Oleh : Abu Aisyah
Manusia adalah makhluk paling sempurna di muka bumi,
kesempurnaannya terletak pada dua unsur dalam dirinya yaitu tubuh/jasad (body) dan ruh (soul). Kedua unsur tersebut semakin sempurna dengan anugerah akal
pikiran yang membedakan manusia dengan makhluk lainnya. Dengan akal tersebut
manusia mampu mengembangkan potensi dirinya, memenuhi semua kebutuhannya dan
melaksanakan tugas utamanya sebagai pewaris alam semesta (khalifatullah fil ardh). Selanjutnya manusia berusaha mengerahkan
seluruh potensinya untuk memenuhi seluruh kebutuhannya, dari kebutuhan bagi
tubuhnya yang berupa makanan dan minuman, hingga kebutuhan rohaninya dalam
bentuk pencarian kedamaian, ketentraman, kebahagiaan dan aktualisasi diri.
Merujuk teori Abraham Maslow bahwa manusia memiliki lima kebutuhan mendasar
yaitu kebutuhan fisiologi, rasa aman, afiliasi, harga diri, dan pengembangan
potensi (Jujun, 2001 : 262).
Di antara kebutuhan mendasar ruhani manusia adalah kebutuhan
akan sesuatu yang bisa dijadikan pedoman dan sarana dalam mencapai kepuasan
rohaninya tersebut. Sesuatu itu adalah agama, yang akan memenuhi kebutuhan
manusia terutama kebutuhan akan tuntunan dan pedoman bagi kebahagiaan
kehidupannya. Bukti bahwa manusia sebagai makhluk yang memiliki potensi
beragama ini dapat dilihat melalui bukti historis dan antropologis. Manusia
Primitif yang kepadanya tidak pernah datang informasi mengenal Tuhan, ternyata
mereka mempercayai adanya Tuhan sekalipun terbatas “daya khayal”nya. Daya
khayal inilah yang melahirkan kepercayaan akan adanya kekuatan di luar diri
manusia. Selanjutnya, kepercayaan-kepercayaan tersebut dikenal dengan istilah
Dinamisme, Animisme, dan Politeisme, (Harun, 2010 : 4). Carld Gustave Jung
berpendapat bahwa agama termasuk hal-hal yang memang sudah ada di dalam bawah
sadar secara fitri dan alami. Selanjutnya Einstein menyatakan adanya
bermacam-macam kejiwaan yang telah menyebabkan pertumbuhan agama. Demikian pula
bermacam-macam faktor telah mendorong berbagai kelompok manusia untuk berpegang
teguh pada agama. Semua itu menunjukan bahwa manusia mempunyai potensi untuk
meyakini adanya kekuatan lain di luar dirinya yang disebut tuhan, dengan kata
lain manusia memiliki potensi kuat untuk bertuhan (Harun, 2010 : 6).
Setelah manusia memahami bahwa agama adalah bagian dari
kebutuhan hidupnya, selanjutnya mereka mencoba untuk mengaplikasikan keyakinan
tersebut dalam berbagai pola keagamaan dan ritual keagamaan. Maka saat ini kita
saksikan manusia berusaha untuk mendekatkan diri kepada Tuhan dengan berbagai
ritual keagamaan yang mereka yakini mampu menjadi wasilah bagi kedekatannya dengan Tuhan. Walaupun ada banyak ritual
keagamaan yang dilakukan oleh manusia, namun semuanya memiliki mata rantai yang
tidak bisa diputus dan terlihat dari esensi ritual keagamaan tersebut. Semua
itu dilakukan dalam upaya untuk mendekatkan diri kepada Tuhan, mereka meyakini
bahwa ritual tersebut akan menjadi satu jalan bagi kebahagiaan dan kedamaian
dalam kehidupan.
