi disini diartikan sebagai aih-rupa atau malih
dalam bahasa jawa ngoko. Artinya, dalam suatu transformasi yang berlangsung
adalah sebuah perubahan pada tataran permukaan, sedang pada tataran yang lebih
dalam lagi perubahan tersebut tidak terjadi. Lebih jelasnya dalam buku ini
beliau juga mencontohkan transformasi tersebut pada model simbolis yang tampak
sangat jelas dalam bahasa (Ahimsa-Putra, 62, 2006) yakni, saya akan pergi ke
kota (indonesia), aku arêp lunga mênyang nêgara (jawa-ngoko), kula ajêng kesah
têng nêgara (jawa-krama madya), dalem badhê kêsah dhatêng nêgari (jawa-krama
inggil), I will go to the city (inggris). Empirisnya kalimat tersebut jelas-jelas
berbeda namun mempunyai makna sama.
Lévi-Strauss
dan Analisis Struktural
Analisis
struktural sebagaimana yang telah terapkan Lévi-Strauss memang bukanlah hal
yang baru dalam sebuah kajian kebudayaan, dan dia tidak pernah merasa sebagai
pelopor didalamnya. Menurutnya hanya ada tiga orang yang dianggapnya sebagai
tokoh strukturalisme tulen diprancis yakni, Benveniste, Dumezil dan dirinya
sendiri, namun dari ketiga orang ini, Lévi-Strauss lah yang paing tekun
menerapkan dan mengembangkan cara analisis struktural seperti, kekerabatan dan
perkawinan, mitos, totemisme dan topeng, maka dialah tokoh strukturalis paling
maju, paling konsisten, serta paling yakin dengan paradigma strukturalnya
(Ahimsa-Putra, 2006).
Berikut
ini adalah karya-karya Lévi-Strauss dalam penjelajahan strukturalnya dengan
mitos-mitos. Kisah Oedipus[4], ahli strukturalis ini, menganalisis mitos
Oedipus dengan cara yang sungguh-sungguh strukturalis dalam penggunaan model
linguistic. Ia menyebut satuan-satuan mitos dengan “mytheme” yang di
organisasikan dalam oposisi biner seperti satuan-satuan linguistik dasar.
Pertentangan umum yang mendasari mitos Oedipus ada antara dua pandangan tentang
asal-usul manusia; (1) bahwa mereka lahir dari tanah; (2) mereka lahir dari
persetubuhan. Berbagai mytheme dikelompokkan pada salah satu antithesis ini
antara (1) penilaian berlebih ikatan hubungan keluarga (Oedipus mengawini
ibunya; Antigone menguburkan kakaknya secara melawan hukum); (2) kurang menilai
pertalian keluarga (Oedipus membunuh ayahnya; Eteocles membunuh abangnya).
Lévi-Strauss tidak tertarik kepada perturutan naratif, tetapi tertarik kepada
pola struktural yang memberikan arti kepada mitos. Ia mencari struktur fonemik
mitos itu. Ia percaya bahwa model linguistik ini akan mengungkap struktur
pikiran manusia yang dasar, struktur yang menguasai cara manusia membentuk
semua lembaganya, ilmu pengetahuannya
Kisah
Asdiwal dan anaknya si Waux, yang diringkas Lévi-Strauss dari buku F.Boas, dan
dirterjemahkan oleh Ahimsa-Putra[5] dari buku Lévi-Strauss Structural
Anthropology II. Dalam analisis ini, bagian-bagian yang kecil dari ceritera
yang mungkin tampak sepele, tidak dapat diabaikan, karena seringkali
bagian-bagian tersebut punya arti penting dalam proses memahami dan menafsirkan
kembali ceritera itu. Lévi-Strauss melihat bahwa dalam dongeng tersebut
terdapat beberapa tataran (order) fakta, yakni: .(1) peta fisik dan politik
negeri Tsimshian, karena disitu disebutkan nama tempat-tempat dan kota-kota
yang memang ada; (2) kehidupan ekonomi atau matapencaharian orang-orang
Tsimshian, yang menentukan pola migrasi-migrasi besar musiman mereka diantara
lembah Skeena dan sungai Nass, serta merupakan konteks dari berbagai peristiwa
yang dialami oleh Asdiwal; (3) oganisasi-organisasi sosial dan keluarga, karena
disitu terdapat kisah tetang perkawinan, perceraian, status janda, hubungan
antara seseorang dengan ipar-iparnya, dan peristiwa-peristiwa yang berkaitan
denganhal-hal tersebut, seperti perburuan, persaingan, dan tolong-menolong; (4)
kosmologi orang Tsimshian, yang tampak pada peristiwa kunjungan Asdiwal ke
langit dan ke dunia bawah tanah, yang semuanya merupakan kisah mitologis, bukan
pengalaman nyata (Ahimsa-Putra, 115-116, 2009).
