Oleh : Abdurrahman MBP
Perjalanan
menuju Kampung Naga sangat mudah ditempuh, jika kita dari arah Bandung maka
dapat menempuh dua arah yang berbeda, yaitu melalui Tasikmalaya atau melalui
Garut. Jika melewati Tasikmalaya maka perjalanan berjarak kurang lebih 30 Km
dari kota Tasikmalaya. Sedangkan perjalanan dari Bandung membutuhkan waktu
sekitar 3 jam menujukota Tasikmalaya. Bagi yang menaiki kendaraan umum maka
dari Bandung bisa naik bis umum atau mobil elf
dengan trayek Bandung-Tasikmalaya dan turun di Terminal Indihiang. Dari
sini perjalanan dilanjutkan dengan naik mobil elf dengan trayek Tasikmalaya-Garut. Sayangnya angkutan ini sering
kali tidak sampai ke terminal Indihiang Tasikmalaya sehingga bagi yang ingin
meneruskan perjalanan ke Garut harus mencari angkutan tersebut di Rancabango
(kurang lebih 5 KM dari Terminal Indihiang Tasikmalaya. Perjalanan dari
Tasikmalaya ke Garut membutuhkan waktu sekitar 1,5 jam perjalanan normal,
sedangkan bila banyak berhenti atau ngetem
maka bisa membutuhkan waktu sekitar 2 jam perjalanan. Jika ingin naik mobil
elf Tasikmalaya-Garut maka turun
tepat di depan pintu gerbang Kampung Naga.
Jika
menggunakan jalur Bandung-Garut-Singaparna maka maka jarak tempuhnya kurang
lebih 160 KM, sementara dari Kota Garut berjarak 26 KM. Jika berangkat dari
bandung maka bisa menggunakan mobil “Diana” atau “Sony Putra” dengan trayek
Bandung-Singaparna. Angkutan bis ini cukup praktis karena cukup naik satu kali
kemudian turun di depan Kampung Naga dengan ongkos Rp. 20.000,-. Sayangnya
mobil jenis ini tidak begitu banyak jumlahnya sehingga harus bersabar
menunggunya. Bis AKAP (Antar Kota Antar Propinsi) juga bisa digunakan yaitu Bis
dengan trayek Jakarta-Singaparna melalui Bandung dan Garut, bis ini juga
melalui depan Kampung Naga, namun lagi-lagi bis ini hanya pada jam tertentu
saja lewatnya. Untuk angkutan menuju Kampung Naga dari Bandung melalui jalur
Garut dianjurkan untuk mencari angkutan bis “Diana” atau “Sony Putra” apabila
tidak ada juga bisa menggunakan elf jurusan
Bandung-Garut sampai ke Terminal Guntur Garut, setelah itu dilanjutkan dengan
naik elf jurusan Garut-Tasikmalaya
dan turun di depan pintu gerbang Kampung Naga.
Untuk
mengetahui arah Kampung Naga maka terdapat sebuah plang yang menunjuk ke arah
Kampung Naga. Jika perjalanan dari arah Tasikmalaya maka plang tersebut berada
di sebelah kiri jalan, sedangkan jika perjalanan dari arah Garut maka plang
tersebut berada di sebelah kanan. Ciri yang paling menonjol ketika hampir
sampai ke Kampung Naga adalah tampak di kiri-kanan jalan raya lembah dan
perbukitan yang menghijau dengan sawah model terasering yang tersusun rapi.
Jika perjalanan dari arah Tasikmalaya maka kita harus menyeberang jalan
terlebih dahulu, sedangkan jika dari arah Garut maka turun langsung menuju
lokasi Kampung Naga.
Memasuki lokasi
Kampung Naga pengunjung disambut oleh sebuah gapura[1]
dengan atap terbuat dari injuk dengan tinggi kurang lebih 5 meter. Di
bagian kanan gapura terdapat pohon Caringin (Beringin) besar yang
memberikan kesan sejuk, menurut Bapak Abdul Majid salah seorang pemilik kios di
depan gapura, pohon caringin ini
ditanam bersamaan dengan dibangunnya terminal tempat parkir Kampung Naga.
Sementara di bagian kiri terdapat papan bertuliskan “Tanah ini milik Pemerintah
Kabupaten Tasikmalaya” tertulis luas tanah 2.635 M2, Nomor Sertifikat 10.
