Adapun pengaruh yang dominan dalam
pemikiran Hasbi As-Shiddieqy tentang Fiqih Indonesia ada beberapa hal
diantaranya: Pertama, secara tinjauan sejarah bahwa pemikiran hokum islam yang
mencoba memadukan serta mempertimbangkan suatu unsur struktur kebudayaan {adat}
kedalam rumusan hukum islam ternyata telah dilakukan oleh banyak kalangan para
pemikir hukum islam fase awal yakni fase islam baru masuk Indonesia, para
pemikir hukum masa lalu telah mendemonstrasikan secara baik tata cara menyantuni
aspek lokalitas didalam ijtihad hukum yang mereka lakukan. Meskipun tidak
sampai memunculkan seorang mujtahid mustaqil. Kedua, polarisasi khilafiyah
antar golongan yang telah menghilangkan prioritas kerja fikir umat islam
terkait bagaimana merumuskan garis-garis pemikiran hokum islam dalam kerangka
developmentalisme. Keadaan kontra produktif seperti ini telah mengantarkan
pemikiran hokum islam jatuh pada titik terendah dalam kualitas
pengembangan dan pemberdayaannya yang
menjadikan perkembangan hokum islam di Indonesia menjadi letih-lesu dan
kehilangan orientasi.
Situasi dan realita seperti itulah yang
menyebabkan Hasbi terdorong diri untuk menggagas Fiqih Indonesia. Sekitar tahun
1940-an menulis artikel pertamanya yang diberi judul “ Memoedahkan Pengertian
Islam “ dalam artikelnya tersebut dia menyatakan betapa pentingnya pengambilan
ketetapan fiqih dari hasil ijtihad yang lebih cocok dengan kebutuhan nusa dan
bangsa Indonesia, agar fiqih tidak menjadi barang asing dan diberlakukan
seperti barang antic. Hasbi terlihat gamang akan prospek dan masa depan hokum
islam di Indonesia yang tidak mempunyai arah yang jelas. Menurutnya
pengkultusan terhadap pemikiran hokum islam yang telah ada perlu ditinjau ulang
dalam kerangka dasar meletakkan sendi ijtihad baru. Konsep dan pemikiran hokum
islam yang terasa tidak relevan dan
asing harus segera dicarikan alternative baru yang lebih memungkinkan untuk
dipraktekkan di Indonesia.
Hingga interval waktu yang cukup lama,
tepatnya hingga tahun 1948, gagasan fiqih Indonesianya tidak mendapatkan respon
yang positif dari masyarakat, kemudian dia menulis artikel kembali yang
berjudul “ Menghidupkan Hukum Islam Dalam Masyarakat ” yang dimuat dalam
majalah aliran islam, ia mencoba mengangkat kembali ide besarnya tersebut. Dalam
tulisannya tersebut ia menyatakan eksistensi hokum islam pada tataran praktis
telah sampai pada tingkat dekadensi yang klinis, tampil bagai sosok yang
terasing, tidak berarti dan tidak berdaya guna. Kehadirannya tidak lagi
dianggap ada oleh umat, karena tidak sanggup lagi mengakomodir berbagai
tuntutan perubahan zaman. Menurutnya,
hokum islam harus mampu menjawab persoalan-persoalan baru, khusunya dalam
segala cabang dari bidang muamalah, yang belum ada ketetapan hukumnya. Ia harus
mampu hadir dan bias berpartisipasi dalam membentuk gerak langkah kehidupan
masyarakat. Para mujtahid {ulama lokal} dituntut untuk mempunyai kepekaan
terhadap kebaikan yang tinggi dan kreatifitas yang dapat dipertanggungjawabkan
dalam upaya merumuskan alternative fiqih baru yang sesuai dengan situasi dan
kondisi masyarakat yang dihadapinya. Untuk memecahkan masalah ini, Hasbi
mengusulkan perlunya kerja kolektif, melalui sebuah lembaga permanent dengan
jumlah anggota ahli dari spesialisasi ilmu yang bermacam-macam. Menurutnya upaya
ini akan menghasilkan produk hokum yang relative lebih baik disbanding apabila
dilakukan oleh perorangan atau sekumpulan orang dengan keahlian yang sama.
Nalar berfikir yang digunakan oleh Hasbi
dengan gagasan fiqih Indonesia adalah satu keyakinan bahwa prinsip-prinsip
hokum islam sebenarnya memberikan ruang gerak yang lebar bagi pengembangan dan
ijtihad-ijtihad yang baru. Dasar-dasar hokum islam yang selama ini telah mapan,
seperti ijma’, qiyas, maslahah mursalah, urf dan prinsip “ perubahan hokum karena
perubahan masa dan tempat ”, justru akan menuai ketidaksesuaian ketika tidak
ada lagi ijtihad baru. Dengan berpegang pada paradigma ini, dalam konteks
pembangunan semesta seperti sekarang ini, gerakan penutupan ijtihad merupakan
isu usang yang harus segera ditinggalkan.
Puncak pemikirannya tersebut terjadi
pada tahun 1961, ketika dalam satu acara Dies Natalis IAIN Sunan Kalijaga yang
pertama, ia memberikan makana dan definisi fiqih Indonesia secara cukup
artikulatif. Dalam orasi ilmiahnya yang bertema “ Syari’at Islam Menjawab
Tantangan Zaman ”, Hasbi secara tegas mengatakan: “Maksud untuk mempelajari
syari’at islam di universitas-universitas islam sekarang ini, supaya fiqih atau
syari’at islam dapat menampung seluruh kemaslahatan masyarakat dan dapat
menjadi pendiri utama bagi perkembangan hokum-hukum di tanah air tercinta ini.