Dan
analisis Lévi-Strauss atas ratusan mitos-mitos di Indian Amerika Selatan,
dimulai dari sebuah mitos orang Indian Bororo di Brazil Tengah, yang
terirorinya di masa lalu mencapai daerah hulu sungai Paraguay hingga lembah
Araguaya. Didasarkan atas persamaan antara mitos dan musik, Lévi-Strauss
menyebut mitos Bororo ini dengan istilah “The Bird-Nester’s Aria”
(Burung-burung Nuri dan Sarang Meerka). Mitos ini merupakan mitos kunci atau
mitos yang menjadi awal perjalanan besar Lévi-Strauss menelusuri ratusan mitos
lainnya di Amerika. Adapun judul mitos-mitos lainnya adalah, Bororo
“Asal-muasal air, perhiasan, dan ritus penguburan”, Bororo “Asal-muasal
penyakit”, Tucuna “Keluarga yang berubah menjadi harimau-harimau”, Tucuna
“Harimau yang memakan anak-anaknya”, (Ahimsa-Putra, 2009).
Strukturalisme
yang dikembangkan Lévi-Strauss sangat berbeda dengan strukturalis yang
dikembangkan tokoh-tokoh strukturalis lain seperti, Emile Drukheim,
A.R.Radcliffe-Brown, Talcott Parsons dan Robert Merton, yang lebih dikenal
dengan aliran Fungsionalisme-Struktural, Jean Piaget (Analisis Struktural dalam
Psikologi) meskipun ada beberapa kesamaan pandangan didalamnya. Meskipun
Lévi-Strauss pernah mengatakan bahwa Strukturalismenya banyak diilhami oleh
pandangan dari Karl Marx dan Sigmund Freud (psikoanalisis), tapi perbedaannya
cukup besar dengan Antropologi Struktural yang telah dikembangkannya karena
dalam Struktural Lévi-Strauss banyak dipengaruhi oleh ilmu bahasa (linguistik)
didalamnya (Ahimsa-Putra, 2006). Dan bagi Lévi-Strauss, budaya pada hakikatnya
adalah suatu system simbolik atau konfigurasi system perlambangan. Lebih
lanjut, untuk memahami sesuatu perangkat lambing budaya tertentu, orang harus
lebih dulu melihatnya dalam kaitan dengan system keseluruhan tempat system
perlambangan itu menjadi bagian. Akan tetapi ketika Lévi-Strauss berbicara
tentang fenomen kultural sebagai sesuatu yang bersifat simbolik, dia tidak
memasalahkan referen atau arti lambing secara empirik. Yang ia perhatikan
adalah pola-pola formal (Kaplan dan Manners,239, 2002).
Lévi-Strauss,
dengan paradikma strukturalisme-nya telah mendapat banyak pujian dari kalangan
ilmuwan dan kebudayaan. Seperti Leach yang menyebut Lévi-Strauss sebagai
“pendiri strukturalisme sejajar dengan Sartre sebagai pendiri eksistensialisme
(Kaplan dan Manners, 237, 2002). Merupakan analogi yang sangat tepat, karena
filsafat eksistensialisme sendiri usianya jauh lebih tua dari Sartre, tapi
meskipun demikian pendekatan Sartre yang unik terhadap eksistensialismelah yang
membuatnya menonjol diantara para pengguna istilah itu dalam masa sebelumnya.