Melangkah masuk
ke dalam tepatnya ke Terminal (tempat
parkir kendaraan),
tampak lokasi parkir yang cukup luas dengan model parkir serong sehingga
memungkinkan hingga sepuluh bis besar terparkir di situ. Pada bagian sebelah
kiri terdapat sebuah bangunan yang berfungsi sebagai tempat menyimpan drum-drum
minyak tanah. Bangunan sebelahnya adalah Kantor Pusat Informasi dan Kantor
Koperasi Warga Kampung Naga dengan nama “Sauyunan”. Bangunan ini juga menjadi
Kantor Perhimpunan Pramuwisata Kampung Naga yang disingkat “Hipana”.
Bersebelahan dengan kantor ini berjajar kios-kios cenderamata yang menjual produk-produk masyarakat Kampung
Naga dan sekitarnya. Sementara di sebelahnya lagi terdapat banguan yang
digunakan untuk tempat pembakaran sampah.
Maju ke depan lagi terdapat sebuah bangunan yang belum jadi yang akan digunakan
untuk loket parkir dan kios cinderamata.
Beralih ke
sebelah kanan, tampak kios cenderamata yang menjual berbagai souvenir khas
Kampung Naga, ada toko kelontong, warnet dan
penyewaan Play Station (PS). Di pojok jalan terdapat mini museum
yang memamerkan berbagai senjata tradisional seperti kujang, keris, pedang,
golok dan yang lainya. Mini museum ini juga menyedikan buku tentang Kampung
Naga, Pin Khas Kampung Naga, baju, ikat kepala dan aksesoris khas Kampung Naga
lainnya. Karena berada pada posisi tanah bagian atas, maka di sebelah kanan
tempat parkir ini terdapat tangga menuju bagian bawah yang digunakan untuk
tempat warga dan ada juga WC umum.
Pada bagian
ujung kiri tempat parkir berdiri kokoh Tugu Kujang Pusaka[2]
yang tampak megah dengan warna dominan hitam. Tugu ini dikelilingi pagar besi
yang memiliki satu pintu di bagian muka. Pada kedua sisi pintu pagar bagian
luar terdapat patung kepala harimau. Pada bagian kanan tugu terdapat tulisan
mengenai keterangan detail pembangunan tugu ini. Tertulis bahwa tugu ini
diresmikan oleh Gubernur Jawa barat pada 16 April 2009 atau 19 Maulud 1430 H.
Pengagas utama pembuatan tugu ini adalah Drs. Anton Charliyan, MPKN yang pada
waktu itu menjabat sebagai Kapolwil Priangan dan KRAT. H. Derajat Hadiningrat
selaku Pimpian Graha Limau Kencana. Tugu ini dikelilingi oleh sebuah kolam
kecil dengan ukurna kurang lebih 80 cm, serta dikelilingi pagar besi kecuali di
bagian depan. Pada bagian belakang tugu terdapat tembok yang menjadi batas
dengan warga Sa-naga.
Dari depan Tugu Kujang Pusaka ini perjalanan berbelok
ke arah kiri dan menaiki anak tangga yang terbuat dari batu bercampur semen
dengan jumlah 11 anak tangga. Pada bagian kanan tangga terdapat plang selamat
datang dengan tulisan “Wilujeng Sumping” yang berarti “selamat Datang” di
Kampung Naga Kabupaten Tasikmalaya. Pada bagian bawahnya terdapat tulisan
dengan aksara sunda yang maknanya kurang lebih sama. Plang ini terlihat sudah
sangat usang pada beberapa bagian yang mengalami karat dan catnya sudah mulai
mengelupas.
Perjalanan
selanjutnya dengan
menyusuri jalanan datar kurang lebih 50 meter, di
bagian kanan dan kiri jalan terdapat beberapa rumah warga dan toko-toko kelontong yang
menjual makanan dan minuman ringan. Di ujung bagian kiri tepatnya di sisi
tangga yang menuju ke bawah terdapat mushola kecil bercat putih, mushola ini
digunakan untuk shalat dan mengaji beberapa warga yang berada di sekitar lokasi
parkir tersebut.
