Oleh :
Abdurrahman
Jika Islam adalah
agama universal tentu ia akan memiliki satu perangkat hukum yang mampu menjawab
seluruh tantangn zaman. Termasuk dalam hal ini ketika Islam harus berhadapan
dengan sistem hukum dan budaya lainnya. Sebagai contoh ketika Islam masuk ke Indonesia
sudah barang tentu terjadi dialog antara Islam dengan sistem hukum dan budaya
di Indonesia. Kajian mengenai dialog Islam dan budaya Indonesia sudah banyak
dilakukan, saya sendiri termasuk yang konsen di bidang itu. Minat saya kepada
kebudayaan Idonesia membawa konsekuensi bahwa budaya Indonesia juga tidak kalah
mulia jika disejajarkan dengan budaya dunia lainnya. Demikian pula dengan
sistem hukum dan budaya yang ada dalam Islam. Tentu saja pemikiran ini
didasarkan kepada paradigma budaya bukan menggunakan paradigma teologi.
Dari sini
kemudian mucnul dalam benak saya bahwa ketika kita berasumsi bahwa Islam itu
adalah rahmatan lil ‘alamin maka ia akan bisa mengakomodir segala sistem hukum
dan budaya dunia. Ini adalah konsekuensi logis, apalagi di tengah realitas
masyarakat yang plural. Islam sebagai agama sudah selayaknya membuka diri untuk
bisa menerima sistem hukum dan budaya lain di dunia ini. Dalam ranah teologis
bisa jadi pemikiran ini akan ditolak dikarenakan akan mendistorsi Islam itu
sendiri, namun dalam ranah sosial kemasyarakat hal ini adalah sesuatu yang
logis. Asumsi dasarnya adalah ketika Islam muncul-pun sebenarnya ia sudah
dihadapkan kepada pluralitas hukum dan budaya. Maka sangat wajar ketika Islam
juga memiliki aturan-aturan dalam menghadapi pluralitas ini.
Dari sini ide
dasar yang menjadi fokus disertasi saya dimulai, yaitu Islam pasti memiliki
seperangkat hukum yang bisa dijadikan kaidah bagi penerimaan sistem hukum dan
budaya dari luar. Ide-ide ini sebenarnya sudah sangat sering dilontarkan oleh
para cendekiawan muslim, sebut saja Hasbi Ash-Shidiqi dengan ide Fiqh
Indonesianya. Walaupun belum membaca sampai khatam buku-buku beliau namun saya
bisa menangkap ide dasarnya bahwa beliau menginginkan adanya fiqh Indonesia
yang selaras denga sistem hukum dan budaya bangsa Indonesia. Selama ini fiqh
yang ada cenderung bercorak arab sentris sehingga terkadang akan sangat sulit
diterapkan di Indonesia. Jika Hasbi berpolemik dengan Ahmad Hasan tentang hukum
berjabat tangan antara lelaki dengan perempuan maka saya juga berpikir
bagaimana mungkin masyarakat Indonesia yang setiap hari pergi ke sawah harus
mengenakan jilbab panjang atau menggunakan cadar. Tentu saja ini adalah
pendapat gila yang akan banyak ditentang oleh orang-orang yang komitmen dengan
Islam (untuk tidak menyebut kelompok Fundamentalis). Akan tetapi realitas di
masyarkat memang demikian, sehingga apakah kita akan tetap berpegang teguh pada
fiqh yang bernuansa timur tengah atau kita berusaha menggali fiqh dengan jati
diri Indonesia? Semuanya dikembalikan kepada para pemikir Islam dan masyarakat
juga akan menilai mana yang menurut mereka mudah dilakukan, semuanya kembali
kepada kita.
Mudah-mudahan
ide untuk mengislamkan Indonesia dan mengindonesiakan Islam ini bukan untuk
merendahkan Islam, hal ini hanya dalam ranah pemikiran yang didasarkan pada
realitas di masyarakat. Jika salah maka saya mohon ampun kepada Allah ta’ala
(Astaghfirullah...) jika bermanfaat bagi masyarakat maka biarlah Allah yang
akan membalasnya... Wallahu a’lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Please Uktub Your Ro'yi Here...