Kaplan dan Manners pun dengan tegas menyebutkan bahwa sikap teoritik yang telah
dibahas dalam bukunya (Teori Budaya), tak satupun yang dapat diidentifikasikan
dengan karya satu orang sedekat identifikasi “strukturalisme” dengan
karya-karya tulis Claude Lévi-Strauss. Lévi-Strauss memang memberikan sumbangan
besar terhadap paradigma strukturalisme kontemporer, terbukti pada pokok
tulisan para struturalis lain sekurang-kurangnya dalalm antropologi
kelihatannya memang terutama mengomentari, memberi catatan kaki, atau
mengelaborasikan gagasan yang pertamakalinya dilontarkan oleh Lévi-Strauss. Dia
bukan hanya tegak sebagai pemimpin karismatik dari strukturalisme kontemporer,
melainkan juga tampaknya jelas-jelas menjadi pemegang kata akhir mengenai mana
yang “asli dan abash” dan mana pula yang “semu dan palsu” dalam hal teori
strukturaisme. Dengan demikian, bicara tentang strukturalisme berarti bicara
tentang strukturalisme Prancis; dan bicara tentang strukturalisme Prancis sama
dengan berbicara mengenai skema teoritik Lévi-Strauss (Kaplan dan Manners, 238,
2002).
Namun
begitu, paradigma strukturalisme Lévi-Strauss tidak ubahnya sebuah perkembangan
dan revolusi dari paradigma-paradigma sebelumnya, yang juga masih ada
kelemahan-kelemahan dalam konsep teoritiknya. Dari banyaknya komentar dan
keragaman eksegesis yang berakumulasi beberapa tahun terakhir ini bahwa hal-hal
yang terimbau oleh karya Lévi-Strauss tidaklah mudah diringkas maupun di
pahami. Gagasannya sering sangat abstrak da lincir (elusif), sedangkan gaya
pernyajiannya sendiri acapkali menyulitkan. Seperti dikemukakan Leach bahwa,
Lévi-Strauss memilih dan merangkai kata-katanya secara amat cermat dan jelimet
sehingga dalam bahasa aslinya sering terkandung sifat puitik, dalam arti bahwa
suatu kalimat mungkin dapat memiliki semacam ambiguitas harmonis dibalik dan di
atas hal yang tampak diungkapkan di permukaan (Kaplan dan Manners, 247, 2002)
sehingga menimbulkan berbagai pendapat dan kesimpulan/inferensi, dan
makna/tafsir yang berbeda-beda dari dari setiap orang tentang pemahaman dan
pemikiran Lévi-Strauss tersebut. Kelemahan lain terdapat pada kesulitan dalam
bagan teori Lévi-Strauss yang menyangkut transformasi logis yang digunakannya
untuk berpindah dari kaidah structural dasar ke variasi penempilan kultural. Transformasi
itu cenderung sangat khusus dan sewenang atau idiomistik serta sulit atau malah
mustahil direplikasikan oleh antropolog lain. Jika pun kita asumsikan bahwa
prosedur trasnformasi itu dapat diungkap secara lebih cermat, masih akan ada
kesulitan menghubungkan model formal Lévi-Strauss dengan jenis materi dan soal
empirik yang biasanya digarap oleh antropolog. Dalam karyanya yang berjudul The
Savage Mind juga terkesan tidak ada kejelasan dimanakah ujung penalaran
Lévi-Strauss dan dimana pula pangkal penalaran warga pribumi, atau: apa
hubungan antara penalaran ini dengan dunia empirik (Kaplan dan Manners, 250,
2002).
Berbagai
kritik yang tajam, ketat, dan teliti diatas, ternyata tidak lantas membuat para
pengkritik sendiri kehilangan respek atau rasa kagum terhadap paradigma
strukturlisme Lévi-Strauss, karena bagaimanapun juga manfaat dari paradigma itu
sungguh banyak mempengaruhi konsep antropologi. Maybury-Lewis mengatakan bahwa
pandangan-pandangan Lévi-Strauss telah berhasil membuka perspektif-perpektif
baru dalam analisis mitos, Mary Douglas juga berpendapat, analisis struktural
yang dikerjakan Lévi-Strauss telah mampu mengungkap acuan-acuan tertentu,
makna-makna yang sangat dalam, yang tak terduga dan menarik, dari serangkaian
mitos-mitos tertentu. Dimata Yalman, Lévi-Strauss juga telah berhasil
memperlihatkan bagaimana pemikiran masyarakat pemilik mitos-mitos tersebut
ternyata tidak berkeliaran bebas begitu saja, tetapi terus menerus disalurkan
lewat pola-pola tertentu. Thomas, Kronenfeld dan Konenfeld juga mengakui bahwa
beberapa pendapat Lévi-Strauss tentang makna mitos Asdiwal memang masuk akal
dan seringkali menarik. Ahimsa-Putra dalam bukunya juga mengatakan, bahwa
analisis struktural Lévi-Strauss tidak hanya menarik dan penting dalam perspektifnya,
tetapi juga dalam metodenya. Paradigma struktural Lévi-Strauss telah
memungkinkan para ahli antropologi dan mitologi memandang mitos dengan cara
yang berbeda, dank arena itu pula memungkinkan mereka menampilkan makna-makna
mitos yang baru, yang berbeda dengan yang sudah-sudah (Ahimsa-Putra, 2009).