Untuk menuju
lokasi Kampung Naga maka hanya ada satu jalan menuju ke lokasi yaitu dengan
menuruni anak tangga yang berjumlah kurang lebih 400 anak tangga. Anak tangga pertama berjumlah 11 anak tangga
yang menyampaikan saya ke perempatan tangga. Jika belok ke kiri maka tangga
kembali naik dan menuju bagian lain dari pemukiman
warga di sekitar Kampung Naga, demikian juga jika
lurus maka terdapat beberapa rumah warga dengan gapura bertuliskan “Mangga 4”, kumpulan rumah ini adalah warga
Sa-naga yang tinggal di luar perkampungan inti Kampung Naga, sehingga bangunan
rumah mereka terbuat dari semen dan beratap genteng dan asbes.
Untuk menuju
Kampung Naga maka dari perempatan ini kita belok kanan dengan menyusuri anak
tangga menurun. Susunan tangga kedua ini berjumlah 30 anak tangga yang berujung
pada batas setiap tangga berupa semacam anak tangga dengan panjang kurang lebih
2 meter. Anak tangga berikutnya yang berjumlah 17 anak tangga. Sampai di sini tangga tersebut ditandai dengan batas
anak tangga dengan panjang kurang lebih dua meter. Pada anak tangga ke-10
setelahnya terdapat pula tangga menanjak yang mengarah ke pemukiman warga di
bagian kiri tangga menunju Kampung Naga. Jumlah anak tangga ini adalah 44 anak
tangga. Anak tangga berikutnya berjumlah 25 kemudian diselingi dengan batas
anak tangga dan selanjutnya berjumlah 10 anak tangga.
Selanjutnya
jalan kurang lebih 25 meter dengan lantai terbuat dari batu kerikil berukuran
sedang yang ditanam sepajang jalan. Akkhir dari jalan datar ini adalah sebuah
kios cenderamata dan sebuah rumah etnik yang sedang dibangun untuk dijadikan
semacam café. Beberapa rumah yang berada di sisi kiri dan kanan tangga ini
telah menggunakan listrik dan alat-alat modern. Pada beberapa lahan kosong
terdapat pepohonan rindang selain juga beberapa pohon enau (kawung).
Tangga berikutnya
menurun cukup curam dengan sungai
sungai kecil mengalir
di bagian bawahnya, sungai ini kurang lebih lebarnya dua meter dan menjadi
salah satu sumber air bersih warga di sekitar Kampung Naga. Di sebelah kanan
jembatan kecil di tepi sungai terdapat rumah warga yang menjual minuman dan
makanan ringan. Di bagian tepi sungai kecil ini
terdapat jalan setapak yang menghubungkan perkampungan di luar Kampung Naga.
Selanjutnya
menuruni tangga curam yang berjumlah 5 anak tangga dan 24 anak tangga yang
menyampaikan ke sebuah mushola di sebelah
kiri jalan, sangat disayangkan sepertinya mushola ini kurang terawat, sementara
di bagian depannya digunakan oleh warga untuk menjual kelapa muda. Jika kita
berjalan keluar tangga ke arah kiri dan melewati depan mushola maka dari ujung
dataran tinggi ini kita akan bisa meyaksikan panorama Kampung Naga dari
kejauhan yang sangat eksotik. Bagi yang ingin mengambil gambar tempat ini
semestinya tidak disia-siakan.
Berikutnya
menyusuri tangga yang berjumlah 140 anak tangga, kali ini tangga tersebut sangat curam dengan
bentuk hurus “S” yang menikung tajam, di sebelah kanan tangga masih terdapat
satu rumah warga yang juga menggunakan listrik sementara di bagian kiri
terdapat sebuah kolam penampung air yang tidak terurus. Akhir dari tangga yang
menurun curam ini adalah sebuah belokan ke kanan yang landai, pada ujung
tikungan terdapat bekas bangunan berupa pos yang telah dibongkar. Dari
keterangan Kang Entang bangunan “saung” tersebut sengaja dirobohkan karena
sering disalahgunakan oleh pengunjung terutama untuk berpacaran. Pada tikungan
ini juga terdapat sebuah anak tangga yang sudah tidak digunakan terbuat dari
campuran pasir dan semen, anak tangga ini mengindikasikan bahwa dulu tangga
yang ada melewati anak tangga tersebut, namun karena dirasa terlalu curam dan
dekat dengan tebing maka akhirnya arah tangga dinaikan ke atas. Dari tikungan
ini juga lokasi Kampung Naga sudah terlihat jelas dan siap menyambut saya dan
seluruh pengunjung yang datang.