Maksud kita supaya dapat menyusun suatu fiqih yang berkepribadian kita sendiri.
Sebagaimana sarjana-sarjana Mesir sekarang ini sedang me-Mesir-kan fiqihnya.
Fiqih Indonesia ialah fiqih yang
ditetapkan sesuai dengan kepribadian Indonesia, sesuai dengan tabi’at dan watak
Indonesia.
Fiqih yang berkembang dalam masyarakat
kita sekarang ini sebagiannya adalah
fiqih hijaz. Fiqih yang terbentuk atas dasar adapt istiadat dan ‘urf yang
berlaku di hijaz. Atau fiqih mesir, yaitu fiqih yang telah terbentuk atas dasar
adapt istiadat dan ‘urf yang berlaku di
mesir. Atau fiqih hindi, yaitu fiqih yang telah terbentuk atas dasar
adapt istiadat dan ‘urf yang berlaku di India.
Selama ini, kita velum menunjukkan
kemampuan untuk berijtihad, menunjukkan fiqih yang sesuai dengan kepribadian
Indonesia. Karena itu kadang-kadang kita paksakan fiqih hijazi, fiqih misri
atau fiqih ‘iraqi berlaku di Indonesia atas dasar taklid.”
Menurutnya salah satu factor yang
menyebabkan ulama negeri ini belum mampu melahirkan fiqih yang berkepribadian
Indonesia adalah terlalu fanatic terhadap mahzab yang dianut olh umat islam.
Menyadari ketidakmungkinan munculnya pemikiran progresif dari kalangan ulama
konservatif, maka ia mengajak kalangan perguruan tinggi islam di Indonesia
untuk mencetak kader-kader mujtahid dengan karakter khas yang dapat meneruskan
proyek fiqh Indonesia. Memang dalam merealisasikan fiqih Indonesia diperlukan
kesadaran dan kearifan yang tinggi dari banyak pihak, ketika harus melewati
tahap pertama, yaitu melakukan refleksi histories atas pemikiran hokum islam
pada masa awal perkembangannya. Mempertimbangkan tradisi {adat} setempat
sebagai acuan pembentukan sebuah format pemikiran hokum islam baru adalah suatu
hal yang penting. Syari’at islam menganut asas persamaan, sebagai
konsekuensinya semua urf dari setiap masyarakat dapat dijadikan sebagai sumber
hokum, tidak hanya urf dari masyarakat arab saja. Secara singkat pemikiran
hasbi berlandaskan pada konsep bahwa hokum islam {fiqih} yang diberlakukan
untuk umat islam Indonesia adalah hokum yang sesuai dan memenuhi kebutuhan
mereka, yaitu hokum adapt yang berkembang dalam masyarakat Indonesia, yang
tidakl bertentangan dengan syara’.
Menurutnya pemikiran hokum islam harus
berpijak pada prinsip maslahah mursalah, keadilan dan kemanfaatan serta sadd
ad-dzari’ah. Kesemuanya itu menurutnya, merupakan prinsip gabungan yang
dipegang oleh para imam mahzab, khususnya aliran madinah dan kuffah dan telah
terbukti mampu membawa ketertiban dan kesejahteraan dalam masyarakat. Dalam
merealisasikan fiqih Indonesia, dia mengingatkan pentingnya pendekatan sejarah
yang kritis misalnya, ia menawarkan metode analogi-deduktif {satu model
istimbat hokum yang pernah dipakai abu hanifah} untuk membahas satu
permasalahan yang belum ditemukan ketentuan hukumnya dalam khazanah pemikiran
klasik. Metode ini mengharuskan seseorang untuk berijtihad secara mandiri.
Sedangkan dalam masalah yang sudah ada ketentuan hukumnya, metode perbandingan
{komparasi} menjadi hal yang pertama yang ditempuh. Metode ini
mengkonsekuensikan perlunya memperbandingkan satu pendapat dengan pendapat yang
lain daris eluruh aliran hokum yang ada atau yang pernah ada, dan memilih mana
yang lebih cocok dan lebih dekat dengan kebenaran, serta didukung dengan dalil
yang kuat {tarjih}. Untuk memudahkan mengaplikasikan metode tersebut ia
menyarankan perlunya menggunakan pendekatan social-kultural-historis dalam
segala proses pengkajian dan penemuan hokum islam.
Salah satu hasil ijtihad ijtihadnya yang
paling popular adalah fatwa tentang memperbolehkannya jabat tagan antara
laki-laki dan perempuan, ini berbeda dengan fatwa majlis tarjih muhammadiyah
dan ahmad hasan dari persis yang mengharamkan jabat tagan antara laki-laki dan
perempuan. Alasan yang dia gunakan diantaranya adalah hokum haram terhadap hal
tersebut dilandaskan pada qiyas, dalam pandangannya mengharamkan sesuatu harus
berdasarkan dalil nash yang qath’I, baik dalam al-qur’an maupun as-sunnah.
Disamping itu pertimbangan yang dia gunakan adalah jabat tangan antara
laki-laki dan perempuan merupakan ‘urf [kebiasaan] yang sudah sekian lama hidup
dan telah menjadi tradisi dimasyarakat Indonesia.*
*By Muriqul Haqqi (Tulisan ini telah
diterbiitkan pada buletin Nomos SMJ Syari’ah STAIN Ponorogo edisi April 2010).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Please Uktub Your Ro'yi Here...