IV.
Perbandingan
Dari
sekian gamblang penjelasan tentang dua paradigma diatas (Fungsionalisme dan
Strukturalisme), jelas ada perbedaan diantara keduanya dalam konsep teoritik.
Meskipun wujud perbedaan itu bukanlah sebuah rekonstruksi tapi lebih tepatnya
adalah sebuah reformasi dari paradigma sebelumnya. Perbedaan diantara keduanya
adalah sebuah perbandingan yang menunjukkan kelebihan dan kelemahan
masing-masing paradigma.
Fungsionalisme berpendapat bahwa, kesatuan psikis itu berarti bahwa
kapan dan dimana pun, atau dalam keadaan apa pun, manakala pikiran manusia
diharapkan pada seperangkat keadaan lingkungan fisik serta kultural, ia akan
memberikan reaksi, pemecahan atau penanggulangan yang pada intinya sama.
Sedangkan Lévi-Strauss agaknya berpendapat bahwa kapan dan dimana pun, atau
dalam keadaan bagaimanapun, sifat-sifat logis dalam pikiran manusia adalah
demikian rupa hingga tatakerjanya memiliki kesamaan yang fundamental.
Akan
tetapi perbedaan tersebut hanya bersifat semu belaka. Alasannya, pada dasarnya
Lévi-Strauss tentunya sepaham dengan para pendahulunya dari abad kesembilan
belas itu bahwa muatan reaksi, pemecahan atau penanggulangan itu akan berbeda
menurut keadaan lingkungan keseluruhan. Akan tetapi menurut Lévi-Strauss, dan
jelas berbeda dengan pendapat teoriwan abad kesembilan belas, muatan tanggapan
itu relatif tidak penting; satu-satunya solah ialah proses mental atau pola
logis-formal dari tanggapan itu. Bagaimanapun halnya, pikiran manusia merupakan
sesuatu yang terprogram. Apakah pikiran itu terdapat dalam suatu matriks budaya
industri-atomik-kapitalistik atau dalam lingkungan pemburu-peramu di padang
Australia Tengah, tatakerja pikiran manusia sama belaka adanya. Begitulah maka
perbedaan antara Lévi-Strauss dengan antropolog abad kesembilan belas sama
sekali tidak menyangkut tatakerja hakiki pikiran manusia, melainkan hanya
sehubungan dengan soal akibat yang terindra dan merupakan hasil kerja pikiran
manusia dalam situasi lingkungan tertentu. Lévi-Strauss tidak berminat pada
perbedaan institusi maupun artefak yang menandai berbagai kelompok manusia.
Antropolog abad kesembilan belas dan juga kebanyakan antropolog kontemporer
menaruh perhatian pada cara “lingkungan” mempengaruhi pikiran manusia yang
“tunggal dan sama” itu (Kaplan dan Manners, 246, 2002).
V.
Penutup dan Kesimpulan
Berdasarkan
kajian dan analisis atas perbandingan paradigma Strukturalisme Lévi-Strauss dan
Fungsionalisme Bronis Law Malinowski diatas, dapat disimpulkan sebagai berikut.
Kelebihan
dan kelemahan masing-masing paradigma.
Untuk
kelebihan paradigma Strukturalisme Lévi-Strauss dan Fungsionalisme Bronis Law
Malinowski penulis berpendapat, bahwa kelebihan dan kelemahan masing-masing
akan terlihat ketika dibandingkan dengan paradigma sebelumnya karena sebuah
paradigma baru itu muncul ketika paradigma sebelumnya sudah tidak cocok untuk
di terapkan pada sebuah permasalahan. Atau ketika paradigma itu dikritik, Maka
paradigma baru tersebut jelas lebih bagus dari yang sebelumnya, misalnya
paradigma Fungsionalisme muncul karena paradigma Sejarah Kebudayaan dianggap sudah
tidak cocok lagi, dan seterusnya.