Maka kita saksikan manusia masing-masing memiliki
cara-cara tersendiri untuk melakukan ritual keagamaan sebagai bentuk ketaatan
kepada Tuhan. Sebagian mereka melakukan inovasi dalam melakukan ritual
keagamaan, sementara sebagian yang lain meneruskan tradisi yang telah
diturunkan dari nenek moyang mereka. Hal inilah yang terjadi pada suku bangsa
dan komunitas masyarakat di seluruh dunia, termasuk suku bangsa yang ada di
Indonesia. Dari generasi ke generasi pola-pola ritual keagamaan itu diwariskan,
sebagiannya diwariskan secara apa adanya tanpa adanya perubahan, sementara
sebagian yang lainnya berubah dengan tambahan dan pengurangan.
Di antara bentuk ritual keagamaan yang telah ada sejak
dahulu adalah penghormatan terhadap nenek moyang. Ritual ini adalah salah satu
dari ritual khas dari berbagai suku bangsa yang ada di Indonesia, dari ujung
barat Indonesia di Aceh hingga ujung timur Indonesia di Merauke. Mereka
memiliki ritual keagamaan dalam bentuk penghormatan kepada nenek moyang, ketika
nenek moyang tersebut sudah meninggal dunia ritual penghormatan tersebut
diarahkan ke makam atau kuburan nenek moyang tersebut. Dari sinilah muncul
ritual untuk menghormati leluhur, dalam taraf lebih lanjut adalah muncul
keyakinan bahwa arwah nenek moyang itu memiliki kekuatan yang dapat mempengaruhi
kehidupan manusia (animisme).
Suku Sunda sebagai salah satu dari suku bangsa yang ada
di Indonesia juga memiliki ritual untuk menghormati para leluhurnya. Hal ini
terlihat dari berbagai ritual keagamaan yang ada di wilayah yang didiami oleh
suku Sunda, terutama di Provinsi Jawa Barat, Banten, sebagian Jawa Tengah dan
DKI Jakarta. Di Panjalu Kabupaten Ciamis terdapat ritual Nyangku yaitu ritual yang dilakukan sebagai bentuk penghormatan
kepada leluhur dari Kerajaan Galuh Panjalu. Di Kabupaten Garut ada ritual Ziarah Makam Karamah yaitu mengunjungi
makam leluhur Kampung Dukuh agar keinginannya dapat tercapai. Di Kabupaten Bogor
dan Kuningan ada Seren Taun Guru Bumi sebagai
bentuk syukur kepada Tuhan, ritual ini diawali dengan ziarah ke beberapa makam
leluhur. Di Propinsi Banten ada komunitas Badui yang memiliki ritual Muja yaitu penghormatan kepada situs
leluhur (Ekadjati, 2009 : 63). Demikian pula di Indramayu terdapat ritual Sedekah Bumi sebagai bentuk rasa syukur
kepada Tuhan dengan mengunjungi makam leluhur. Sedangkan di Kampung Adat Banceu
Kabupaten Subang terdapat ritual Ngaruat
Bumi sebagai bentuk penghormatan kepada leluhur mereka. Demikian pula di
Tasikmalaya ada Hajat Sasih yang dilaksanakan oleh masyarakat Kampung Naga
sebagai sebuah ritual untuk menghormati leluhur Kampung Naga.
Ketika Islam datang ke tanah Pasundan dan bersentuhan
dengan budaya Sunda terjadilah dialog di antara keduanya, terjadi proses saling
mengisi dan melengkapi antara Islam dan budaya Sunda, hingga terciptalah satu
kebudayaan yang merepresentasikan kedua kebudayaan tersebut. Kebudayaan baru
ini kemudian diwariskan secara turun temurun sehingga sadar atau tidak
kebudayaan baru tersebut merupakan budaya Islam dengan citarasa lokal. Di
antara wujud dari dialog antara Islam dan budaya lokal adalah pelaksanaan Hajat
Sasih yang dilaksanakan oleh masyarakat Kampung Naga di Kabupaten Tasikmalaya.
Masyarakat Kampung Naga sebagai sub-kultur budaya Sunda menerima Islam sebagai
agamanya sejak pembukaan awal Kampung Naga, sehingga proses akulturasi tersebut
tidak disadari oleh generasi sesudahnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Please Uktub Your Ro'yi Here...