Selanjutnya dari
tikungan ini perjalanan berbelok
ke kanan menyusuri
tangga dengan jumlah 16 anak tangga
kemudian jeda lalu 42 anak tangga dan terakhir 56 anak tangga. Ini
adalah anak tangga terakhir menuju Kampung Naga, selanjutnya perjalanan
menyusuri jalan desa dengan lebar kurang lebih 2 meter dengan susunan batu kali
ukuran sedang dan tanah liat. Bagi yang ingin refleksi kaki tempat ini sangat
cocok, karena itu disarankan jika sudah sampai di sini alas kakinya boleh
dibuka. Pada ujung tangga juga terdapat sebuah tanda bagi selesainya pembangunan
tangga. Di sini terdapat pula jalan setapak ke arah kanan menuju bendungan air
dan sungai Ciwulan. jika dilanjutkan
maka terdapat jalan setapak menuju perbukitan dengan menyeberangi
sungai Ciwulan dengan jembatan beton
lalu menyusuri tangga yang terbuat
dari semen menanjak tepat di samping Leuweng (Hutan Larangan). Tangga
ini menanjak melewati beberapa rumah warga dan jika berada di ujungnya maka
akan bertemu ke jalan menurun ke arah Kampung Naga dengan mentas (menyeberangi)
sungai Ciwulan dari arah yang berbeda.
Perjalanan
berikutnya adalah menyusuri pinggir sungai Ciwulan yang airnya mengalir dengan
tenang, pada musim kemarau air di sungai ini mulai berkurang jumlahnya. Berbelok
ke kanan mata saya dimanjakan oleh pemandangan sungai yang menghampar di
sebelah kanan, gemericik air yang jatuh dari tebing di ujung sebelah kana saya membawa
pesona yang berbeda dengan suasana di tempat lainnya. Sejauh mata memandang
yang terlihat adalah hijau yang berpadu
dengan warna dasar coklat
tanah khas pedesaan. Sementara memandang ke depan tampak Kampung Naga dengan susunan
rumah yang tertata rapi dengan warna
dominan hitam. Perjalanan menyusuri jalan kampung di tepi sungai Ciwulan
berjarak kurang lebih 500 meter dan berakhir
pada sebuah belokan ke arah kiri menuju wilayah pemukiman Kampung Naga.
Memasuki Kampung
Naga kita disambut dengan sebuah tanah lapang dengan dua buah rumah di bagian
kiri dan tiga buah rumah di bagian kanan. Rumah Kuncen sendiri berada di bagian
kiri nomor dua dari arah pintu masuk. Pandangan pertama ketika masuk selain
adanya tanah lapang juga berdiri kokoh sebuah Masjid dan Bale Patemon yang
saling berdampingan. Di sebelah kiri
masjid terdapat lokasi bekas Leuit yang
dipagari dengan bambu welahan.
Berjalan menaiki sebuah tangga batu dan berbelok sedikit ke kanan akan
menyampaikan ke Bumi Ageung. Bangunan ini adalah salah satu dari empat bangunan
yang dikeramatkan dan tidak boleh diambi fotonya serta tidak sembarang orang
bisa memasukinya. Bahkan warga Kampung Naga sendiri tidak bisa memasukinya.
Berdampingan
dengan Bumi Ageung yang dibatasi oleh pagar Kandang
Jaga terdapat rumah penduduk. Di
sebelahnya lagi terdapat bangunan yang disebut katarajuan yaitu sebuah bangunan yang digunakan oleh perwakilan
dari Desa Jahiyang yang akan mengikuti Hajat Sasih. Bangunan ini juga termasuk
yang tidak dipotret dari dekat. Jalan setapak yang berada di samping bangunan ini
merupakan jalan menuju makam Eyang Sembah
Dalem. Pada lokasi ini tidak sembarang orang boleh memasukinya atau
memotretnya.
[1] Gapura ini
dibangun oleh Dinas Pariwisata Kabupaten Tasikmalaya bersamaan dengan dibangunnya lahan parkir bagi pengunjung Kampung Naga.
[2] Disebut
Tugu Kujang Pusaka karena tugu ini memiliki bagian atasnya berupa kujang yang
terbuat dari kurang lebih 900 pusaka yang berasal dari seluruh wilayah
Pasundan.
Hutan larangan?? Mitosny aya naon tadz?
BalasHapusMitos adalah cerita yang dibangun oleh realitas, bicara tentang mitos maka bicara tentang budaya semesta.... mau tau mitosnya? Tunggu aja di blog ini....
BalasHapus