Fungsionalisme
Bronis Law Malinowski
Kelebihan,
Fungsionalisme
bukan bukan hanya sinonim bagi ilmu sosia saja, tapi ia sinonim dengan semua
ilmu.
Fungsionalisme
mempunyai kaidah yang besifat mendasar bagi suatu antropologi yang berorientasi
pada teori, yakni dictum metodologis bahwa kita harus mengeksplorasi ciri
sistemik budaya. Artinya, kita harus mengetahui bagaimana perkaitan antara
institusi-institusi atau struktur-struktur suatu masyarakat sehingga membentuk
sistem yang bulat.
Dengan
asumsi bahwa segala sesuatu itu mempunyai fungsi, maka dengan fungsi inilah
paradigma ini bisa menjelaskan keberadaan sesuatu dalam sebuah kebudayaan.
Kelemahan
Penjelasan
fungsional berlagak pura-pura arif dan masuk akal dalam memandang institusi
beserta fungsinya. Seolah ia menjelaskan lebih banyak daripada yang betul-betul
ia jelaskan.
Analisis
fungsional mempersoalkan pemeliharaan diri sistem, ia tidak dapat menjelaskan
perubahan struktural.
Fungsionalisme
terkendala oleh keterbatasan logis yang itu ke itu juga. Karena pelekatan
fungsi pada suatu institusi selalu merupakan hal yang bersifat post hoc.
Strukturalisme
Lévi-Strauss
Kelebihan,
Maybury-Lewis
mengatakan bahwa pandangan-pandangan Lévi-Strauss telah berhasil membuka perspektif-perpektif
baru dalam analisis mitos.
Mary
Douglas juga berpendapat, analisis struktural yang dikerjakan Lévi-Strauss
telah mampu mengungkap acuan-acuan tertentu, makna-makna yang sangat dalam,
yang tak terduga dan menarik, dari serangkaian mitos-mitos tertentu.
Dimata
Yalman, Lévi-Strauss juga telah berhasil memperlihatkan bagaimana pemikiran
masyarakat pemilik mitos-mitos tersebut ternyata tidak berkeliaran bebas begitu
saja, tetapi terus menerus disalurkan lewat pola-pola tertentu.
Thomas,
Kronenfeld dan Konenfeld juga mengakui bahwa beberapa pendapat Lévi-Strauss
tentang makna mitos Asdiwal memang masuk akal dan seringkali menarik.
Ahimsa-Putra
dalam bukunya juga mengatakan, bahwa analisis struktural Lévi-Strauss tidak
hanya menarik dan penting dalam perspektifnya, tetapi juga dalam metodenya.
Paradigma struktural Lévi-Strauss telah memungkinkan para ahli antropologi dan
mitologi memandang mitos dengan cara yang berbeda, dank arena itu pula
memungkinkan mereka menampilkan makna-makna mitos yang baru, yang berbeda
dengan yang sudah-sudah.
Kelemahan,
Karya
Lévi-Strauss tidaklah mudah diringkas maupun di pahami. Gagasannya sering
sangat abstrak da lincir (elusif), sedangkan gaya pernyajiannya sendiri
acapkali menyulitkan.
Lévi-Strauss
memilih dan merangkai kata-katanya secara amat cermat dan jelimet sehingga
dalam bahasa aslinya sering terkandung sifat puitik, dalam arti bahwa suatu
kalimat mungkin dapat memiliki semacam ambiguitas harmonis dibalik dan di atas
hal yang tampak diungkapkan di permukaan, sehingga menimbulkan berbagai
pendapat dan kesimpulan/inferensi, dan makna/tafsir yang berbeda-beda dari dari
setiap orang tentang pemahaman dan pemikiran Lévi-Strauss tersebut.
Kelemahan
lain terdapat pada kesulitan dalam bagan teori Lévi-Strauss yang menyangkut
transformasi logis yang digunakannya untuk berpindah dari kaidah structural
dasar ke variasi penempilan kultural. Transformasi itu cenderung sangat khusus
dan sewenang atau idiomistik serta sulit atau malah mustahil direplikasikan
oleh antropolog lain.
B.
Perbandingan paradigma Strukturalisme Lévi-Strauss dan Fungsionalisme Bronis
Law Malinowski.
Fungsionalisme
berpendapat bahwa, kesatuan psikis itu berarti bahwa kapan dan dimana pun, atau
dalam keadaan apa pun, manakala pikiran manusia diharapkan pada seperangkat
keadaan lingkungan fisik serta kultural, ia akan memberikan reaksi, pemecahan
atau penanggulangan yang pada intinya sama. Sedangkan Lévi-Strauss agaknya
berpendapat bahwa kapan dan dimana pun, atau dalam keadaan bagaimanapun,
sifat-sifat logis dalam pikiran manusia adalah demikian rupa hingga
tatakerjanya memiliki kesamaan yang fundamental.
Menurut
Lévi-Strauss muatan tanggapan itu relatif tidak penting (berlawanan dengan
fungsionalisme); satu-satunya solah ialah proses mental atau pola logis-formal
dari tanggapan itu. Bagaimanapun halnya, pikiran manusia merupakan sesuatu yang
terprogram. Apakah pikiran itu terdapat dalam suatu matriks budaya
industri-atomik-kapitalistik atau dalam lingkungan pemburu-peramu di padang
Australia Tengah, tatakerja pikiran manusia sama belaka adanya.
Lévi-Strauss
tidak berminat pada perbedaan institusi maupun artefak yang menandai berbagai
kelompok manusia. Sedang antropolog (fungsionalisme) abad kesembilan belas dan
juga kebanyakan antropolog kontemporer menaruh perhatian pada cara “lingkungan”
mempengaruhi pikiran manusia yang “tunggal dan sama” itu.
Perbedaan
antara Lévi-Strauss dengan antropolog abad kesembilan belas sama sekali tidak
menyangkut tatakerja hakiki pikiran manusia, melainkan hanya sehubungan dengan
soal akibat yang terindra dan merupakan hasil kerja pikiran manusia dalam
situasi lingkungan tertentu.
Daftar
Pustaka
Ahimsa-Putra,
H.S. 2008 “Paradigma dan Revolusi Ilmu
dalam Antropologi Budaya” Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar pada Fakultas
Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada
Ahimsa-Putra,
H.S.
2009 “Strukturalisme Lévis-Strauss
Mitos dan Karya Sastra”, Kepel Press, Yogyakarta.
Geertz,
Clifford.
1981 “Abangan, Santri, Priyayi,
dalam Masyarakat Jawa” Pustaka Jaya, Jakarta Pusat.
Kaplan,
David dan A. Manners, Robert.
2002 “Teori Budaya” Pustaka
Pelajar, Yogyakarta. Koentjaraningrat.
2007 “Sejarah Antropologi I”
Universitas Indonesia (UI-Press), Jakarta
Selden
Rahman
1991 “Panduan membaca Teori Sastra
Masa Kini” Terj. Gadjah Mada University Press.
[1]
. Makalah ini ditulis oleh Ahans Mahabie, S. S, untuk memenuhi tugas akhir
matakuliah Teori Budaya, Kajian Timur Tengah Sekolah Pascasarjana Universitas
Gadjah Mada Yogyakarta 2010.
[2]
. Diambil dari perkuliahan Prof. Heddy Shri Ahimsa-Putra, Teori Budaya, Sekolah
Pascasarjana Kajian Timur Tengah Unversitas Gadjah Mada Yogyakarta, senin 19
oktober 2009, pukul 15.45-17.15 WIB
[3]
. faktor-faktor tentng kelemahan pada paradigma fungsionalisme ini diambil
penulis dari buku “Teori Budaya” karangan Kaplan dan Manners.
[4]
. Selden Rahman, “Panduan membaca Teori Sastra Masa Kini” Terj. Gadjah Mada
University Press, 1991. Hal, 60-61
[5]
. diterjemahkan oleh Prof. Dr. Heddy Shry Ahimsa-Putra dalam bukunya
“Strukturalisme Lévi-Strauss Mitos dan Karya Sastra” Kepel Press Yogyakarta,
2009.
Sumber : http://hanslovers.wordpress.com/2010/06/18/antara-strukturalisme-dan-fungsionalisme/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Please Uktub Your Ro'yi Here...